Rabu, 14 Januari 2009

Menangkal Kekerasan di Sekolah (habis)

Oleh: Naura Ambarini*

Riset Tim Fakultas Psikologi UI menunjukkan, 18,3% guru menganggap penggencetan, olok-olok antarteman merupakan hal yang biasa dalam kehidupan remaja, 27,5% guru beranggapan sesekali mengalami penindasan senior terhadap yunior tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa, dan sebanyak 10% guru berpendapat hukuman fisik merupakan cara menegur yang paling efektif.

Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan kekerasan terhadap anak (KTA) 11,3% dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18%. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6%, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didiknya belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.

Guru merupakan faktor dominan dan paling penting dalam sekolah. Karenanya, guru itu seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh. Kemampuan guru yang dibutuhkan sekolah tidak hanya kemampuan pedagogis. Yakni menguasai mata pelajaran tertentu dan cara me-manage kelas dengan baik. Tetapi juga kemampuan menguasai andragogis, dalam arti punya kemampuan dalam hal ilmu psikologi, psikiatri, dan sosiologi. Bagi siswa, sosok guru yang diharapkan dalam sekolah adalah orang yang mampu membawa kemaslahatan terhadap sesama dan mampu berperan sebagai sahabat, kakak, bapak-ibu yang penuh kasih sayang. Sehingga betul-betul dapat membantu perkembangan pribadinya secara utuh.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana di UIN Malang

Selasa, 13 Januari 2009

Menangkal Kekerasan di Sekolah (bersambung)

Oleh: Naura Ambarini

Akhir-akhir ini banyak kekerasan yang menimpa anak-anak baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan sekolah. Selama dua bulan belakangan ini pemberitaan di media massa tentang kekerasan yang terjadi pada anak, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual masih terus berlangsung. Yang membuat kita terperangah bahwa pelaku dari kekerasan itu adalah orang terdekat dari anak sendiri, yang seharusnya memberikan perlindungan, semisal kerabat atau bahkan guru mereka sendiri.

Kekerasan yang terjadi pada institusi pendidikan, baik yang dilakukan guru maupun kepala sekolah, merupakan sebuah fenomena dimana selama ini kita beranggapan lembaga pendidikan adalah tempat untuk mencetak individu-individu yang mandiri di masa depan. Situasi kekerasan itu dapat tergambar dengan jelas, di mana tidak masalah ketika seorang guru menghukum siswanya dengan cara memukul, mencubit, menampar. Hal ini dianggap sebagai satu proses pembelajaran untuk menegakkan disiplin di sekolah.

Pendidik yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak, malah menularkan perilaku yang tak terpuji, perilaku yang akan ditiru murid-muridnya kelak. Fenomena ini akhirnya seperti menjadi satu mata rantai yang tidak terputus. Setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi budaya kekerasan. Anak-anak yang tertekan dengan perilaku kekerasan yang diterima akan mengadopsi budaya kekerasan seperti itu. Pada titik tertentu kemungkinan dia akan melakukan perbuatan kekerasan yang pernah diterimanya, kepada orang lain.

Hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 10% guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman. Sebanyak 10% juga guru berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan cara yang efektif untuk menegur siswa. Sedangkan, 27,5% guru beranggapan bahwa kekerasan itu tidak akan berdampak pada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting bahwa masih ada saja guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan.

Senin, 12 Januari 2009

Urgensi Pembiayaan Pendidikan

Oleh: Naura Ambarini*

Pendidikan menjadi aset yang sangat penting, karena pendidikan menjadi agen perubahan dan transformasi tata nilai yang terorganisasi dengan baik. Pada masa Rasululah SAW dan Khulafaur Rasyidin, pendidikan dimulai dengan didirikannya kelompok-kelompok belajar yang kemudian dilanjutkan pelaksanaannya di masjid-masjid.Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya berkaitan dengan masalah pendanaan. Pembiayaan adalah sebuah elemen yang tidak bisa dan tidak mungkin dipisahkan dari proses pendidikan. Sebaik apapun konsep pendidikan bila tidak ada pembiayaan yang mencukupi, maka menjadi suatu yang kurang efektif.

Hal itu juga disampaikan oleh Supriyadi yang mengatakan bahwa biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah maupun di madrasah. Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan, biaya dan pembiayaan pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Jadi tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peran pembiayaan, karena tanpa biaya proses pendidikan tidak akan berjalan dengan maksimal.
Jika melihat pada peradaban Islam, mulai dari masa pemerintahan Rasulullah SAW sampai abad pertengahan, pendanaan lembaga pendidikan ternyata telah mendapatkan perhatian yang besar dari para penyelenggara pendidikan maupun pihak-pihak yang tidak terlibat langsung didalamnya.

Umat Islam pada masa itu sudah memahami benar perlunya biaya besar untuk membangun dan mengelola sekolah yang bermutu. Abuddin Nata memaparkan bahwa Nizham Al-Mulk mengeluarkan anggaran belanja yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. Ia mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar 600.000 dinar atau lebih dari 100 trilyun rupiah setiap tahun untuk seluruh madrasah dibawah pemerintah.

*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Malang

Minggu, 11 Januari 2009

Nasib PAI di Sekolah (2- habis)

Oleh: Naura Ambarini

Meskipun begitu, tidak lantas kemudian transformasi nilai-nilai pendidikan agama Islam di sekolah tidak ada masalah, misalnya saja, banyak yang berkomentar bahwa sistem pembelajaran mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) berbeda dengan mata pelajaran lainnya, sebagian menganggap lebih rumit. Karena outputnya adalah perbaikan dan peningkatan ibadah, akhlak dan pengetahuan siswa terhadap pengetahuan keIslaman. Mata pelajaran PAI juga merupakan penyeimbang mata pelajaran lain dalam rangka membentuk karakter anak didik. Terutama untuk memberikan pengaruh positif bagi anak didik dalam beramal sholih, berakhlak mulia dan bersopan santun sesuai dengan ajaran Islam.Sehingga, jika hanya mengandalkan jumlah jam pertemuan di kelas, yang jumlahnya sangat sedikit, sangat mustahil mampu mewujudkan hasil pembelajaran yang baik.

Sampai sekarang penulis tidak pernah habis pikir, hampir semua elemen pendidikan menyadari bahwa pembelajaran PAI sangat penting, baik untuk kepentingan pribadi peserta didik, masyarakat bahkan bangsa dan negara pada umumnya. Tapi kenyataannya, justru proses dan model pembelajaran PAI adalah yang paling membosankan di antara mata pelajaran lain yang ada di sekolah. Selain jumlah jam pelajarannya yang sangat sedikit, model pengajarannya pun begitu-begitu saja, tidak pernah ada terobosan baru. Bahkan kesannya, semakin lama kecenderungannya semakin tidak serius.

Sabtu, 10 Januari 2009

Nasib PAI di Sekolah (satu dari dua tulisan)

Oleh: Naura Ambarini*

Agama mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Sebab, agama dapat mengarahkan jalan hidup manusia menjadi lurus, dan agama pun merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting. Oleh karena itu, agama perlu dipahami, dihayati, dan diamalkan. Pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama selalu beroirentasi pada upaya untuk menjadi lebih baik dalam semua bidang. Persoalannya adalah bagaimana agar agama itu dapat dipahami, dihayati dan diamalkan dengan baik oleh umatnya. Salah satu cara yang bisa diusahakan adalah melalui penguatan dan peningkatan kualitas pendidikan agama Islam.

Pendidikan agama Islam merupakan bagian pendidikan yang amat diperlukan, terutama yang berkenaan dengan aspek sikap dan nilai. Orientasi pendidikan agama Islam sebetulnya adalah menyerahkan diri secara total kepada Allah dan mengarahkan kepada kebaikan. Pendidikan agama Islam bertujuan menciptakan manusia yang berakhlak Islami, beriman, bertakwa, dan meyakini ajaran Allah sebagai suatu kebenaran, serta berusaha dan mampu membuktikan kebenaran tersebut melalui akal, rasa, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari. Peserta didik harus diusahakan dan diarahkan mencapai tujuan tersebut.

Kalau saja akal, rasa dan perbuatan seseorang itu menjadi lebih baik berkat pendidikan agama Islam, maka secara tidak langsung pendidikan agama Islam itu telah turut membangun mental bangsa ini untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Sadar betapa penting peran pendidikan agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah kemudian mengusahakan proses penyelenggaraan pendidikan agama Islam yang baik dan relevan di sekolah-sekolah. Sekolah merupakan salah satu tempat yang paling strategis untuk mentransformasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam. Mengingat sekolah merupakan lembaga pendidikan yang masih dipercaya oleh masyarakat untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Malang