Kamis, 28 Mei 2009

Manusia Burung Hantu

By: Kurdi Muhammad

Apakah burung hantu itu?
Mengapa ia dinamai burung hantu?
Apakah karena burungnya seperti hantu?
Ataukah karena burungnya suka menghantui?
Atau mungkinkah karena burungnya senang melihat yang melihatnya ketakutan?

Kalau sudah demikian,
Bukankah banyak manusia yang juga senang membuat yang lain ketakutan?
Tapi mengapa tidak ada manusia hantu?
Ah! barangkali hanya burungnya saja yang layak disebut burung hantu?
Jadilah dia manusia (ber) burung hantu?
Benar diakah? atau jangan-jangan anda atau kitakah?



Lembah Manusia (ber) Burung Hantu
Mei, 28 2009

Selasa, 05 Mei 2009

Pesantren Al Muniroh: Membekali Santri dengan Keterampilan

Oleh Adi Sucipto Kisswara

Santri Pondok Pesantren Al Muniroh, Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, tak hanya belajar soal agama, kemasyarakatan, serta hubungan kemanusiaan, tetapi juga dibekali modal keterampilan berusaha. Ada keterampilan menjahit, tata rias pengantin, elektronika, pengelolaan koperasi, beternak ayam dan kambing, serta budidaya ikan. Para santri tinggal memilihnya.

Menurut pengasuh, KH Mahmudi Ambar, ponpes ini memiliki lahan tambak seluas 8 hektar. Sejak setahun lalu dikembangkan ternak bebek, kini jumlahnya 600 ekor. Hasil telur bebek dijual ke pedagang untuk dijadikan telur asin. Harga telur Rp 1.000-Rp 1.200 per butir. "Baru 50 persen yang bertelur. Bebek baru bertelur bila berumur lima bulan lebih. Sebagian masih berumur tiga bulan." katanya.

Ponpes juga mengembangkan kolam budidaya ikan patin, lele, dan gurami sejak empat tahun lalu. Tentu saja usaha ini melibatkan para santri. Lahan berukuran 20 meter x 10 meter dibuat dari cor semen untuk budidaya ikan. Santri dilibatkan dalam memelihara dan memberi pakan ikan. "Kebanyakan mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka mendapat penghasilan 10 persen dari penjualan. Kini ada 10 santri yang turut memelihara ikan ini," kata Mahmudi.

Ikan lele dikirim ke Sidoarjo dan Pasar Pabean Surabaya, serta pasar Gresik. Dalam empat bulan, ikan lele sudah bisa panen. Lele yang ditebar sebanyak 10.000 ekor. Bila dipanen, biasanya tinggal 75 persen. "Bila panen, harganya Rp 9.500 per kilogram. Satu kilogram isi 10 ekor," katanya. Adapun benih ikan patin yang ditebarsebanyak 5.000 ekor. Biasanya 15 persennya mati. Harga ikan patin Rp 11.500 per kilogram.

Tak hanya itu, ponpes juga mengembangkan ternak kambing. Sebelumnya ponpes juga mengembangkan ternak ayam, bahkan dilengkapi alat pencabut bulu ayam. Ayam-ayam potong itu dipasok ke Sidoarjo. Namun, karena permintaan hanya satu kuintal sekali kirim, akhirnya pasokan ayam potong itu hentikan. "Karena rugi di transportasi," kata Mahmudi.

Manfaat

Khusus untuk santri putri, juga diberikan keterampilan tata rias pengantin oleh Ny Titin Hamidah Munir. Ponpes Al Muniroh juga mendapatkan dana stimulus dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah senilai Rp 200 juta. Dana tersebut akan dikembangkan untuk membuat balai pelatihan konveksi dan percetakan.

"Kami juga menjajaki kerja sama internet masuk pesantren dengan Google. Ponpes juga dilengkapi usaha depo air minum isi ulang dengan omzet 20 galon per hari, dua mesin fotokopi, satu mesin sheet stensil, dan tiga mesin jahit," ujar Kurdi, putra KH Mahmudi.

Semua itu tentu membawa manfaat yang besar. Suwandi, salah seorang santri yang telah tujuh tahun menuntut ilmu di Ponpes Al Muniroh, mengakui dirinya memperoleh ilmu agama, ilmu umum, dan juga bekal ketrampilan yang cukup. "Saya bisa membantu ternak bebek dan memelihara ikan," kata santri yang kini juga kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Qomaruddin, Bungah, Gresik.

Modal itu amat penting, terutama untuk santri yang secara ekonomi membutuhkan biaya pendidikan. Dengan bekal keterampilan, tentu saja harapan bagi para santri aat terjun ke masyarakat. Namun, ponpes sendiri memberikan beasiswa bagi siswa teladan dan berprestasi. Bahkan, siswa mulai TK hingga MA dan SMA diberi kesempatan studi banding ke sekolah lain.

Sejarah ponpes

Ponpes Al-Muniroh didirikan tahun 1942 oleh almarhum KH Mawardi. Saat itu di Ujungpangkah banyak kasus pencurian, perjudian, penganiayaan, dan perbuatan tercela lainnya. KH Mawardi menilai kondisi itu terjadi karena kurangnya pendidikan masyarakat. Atas dasar itulah maka didirikan ponpes tersebut.

Tahun 1942 mulai dirintis pengajian yang melayani santri dari penjuru desa mulai anak-anak, muda, hingga yang tua. Awalnya banyak santri kalong, yaitu pulang seusai mengaji. Pengajian dilaksanakan di surau atau serambi rumah KH Mawardi. Lambat laun banyak santri yang tinggal atau menetap agar lebih khusyuk menuntut ilmu.

Perkembangan ponpes semakin pesat setelah putra KH Mawardi, yakni KH Munir Mawardi, yang menuntut ilmu ke Mekkah, kembali dan kemudian mengambil alih pimpinan ponpes setelah KH Mawardi wafat. Akhirnya ponpes tidak hanya menggelar pendidikan agama secara tradisional, tetapi juga membuka pendidikan formal.

Ponpes ini bernaung di bawah Yayasan Al Muniroh yang diketuai Syaiful Islam Al Ghozi, putra KH Munir Mawardi, yang didirikan pada 14 Desember 1981. "Ponpes ini terbuka untuk santri dan masyarakat sekitar. Bahkan, yang tua-tua juga aktif di pengajian," kata KH Mahmudi Ambar yang merupakan menantu KH Munir Mawardi.

Sumber: kompas.com