Sabtu, 28 November 2009

Bu Aya Naik Kuda Perot


Bu Aya Naik Kuda Perot

Oleh: Kurdi Muhammad

Ada Kabar (Es Krim) lagi asyik makan (K)ri(P)i(K) sambil ditemani Bu Aya dan (Ang)sa(Godo)k. Saking asyiknya sampai-sampai ku(D)a(P)e(R)ot dan (S)inga (B)erbulu a(Y)am pun ikut 'ngiler'. Tapi mudah-mudahan semuanya berakhir manis...!

Kesibukan Orang Nganggur


Kesibukan Orang Nganggur

Oleh: Kurdi Muhammad

Ternyata asyik juga hari2 ditemani seekor tikus (Mouse), papan kunci (Keyboard) dan ramainya auman rubah api (Fire Fox), auuuwww...! apalagi sambil diselingi ceramah dari sepuluh Nabinya orang Yahudi (Yahoo Messenger 10) n sembari sesekali merasakan sejuknya udara dari 7 jendela (Windows 7), rancak bana..!

Sabtu, 15 Agustus 2009

The Philosopher of Azkaban: Sebuah Transformasi Kegilaan


Oleh: Kurdi Muhammad*

Kata kebanyakan orang uang adalah se(ri)gala-galanya, begitu juga kata banyak teman. Setelah kupikir-pikir dan kurasa-rasakan ternyata benar juga. Tapi anehnya, setelah punya (lumayan) banyak uang, diri ini justru jadi lebih sering meludahi-Nya, lebih suka pamer dan menghewankan yang lain, lebih cenderung ingin mengkhianati cinta istri dengan liur poligami, jadi jarang nraktir kolega n jadi lebih susah ngutangi teman-teman. Yang lebih gila lagi! kumerasa bangga dengan smua itu. Dasar Gila!!!


*Kurdi Muhammad adalah peziarah rutin di Islam After Tomorrow

Kamis, 28 Mei 2009

Manusia Burung Hantu

By: Kurdi Muhammad

Apakah burung hantu itu?
Mengapa ia dinamai burung hantu?
Apakah karena burungnya seperti hantu?
Ataukah karena burungnya suka menghantui?
Atau mungkinkah karena burungnya senang melihat yang melihatnya ketakutan?

Kalau sudah demikian,
Bukankah banyak manusia yang juga senang membuat yang lain ketakutan?
Tapi mengapa tidak ada manusia hantu?
Ah! barangkali hanya burungnya saja yang layak disebut burung hantu?
Jadilah dia manusia (ber) burung hantu?
Benar diakah? atau jangan-jangan anda atau kitakah?



Lembah Manusia (ber) Burung Hantu
Mei, 28 2009

Selasa, 05 Mei 2009

Pesantren Al Muniroh: Membekali Santri dengan Keterampilan

Oleh Adi Sucipto Kisswara

Santri Pondok Pesantren Al Muniroh, Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, tak hanya belajar soal agama, kemasyarakatan, serta hubungan kemanusiaan, tetapi juga dibekali modal keterampilan berusaha. Ada keterampilan menjahit, tata rias pengantin, elektronika, pengelolaan koperasi, beternak ayam dan kambing, serta budidaya ikan. Para santri tinggal memilihnya.

Menurut pengasuh, KH Mahmudi Ambar, ponpes ini memiliki lahan tambak seluas 8 hektar. Sejak setahun lalu dikembangkan ternak bebek, kini jumlahnya 600 ekor. Hasil telur bebek dijual ke pedagang untuk dijadikan telur asin. Harga telur Rp 1.000-Rp 1.200 per butir. "Baru 50 persen yang bertelur. Bebek baru bertelur bila berumur lima bulan lebih. Sebagian masih berumur tiga bulan." katanya.

Ponpes juga mengembangkan kolam budidaya ikan patin, lele, dan gurami sejak empat tahun lalu. Tentu saja usaha ini melibatkan para santri. Lahan berukuran 20 meter x 10 meter dibuat dari cor semen untuk budidaya ikan. Santri dilibatkan dalam memelihara dan memberi pakan ikan. "Kebanyakan mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka mendapat penghasilan 10 persen dari penjualan. Kini ada 10 santri yang turut memelihara ikan ini," kata Mahmudi.

Ikan lele dikirim ke Sidoarjo dan Pasar Pabean Surabaya, serta pasar Gresik. Dalam empat bulan, ikan lele sudah bisa panen. Lele yang ditebar sebanyak 10.000 ekor. Bila dipanen, biasanya tinggal 75 persen. "Bila panen, harganya Rp 9.500 per kilogram. Satu kilogram isi 10 ekor," katanya. Adapun benih ikan patin yang ditebarsebanyak 5.000 ekor. Biasanya 15 persennya mati. Harga ikan patin Rp 11.500 per kilogram.

Tak hanya itu, ponpes juga mengembangkan ternak kambing. Sebelumnya ponpes juga mengembangkan ternak ayam, bahkan dilengkapi alat pencabut bulu ayam. Ayam-ayam potong itu dipasok ke Sidoarjo. Namun, karena permintaan hanya satu kuintal sekali kirim, akhirnya pasokan ayam potong itu hentikan. "Karena rugi di transportasi," kata Mahmudi.

Manfaat

Khusus untuk santri putri, juga diberikan keterampilan tata rias pengantin oleh Ny Titin Hamidah Munir. Ponpes Al Muniroh juga mendapatkan dana stimulus dari Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah senilai Rp 200 juta. Dana tersebut akan dikembangkan untuk membuat balai pelatihan konveksi dan percetakan.

"Kami juga menjajaki kerja sama internet masuk pesantren dengan Google. Ponpes juga dilengkapi usaha depo air minum isi ulang dengan omzet 20 galon per hari, dua mesin fotokopi, satu mesin sheet stensil, dan tiga mesin jahit," ujar Kurdi, putra KH Mahmudi.

Semua itu tentu membawa manfaat yang besar. Suwandi, salah seorang santri yang telah tujuh tahun menuntut ilmu di Ponpes Al Muniroh, mengakui dirinya memperoleh ilmu agama, ilmu umum, dan juga bekal ketrampilan yang cukup. "Saya bisa membantu ternak bebek dan memelihara ikan," kata santri yang kini juga kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Qomaruddin, Bungah, Gresik.

Modal itu amat penting, terutama untuk santri yang secara ekonomi membutuhkan biaya pendidikan. Dengan bekal keterampilan, tentu saja harapan bagi para santri aat terjun ke masyarakat. Namun, ponpes sendiri memberikan beasiswa bagi siswa teladan dan berprestasi. Bahkan, siswa mulai TK hingga MA dan SMA diberi kesempatan studi banding ke sekolah lain.

Sejarah ponpes

Ponpes Al-Muniroh didirikan tahun 1942 oleh almarhum KH Mawardi. Saat itu di Ujungpangkah banyak kasus pencurian, perjudian, penganiayaan, dan perbuatan tercela lainnya. KH Mawardi menilai kondisi itu terjadi karena kurangnya pendidikan masyarakat. Atas dasar itulah maka didirikan ponpes tersebut.

Tahun 1942 mulai dirintis pengajian yang melayani santri dari penjuru desa mulai anak-anak, muda, hingga yang tua. Awalnya banyak santri kalong, yaitu pulang seusai mengaji. Pengajian dilaksanakan di surau atau serambi rumah KH Mawardi. Lambat laun banyak santri yang tinggal atau menetap agar lebih khusyuk menuntut ilmu.

Perkembangan ponpes semakin pesat setelah putra KH Mawardi, yakni KH Munir Mawardi, yang menuntut ilmu ke Mekkah, kembali dan kemudian mengambil alih pimpinan ponpes setelah KH Mawardi wafat. Akhirnya ponpes tidak hanya menggelar pendidikan agama secara tradisional, tetapi juga membuka pendidikan formal.

Ponpes ini bernaung di bawah Yayasan Al Muniroh yang diketuai Syaiful Islam Al Ghozi, putra KH Munir Mawardi, yang didirikan pada 14 Desember 1981. "Ponpes ini terbuka untuk santri dan masyarakat sekitar. Bahkan, yang tua-tua juga aktif di pengajian," kata KH Mahmudi Ambar yang merupakan menantu KH Munir Mawardi.

Sumber: kompas.com

Rabu, 14 Januari 2009

Menangkal Kekerasan di Sekolah (habis)

Oleh: Naura Ambarini*

Riset Tim Fakultas Psikologi UI menunjukkan, 18,3% guru menganggap penggencetan, olok-olok antarteman merupakan hal yang biasa dalam kehidupan remaja, 27,5% guru beranggapan sesekali mengalami penindasan senior terhadap yunior tidak akan berdampak buruk pada kondisi psikologis siswa, dan sebanyak 10% guru berpendapat hukuman fisik merupakan cara menegur yang paling efektif.

Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan kekerasan terhadap anak (KTA) 11,3% dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18%. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6%, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak didiknya belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.

Guru merupakan faktor dominan dan paling penting dalam sekolah. Karenanya, guru itu seyogyanya memiliki perilaku dan kemampuan yang memadai untuk mengembangkan siswanya secara utuh. Kemampuan guru yang dibutuhkan sekolah tidak hanya kemampuan pedagogis. Yakni menguasai mata pelajaran tertentu dan cara me-manage kelas dengan baik. Tetapi juga kemampuan menguasai andragogis, dalam arti punya kemampuan dalam hal ilmu psikologi, psikiatri, dan sosiologi. Bagi siswa, sosok guru yang diharapkan dalam sekolah adalah orang yang mampu membawa kemaslahatan terhadap sesama dan mampu berperan sebagai sahabat, kakak, bapak-ibu yang penuh kasih sayang. Sehingga betul-betul dapat membantu perkembangan pribadinya secara utuh.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana di UIN Malang

Selasa, 13 Januari 2009

Menangkal Kekerasan di Sekolah (bersambung)

Oleh: Naura Ambarini

Akhir-akhir ini banyak kekerasan yang menimpa anak-anak baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan sekolah. Selama dua bulan belakangan ini pemberitaan di media massa tentang kekerasan yang terjadi pada anak, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual masih terus berlangsung. Yang membuat kita terperangah bahwa pelaku dari kekerasan itu adalah orang terdekat dari anak sendiri, yang seharusnya memberikan perlindungan, semisal kerabat atau bahkan guru mereka sendiri.

Kekerasan yang terjadi pada institusi pendidikan, baik yang dilakukan guru maupun kepala sekolah, merupakan sebuah fenomena dimana selama ini kita beranggapan lembaga pendidikan adalah tempat untuk mencetak individu-individu yang mandiri di masa depan. Situasi kekerasan itu dapat tergambar dengan jelas, di mana tidak masalah ketika seorang guru menghukum siswanya dengan cara memukul, mencubit, menampar. Hal ini dianggap sebagai satu proses pembelajaran untuk menegakkan disiplin di sekolah.

Pendidik yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak, malah menularkan perilaku yang tak terpuji, perilaku yang akan ditiru murid-muridnya kelak. Fenomena ini akhirnya seperti menjadi satu mata rantai yang tidak terputus. Setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi budaya kekerasan. Anak-anak yang tertekan dengan perilaku kekerasan yang diterima akan mengadopsi budaya kekerasan seperti itu. Pada titik tertentu kemungkinan dia akan melakukan perbuatan kekerasan yang pernah diterimanya, kepada orang lain.

Hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 10% guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman. Sebanyak 10% juga guru berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan cara yang efektif untuk menegur siswa. Sedangkan, 27,5% guru beranggapan bahwa kekerasan itu tidak akan berdampak pada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting bahwa masih ada saja guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan.

Senin, 12 Januari 2009

Urgensi Pembiayaan Pendidikan

Oleh: Naura Ambarini*

Pendidikan menjadi aset yang sangat penting, karena pendidikan menjadi agen perubahan dan transformasi tata nilai yang terorganisasi dengan baik. Pada masa Rasululah SAW dan Khulafaur Rasyidin, pendidikan dimulai dengan didirikannya kelompok-kelompok belajar yang kemudian dilanjutkan pelaksanaannya di masjid-masjid.Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya berkaitan dengan masalah pendanaan. Pembiayaan adalah sebuah elemen yang tidak bisa dan tidak mungkin dipisahkan dari proses pendidikan. Sebaik apapun konsep pendidikan bila tidak ada pembiayaan yang mencukupi, maka menjadi suatu yang kurang efektif.

Hal itu juga disampaikan oleh Supriyadi yang mengatakan bahwa biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah maupun di madrasah. Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan, biaya dan pembiayaan pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Jadi tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peran pembiayaan, karena tanpa biaya proses pendidikan tidak akan berjalan dengan maksimal.
Jika melihat pada peradaban Islam, mulai dari masa pemerintahan Rasulullah SAW sampai abad pertengahan, pendanaan lembaga pendidikan ternyata telah mendapatkan perhatian yang besar dari para penyelenggara pendidikan maupun pihak-pihak yang tidak terlibat langsung didalamnya.

Umat Islam pada masa itu sudah memahami benar perlunya biaya besar untuk membangun dan mengelola sekolah yang bermutu. Abuddin Nata memaparkan bahwa Nizham Al-Mulk mengeluarkan anggaran belanja yang luar biasa besarnya untuk membiayai pendidikan. Ia mengeluarkan anggaran untuk pendidikan sebesar 600.000 dinar atau lebih dari 100 trilyun rupiah setiap tahun untuk seluruh madrasah dibawah pemerintah.

*Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Malang

Minggu, 11 Januari 2009

Nasib PAI di Sekolah (2- habis)

Oleh: Naura Ambarini

Meskipun begitu, tidak lantas kemudian transformasi nilai-nilai pendidikan agama Islam di sekolah tidak ada masalah, misalnya saja, banyak yang berkomentar bahwa sistem pembelajaran mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) berbeda dengan mata pelajaran lainnya, sebagian menganggap lebih rumit. Karena outputnya adalah perbaikan dan peningkatan ibadah, akhlak dan pengetahuan siswa terhadap pengetahuan keIslaman. Mata pelajaran PAI juga merupakan penyeimbang mata pelajaran lain dalam rangka membentuk karakter anak didik. Terutama untuk memberikan pengaruh positif bagi anak didik dalam beramal sholih, berakhlak mulia dan bersopan santun sesuai dengan ajaran Islam.Sehingga, jika hanya mengandalkan jumlah jam pertemuan di kelas, yang jumlahnya sangat sedikit, sangat mustahil mampu mewujudkan hasil pembelajaran yang baik.

Sampai sekarang penulis tidak pernah habis pikir, hampir semua elemen pendidikan menyadari bahwa pembelajaran PAI sangat penting, baik untuk kepentingan pribadi peserta didik, masyarakat bahkan bangsa dan negara pada umumnya. Tapi kenyataannya, justru proses dan model pembelajaran PAI adalah yang paling membosankan di antara mata pelajaran lain yang ada di sekolah. Selain jumlah jam pelajarannya yang sangat sedikit, model pengajarannya pun begitu-begitu saja, tidak pernah ada terobosan baru. Bahkan kesannya, semakin lama kecenderungannya semakin tidak serius.

Sabtu, 10 Januari 2009

Nasib PAI di Sekolah (satu dari dua tulisan)

Oleh: Naura Ambarini*

Agama mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Sebab, agama dapat mengarahkan jalan hidup manusia menjadi lurus, dan agama pun merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting. Oleh karena itu, agama perlu dipahami, dihayati, dan diamalkan. Pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama selalu beroirentasi pada upaya untuk menjadi lebih baik dalam semua bidang. Persoalannya adalah bagaimana agar agama itu dapat dipahami, dihayati dan diamalkan dengan baik oleh umatnya. Salah satu cara yang bisa diusahakan adalah melalui penguatan dan peningkatan kualitas pendidikan agama Islam.

Pendidikan agama Islam merupakan bagian pendidikan yang amat diperlukan, terutama yang berkenaan dengan aspek sikap dan nilai. Orientasi pendidikan agama Islam sebetulnya adalah menyerahkan diri secara total kepada Allah dan mengarahkan kepada kebaikan. Pendidikan agama Islam bertujuan menciptakan manusia yang berakhlak Islami, beriman, bertakwa, dan meyakini ajaran Allah sebagai suatu kebenaran, serta berusaha dan mampu membuktikan kebenaran tersebut melalui akal, rasa, perbuatan, dan tingkah laku sehari-hari. Peserta didik harus diusahakan dan diarahkan mencapai tujuan tersebut.

Kalau saja akal, rasa dan perbuatan seseorang itu menjadi lebih baik berkat pendidikan agama Islam, maka secara tidak langsung pendidikan agama Islam itu telah turut membangun mental bangsa ini untuk menjadi bangsa yang lebih baik. Sadar betapa penting peran pendidikan agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah kemudian mengusahakan proses penyelenggaraan pendidikan agama Islam yang baik dan relevan di sekolah-sekolah. Sekolah merupakan salah satu tempat yang paling strategis untuk mentransformasikan nilai-nilai pendidikan agama Islam. Mengingat sekolah merupakan lembaga pendidikan yang masih dipercaya oleh masyarakat untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Malang