Rabu, 26 November 2008

Muktazilah: Sejarah dan Doktrin Teologinya (1)

Oleh: Kurdi Muhammad

Muktazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/718 M.
Dr. Ibrahim Madkour menyebut orang-orang Muktazilah sebagai pendiri lilmu kalam yang sebenarnya. Karena hampir setiap pemikiran penting dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan mereka. Muktazilah telah membahas sebagian problematika ilmu kalam pada tahun-tahun pertama abad ke-2 H. mereka serius menggelutinya selama satu setengah abad. Muktazilah merupakan aliran rasional yang membahas secara filosofis problem-problem teologis yang tadinya belum ada pemecahan. Dengan nama studi tentang akidah, Muktazilah sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia.
Secara garis besar, aliran Muktazilah melewati dua fase yang berbeda, yakni fase bani Abbasiyah dan fase bani Buwaihi. Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan bani Umayyah, namun untuk waktu yang tidak terlalu lama. Meski demikian, generasi awal inilah yang menancapkan tonggak awal Muktazilah sehingga bisa eksis di masa-masa berikutnya, bahkan sampai saat ini.
Demikian hebat dan luasnya jangkauan konsep teologis Muktazilah. Namun, dalam tulisan kali ini penulis akan memfokuskan kajian pada masalah sejarah kemunculan Muktazilah, Tokoh-tokoh serta doktrin teologisnya. Berikut penulis sajikan pembahasan tentang ketiga hal tersebut.
LATAR BELAKANG KEMUNCULAN
Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Demikianlah pendapat Wasil bin Atha' yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan pendapatnya ini, Wasil bin Atha' pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha' memisahkan diri, sang guru yakni Hasan al Basri berkata: ''I'tazala 'anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri kita). Menurut Syahristani, dari kata i'tazala 'anna itulah lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl (pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun me-nyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan il-mu pengetahuan. Dan, pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah deng-an peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, ja-di tidak qadim. Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Al-lah, dan ini hukumnya syirik.

Muktazilah: Sejarah dan Doktrin Teologinya (2)

Oleh: Kurdi Muhammad


Tokoh utama yang sekaligus juga pendiri paham Muktazilah adalah Wasil bin Atha’. Bahkan jumhur berpendapat, bahwa memang sebutan Muktazilah muncul sebagai akibat dari reaksi Wasil yang memisahkan diri (I’tazala) dari majlis pengkajian gurunya, Hasan Basri. Setidak-tidaknya al-Mas’udi lah orang yang mendukung argument ini, bahkan al-Masudi dalam fii Ilmi Kalam, sebagaimana dikutip Harun Nasution, menyebut Wasil bin Atha’ sebagai Syaikul Muktazilah wa Qadlimuha, yang berarti kepala Muktazilah dan tetuanya.
Wasil lahir pada tahun 81 Hijriah di Madinah dan meninggal pada tahun 131 Hijriah. Di Madinah Wasil nyantri di tempat Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiah. Pertemuannya dengan Abu Hasyim inilah yang pada akhirnya memperkenalkan Wasil dengan konsep-konsep teologi Ma’bad dan Gailan yang nota bene adalah penggiat faham Qadariyah. Setelah beberapa tahun, ia kemudian hijrah ke Basrah untuk menimba ilmu di majlis pengkajiannya Hasan Basri. Dari hasil dialektinya dengan Hasan Basri inilah yang kemudian mengantarkan Wasil bin Atha’ mendirikan aliran teologi yang kemudian lebih dikenal dengan Muktazilah. Konsep yang diperdebatkannya dengan Hasan Basri adalah tentang pelaku dosa besar. Perdebatan seputar masalah inilah yang akhirnya melahirkan doktrin al manzilatu baina al manzilatain, yang sekaligus menjadi konsep teologi paling awal bagi muktazilah.
Dalam perkembangannya, menurut Malatti, Wasil bin Atha’ kemudian memiliki dua orang murid, masing-masing bernama Bisyr Ibn Said dan Abu Utsman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah paham Muktazilah kemudian dianut juga oleh Abu Huzail al- Allaf, salah seorang yang juga termasuk tokoh terkemuka Muktazilah di kemudian hari. Serta seseorang bernama Bisyr Ibn Mu’tamar yang pada akhirnya menjadi pimpinan Muktazilah cabang Baghdad. Sementara Bisyr Mu’tamar memutuskan membawa faham Muktazilah ke Baghdad, Abu Huzail lebih memilih tinggal dan mengembangkan Muktazilah di Basrah bersama dengan Wasil. Abu Huzail lahir pada tahun 135 H dan meninggal tahun 235 H, di usianya yang ke-100. Abu Huzail terkenal sebagai tokoh yang ahli filsaat Yunani. Dengan berbekal kelebihan inilah Abu Huzail menyusun konsep teologi Muktazilah dan alur logika berpikirnya secara teratur. Kemahirannya dalam ilmu logika inilah yang menjadikannya pendebat mahir dalam melawan golongan Majusi, Atheis dan musuh-musuh teologi Islam lainnya kala itu.
Ajaran Abu Huzail yang terkenal adalah uraiannya tentang berdayanya akal manusia. Menurutnya, manusia dengan mempergunakan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, jika manusia lalai mengenali dan mengabdi pada Tuhan maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mendapatkan balasan. Manusia dengan akalnya, juga wajib mengetahui perbuatan yang baik dan buruk. Dengan pertimbangan akalnya, manusia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, meskipun tanpa adanya tuntunan berupa wahyu Tuhan. Abu Huzail juga memiliki seorang murid yang juga menjadi pemuka Muktazilah. Dia adalah Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-Nazzam, yang lahir di Basrah pada tahun 185 H dan meninggal pada tahun 221 H. Literatur mengenai dirinya menyebutkan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa, ia juga memiliki kedekatan dan bahkan menguasai filsafat Yunani. Al-Nazzam berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah keadilan Tuhan. Menurutnya, mustahil bagi Tuhan untuk berbuat dzalim. Bahkan tidak hanya itu, ia menambahkan bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk berbuat dzalim.
Pemimpin Muktazilah yang lainnya adalah Mu’ammar Ibn Abbad. Ia hidup semasa dengan Wasil. Pendapatnya yang terkenal adalah bahwa yang diciptakan oleh Tuhan adalah benda-benda materi. Adapun a’radh atau ketimpangan adalah kreasi dari benda-benda itu sendiri. Secara natural misalnya, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh materi atau dalam bentuk Ikhtiary seperti, antara gerak dan diam serta berkumpul dan berpisah yang biasa dilakukan oleh binatang. Pemimpin Muktazilah lainnya yang tak kalah masyhur adalah Abu Ali Muhammad Ibn Abdul Wahab al jubba’I dan anaknya, Abu Hasyim Abdu Salam. Mereka berpendapat bahwa yang disebut dengan kalam adalah sesuatu yang tersusun dari huruf dan suara. Oleh karena itu, mereka menyebut Tuhan sebagai Mutakallim, yang berarti Pencipta kalam. Yang perlu digaris bawahi menurut mereka adalah bahwa Mutakallim tidak selalu mengandung arti berbicara. Selain pendapat tentang kalam Tuhan itu, mereka juga berpendapat bahwa manusia tidak akan bisa melihat Tuhan di akhirat kelak.
Tokoh-tokoh Muktazilah lainnya adalah Abu Musa al- Murdar (w. 226 H) di Baghdad, Hisyam Ibn Amr Al Fuwati dan Abu Hussain al-Khayyat (w. 300 H) serta Sumamah Ibn Asyras (w. 213 H). Demikian sekelumit bahasan tentang tokoh-tokoh Muktazilah. Sudah barang tentu, sebetulnya masih banyak tokoh Muktazilah lain yang tidak tercover oleh literature-literatur sejarah. Namun yang jelas, tokoh-tokoh di atas sudah mampu merepresentasikan Muktazilah.

DOKTRIN TEOLOGI
Hampir semua aliran teologi memiliki doktrin y ang membedakannya dengan yang lain. Bahkan tak jarang, karena perbedaan doktrin itulah sebuah aliran teologi muncul. Teologi Asyariyah misalnya, muncul karena memiliki tujuan mengimbangi doktrin Muktazilah yang dianggap mulai meresahkan. Doktrin merupakan ideology pokok yang diyakini kebenarannya oleh faham-faham teologi setelah mengadakan pembacaan yang mendalam terhadap teks dan konteks.
Begitu juga di kalangan Muktazilah, sedemikian rupa sudah ditetapkan doktrin-doktrin yang dijadikan manhaj dalam berteologi. Muktazilah memiliki manhaj teologi yang sangat terkenal dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah atau lima jaran dasar yang menjadi pegangan kaum Muktazilah. Bahkan menurut al-Khayyat, orang tersebut tidak diakui sebagai penganut atau pengikut Muktazilah, sebelum mengakui dan menerima kelima dasar tersebut. Orang yang hanya menerima sebagian dasar tersebut, masih belum dapat dikatakan sebagai penganut Muktazilah, berikut kelima dasar tersebut sesuai dengan urutan pentingnya kedudukan tiap dasar:
Pertama, al-Tauhid, atau keMaha Esaan Tuhan. Tuhan, dalam pandangan mereka, akan benar-benar Maha Esa jika Dia merupakan Dzat yang unik, yang tidak ada serupa bagi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika golongan Muktazilah sangat menentang paham antropomorphisme, yakni sebuah paham yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Mereka juga menolak beatific vision yang berarti Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia.
Kedua, al-A’dalah atau keadilan. Prinsip ini memiliki kedekatan secara teologis dengan asas yang pertama. Kalau dengan al-tauhid Muktazilah ingin mensucikan diri tuhan dengan makhluk, maka dengan al-Adalah Muktazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dengan perbuatan makhluk. Mereka menandaskan bahwa hanya Tuhanlah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Perbuatan adil makhluk tidak akan pernah sama dengan perbuatan adil Tuhan, karena dalam perbuatan makhluk masih terkandung unsure-unsur kadzaliman. Kalau disebut Tuhan adil, maka menurut Abdul Jabbar, berarti bahwa semua perbuatan Tuhan bersifat baik; Tuhan tidak berbuat buruk dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya. Dalam pandangan kaum Muktazilah, Tuhan tidak berbuat buruk bahkan tidak bisa berbuat buruk, karena perbuatan yang demikian muncul dari orang yang tidak sempurna, padahal Tuhan adalah Maha Sempurna. Tuhan, menurut Muktazilah, juga wajib mendatangkan kebaikan, bahkan yang terbaik bagi manusia.
Ketiga, al-Wa’du wa al Wa’id atau janji dan ancaman. Dasar ini merupakan lanjutan dari prinsip yang kedua tadi. Bagi Muktazilah, Tuhan tidak akan disebut adil jika ia tidak memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan tidak meghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki orang yang berbuat kesalahn diberikan hukuman kepadanya dan diberikan pahala kebaikan kepada orang yang telah berbuat baik, hal ini sebagaimana telah diajanjikan oleh Tuhan.
Keempat, al-Manzilatu baina al-Manzilatain, secara leterlijk dapat dimaknai sebagai tempat di antara dua tempat. Prinsip ini diadopsi oleh Muktazilah dari pendapat pribadi Wasil Ibn Atha’ yang juga merupakan Syaikhul Muktazilah. Prinsip tersebut menjelaskan seorang mukmin yang berdosa besar yang meninggal sebelum bertaubat. Menurut Muktazilah orang mukmin yang berbuat dosa besar bukanlah kafir, karena dia masih percaya Allah dan Muhammad. Tetapi, ia juga bukan mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna setelah berbuat dosa besar. Karena bukan mukmin, maka ia tidak berhak masuk surga dan juga karena ia bukan kair maka tidak selayaknya ia masuk neraka. Bagi Muktazilah, orang yang seperti ini seharusnya dilokalisir di luar surga dan neraka. Oleh karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka, maka Muktazilah dalam keyakinan teologisnya berpendapat bahwa orang yang seperti ini masuk neraka, namun derajat siksanya lebih ringan daripada orang-orang kafir.
Kelima, ­al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu a’n al-Munkar, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebenarnya prinsip ini dianut oleh seluruh aliran teologi. Hanya saja, yang berbeda adalah tentang perwujudannya apakah dilakukan dengan hanya menyerukan saja ataukah boleh dengan menggunakan kekerasan. Aliran Khawarij misalnya, dalam mewujudkan prinsip tersebut memperbolehkan penggunaan unsure kekerasan. Namun bagi kaum Muktazilah kalau bisa cukup dengan seruan saja, tapi kalau perlu, kekerarasan diperbolehkan. Sejarah membuktikan bahwa Muktazilah juga pernah menggunakan kekerasan dalam menyebarkan doktrin-doktrin mereka.
Adapun doktrin-doktrin lain yang sifatnya personal dari seorang tokoh Muktazilah, pembahasannya sudah penulis utarakan sekaligus dalam bahasan pada sub bab Tokoh-tokoh.

PENUTUP
Melihat dasar-dasar doktrin Muktazilah sebagaimana telah dibahas, rasanya tidak ada sesuatu yang keluar dari pokok-pokok agama (ushul al-din). Hanya saja dasar-dasar ini dibangun di atas analisis logika (akal), dan analisis logika ini membuka dialog secara bebas di antara dua pihak pendialog. Sedangkan kepasrahan kepada zahir nas yang tidak didukung dalil dan argumentasi tidak memberikan kepuasan kepada akal yang selalu berusaha menangkap sesuatu di balik realitas.
Jadi, dengan pembahasan di atas, sekiranya mampu memberikan pemahaman yang komprehensi tentang Muktazilah. Karena bagaimanapun tidak setujunya kita dengan Muktazilah misalnya, toh kerangka berfikir ala Muktazilah kan selalu hidup di tengah kita. Kalau kita menganggapnya sebagai musuh, maka hidup kita akan selalu tidak senang memikirkan konsep-konsep teologis Muktazilah yang tidak akan pernah hilang. Bagaimanapun juga Muktazilah merupakan salah satu rujukan khazanah teologi kita. Penulis yakin Muktazilah juga plus minus. Bagi kita yang menganggap Muktazilah minus, penulis kira tidak ada salahnya jika kita mau mengambil plusnya agar diri ini menjadi surplus. Demikian juga sebaliknya, bagi yang mengganggap Muktazilah plus, jangan lupa bahwa di dalam juga ada minusnya, maka tidak ada salahnya kita meninggalkannya agar diri ini tidak menjadi apus.
Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab

Ibn Khaldun, Samuel Huntington dan Bu Asmina yang Rindu Damai (1)

Oleh: Kurdi Muhammad

Islam dengan segala sumber daya yang dimilikinya sungguh sangat meng-agumkan. Bagaimana tidak, ajaran yang di awal kemunculannya dianggap sebagai agamanya ‘orang gila’, kini telah mengalami metamorfosa yang luar biasa dahsyatnya, sehingga menjadi kajian yang tak kunjung habis. Ibarat sebuah institusi, meminjam istilah Emha Ainun Najib, ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini mewariskan sistem religiusitas yang mengakar sangat kuat . Keunikan dan kebesaran Islam kerap me-munculkan tokoh-tokoh besar juga, sebut saja Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman, Ali, Harun al-Rasyid, Umar ibn Abdul Aziz, Ghazali, ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan lain-lain.
Dalam tulisan ini, penulis fokus membahas tokoh besar Islam, Ibn Khaldun, pemikiran politik Islamnya, kemudian mencoba untuk memperbandingkan dengan konsep pemikiran Pemikir Barat. Terlahir dengan nama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan, dalam perkembangannya beliau lebih masyhur dipanggil Ibnu Khaldun. Beliau lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah SAW., bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah Lingkungan keluarga yang agamis menjadikannya hafidh al-Qur’an sejak usia dini.
Ketokohan Ibn Khaldun
Ibn Khaldun dikenal sebagai seorang sejarawan dan bapak sosiologi Islam. Ia juga dikenal sebagai Bapak Ekonomi Islam, karena pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823)2. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat mendalam terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya. Ibn Khaldun seorang Fenomenolog. Ia juga seorang konseptor ulung dalam hal teori politik Islam.Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Ibn Khaldun pernah menduduki jabatan penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru
Periodisasi dan Karya
Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun. Penulis mencoba meringkasnya dalam tiga periode perjalanan dan pengembaraan hidup beliau . Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika. Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir.Pada periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi).
Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara. Setelah keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga ke-hidupan Ibnu Khaldun, yaitu saat ia berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-'ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-'Ibar wa Diwanul Mubtada' awil Khabar fi Ayyamil 'Arab wal 'Ajam wal Barbar wa Man 'Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Kitab al-i'bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d'Ibn Khaldoun.
Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh so-siolog-sosiolog Jerman dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta'riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-'ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta'akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi). DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya "The Islamic Review & Arabic Affairs" di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, "Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).
Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini. Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat modern dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke lima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah . Ibn Khaldun sangat meyakini, bahwa pada dasarnya negara-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.

Pemikiran Politik dan Kenegaraan
Hemat penulis, Ibn Khaldun selain sosiolog dan sejarawan, dia juga seorang yang memiliki benih-benih Futurologi . Hal ini dapat dilihat dari analisa tulisannya yang tidak hanya berorientasi pada masanya, namun juga jauh ke depan menyelami riak-riak peradaban modern . Berikut penulis meringkas hasil pemikiran ibn Khaldun, berdasarkan pada kesesuaian dengan konteks ke-Indonesiaan:
1.Kerajaan dan Dinasti hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan solidaritas rakyat; menurut Khaldun jika ingin mendirikan Negara maka tidak bisa tidak, solidaritas rakyat harus digalang sampai muncul satu tekad sanggup berjuang dan mati bersama demi satu tujuan itu (baca: idealisme)
2.Negara yang Kuat adalah Negara yang didasarkan pada Agama; hemat Khaldun, kekuasaan diperoleh dengan kemenangan, sedangkan kemenangan diperoleh dengan membentuk solidaritas yang kuat. Solidaritas terbentuk jika rakyat mempunyai kesatuan tujuan, dan pada kesatuan tujuan inilah peran agama sangat signifikan .
3.Negara tidak dapat berdiri kalau Pembesar dan Rakyatnya beda tujuan dan semuanya takut mati.
4.Negara yang kuat adalah negara yang memiliki keunggulan dalam hal syaukah, Ashabiyah dan Maaliyah .
5.Negara yang liar kedaulatannya akan sangat luas
6.Jarang ada Negara Plural yang Aman
7.Pecahnya Negara merupakan konsekuensi kelemahan negara
8.Usaha sentralisasi kekuasaan, kemewahan serta sifat malas merupakan indikasi sudah dekatnya masa kehancuran sebuah negara.
9.Selanjutnya, negara akan sampai pada fase dimana pemerintah lebih percaya pada sekutu asing
10.Negara yang ditaklukan pasti akan selalu meniru yang menang, dan cenderung lebih cepat lenyap
11.Kezaliman Penguasa membawa kehancuran Negara dan Peradaban
12.Terdapat ledakan penduduk pada akhir negara, disertai wabah dan kelaparan yang meningkat .

Sebetulnya, masih ada sekitar 60-an lagi teori yang dikemukan oleh Ibn Khaldun. namun, hemat penulis keduabelas konsep di atas sangat relevan dengan kondisi bangsa-bangsa di dunia saat ini. Karenanya, dengan itu insya Allah sudah cukup mewakili.

Ibn Khaldun, Samuel Huntington dan Bu Asmina yang Rindu Damai (2)

Oleh: Kurdi Muhammad

The Muqaddima Vs Clash of Civilization
Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim dengan karyanya yang legendaris, The Muqaddimah, yang hidup pada tahun 1300-an. Sedangkan Samuel Huntington adalah professor ilmu politik di Universitas Harvard yang salah satu bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, mungkin merupakan buku yang paling banyak menjadi referensi dalam wacana tentang politik global pada tahun 1990-an. Pemikiran Ibnu Khaldun sangat relevan dengan situasi politik global saat ini. Hal ini tercermin dalam sebuah tulisan Robert Cox berjudul Towards a Posthegemonic Conceptualization of World Order: Reflections on the Relevancy of Ibn Khaldun (1992). Melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengelaborasi bibit-bibit kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan. Di masa hidupnya, walaupun secara kultural Islam masih berada dalam zaman keemasan, namun basis material dari hegemoni Islam ketika itu te-lah melemah. Misalnya, wilayah-wilayah Islam di Afrika Utara menghadapi tantangan dari suku-suku nomaden tradisional di satu sisi, dan kekuatan Kristen di sebelah utara yang menguasai alur Mediterania di sisi lain.
Di masa itu, kekuatan Kristen dan Yahudi juga mulai tampil sebagai kekuatan perdagangan. Invasi Mongol dari Timur juga mengerosi struktur yang telah terbangun, kota-kota peradaban Islam termasuk sistem irigasi dihancurkan, dan pajak-pajak Mongol merusak administrasi Islam. Ketika itu, Ibnu Khaldun telah dikenal sebagai ilmuwan besar. Ia konon dimintai nasihatnya oleh Pedro the Cruel dari Sevila dan juga penakluk dari Mongol, Timur Lank. Namun, Ibnu Khaldun menolak permintaan tersebut ..
Ibnu Khaldun menaruh perhatian besar pada konsep "negara" dalam pengertian yang luas, terutama berkaitan dengan kemunculan (emergence), kedewasaan (maturity), dan kemundurannya (decline). Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa ekspansi kekuasaan akan mendorong penguasa pada perilaku korup, kemewahan, suap dan berbagai de-kadensi lain yang menjauhkan rezim penguasa dari rakyatnya dan akhirnya menjadi sebab dari kemundurannya sendiri. Pada dasarnya ia menyatakan bahwa proses-proses politik akan menghasilkan sebuah political order. Proses ini bisa saja gagal, namun bukan disebabkan oleh bentuk atau sistem politik yang digunakan, namun oleh ke-tidakmampuan (inadequacies) kultur yang dominan dalam struktur politik tersebut dalam menjawab persoalan persoalan yang ada. Kemunduran ini hanya bisa dicegah oleh enlightened individual yang bisa melihat dan menjawab persoalan secara jernih dan me-ngidentifikasi sebab-sebab kemundurannya dari internal.
Benang merah yang sama bisa dijumpai dalam berbagai tulisan Samuel Huntington. Walaupun tulisan awalnya mengenai the clash of civilization di jurnal Foreign Affairs tahun 1993 dihujani kritik tajam, melalui bukunya The Clash of Civilization Huntington mengelaborasi lebih jauh persoalan dominasi dan hegemoni AS secara lebih adil. Dalam buku tersebut Huntington memperingatkan AS untuk bersikap open-minded terhadap the otherness, termasuk pada Islam, peradaban Timur pada umumnya dan berbagai peradaban lain. Pendeknya, ia menandaskan bahwa AS harus menghindarkan sikap hegemoniknya.
Dalam tulisannya yang berjudul The Lonely Superpower di Foreign Affairs (1999), Huntington menyatakan bahwa walaupun Amerika sekarang menjadi satu-satunya superpower, hal itu tidak berarti bahwa dunia saat ini berstruktur unipolar, seperti yang dianggap oleh banyak pihak. Pengertian unipolar mensyaratkan kondisi di mana du-nia hanya memiliki satu superpower, tidak adanya major power yang signifikan dan hanya terdapat banyak minor power. Dengan demikian, dalam sebuah struktur unipolar, sebuah superpower akan mampu secara efektif menyelesaikan berbagai isu internasional sendirian dan tidak ada kombinasi kekuatan lain yang mampu mencegahnya .
Situasi saat ini jauh dari pengertian unipolar. Struktur unipolar hanya pernah terjadi pada kekaisaran Romawi abad kelima dan kekaisaran Cina pada abad kesembilan belas. AS tidak bisa, menurut Huntington, berilusi menjadi hegemon dalam sebuah sistem multipolar. Karena, ada berbagai negara dengan kekuatannya mampu mengedepankan kepentingannya sendiri vis-a-vis Amerika, walaupun tidak bisa menjangkau wilayah yang global sifatnya. Contohnya adalah kekuatan Jerman dan Perancis di Eropa, Rusia di Eurasia, Cina dan Jepang di Asia Timur, India di Asia Selatan, Iran di Asia Barat Daya, Brazil di Amerika Latin, Afrika Selatan dan Nigeria Di Afrika .
Huntington juga tidak sependapat dengan Francois Fukuyama dalam The End of History and the Last Man berpendapat bahwa runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 adalah simbol yang menunjukkan demokrasi liberal ala Barat secara natural akan menjadi pilihan-pilihan bangsa di dunia.
Setelah membangun premis yang panjang, di akhir buku itu Huntington memfokuskan potensi musuh Barat ke depan adalah Islam. Tulisan itu bagaikan jurus baru bagi sebagian orang Barat yang selama ini memang bersikap sentimen dan anti-Islam. Tesis Huntington seperti pelepas dahaga. Ia seolah mampu menjawab pertanyaan besar, “Akan kemana Barat-terutama Amerika-pascaruntuhnya Soviet.” Sebab sekarang hanya tinggal satu adidaya. Sementara kemajuan dan perkembangan mesti dilanjutkan. Dan untuk maju, Barat perlu kompetitor baru.
Akhirnya, bibit konflik Barat-Islam menemukan momentumnya. Barat dengan segala daya upayanya berusaha membredel Islam. Segala upaya dan srategi ditujukan untuk bagaimana mempressure ideologi Islam. Seolah mendapat pembenar, pasca tragedi 9/11, AS dan sekutunya segera menetapkan tersangka utamanya adalah Islam . Akhirnya semakin menguatlah stigma teroris pada diri umat Islam, sehingga hal itu dijadikan alasan untuk menghancurkan Afghanistan . Namun, sebelum itu gelombang permusuhan terhadap Islam sudah dimulai. Kasus pemandulan Palestina, penyerangan terhadap Irak adalah juga bagian tak terpisahkan dari upaya pengkerdilan Islam. Selanjutnya, isu yang paling gres adalah penghinaan kartun Nabi oleh kartunis Denmark dan Italia, juga rencana penyerangan AS terhadap Iran, juga dapat dijadikan sebagai penguat bahwa Barat senantiasa menebarkan kebencian kepada Islam.
Tidak sedikit pihak yang mengkritik argumen Huntington Bebearapa analisis menilai argumen Huntington cenderung membesar-besarkan perbedaan budaya. Edward Said mengatakan Huntington telah secara serius mengabaikan nilai-nilai humanitas, bahkan cenderung mengagungkan kelompok/peradaban tertentu (rasis). Menurut Said, Huntington mengabaikan kemungkinan kerja sama antarperadaban di dunia . Sementara itu, Tifatul Sembiring, Presiden PKS, juga ikut angkat bicara, ia mengkritik Huntington, seolah dia menutup peluang komunikasi dan relasi yang lebih humanis sesama manusia. Bahwa tidak semua perbedaan ideologi, ras, dan agama harus berujung konflik. Seolah tidak ada lagi jalan dialog dan hubungan bermartabat . Penulis sendiri melihat, entah kebetulan atau memang sudah direncanakan, yang jelas aksi kongkrit dari Negara-negara Barat saat ini, tampak sekali ingin mendeskriditkan, kalau tidak mau dibilang mem-berhangus, Negara-negara Islam maupun Negara-negara yang berpotensi menjadi Negara Islam. Karenanya, tidak salah kiranya Negara-negara Islam itu membenahi struktur kekuatan masing-masing, minimal sesuai dengan kriteria menjadi Negara kuat se-bagaimana yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun.

Anak Tukang Ngarit Belajar Filsafat, dari Al- Kindi sanpai Mulla Sadra (1)

Oleh: Kurdi Muhammad

Seyyed Hussein Nasr mengintrodusir beberapa definisi tentang filsafat dari Yunani dan paling lazim di kalangan Islam. Dari enam definisi, menurut penulis, ada dua definisi yang sangat menarik dan agak provokatif, bahwa filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia; dan filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian (cinta pada kematian) .
Selain berdimensi rasionalitas, dari definisi di atas, filsafat juga me-ngandung dimensi spiritualitas. Tidak seperti anggapan kebanyakan orang bahwa filsafat adalah melulu persoalan rasio. Selain itu filsafat juga memilki dua di-mensi, dimensi interpretasi spekulatif dan dimensi praksis. Hal ini dapat disimak dari pengertian filsafat yang diintrodusir oleh al-Kindi yang juga diamini al-Faraby, baginya filsafat secara teoritis adalah pengetahuan untuk memperoleh ke-benaran, dan secara praktis agar dapat berperilaku sesuai dengan kebenaran itu .
Orang Barat saat ini sering menuduh filsafat Islam sebetulnya adalah filsafat Yunani Aleksandrian yang diberi baju Arab. Tuduhan semacam itu di-dasarkan pada anotasi-anotasi yang dilakukan filsuf Islam terhadap konsep filsafat Yunani. Namun, jika dilihat dari perspektif Islam menjadi sangat jelas bahwa filsafat Islam berakar pada al-Quran dan Hadits. Hal ini juga ditegaskan oleh Amin Abdullah, meskipun ia mengakui ada asimilasi dan akulturasi filsafat Yu-nani, namun baginya filsafat Islam tetap memiliki trade mark-nya sendiri. Amin menyebut filsafat profetik sebagai contoh, termasuk karya Ibn Bajjah dan Ibn Tufail tentang Tuhan dan alam yang tidak mungkin diredusir dalam filsafat Yu-nani .
Filsafat Islam tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia . Interaksi itu berlangsung setelah adanya pem-bebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., dibawah para khalifah. Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama mengalami Hel-lenisasi.

Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (w. antara 252-260H) satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar .
Usaha Al-Kindi kemudian diikuti oleh sekelompok filosof di Bagdad yang berpuncak pada Al-Farabi (257 H/870 M) pemikir yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran islam selanjutnya . Dia tidak sekedar mem-bangun jenis-jenis topik yang kelak berkembang menjadi fokus filsafat islam pada abad-abad selanjutnya, tetapi juga berperan besar dalam memperluas dan me-nyempurnakan kosakata filsafat tersebut.
Seorang pemikir kreatif yang mengikuti tradisi ini adalah Ibn Sina (Avicenna) (370-429 H/980-1037 M). kiranya mustahil untuk meringkas karya besarnya kecuali untuk tujuan kita kaitkan dengan perkembangan argumentasinya bahwa alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang telah ditentukan dan dipastikan. Tuhan adalah pengecualian. Tuhan adalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu selain diri-Nya. Tuhan me-rupakan sebab pertama dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas . Pendapat ini tampaknya memang sesuai dengan ajaran agama.
Sikap Ibn Sina ini kemudian mendapatkan pertentangan keras dari al-Ghazali (450-505H/1058-1111M). Bagi al-Ghazali para filsuf yang seperti itu se-jatinya menentang prinsip-prinsipnya sendiri dan filsafat cenderung tidak mem-berikan ruang pada agama. Artinya, lanjut al-Ghazali seberapapun jauhnya filsuf berbicara tentang Tuhan, mereka hanya memperlakukakan-Nya sebagai nama (nominal) untuk suatu gagasan kosong. Tuhan adalah nama besar yang tidak di-beri ruang apa-apa. Banyak yang beranggapan bahwa serangan al-Ghazali ini me-matikan filsafat. Lebih ekstrim ada yang mengatakan bahwa kemunduran umat Islam saat ini sebagai akibat dari kuatnya pengaruh al-Ghazali .
Sementara itu, di dunia Islam Barat, setelah al-Ghazali muncul Ibn Rusyd (520-595H/1126-1198M). Ibn Rusyd membidas balik al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut al-Tahafut. Dia mencoba mengembalikan filsafat ke akar Aris-toteliannya, sembari membersihkan kurikulum filsafat yang ia curigai telah dikotori oleh neoplatonisme dan Ibn Sina . Tesisnya yang cukup terkenal adalah tentang beragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama.
Filsuf lainnya dari Barat (Andalusia) adalah Ibn Bajjah (537H/1138M) dan Ibn Thufail (w. 581H). Filsafat yang dikembangkan oleh para filsuf ini adalah fil-safat paripatetik. Karya Ibn Thufail yang terkenal adalah Hayy Ibn Yaqzhan (Ke-hidupan Anak Kesadaran), yang merupakan ajaran filsafat pertama yang ber-bentuk novel.
Pada periode selanjutnya, al-Suhrawardi (549-587H/1154-1191M) ber-usaha memadukan antara tradisi mistis dengan filsafat paripatetik. Baginya pe-ngetahuan tidak hanya didapat melalui akal, tapi juga bisa melalui pancaran cahaya ilahi. Dari proposisi al-Suhrawardi ini lalu muncul konsep filsafat ilu-minasi (isyraqiyah). Ilmunasi memiliki makna bahwa apabila menyempurnakan diri sendiri, kita akan mendapat pancaran dari Sumber realitas yang Agung.
Setelah itu, madzhab Isfahan yang dimotori oleh Mir Damad (w. 1041H) dan Mulla Sadra (w.1050H) mencoba melakukan sintesa antara filsafat paripatetik dan filsafat iluminasi. Atas usaha ini, muncul konsep filsafat baru yang disebut se-bagai al-Hikmah al-Muta’aliyah atau teosofi transendental. Dalam kurun waktu agak belakangan, Khomeini dan Said Nursi dapat disebut pengembang madzhab ini. Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal termasuk muncul ke-mudian, termasuk Seyyed Hussein Nasr yang muncul pada era modern saat ini.

Anak Tukang Ngarit Belajar Filsafat, dari Al- Kindi sanpai Mulla Sadra (2)

Oleh: Kurdi Muhammad

Pada dasarnya studi tentang filsafat Islam dapat dilakukan oleh siapapun dan dengan metode (cara) apapun. Termasuk model-model studi yang lebih sis-tematis yang sudah pernah dirumuskan secara ilmiah. Adalah Muhammad Nur-hakim, dengan mengutip pendapat Muh. Mastury, membagi metode-metode studi filsafat Islam sebagaimana berikut :
Pertama, Metode Deskriptif, yang bermakna suatu metode untuk pengumpulan keterangan-keterangan yang mendekati hakikatnya, mendasar sifatnya, dan menyangkut esensinya yang dipandang amat diperlukan dalam me-nyusun pandangan kefilsafatan.
Kedua, metode analisis yaitu suatu metode untuk memahami nilai-nilai kefilsafatan secara detil dengan menguraikan makna-makna yang terkandung dalam data-data, serta menghubungkan makna tersebut dengan makna lain yang didapat dari kandungan data yang lain pula. Sehingga diperoleh sebuah kesim-pulan akhir yang dianggap benar.
Ketiga, metode sistesis, yaitu metode yang menyatupadukan berbagai esensi dan keterangan yang mendasar, sehingga tersusun sebuah pandangan baru dalam bidang kefilsafatan, sebagai hasil konvergensi berbagai macam esensi.
Keempat, metode komparatif, yakni metode yang berusaha mendapatkan esensi tertentu dalam bidang kefilsafatan dengan jalan membandingkan esensi, keterangan yang mendasar dan berbagai aliran dalam filsafat. Metode ini lebih berorientasi pada perbandingan ciri-ciri pemikiran kefilsafatan, bukan kese-ragaman yang tampak pada nilai kefilsafatannya.
Kelima, metode fenomenologis. Metode ini berusaha memahami fenomena sebagai data dengan menekankan inti kesadarannya, bukan persepsi awal peneliti. Dengan kata lain, fenomena yang hendak diteliti dibiarkan mengalir apa adanya tanpa intervensi dari peneliti.

Seperti halnya metode studi filsafat Islam, model-model studi filsafat Islam pun variatif dan terus berkembang. Di sini penulis sengaja menyajikan mo-del yang diperkenalkan oleh Abuddin Nata, sebagai bahan perbandingan bagi pe-ngembangan studi filsafat Islam selanjutnya. Setidak-tidaknya, menurut Abuddin Nata, ada tiga model studi filsafat Islam yang dapat dikembangkan, yaitu :
Pertama, Model Amin Abdullah. Model yang dikembangkan oleh Amin Abdullah adalah model studi tokoh, dimana dalam disertasinya Amin mem-bandingkan konsep etika menurut al-Ghazali dan Immanuel Kant . Dalam me-lakukan penelitiannya, Amin meneliti karya-karya yang telah ditulis oleh kedua tokoh tersebut tentang etika, sebagai sumber primer, maupun karya-karya yang di-tulis oleh orang lain tentang konsep etika kedua tokoh tersebut.
Kedua, Model Otto Horrasowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution. Ketiga tokoh ini menggunkan model pendekatan campuran antara pendekatan his-toris, pendekatan kawasan, pendekatan substansi dan tema-tema yang menjadi konsep filosofis sang filsuf. Harun Nasution misalnya, ia mengkaji filsafat dengan menggunakan metode historis, tokoh dan ide-idenya. Begitu juga halnya dengan Horrasowits dan Majid Fakhry, selain membahas kesejarahan filsafat dan tokoh-tokohnya, mereka juga meneliti ajaran-ajaran sang filsuf tentang cahaya, etika, epistimologi, wahyu, gerak, jiwa dan lain-lain. Model ini dapat disebut sebagai metode holistik, karena variabel filsafat yang digunakan bervariasi.
Ketiga, Model studi tematik . Model ini seperti yang dilakukan oleh Oliver Leaman dan Seyyed Husein Nasr. Kajian ini menggunakan metode ke-pustakaan dan analisis atas pemikiran-pemikian filsuf muslim klasik berdasarkan tema-tema tertentu, seperti mistisisme, ontologi, pengetahuan, ilmu dan lain-lain.
Keempat, model studi tematik al-Quran dengan kerangka filsafat . Metode ini diperkenalkan oleh Afzalurrahman. Model studi ini berdasarkan pada tema-tema tertentu seperti Tuhan, manusia, wahyi, alam semesta dan lain-lain yang ada di dalam al-Quran untuk dikaji secara filosofis. Metode yang dipakai da-lam model ini adalah analisis bahasa dan hermeneutik. Sesekali juga dapat meng-gunkan analisis saintifik. Hasil yang dapat dicapai dengan model studi ini adalah kesimpulan-kesimpulan atas makna ayat sebagai paradigma al-Quran.
Selain keempat model studi tersebut, barangkali tidak sedikit model lain yang dapat digunakan untuk mengkaji filsafat. Hal ini tidak mustahil mengingat kinerja filsafat yang bertumpu pada rasionalitas akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan rasio.

Poligami Tanpa Huruf 'e'

Oleh; Kurdi Muhammad

Pro-kontra tentang kebolehan poligami kembali menyeruak, meski bukan termasuk polemik baru, namun isu poligami saat ini gaungnya lebih meng-guncang. Maklum, yang baru saja berpoligami adalah seorang publik figur seka-liber Aa Gym yang jangkauan pengaruhnya menembus semua lapisan masyarakat Indonesia . Bahkan Presiden SBY dan Menteri Pemberdayaan Perempuan sempat ‘kebakaran jenggot’ sebab peristiwa itu. Berita terbaru, Zaenal Ma’arif direcall dan dipecat sebagai fungsionaris PBR dengan alasan telah melakukan poligami secara terang-terangan .
Sejarah mencatat, praktik poligami sebenarnya sudah berlaku pada bangsa-bangsa tertentu sebelum kedatangan Islam. Praktik semacam ini juga disunahkan pada umat Yahudi, disyariatkan pada bangsa Persi, dan bahkan pada bangsa Arab Jahiliyah sendiri, sebelum kedatangan Islam, praktik poligami sudah marak . Di China, budaya memperbanyak selir Kaisar pada setiap dinasti adalah cerminan nyata praktik poligami. Pejabat tinggi kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara juga tidak sedikit yang berpoligami, dengan istilah yang kita kenal sebagai gundik.
Kini, di Indonesia wacana penolakan terhadap konsep poligami kembali menyeruak, karena dalam praktiknya, poligami justru dianggap menyengsarakan istri dan cita-cita perkawinan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, terasa ja-uh api dari panggang. Mekanisme pertahanan terhadap maraknya poligami itu ren-cananya juga akan dilakukan dengan lebih memperketat lagi syarat-syarat po-ligami yang sudah ada dalam UU No.1 tahun 1974. Bahkan pemerintah juga su-dah mewacanakan perluasan larangan poligami untuk pejabat Negara.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah dengan dalih ketidak har-monisan rumah tangga, serta merta ajaran poligami dapat dibatalkan.

II. TINJAUAN MANHAJ BAYANI
2.1 Pengertian
Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran mutlak. Dengan kata lain, kaum bayani hanya bekerja pada dataran teks (nizam al-kitab) melebihi dataran akal (nizam al-'aql) . Oleh karenanya kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik pada dataran gramatikal dan struktur (nahwu-saraf) maupun sastra (balaghah: bayan, mani' dan badi').
Dalam konteks ini, bahasa tidak semata-mata sebagai alat komunikasi, te-tapi juga sebagai media transformasi budaya. Bahasa Arab sebagai media trans-formasi budaya Arab (termasuk dalam pengertian mode of thought dalam tradisi Arab) dan membentuk kerangka rujukan asasi kaum bayani. Salah satu impli-kasinya, lafaz dan makna mendapatkan posisi yang cukup terhormat, terutama da-lam diskursus usul fiqh.
Bagi Muhammadiyah, pendekatan bayani ini sangat diperlukan dalam rangka komitmennya kepada teks ajaran Islam, yaitu al-Quran dan al-sunnah al-maqbulah , sebagai al-wahyu al-matluw dan al-wahyu ghairu al-matluw, serta teks-teks dari warisan intelektual Islam, baik salaf maupun khalaf . Dan dengan pendekatan ini pula, Muhammadiyah akan menangkap kandungan teks ajaran agama sebagaimana bunyi lafaznya serta makna yang dikandung di dalamnya secara ilmu-ilmu kebahasaan dan budaya bahasa yang digunakan oleh teks ter-sebut.


2.2 Poligami dalam Tinjauan Manhaj Bayani
Sebagaimana telah disebutkan di awal, bahwa dalam konsep manhaj ba-yani, teks menduduki prioritas utama. Begitu juga halnya dalam masalah poli-gami, guna mentakhrij otentisitas hukumnya, terlebih dahulu harus dihadirkan teks tentang poligami, kemudian baru dikaji menggunakan pisau analisis bayani. Untuk mengurai permasalahan tersebut, Penulis mengambil sebuah ayat yang ber-bunyi:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) pe-rempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu ta-kut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak ber-buat aniaya. (QS. 3: 3)

Ayat di atas adalah dalil legitimasi poligami yang paling jelas (Sharih) da-lam ranah istidlal hukum Islam. Jika dianalisis dari semantik lughawinya (baca: bayani) ada beberapa hukum yang terkandung di dalamnya. Dalam konsep manhaj bayani, ada kaidah yang mengatakan bahwa makna hakiki sebuah nash didahu-lukan daripada makna majazi. Sehingga dalalah al-nash Firman di atas mengin-dikasikan kebolehan seorang laki-laki menikah lebih dari satu, dengan batas mak-simal empat.
Selain itu, Dalam penunjukan hukumnya, ayat di atas menggunakan ka-limat perintah (fi’il amr). Dalam kaidah Ushul Fikih kalimat perintah menun-jukkan arti wajib, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari makna penun-jukkan awal, al-ashl fi al-amr li al-wujub illa ma dalla al-dalilu ila taghyirihi.
Sedangkan, dalil naqliy yang sering digunakan untuk menolak konsep po-ligami adalah hadits Rasul yang malarang Ali Bin Abi Thalib menduakan istrinya, Fatimah yang notabene adalah putri Rasul. Hadits ini dianggap sebagai repre-sentasi perasaan Rasul yang ternyata juga tidak berkenan terhadap praktik poli-gami, menurut golongan yang tidak sepakat dengan konsep poligami.
Secara bayani, dalam pandangan penulis, hadits tersebut tidak lantas me-nasakh (baca: me-nonaktifkan) hukum yang terkandung dalam ayat al-Quran yang telah penulis sitir di atas. Dalam konsep ushul fikih ada metode istinbath hukum yang disebut tarjih, yakni memakai dalil yang lebih kuat dari dua dalil yang (seolah-olah) bertentangan untuk menentukan hukum sebuah perkara.
Dalam konsep tarjih itu sendiri, jumhur ulama sepakat bahwa jika ada per-tentangan antara dalil Quran dan Hadits, maka yang dimenangkan adalah al-Quran. Hemat penulis, hadits larangan poligami ini merupakan qarinah yang me-malingkan derajat perintah (amr) dalam ayat poligami di atas, dari makna wajib menjadi mubah, sebatas kebolehan. Oleh karena itu, eksistensi hadits tersebut ti-dak lantas mengharamkan poligami.

III. MANHAJ ISTISLAHI
3.1 Pengertian
Imam al-Ghazali menggunakan istilah istishlah sebagai kata yang sama ar-tinya dengan mashlahat mursalah. Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyu-ruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan men-datangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan . Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.
Kemaslahatan manusia itu mempunyai tingkat-tingkatan. Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua dan tingkat yang kedua lebih utama dari tingkat yang ketiga. Tingkat-tingkatan itu, ialah: Tingkat pertama yaitu tingkat dhurari, tingkat yang harus ada. Tingkat ini terdiri atas lima tingkat pula, tingkat pertama lebih utama dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang ketiga dan se-terusnya. Tingkat-tingkat itu ialah : Memelihara agama; Memelihara jiwa; Meme-lihara akal; Memelihara keturunan; dan Memelihara harta.


3.2 Poligami dalam Tinjauan Manhaj Istislahi
Penulis merasa tertarik untuk sekedar memberikan uraian tentang kemas-lahatan yang terkandung dalam konsep poligami. Karena yang selama ini berkem-bang justru kontra produktif dengan nilai-nilai kemaslahatan yang secara transen-den diyakini oleh semua muslim, ada dalam setiap perintah syar’i.
Bahkan, beberapa kalangan penentang poligami menganggap poligami su-dah tidak relevan lagi, karena jauh dari nilai-nilai kemaslahatan. Hal itu dibukti-kan dengan hasil penelitian-penelitian mereka yang mengindikasikan bahwa kehi-dupan keluarga pelaku poligami sering kali tidak harmonis, terjadi perpecahan, penelantaran, sexual abuse bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, mereka menganggap poligami berlawanan dengan kemaslahatan, sehingga su-dah saatnya untuk tidak diberlakukan.
Berbeda dengan kelompok yang tidak sepakat dengan poligami, penulis berusaha menghadirkan sisi lain dari fenomena di masyarakat yang masih meng-indikasikan adanya relevansi poligami dengan kemaslahatan. Sesui hasil istinbath manhaj bayani sebagaimana telah disebutkan, bahwa hukum poligami menjadi mubah alias pilihan, bagi yang berkenan silahkan dilaksanakan dan bagi yang tidak berkenan sebaiknya didiamkan. Begitu juga bagi perempuan, jika tidak se-pakat dengan konsep poligami maka boleh menolak tawaran poligami dari se-orang laki-laki atau sebaliknya.
Kalau sudah demikian, dalam hemat penulis sebetulnya hikmah yang ter-kandung dalam poligami luar biasa besarnya. Di satu sisi poligami boleh tidak di-lakukan, namun di sisi yang lain poligami mampu menyelamatkan perempuan, karena jumlah perempuan diprediksi akan melebihi jumlah laki-laki (agak klise memang), dan yang tidak kalah penting, poligami mampu menjadi alternatif bagi laki-laki yang berkadar birahi tinggi. Karena menurut Abu al-Faraj Jauzy, se-bagaimana dikutip Soffa Ihsan dalam In The Name of Sex, mengatakan bahwa se-cara anatomis sperma (baca: libido seksual) merupakan sumber kekuatan kedua setelah darah, keduanya menjadi tiang bagi tubuh. Air sperma yang mengendap tak pernah dikeluarkan, secara perlahan akan naik ke otak yang pada akhirnya akan menyebabkan penyakit dan menimbulkan pikiran-pikiran kotor.
Sehingga, tidak mengherankan kalau ada pejabat Negara atau pegawai ne-geri yang dilarang poligami, kemudian memiliki banyak istri simpanan, nikah siri, nikah mut’ah dan bahkan ada yang secara terang-terangan mengaku berzina. Kalau kita berbicara tanpa norma, maka fenomena yang seperti ini wajar adanya, karena memang kebutuhan seksual merupakan hak dasar manusia yang harus disalurkan. Namun karena kita hidup di bawah norma, lebih-lebih norma agama, maka fenomena yang semacam itu adalah bentuk kemaksiatan dan kerusakan yang sudah parah.
Kalau sudah demikian berarti pelarangan poligami lah yang justru kon-traproduktif dengan kemaslahatan, padahal nasab dan kehormatan merupakan dua nilai terpenting dalam konsep maslahah. Oleh karena itulah agama menekankan perlunya poligami, sebagai salah satu pintu darurat yang legal untuk mengatasi fenomena tersebut. Inilah yang kemudian dapat disebut sebagai nilai kemas-lahatan yang sesungguhnya.

IV. MANHAJ QIYASI
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam
4.1 Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mem-punyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan se-bagainya . Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh , Qiyas ialah menetapkan hukum suatu ke-jadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara memban-dingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.

4.2 Rukun Qiyas
Dr. Saad Ibrahim dengan mengutip Prof. Asjmuni Abdurrahman menyim-pulkan ada empat rukun qiyas , yaitu:
a. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hu-kumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat mem-bandingkan);
b. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hu-kumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
c. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
d. 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.

4.3 Poligami dalam Tinjauan Manhaj Qiyasi
Manhaj qiyasi yang penulis pakai dalam pembahasan maslah ini lebih te-patnya merupakan argumentasi analogis atas keberatan-keberatan yang diajukan golongan yang tidak sepakat dengan poligami. Alasan kelompok yang tidak setuju dengan poligami adalah bahwa rumah tangga pelaku poligami selalu menderita, baik secara fisik mapun psikis, sehingga menurut mereka tidak layak poligami di-terapkann karena ujung-ujungnya akan berakibat pada penderitaan wanita dan ketidak harmonisan. Ketidak harmonisan rumah tangga dan ketidak maupun su-ami berbuat adil pada istri-istrinya, sering dijadikan alasan untuk melarang poli-gami, karena dianggap menyalahi tujuan pokok ditetapkannya hukum Islam..
Namun menurut penulis, dengan menggunakan manhaj qiyasi, kasus se-macam itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang poligami. Logikanya, ke-tidakharmonisan rumah tangga, ketidak-mampuan berbuat adil terhadap istri, sexual abuse dan penelantaran anak juga sering terjadi dalam perkawinan mo-nogami. Padahal, kalau kita menganut manhaj qiyasi kesamaan illatnya ada pada fenomena tersebut. Sehingga, seandainya poligami jadi dilarang karena dianggap menjadikan keluarga tidak harmonis dan anak istri terlantar, maka jika kasus ter-sebut terjadi pada pernikahan monogami, sudah seharusnya secara analogis per-nikahan monogami juga dilarang.
Namun, pada kenyataannya kan tidak, karena memang hal itu tidak lantas kemudian dijadikan sebagai alasan pembenar untuk mengharamkan perkawinan. Oleh karenanya, kasus family error dalam keluarga produk perkawinan poligami, tidak dapat digunakan untuk melarang ajaran poligami secara umum. Karena ke-nyataannya, masih banyak orang yang sanggup membahagiakan keluarga hasil perkawinan poligaminya.

V. PENUTUP
Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan bahwa setelah diuji secara bayani, istislahi dan qiyasi, argumentasi kelompok penentang poligami serasa ku-rang relevan dari berbagai aspeknya. Dengan dilarangnya poligami, justru akan merusak kemaslahatan, karena maksiat dan pernikahan illegal terjadi di mana-mana, khususnya di kalangan pejabat Negara dan pegawai negeri.

Wa Allahu A’lamu bi al –Shawab

Nikah Siri dan Vagina yang Terkoyak (1)

Oleh: Kurdi Muhammad

Perkembangan zaman yang terus berputar, telah banyak membuat perubahan global atau change's global, artinya perubahan telah terjadi secara syamil atau menyeluruh. Dimulai dari perubahan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknlogi) yang ditandai dengan kecanggihan peralatan elektronik dan gemerlapnya kehidupan dengan berbagai competition atau persaingan di berbagai bidang, misalnya robot. Tidak sampai disitu saja, perubahan telah terjadi pada sumber daya manusia yang menjadi generasi harapan pengganti dan pemegang tombak kepemimpinan berikutnya. Hal ini ditandai dengan semakin hilangnya rasa moral, etika, pikir manusia dalam kehidupan yang sering disebut dengan IMTAQ (Iman dan Taqwa), baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Tak heran lagi, bahwa kehidupan hedonis (berfoya-foya) pun ikut menjadi ciri kas kehidupan masyarakat pada masa ini.
Perubahan yang nyaris mengecohkan mindset atau pola pikir manusia dalam melangsungkan kehidupan untuk tetap survive telah mengharuskan manusia ber-acting dengan thoriq atau cara competition. Jika dicari benang merahnya, ternyata hal ini berakar dari sebuah teori yang diusung oleh Robert Spencer. Kemudian, dia meminjam jargon yang diungkapkan oleh Darwin yang mengutamakan kompetisi untuk survive dalam kehidupan. Hingga sekarang teori itu masih banyak dikenal di kalangan masyarakat, khususnya bangsa Barat dengan ditandai oleh kehidupan kapitalis. Walaupun secara tidak langsung team Harun Yahya telah melakukan counter (bantahan) terhadap hal itu.
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah untuk melakukan penyempurnaan terhadap kitab-kitab sebelumnya. Allah SWT memilih hamba-hamba-Nya untuk menerima risalah (wahyu) sebagai petunjuk bagi dirinya yang disebut Nabi, juga memilih orang-orang yang selain untuk dirinya juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada umatnya yang disebut sebagai Rasul.
Sehelai surat tidak akan sampai kepada tujuan jika tidak ada pengirimnya. Begitu juga, agama (baca: Islam) datang tidak dengan sendirinya, melainkan melalui perantara yaitu malaikat Jibril AS kemudian sampai kepada Muhammad SAW sebagai orang yang dipilih oleh Allah SWT. Islam sebagai risalah yang berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia seluruh alam. Dengan kata lain, Irsyadu lisilahi al-Ibad dunyahum wa ukhrohum (HPT Muhammadiyah: Bab Masalah yang lima) yaitu sebagai petunjuk bagi manusia baik di dunia dan akhirat. Sebagai contoh kehidupan masyarakat arab sebelum Islam disebut sebagai masyarakat jahiliyyah. Mereka berjudi, berperang antar suku, mabuk, membunuh tanpa sebab, dan seterusnya. Dengan hitungan tahun Rasulullah melalui risalahnya (baca: Islam) dapat mengajak mereka hidup ke dalam bi’ah (lingkungan) yang penuh dengan ukhuwwah (persaudaraan), kedamaian, keamanan, dan ketentraman diantara suku dengan suku yang lain. Hal ini karena mereka telah ber-Islam (memeluk Islam) dengan benar, yaitu sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah.
Dengan Islam, mereka (baca: sahabat) memiliki spirit (semangat) untuk melakukan sesuatu hal, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, artinya adanya kesesuaian antara dunia dan akhirat. Selama 7 abad Rasul (nabi Muhammad) beserta para sahabatnya telah memberikan peristiwa yang bersejarah bagi peradaban hidup manusia, yaitu menguasai hampir sepertiga dunia daguasai hampir sepertiga dunia damenciptakan tokoh-tokoh spiritual maupun intelektual-intelektual muslim yang sangat berpengaruh bagi peradaban manusia di alam semesta.
Seiring dengan berjalannya waktu, kemunduran semakin tampak dalam kehidupan peradaban manusia (umat Islam). Artinya sebagai umat muslimin tidak lagi mendengar dan melihat hal itu sebagai sebuah kenyataan yang telah muncul dalam sejarah umat muslimin. Tetapi sekarang, hal itu hanyalah sebuah wacana dalam tayangan benak umat manusia (muslim), terkadang hanya bukti yang tergores oleh tinta dalam sebuah buku. Tidak hanya disini, semakin berkembangnya IPTEK yang tidak terjangkau bagi remaja-remaja dan pemuda-pemuda muslim, terkadang pihak yang berwenang (baca: Pemerintah), pun tidak dapat memfilter (menyaring) perkembangan IPTEK yang faktanya dapat merusak dan menjadi influence (virus) dalam kehidupan muslim. Misal kehidupan hedonis (baca: foya-foya) hampir menimpa sebagian besar remaja dan pemuda Indonesia. Dikarenakan tidak adanya kekuatan yang mampu melawannya, artinya dalam pandangan Islam, bahwa remaja dan pemuda kurang memiliki iman yang tangguh, sebagai alat untuk membentuk kepribadian yang kuat menuju keluarga yang sakinah.
Terminologi Nikah Siri
Islam mengatur segala hal dengan sempurna, dalam hal ini pernikahan. Menurut etimologi atau lughowi nikah berarti menghimpun atau mengumpulkan, dengan tujuan mawaddah warrohmah . Belakangan ini, term (istilah) baru tentang nikah mulai nampak di kalangan masyarakat yaitu nikah siri berarti nikah secara diam-diam, maksudnya tanpa di catat oleh Departemen Agama (KUA). Akhirnya mereka (baca: orang yang menikah) tidak mendapatkan surat tanda pernikahan. Sebagian pemuda (sebagaimana trend-nya mahasiswa) menyebutkan bahwa nikah siri merupakan nikah yang tanpa diketahui oleh wali wanita. Biasanya hal ini terjadi karena pihak wanita sudah hamil terlebih dahulu atau disebut dengan istilah married by actident (MBA).
Dari term di atas, nikah sirri dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok. Pertama, nikah yang tidak mempunyai bukti karena tidak dilakukan dihadapan pencatat nikah (Buka website: www. Asiamaya.com) dalam hal ini Departemen Agama (KUA). Kedua, nikah yang dilaksanakan tanpa sepengetahuan wali dari pihak istri.
Para Ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qobul antara wanita yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali,dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adnya akad. Di tinjau dari ukum positip Indonesia, perkawinan yaitu: " Ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa". Berarti dituntut bila akan melaksanakan perkawinan, didasari atas ikatan lahir bathin, tapi bukan nafsu belaka (nafsu lawwamah).
Melihat semakin pelik dan berbahayanya situation pernikahan di kalangan pemuda, padahal nikah merupakan washilah suci yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Artinya, adanya keharusan melaksanakan sesuai dengan perintah syariat (al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbullah). Di samping itu juga, harus dilakukan di hadapan pencatat dari KUA atau penghulu. Hal ini didasari untuk menghindari terjadinya kecurangan atau kejahatan dari pihak suami kepada pihak istri, dengan kata lain istri bisa menuntut kepada suami jika terjadi kecuranagn dari pihak suami. Terutama sekali dalam pernikahan untuk menghasilkan generasi-generasi yang sholih dan sholihah untuk menjadi agent of change (objek perubahan) dalam segala aspek baik keluarga, masyarakat, agama maupun Negara.
Dalam salah satu buku, Annis Matta (Menikmati Demokrasi: 2003) menyebutkan sebagai seorang intelektual muslim, kita diharuskan untuk tidak hanya memiliki ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga harus memiliki ilmu yang berhubungan dengan manusia yang disebut sebagai Human relation (hubungan manusia). Begitu juga sebagaimana yang disebutkan oleh Isma’il al-Faruqi dalam buku (Kewargaan dalam Islam: 2004) harus adanya sekelompok orang-orang yang ikhlas dengan tujuan yang sama disebut sebagai society dan bukan sebaliknya sebagai community (kumpulan-kumpulan orang-orang yang tidak ikhlas).
Perubahan tidak akan terjadi, jika semua pihak tidak mendukung akan adanya perubahan yang global (menyeluruh). Sebagai manusia kita hanya bisa berusaha melakukan perubahan-perubahan, akan tetapi perlu diingat bahwa yang merubah adalah Allah SWT. Sebagaimana termaktub dalam al-Quran yaitu surat al-Ro’du ayat 11:”Allah tidak akan merubah suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan yang ada dalam diri mereka sendiri”. Dalam ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa kita (umat Islam) tidak boleh saling menunggu, akan tetapi harus ibda’ binafsi (mulai dari diri sendiri).

Tarjih
Dalam kaidah ulhsul al-Fiqhiyah, terdapat methode atau teknik yang dapat digunakan untuk beristimbath al–Hukm. Dalam permasalahan Nikah Sirri, kita tidak dapat menemukan aturan di dalam nash (al-Quran dan as-Sunnah as-Shohihahaw al-Maqbulah). Artinya dapat digunakan cara lain, yang disebut dengan Ijtihad. Dalam Muhammadiyah (baca: Manhaj Tarjih Muhammadiyah), Ijtihad dapat dilakukan dalam beberapa hal, antara lain:
1. Nash (al-Quran dan as-Sunnah) yang dzoni
2. Terhadap masalah-masalah yang secara explisit tidak disebutkan di dalam nash
Permasalahan nikah sirri merupakan permasalahan yang belum menjadi pembahasan para ulama salaf (baca: ulama dahulu), sehingga hal ini merupakan PR bagi ulama kontemporer (ulama sekarang) untuk berusaha melakukan pembahasan dan menemukan hukumnya. Jika diambil sedikit dampak negatif dari pernikahan tersebut, pasti dampaknya kepada pihak si wanita dan tidak hanya sampai disitu, anak pun akan mendapat dampak negatif, terutama dalam pembuatan Surat Akte Kelahiran. Melihat dari dampak-dampak negatif yang banyak menimbulkan ke-mudhorot-an atau mafsadat bagi banyak kalangan wanita dan anaknya. Bisa digunakan salah satu qaidah dalam qowaid al-Fiqhiyah yaitu Sadd-u al-Dzaro'i.
Saddu adzaro'i meupakan kata majemuk yang terdiri dari kata sadd-u (سد) dan adzaro'i. Sadd berarti menutup dan adzara'i merupakanbentuk jama' dari al-Dzari'ah berasal dari kata dzir'un yang berarti memanjang dan bergerak ke depan. Secara literal al-Dzari'ah mempunyai beberapa makna, diantaranya sebab perantara kepada sesuatu. Sehingga secara literal, makna sadd-u adzaria'i adalah menutup jalan-jalan dan perantara-perantara sehingga tidak menyampaikan kepada tujuan yang dimaksud.
Menurut al-Syathibi, dzari'ah ialah perantara yang mendekatkan perkara mashlahat kepada perkara mafsadat. Sedangkan Ibnu Taimiyah mengartikan al-dzari'ah dengan perbuatan yang dhohir-nya mubah, tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian al-dzara'i adalah memotong perantara- perantara kerusakan dengan melarang perbuatan yang dibolehkan karena akan menyampaikan kepada yang dilarang.

Dasar dan Ke-hujjah-an Sadd-u al-Dzara'i
Dalam membuktikan kehujjahannya, maka perhatikan pendapat ulama mazhab tentang hal tersebut. Malikiyah diwakili oleh as-Syatibi Menetapkan dengan mengatakan bahwa al-Syar'i bila membebankan sesuatu pembebanan (al-taklif), baik berupa perintah mengerjakan atau meninggalkan sesuatu perbuatan, mempunyai tujuan agar terealisasi suatu hasil yang diharapkan. Kesmpulan ini muncul setelah diadakan pengkajian induktif terhadap ayat-ayat al-Quran maupun as-Sunnah. Hanabilah Menetapkan metode sadd-u al-Dzara'i setelah melakukan induksi tehadap al-taklif al-Syar'iyah baik berupa suruhan maupun larangan
Sumber: Manhaj Tarjih Muhammadiyah –Methodoloi dan aplikasi

Untuk mendukung validitas sadd-u al-Dzara'i Fuqoha mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Diantaranya:
Dalil-dalil al-Quran:
1. Surat al-an'am ayat 108
2. Surat an-Nur ayat 31
3. Surat al-baqarah ayat 104
4.
Dalil as-Sunnah:
hadis yang diriwayatkan oleh bukhori,

Artinya: Biarkan ia (tidak dihadd) agar manusia tidak mengatakan: "Bahwasanya Muhammad telah membunuh sahabatnya" (H.R Bukhori).
Muhammadiyah (dalam pokok-pokok manhaj Tarjih Muhammadiyah No.8) disebutkan "menggunakan asas: sadd-u al-Dzara'i untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadat. Kemudian penggunaan asas sesuai dengan keputusan penggunaan qiyas yang folow up-nya ijtihad. Semisal, Muhammadiyah melalui Keputusan Muktamar Majelis tarjih yang menggunakan sadd-u al-Dzara'i untuk larangan menikahi wanita non muslim ahli kitab di Indonesia. Keputusan ini ditetapkan diwaktu Muktamar Majelis tarjih di Malang tahun 1989.
Sebagai contoh, Firman Allah dalan an-Nur ayat 31:
Artinya: "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" (al-Nur: 31)
Dalam ayat ini, Allah melarang orang mukminat menghentakan kaki mereka, kaena dapat menjadikan sebab para lelaki mendengar bunyi gemerining yang dapat menibulkan syahwat tehadap wanita itu. Menghentakan kaki sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Ini merupakan larangan melakukan perbuatan yang diperbolehkan karena mempertimbangkan akibat yang timbul yang kadang-kadang menimbulkan mafsadat.
Selanjutnya, pembahasan nikah sirri dilanjutkan dengan menggunakan qiyas, yaitu berdasarkan pada persamaan illat. Maksudnya pada ayat di atas sebenarnya Allah tidak melarang menghentakan kaki mereka, akan tetapi dapat menimbulkan kemafsadatan (misal: menimbulkan syahwat bagi lelaki) sehingga perbuatan itu dilarang. Begitu juga dalam permasalahan nikah sirri sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, karena nikah sirri hanya bisa kita dapatkan di Indonesia dan tidak ada larangan langsung dari nash (la-Quran dan as-Sunnah). Akan tetapi dengan melihat kepada mafsadat-nya yang ditimbulkan banyak sekali berdampak negatif terutama bagi kaum wanita dan anaknya. Sehingga menurut hemat penulis perbuatan nikah sirri itu dilarang dengan melihat pada kemafsadatan yang ditimbulkan.

Nikah Siri dan Vagina yang Terkoyak (2)

Oleh: Cak Kur

Nikah Siri dalam Timbangan Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah"). Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum .
Kausa yang Melatar Belakangi
Bermacam alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah siri. Ada yang menikah karena terbentur ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal, hal ini terjadi di sebagian besar Negara Arab . Ada juga yang tidak mampu mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu mahal. Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai, namun karena khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan niatnya untuk mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan TNI).
Menurut psikolog Ekorini Kuntowati, nikah siri juga dilatarbelakangi oleh model keluarga masing-masing pasangan. Pernikahan siri ataupun bukan, tidak menjadi jaminan untuk mempertahankan komitmen. Seharusnya orang lebih bijak, terutama bila hukum negara tidak memfasilitasinya. Nikah siri terjadi bukan hanya karena motivasi dari pelaku/pasangan atau latar belakang keluarganya, lingkungan sosial atau nilai sosial juga turut membentuknya. Sebut saja ketika biaya pencatatan bikah terlalu mahal sehingga ada kalangan masyarakat tak mampu tidak memedulikan aspek legalitas.
Faktor lain, ada kecenderungan mencari celah-celah hukum yang tidak direpotkan oleh berbagai prosedur pernikahan yang dinilai berbelit, yang penting dapat memenuhi tujuan, sekalipun harus rela mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. UU 1/1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya mengatur syarat yang cukup ketat bagi seseorang atau pegawai negeri sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali kedua dan seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu, bagi sebagian orang ditangkap sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup menjanjikan. Yaitu dengan menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas, dari hanya menikahkan secara siri (bawah tangan) sampai membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang berkeinginan untuk memadu, hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau alternatif yang tepat . Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang relatif rendah. Tidak dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti tertulis yang menyatakan perkawinan tersebut sah. Penulis menyebut fenomena itu sebagai ''kawin alternatif''.
Dampak yang Ditimbulkan
R Valentina, dalam Perihal Perkawinan menulis , dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan secara Yuridis Formal, Pertama, perkawinan dianggap tidak sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS). Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini artinya anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini melanggar hak asasi anak (Konvensi Hak Anak). Anak-anak ini berstasus anak di luar perkawinan. Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak (Wila Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak.
Bersinggungan dengan pentingnya pencatatan perkawinan, seperti juga pembuatan KTP atau SIM, kita sesungguhnya membicarakan pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Sehingga sudah semestinya memperhatikan prinsip good governance, salah satunya adalah menetapkan biaya yang sesuai dengan taraf kehidupan masyarakat dan prosedur yang tidak berbelit-belit (user-friendly). Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan biaya yang sesuai masyarakat diajak untuk mencatatkan perkawinannya.
Betapa ironisnya ketika rakyat telah sadar mengenai pentingnya pencatatan perkawinan, namun terpaksa mengurungkan niatnya dengan alasan biaya mahal dan atau prosedur yang berbelit-belit. Jelas ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Jangan sampai, sementara berbagai pihak (Perguruan Tinggi, LSM, media massa, Meneg PP, dsb) melakukan pendidikan dan penyuluhan agar masyarakat mencatatkan perkawinan mereka, KUA justru menjadikan pencatatan perkawinan sebagai "ajang panen".
Penutup
Demikianlah pembahasan tentang nikah sirri, semoga dapat menjadi masukan dan petimbangan bagi pembaca untuk melakukan nikah sirri dengan melihat segi mafsadat dan maslahatnya. Penulis berharap pembahasan tidak hanya berhenti sampai disini dan terus dilanjutkan sehingga menemukan kejelasan yang valid.

Syari’at dan Human Character Building (I)

Oleh: Kurdi Muhammad

Pendahuluan
Karakter, yang selanjutnya kami persamakan dengan akhlaq, menurut Imam Ghazali merupakan sebuah perbuatan yang secara spontan dilakukan tanpa ada pemikiran terlebih dahulu. Karakter terbentuk melalui sebuah adapt kebiasaan yang dilakukan se-cara terus menerus, sementara adat kebiasaan muncul sebagai akibat dari perbuatan-per-buatan yang secara kontinu dilakukan.
Dalam kehidupan ini, karakter manusia akan sangat menentukan arah kehidupan manusia, baik secara individual maupun komunal. Karakter yang baik akan melahirkan sebuah tatanan peradaban yang baik pula, sebaliknya kebobrokan karakter akan mela-hirkan generasi yang tidak hanya bobrok, namun juga membobrokkan. Oleh karena itu harus ada pembentukan karakter (Carakter building) agar arah kehidupan peradaban ke depan sudah dapat ditentukan sedari saat ini.
Ada banyak program dan konsep yang dapat membentuk karakter manusia. Konsep itu biasanya diikutkan dalam sebuah sistem pemerintahan. Belakangan yang sering didengung-dengungkan adalah gerakan-gerakan feminis, ekofeminis, propaganda Hak Asasi Manusia, globalisasi dan lain-lain yang diusung oleh perahu bernama demokrasi. Dalam beberapa kesempatan penulis agak meragukan sistem demokrasi mampu membentuk karakter manusia, karena menurut Aristoteles Aristokrasi lebih baik dari pada demokrasi, Socrates mengatakan bahwa demokrasi lebih mengandalkan jumlah, kurang menghargai pikiran, sementara sebagian eksekutif social-romantik Jerman menyatakan bahwaa demokrasi hanya mengakibatkan orang-orang yang tidak mem-punyai kemampuan dapat menjadi pimpinan hanya karena dukungan massa, dan Muham-mad Iqbal menandaskan bahwa demokrasi hanya mengandalkan jumlah kepala dari pada isinya.
Sebagai alternatif, Syariat Islam mencoba menawarkan sebuah ajaran pem-bentukan karakter manusia. Islam memandang, karakter manusia perlu dikontrol dan diarahkan ke arah yang lebih baik. Dalam pandangan Durkheim, hal ini perlu diciptakan agar masyarakat dapat hidup teratur dan terciptanya soliditas kelompok/masyarakat. Mo-ralitas mengandung tiga unsur. Pertama, disiplin yang dibentuk oleh konsis-tensi/keteraturan tingkah laku dan wewenang (kekuatan yang memaksa anggota masyarakat untuk betindak dengan cara-cara tertentu). Kedua, keterikatan terhadap kelompok/masyarakat. Ketiga, otonomi; setiap individu berhak melakukan pilihan hidupnya, tetapi ia harus berani menghadapi resikonya, termasuk sanksi sosial jika mela-kukan pelanggaran atas norma-norma yang ada.
Syariat Islam dipandang efektif karena mampu menghadirkan sebuah tatanan yang kompleks dan konsis dalam melakukan perbaikan. Sebagaimana diungkapkan Prof. Sam Souryal, seorang Guru Besar di Houston State University yang non Islam, dengan objektif ia mengakui efektivitas Syariah dalam penegakan karakter hukum di masyarakat. Karena menurutnya, Syariah memiliki lima unsur: 1) Syariat secara terus-menerus mendorong perbaikan individu dan menyucikan kesadarannya dengan ide-ide Islam yang tinggi dan moralitas yang luhur; 2) syariat dengan seimbang mengatur hukum dan sanksi atas sebuah perbuatan; 3) Syariat secara terus-menerus menyerukan tolong-menolong dalam kebaikan dan kesabaran; 4) Syariat mencegah kejahatan dengan menutup jalan yang mengarah kepada kejahatan tersebut (Saadzu Dzariah); 5) Syariat intens menjaga moral umat dan generasi berikutnya yang akan menentukan kelangsungan umat ke depan .
Upaya Konkrit
Berikut penulis sajikan sebagian konsep Syariat dalam mengkonstruk karakter manusia dem menuju kehidupan yang lebih baik.
‘dan tidaklah kami mengutusmu wahai Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam’
Dari potongan makna ayat di atas jelas bahwa tujuan syariat Islam adalah rahmatan lil alamin, ia datang untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia, bukan kerusakan. Untuk itu, dalam syariat Islam diatur berbagai hal diantaranya yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Tanpa aturan, manusia akan berbuat semaunya tanpa ada batasan dank an lebih mendahulukan nafsunya. Kalau sudah demikian, maka maksiat akan menjadi makanan setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya, kumpul kebo akan menjadi ha biasa, mabuk sah-sah saja dan main hakim sendiri akan menjadi solusi ampuh dalam menyelesaikan setiap masalah. Dapat dibayangkan, jika hal ini benar-benar terjadi, tidak akan mungkin tercapai yang namanya kemaslahatan hidup. Karena tidak mungkin sebuah masyarakat akan dapat hidup dengan teratur jika komponen di dalamnya suka main hakim sendiri. Sebaliknya, dalam situasi yang seperti ini, kebenaran hanya ada di tangan mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, sedangkan orang yang lemah akan selalu dianggap salah.
Jika kita menengok kembali sejarah, Islam lahir di tengah masyarakat Arab yang terkenal dengan Jahiliyah Society, jahil bukan berarti bodoh, melainkan masyarakat yang jauh dan menjauhi aturan-aturan Allah. Waktu itu, masyarakat Jahiliyah adalah penyembah berhala, aturan yang ada banyak yang tidak mengindahkan nilai-nilai akhlaq, mereka sangat menghormati tamu namun di sisi lain mereka suka mabuk, mereka sangat menghormati para tetua mereka, namun di sisi yang lain mereka membnuh bayi per-empuan, menjual ibu tiri bahkan menyerahkan istri kepada orang lain.
Dengan maksud menyembuhkan penyakit akut orang-orang Jahiliyah inilah Islam diturunkan, selain untuk mencegah kejahiliyahan-kejahiliyahan jilid berikutnya. Islam mengajak manusia menyembah Allah dan menjalankan aturan-aturan-Nya agar manusia dapat lebih baik dan derajat kemanusiaannya semakin tinggi menjulang. Sebagaimana disabdakan oleh Rasul Muhammad:
‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq.”
Dari hadits di atas minimal dapat disimpulkan bahwa agar kemaslahatan dapat diwujudkan, maka yang pertama-tama harus diperbaiki adalah masalah dekadensi moral. Karenanya, dalam rangka mencetak manusia yang beradab, Syariat Islam mengatur tingkah laku manusia mulai dari hal yang terkecil sampai hal yang terbesar yang paling rumit sekalipun. Islam mengatur cara seseorang memperlakukan diri sendirri,mengatur tata cara seseorang bersosialisasi dengan orang lain dalam sebuah keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara, lebih-lebih yang menyangkut hubungan manusia dengan pen-ciptanya, semuanya lengkap di atur dalam Islam.
Berikut beberapa aturan Islam yang ditujukan untuk menggembleng karakter manusia untuk menjadi lebih baik.
Islam Mengatur Makan dan Minum
Makan dan minum adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seseorang. Dalam hal ini Islam menganjurkan seseorang makan di waktu lapar dan menyudahinya di waktu kenyang. Perintah ini bukannya tanpa tujuan, karena pada hakikatnya dalam perintah ini terdapat kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Karena sesuatu yang berlebihan akan berdampak tidak baik bagi manusia. Sebaimana juga pernah diungkapkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab, bahwa dengan seseorang makan minum berlebihan akan berpengaruh negative pada perkembangan otaknya. Barangkali saat itu, Amirul Mukminin hanya mengatakan sesuai dengan kenyataan yang Ia lihat atau bahkan Ia alami sendiri, masih belum didasarkan pada penemuan bukti-bukti ilmiah. Namun sekarang, setelah hal sekian abad hal itu diperbincangkan, dunia medis berhasil menyingkap, bahwa memang dengan makan makanan secara berlebihan akan berdampak secara signifikan pada perkembangan sel otak. Orang yang makan berlebihan, akan cenderung merasa kantuk berkualitas luar biasa, orang yang ngatukan cenderung malas berfikir, kalaupun berfikir, objek yang dipikirkannya paling-paling hanya seputar bantal dan kasur saja.
Orang-orang yang malas berfikir, pada hakikatnya ia mempercepat kematian sel otak, karenanya lama kelamaan daya kerja otak semakin lama akan semakin tumpul. Contoh kasus yang dekat dengan kita, adalah Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia yang sudah berkaliber internasional, dalam usianya yang sudah hampir berkepala delapan, terlihat lebih segar dan suaranya lebih lantang dibanding orang-orang seusianya dan tulisannya masih kerap mewarnai media massa-media massa berkaliber internasional. Setalah selidik punya selidik, ternyata semenjak masih aktif menjadi wartawan dulu, ia sudah membiasakan untuk membaca sedikitnya dua jam sehari. Dapat diphami, dengan sering membaca, maka sel otak akan terus bekerja memikirkan apa yang dibaca, apalagi kalau yang harus dibaca membutuhkan pemikiran serius. Katrenanya, peremajaan sel otak akan terus berlangsung secara kontinu, sehingga Rosihan masih bisa tampil prima.
Selain itu, Islam juga telah menentukan makanan dan minuman apa saja yang boleh dikonsumsi. Hal ini menjadi sangat urgen, mengingat sel tubuh manusia terbentuk melalui asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap harinya. Meskipun secara medis masih belum dapat dibuktikan, Islam meyakinai bahwa jika makanan dan minuman yang dikonsumsi adalah barang haram, akan berdampak sangat tidak baik bagi yang mengkonsumsinya. Karena logikanya, struktur dan kinerja tubuh yang terbentuk dari bahan yang haram akan berkecenderungan kepada yang haram dan maksiat, karena yang haram tidak bisa bercampur dengan yang halal.
Di samping itu, pengaharaman makanan dan minuman tertentu dalam Islam, ghalibnya mengandung hikmah bagi manusia itu sendiri. Misalnya, saat Islam mengharamkan khamr, maka jika diselidiki pengharaman itu bukan karena umat Islam tidak mampu membelinya, akan tetapi lebih karena khamr mengandung unsur-unsur yang membahayakan akal dan jasmaninya. Padahal kemuliaan seseorang dinilai dari cara akalnya berpikir, jika yang dipergunkan untuk berpikir sudah rusak, maka bersama itu musnah juga kehormatannya.

Syari’at dan Human Character Building (II)

Oleh; Kurdi Muhammad

Islam Mengatur Cara Berpakaian.
Dalam Islam, diatur batasan aurat seorang laki-laki dan perempuan, dimana aurat laki-laki ditentukan dari pusar sampai lutut, sedangkan untuk perempuan, seluruh anggota tubuhnya adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan. Aturan ini dibuat untuk menjaga kehormatan seseorang dan menciptakan kemaslahatan. Karena pada hakikatnya, keterbukaan aurat akan menimbulkan ‘kegersangan’ di satu sisi dan ‘kebasahan’ di sisi yang lain. Barangkali agak hipokrit jika ada yang mengatakan tidak ada reaksi apa-apa saat menyaksikan aurat terbuka, apalagi yang itu adalah milik orang yang selalu menjaga dan menutup auratnya, untuk tipe orang yang disebut terakhir ini, bahkan banyak dari kita yang ingin melihatnya otomatis terbuka. Karenanya, Islam menyuruh untuk selalu menutupnya.
Lalu mengapa Islam menyebut bagian yang tidak boleh dilihat ini dengan aurat? Padahal kalau kita [erhatikan, secra harfiah aurat berarti sesuatu yang cacat, padahal kenyataannya sesuatu yang tidak patut dilihat itu adalah ‘sesuatu yang indah’ yang membuat setiap orang yang melihatnya kepincut. Dalam hemat penulis, kata penyebutan denga aurat tak ubahnya meeupakan sebuah konstruk kebahasaan yang mencoba mengintervensi pola kehidupan social guna menciptakan image negative, karena memang tujuannya agar diajuhi oleh seseorang. Kasusnya mirip dengan konstruk kebahasaan yang juga maklum di kalangan orang Indonesia. Stigma-stigma kebahasaan seperti tidak perawan, kumpul kebo, anak haram, homo seksual, lesbian, banci, waria dan lain-lain adalah upaya control social atas perilaku dan status social yang dianggap tidak patut melalui pelembagaan konstruk bahasa. Karenanya, barangkali dzauq bahasa orang Arab lebih sensitive saat mendengar kata aurat, dibanding dengan kita. Sebaliknya, rasa bahasa kita akan lebih merasa miris saat mendengar kata kumpul kebo, dibanding orang Arab yang mendengar istilah yang sama. Karena memang masalah konstruk bahasa seperti ini berkait kelindan denga lughah tsaqafy sebuah kaum.
Tidak seperti yang kebanyakan dipersepsikan oleh kaum minimalis (sebutan dari penulis untuk orang yang mengetahui sedikit tentang Islam), bahwa detil aturan tentang aurat tidak pluralis, karena tidak mau mengakomodasi pakaian kebesaran masyarakat tertentu yang menampilkan aurat. Kasus terakhir yang sedang marak adalah hendak diundangkannya RUU APP yang mencoba sedikit menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam menangani mmaraknya kasus pornigrafi dan pornoaksi.
Belum juga disyahkan protes keras sudah muncul dari para minimalis, diantaranya, Budayawan Goenawan Muhammad, ia melihat episteme yang digunakan dalam RUU APP adalah episteme Negara tertentu yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dengan terang-terangan Goenawan menyebut epistem RUU APP adalah produk impor kebudayaan Arab (baca: Islam). Bahkan, meminjam istilah Gadis Arivia, RUU APP terkesan memaksakan revolusi kebudayaan berdasar episteme tertentu, dan berharap diterima oleh golongan berepisteme lain. Bahkan mayoritas kaum penentang mengatakan jika RUU APP benar-benar diterapkan, orang-orang desa yang biasa mandi, mencuci dan buang air di sungai akan dikenakan hukuman.
Dalam hal ini, logika yang penulis pergunakan berbeda dengan logika kaum minimalis. Menurut penulis, sebaliknya, sudah saatnya orang yang mandi, mencuci dan buang air di suangai ditingkatkan derajatnya. Karena bangaimanapun juga, orang yang seperti itu, dalam pandangan masyarakat umum masing tergolong ketinggalan zaman. Karenanya melalui UU APP nantinya, derajat mereka dinaikkan, barangkali hanya orang egois yang ingin mereka tetap mandi, mencuci dan buang air di sungai. Dengan diterapkannya RUU APP, minimal mereka akan berusaha untuk membuat sumur pribadi di rumahnya atau bahkan sumur jamaah dengan para tetangganya. Kalaupun secara berjamaah mereka tetap tidak mampu, maka pemerintah desa minimal harus mengusahakan sekat tembok untuk tempat mandi, mencuci dan buang air warga di sungai. Namun, secara pribadi penulis optimis minimal masyarakat mampu membangun sumur jamaah, karena faktanya kebanyakan mereka mampu membangun masjid yang megah.
Oleh karena itu, jika arah berpikir kita kesana, maka minimal ada dua keuntungan diterapkannya RUU APP, terkuranginya pornografi-pornoaksi dan peradaban masyarakat Indonesia semakin maju, walaupun hanya beberapa langakah.
Islam Mengatur Cara Tidur
Dalam masalah ini, Islam memerintahkan seseorang yang hendak tidur agar terlebih dahulu berwudlu, kemudian berbaring dengan menghadap ke sebelah kanan dan pada saat bangun tidur, sebelum memasukkan tangan ke dalam bak mandi dianjurkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu.
Ajaran tersebut lebih megena saat diselidiki secara medis ternyata cara tidur ala Rasul dapat memperlancar peredaran darah seseorang. Barangkali semua orang mafhum, darah sama halnya bensin pada kendaraan bermesin, jika proses pembakaran bensin lancer, maka lancar semua gerak organ mesin. Begitu juga dengan darah, jika peredaran darah seseorang lancar, maka system tubuh dan pernafasan seseorang juga akan lancar, hal ini baik untuk proporsi kinerja tubuh manusia.
Islam Mengatur Penyaluran Bakat Seksual
Bakat seksual barangkali merupakan bakat alamiah yang diberikan oleh Allah ke-kepada seluruh manusia. Hanya sedikit jumlah orang yang tidak dikaruniai bakat tersebut (baca: impotent). Dalam bahasa Sigmund Freud, naluri seksual adalah gejolak alamiah yang akan menggeliat tak karuan jika tidak dilembagakan. Karenanya, Freud merekomendasikan sebisa mungkin masalah seksualitas dilembagakan. Maka dari itu, jauh-jauh hari Islam telah berusaha melembagakan penyaluran hasrat seksual itu dalam sebuah pernikahan.
Nikah dalam bahasa Arab berakar kata pada bentuk fiil madhi na ka ha yang dalam banyak literatur fikih dipersamakan dengan alwathu, yang berarti ‘menekan’ yang kemudian dalam perkembangannya mengalami sublimisasi makna menjadi disinonimkan dengan (nuwun sewu) ’jimak atau bersetubuh’. Hal ini dapat dimaklumi karena, salah satu faktor utama pembentuk sebuah mahligai pernikahan adalah hubungan sebadan antara suami istri . Karenanya, benar secara kaidah bahasa, jika penulis menterjemahkan ayat fankihuu maa thaaba lakum minan nisaai.... (QS 4: 3), dengan Setubuhilah Wanita-wanita yang kamu senangi. Ada pula yang melontarkan adagium na ka ha sebagai bentuk akronim dari nikmat, karamah, dan hamasah, karena memang pada kenyataannya, orang yang sudah menikah dipastikan memperoleh kenikmatan yang luar biasa, kemulyaan yang lebih dan semangat hidup yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Dalam bahasa yang sederhana -meminjam bahasa slank JTV- akronim nun kaf ha diterjemahkan dengan (maaf) nang kamar ho ho hi he (baca: sesuai dengan hasil penafsiran anda).
Menurut Abul Faraj al-jauzy menikah sangat erat kaitannya dengan hubungan suami istri, hobi nikah merupakan tujuan puncak ibadah, bila diniati untuk memperbanyak anak, bahkan menurutnya nikah untuk senang-senang saja tidak apa-apa, hukumnya mubah. Dia menambahkan, bahwa secara anatomis (maaf) sperma merupakan sumber kekuatan kedua setelah darah, keduanya menjadi tiang bagi tubuh. Air sperma yang mengendap tak pernah dikeluarkan, secara perlahan akan naik ke otak yang pada akhirnya akan menyebabkan penyakit dan menimbulkan pikiran-pikiran kotor. (lih. In The Name of Sex hal. 99-100)
Dalam konteks yang lain, Al-Quran lebih sering menggunakan kata tazawuj sebagai khitab yang mengindikasikan arti bahasa pernikahan. Secara leterlijk kata tazawuj berarti berpasangan yang merujuk pada sebuah mahligai pernikahan yang tentu saja memasangkan antara laki-laki dan perempuan . Para Fuqaha sepakat, bahwa yang dimaksud dengan Nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan hubungan sebadan antara seorang laki-laki dan perempuan, dengan syarat dan rukun tertentu dengan niat ibadah kepada Allah SWT.
Dari definisi pernikahan di atas, kiranya dapat disimpulkan karakteritik dan hikmah pernikahan, antara lain:
a) Pernikahan merupakan ibadah yang paling enak
b) Berkait kelindan dengan hubungan sebadan
c) Penyatuan dua keluarga yang berbeda adat dan kebiasaannya
d) Penyatuan hati dua insan dengan banyak perbedaan
e) Mengandung kemuliaan di dalamnya
f) Memiliki dimensi ketertundukan kepada sang khalik dll.
Wal hasil, dengan dilembagakan melalui sebuah pernikahan, penyaluran bakat seksual akan lebih humanis dan mendatangkan banyak maslahat. Selain itu, dari beberapa hikmah di atas ada banyak keuntungan yang dihasilkan dari adanya sebuah pernikahan, diantaranya, tambah keluarga, lebih banyak ladang pahala, dimudahkan rizkinya dan lebih bermartabat. Selain itu, Islam juga mensyariatkan pernikahan dengan segala hal yang berhubungan dengan itu, agar seseorang memperoleh keturunan dengan status anak yang jelas nasabnya.
Islam Mengatur Cara Berinteraksi dengan Orang lain
Dalam interaksi sosial, Islam menegaskan bahwa ada kewajiban untuk memenuhi hak orang lain sebelum dia menuntut hak pribadinya. Islam mengatur, bahwa kewajiban seorang muslim terhadap muslim antara laian, mendoakan waktu bersin, menjawab salam, mendatangi undangan, menjenguk di waktu sakit, memberi nasihat kebaikan dan lain-lain. Dari kewajian-kewajiban itu, jika dapat dilakukan secara maksimal, maka akan terbentuk sebuah karakter muslim yang humanis, sosialis, mukhlis dan bertaqwa kepada Allah.
Selain itu, Islam juga menandaskan bahwa yang tua harus menyayangi yang muda dan yang muda hendaknya menghormati yang tua. Dengan begitu interaksi social sesama muslim akan selalu cair, karena mengedapankan nilai-nilai humanisme penghargaan terhadap derajat dan martabat masing-masing.di samping itu, Islam juga menganjurkan untuk menghormati tamu. Dengan anjuran-anjuran itu, seorang muslim akn terbentuk karakternya menjadi pribadi yang toleran, menghargai orang lain, serta peka terhadap kepentingan orang lain.
Islam Mengatur Kehidupan Bernegara
Dalam kehidupan bernegara, Islam mensyariatkan untuk mematuhi seorang pemimpin selama ia tidak menyalahi aturan Allah, selain ia harus adil, jujur dan bertanggung jawab. Etika ketaatan kepada jabatan menurut Kiai Azar Basyir, salah seorang pimpinan Pusat Muhammadiyah, bisa tercermin pada orang yang sedang melakukan sholat berjamaah. Imam sebagai atasan harus diikuti segenap gerak gerik dan komandonya (sekaligus sebagai suri teladan bagi bawahannya). Namun demikian, makmum sebagai bawahan berhak mengoreksi dan mengkritik apabila imam atau atasannya melakukan kealpaan.
Penutup
Begitulah Islam dalam mengatur akhlaq, dengan dijalankannya semua aturan itu, niscaya dengan sendirinya akan terbentuk karakater manusia yang handal dan bermartabat, disiplin, bertanggung jawab, adil, dan saling menghormati. Sehingga, dalam skala yang lebih luas, akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang damai dan sentausa.