Selasa, 08 November 2011

Menelisik Akar Sosio-Kultural Sekularisasi*

Oleh: Kurdi Muhammad**

Fakta bahwa sekularisasi sudah menjadi bagian dari fenomena sosial dan budaya masyarakat hingga saat ini adalah bagian yang tak terbantahkan dalam diskursus relasi agama-negara semenjak abad pertengahan (1600-an). Oleh karenanya, menurut penulis buku tersebut, diskusi tentang analisa sosial-saintifik dalam fenomena sekularisasi agama telah menjadi isu yang saangat menarik, penting dan sekaligus menantang. Sekularisasi sebagai bagian dari fenomena agama tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kajian-kajian saintifik-sosiologis  sebagaimana telah dikembangkan oleh Durkheim, Weber, Luckmann dan Peter Berger.

Konstruk Sosial-Budaya Sekularisasi
Secara sosiologis suatu masyarakat adalah produk aktivitas manusia secara kolektif, dan merupakan realitas yang tidak statis, selalu berubah selaras dengan alam pikiran. Begitu pula aktivitas manusia secara individu merupakan fenomena yang dapat berpengaruh pada kolektivitasnya, bahkan secara realitas dapat memainkan peranan mengubah dunia. Artinya dalam hal ini manusia selalu dihadapkan pada konfrontasi terhadap realitas dan ia ingin selalu memperbiaki diri dan lingkungannya. Apalagi jika manusia telah dihadapkan pada kondisi yang membatasi ruang gerak aktivitas maupun kebebasan berpikirnya, maka akan muncul reaksi yang merupakan manifestasi dari akumulasi potensi untuk kemudian mendobrak apa yang telah mengekangnya.

Hal ini persis dengan yang terjadi pada masa dimana praktik dan otoritas Agama dianggap menghalangi atau paling tidak membatasi ruang gerak laku sosial maupun kebebasan berfikir, maka secara alamiah sebagai konsekuensi sosioligis muncul untuk melakukan pemisahan antara agama dan dunia. Oleh karena itu, sekularisasi kemudian didefinisikan sebagai pembebasan manusia, pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengekang nalar dan bahasanya. Pada gilirannya, menurut Syed Naquib al-Attas, sekularisasi tidak hanya mengikuti aspek-aspek kehidupan sosial dan politik saja, namun juga telah merasuk ke dalam aspek-aspek budaya, karena proses sekularisasi itu sebenarnya telah menunjukkan lenyapnya penentuan religius dari lambang-lambang integrasi kultural.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa komponen-komponen pelepasan integrasi kultural dalam sekularisasi menurut Naquib al-Attas meliputi beberapa dimensi, antara lain: Pertama, Desakralisasi-kosmos, yaitu pembebasan alam dari reliku agama, sehingga manusia ewuh-pakewuh terhadap alam dan boleh berbuat bebas semaunya terhadap alam untuk kemaslahatannya; Kedua, Desakralisasi Politik, yaitu penghapusan legitimasi dan otoritas kesakralan politik yang merupakan prasyarat untuk perubahan sosial; Ketiga, Dekonsekrasi nilai-nilai, yaitu pemberian makna sementara dan relatif terhadap karya-karya budaya dan setiap sistem nilai, termasuk agama, serta pandangan-pandangan hidup yang bermakna mutlak dan final, sehingga manusia bebas untuk melakukan kreasi dan perubahan.

Sementara itu, penulis buku ini, melihat bahwa sekularisasi adalah merupakan bentuk diferesiansi ganda dari sebuah struktur sosial-budaya. Ia mengatakan, “…what is frequently called secularization is “merely” a twofold process of sociostructural and cultural differentiation”. Sekularisasi menurutnya merupakan kecenderungan sosial budaya utama dalam masyarakat modern. Namun di sisi lain, masyarakat modern masih belum sepenuh hati berani meninggalkan patron-patron agama. Dengan mengutip hasil survey dan jajak pendapat yang dilakukan oleh Greely, penulis buku ini menyimpulkan bahwa komitmen agama tidak mengalami penurunan di kalangan masyarakat Amerika kontemporer (Greeley, 1969). Ia juga menambahkan bahwa sebenarnya pola-pola sekularisasi bukanlah proses yang signifikan dalam masyarakat modern. “Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kepercayaan dan takhayul yang masih berkembang hingga saat ini, serta semakin menguatnya popularitas astrologi dan kepercayaan okultisme,” demikian kata si penulis. Fakta-fakta tersebut merupakan kriteria empiris terhadap sebuah ide tentang sekularisasi dan desekularisasi.

Penulis buku tersebut juga memberikann stressing terhadap kriteria sosiologis dalam menilai sekularisasi. Menurutnya penilaian sekularisasi menggunakan standar sosiologis dilakukan dengan cara memberikan penilaian terhadap per-kembangan dan penurunan tingkat sosial-budaya dalam sekularisasi. Ia mengutip pendapat Karl Marx yang berpandangan bahwa agama adalah sebuah tujuan dan perwujudan dari sosialisasi manusia yang memadai. Begitu juga Emile Durkheim yang melihat bahwa agama adalah sebuah tujuan dan perwujudan dari sosialitas manusia yang tepat. Sehingga ketika agama dan lelaku keagamaan sudah tidak seideal yang diharapkan, konsep sekularisasi bisa masuk secara sosio-kultural.

Di akhir tulisannya, penulis buku tersebut mengintrodusir probabilitas dunia tanpa agama, meskipun dia sendiri menyadari akan mendapatkan pertentangan yang sangat keras dari para fungsionalis yang selalu dapat melihat unsure-unsur religiusitas dalam setiap fenomena sosial dan budaya. Bagi penulis, sekularisasi adalah bagian dari dinamika sosial-budaya yang berkembang di masyarakat. Sekularisasi dianggap bukan melulu menyangkut persoalan teologis, melainkan bagian dari evolusi sosial budaya yang tidak seharusnya ditabukan.

* Disusun untuk memenuhi tugas review matkul Pendekatan Studi Islam Drs. H. Basri Zain. MA., Ph.D
** Kurdi  Muhammad adalah mahasiswa SIAI (bukan CIA) UIN Malang