Kamis, 17 April 2008

Membangun Islam Berbasis Filsafat





Oleh: Kurdi Muhammad *

KH. Ahmad Azhar Basyir MA (yang selanjutnya penulis sebut Kiai Azhar) adalah tipikal pemimpin Muhammadiyah yang bercorak rasionalistik. Percikan-percikan pemikirannya objektif, metodik dan realistis. Bahkan, konsep pemikirannya acapkali berseberangan atau bahkan menjungkirbalikkan pemikiran mainstream di Muhammadiyah. Dari sekian luas aras pemikirannya, masalah filsafat dan ijtihad patut mendapat apresiasi lebih. Ia selalu menekankan pentingnya berfikir filosofis dalam mengkaji agama. Baginya, berfilsafat dalam masalah agama sama dengan berijtihad.

Relasi Filsafat dan Ijtihad
Kiai Azhar merupakan prototipe orang Muhammadiyah yang mengembangakan corak berfikir rasional dan filosofis. Kiai Azhar terkenal sangat dekat dengan filsafat, selain karena memang sosok pribadinya yang kritis, pendidikan purnasarjananya di bidang filsafat sedikit banyak juga ikut mempengaruhi pola pikirnya.
Dalam bidang filsafat, Kiai Azhar termasuk orang yang mengidolakan kaum Mu’tazilah, terlepas dari pro-kontra doktrin teologis yang dikembangkannya. Pemikiran-pemikiran kaum Mu’taziliy yang rasional dan objektif sering menjadi inspirasi dalam filsafat yang dikembangkan oleh Kiai Azhar.
Kiai Azhar mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran yang rasional, sistematik dan radikal tentang sesuatu, yang objek formalnya dapat tentang manusia, alam dan Tuhan (Basyir, 1996: 1). Bandingkan dengan Mu’tazilah, yang memilki konsep teologi bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui lewat pemikiran yang mendalam. Bahkan, tanpa kehadiran wahyu sekalipun, menurut Mu’tazilah, dengan pemikiran yang mendalam dapat diketahui mana yang baik dan mana yang buruk. (Nasution, 2002: 82-83).

Bentuk aplikasi dari definisi tersebut, bahwa menurut Kiai Azhar fenomena-fenomena kemanusiaan, alam dan ke-Tuhan-an haruslah dapat dipahami dan dijelaskan secara rasional dan tuntas sampai ke akarnya. Meskipun, penyingkapan terhadap fenomena yang disebut terakhir tadi, akan terus memunculkan misteri-misteri baru. Inilah yang kemudian oleh Munir Mulkhan disebut sebagai Teologi Sisa.

Bentuk konkrit cara berfikir filosofis Kiai Azhar, sebagaimana dikisahkan oleh mantan Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jember, yang juga Guru penulis. Ceritanya, saat Kiai Azhar diundang untuk memberikan stadium generale. Ada salah seorang peserta yang mempertanyakan mengapa sholat harus selalu menghadap ke Barat, yang diasumsikan searah dengan kiblat. Padahal bentuk bumi bulat, karena itu meskipun menghadap ke berbagai penjuru arah, pada akhirnya akan sampai juga ke kiblat.

Dengan retorika yang filosofis, Kiai Azhar balik bertanya kepada sang penanya. Dengan nada kalem ia bertanya, “Mana telinga anda?” (penanya diminta menunjukkan seraya memegangnya). Spontan, orang tersebut langsung memegang telinga kanannya, menunjukkan pada Kiai Azhar. Setelah itu, Kiai Azhar berkomentar, “Mengapa anda memegang telinga kanan tanpa mutar dulu melewati telinga kiri?” papar Kiai Azhar sambil berusaha menyadarkan.

Kiai Azhar menekankan agar filsafat dapat diterapkan sebagai cara berfikir dalam bidang apapun, tak terkecuali hukum Islam. Hukum Islam harus ditampilkan secara elegan dan berkearifan. Hal itu berarti bahwa hukum Islam harus tetap relevan dengan perkembangan zaman. Agar hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman, dirasa sangat perlu interpretasi baru dalam menjawab tantangan konteks zaman. Konsep berfikir yang rasional, metodik dan radikal mutlak diperlukan dalam usaha reinterpretasi itu. Oleh karena itu, kerja akal yang filosofis menjadi sangat diperlukan dalam hal ini.

Kiai Azhar memiliki pandangan bahwa filsafat dalam hukum Islam adalah Ijtihad. Dalam pernyataannya, ia menandaskan:
Filsafat dalam hukum Islam tidak lain adalah ijtihad dalam hukum Islam. Ijtihad terutama sekali dipergunakan untuk menetapkan hukum yang tidak manshush. Hadits Muadz Ibn Jabal menyebutkan sumber-sumber hukum Islam, al-Quran dan Sunnah; hal-hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Quran dan Sunnah ditetapkan dengan Ijtihad (Basyir, 1996: 1)

Ada beberapa poin yang harus digarisbawahi dari pernyataan Kiai Azhar tersebut, Pertama, bahwa aplikasi cara berfikir filosofis dalam hukum Islam adalah dengan Ijtihad. Oleh karena itu, dalam berijtihad, proses penggalian hukum haruslah rasional, sistematik dan radikal. Dalam kaitannya dengan pengkajian teks al-Quran misalnya, maka pendekatan yang digunakan haruslah integral, komprehensif dan holistik.
Kedua, ijtihad hanya dibolehkan terhadap penetapan hukum-hukum yang tidak manshush atau terhadap hal-hal yang tidak disebutkan secara jelas dalam al-Quran dan Sunnah. Hal ini mengindikasikan bahwa ijtihad terjadi pada dalil-dalil yang masih bersifat dzanniy.
Hemat Kiai Azhar, di dalam al-Quran dan sunnah ada banyak hal yang merangsang umat Islam untuk berijtihad. Masalah-masalah baru yang belum sempat muncul pada masa Rasul adalah objek ijtihad yang paling empuk. Lebih-lebih pada saat ini dakwah Islam semakin luas dan mencakup hampir seluruh ras/bangsa di dunia. Perbedaan budaya, adat-istiadat, sistem sosial dalam situasi dan kondisi yang juga berbeda sangat memungkinkan menuntut pembaharuan dan perluasan hukum Islam. Untuk memenuhi target itu, ijtihad adalah jalan satu-satunya.
Di dalam tulisan yang lain Kiai Azhar mempertegas arti ijtihad, ia menjelaskan bahwa ijtihad adalah penggunaan pikiran yang semaksimal mungkin untuk menemukan hukum Syara’. Definisi ini mirip dengan definisi yang diintrodusir oleh Abdul Wahab Khalaf dan Khudari Bik, bahwa Ijtihad adalah pengerahan kemampuan menalar yang dimiliki oleh seorang Fakih dalam mencari hukum-hukum syar’i.
Penggunaan kerja akal dapat meliputi perumusan metode, pelacakan sumber-sumber lain yang mendukung, upaya pemaknaan terhadap teks dan konteks atau usaha apa saja senyampang relevan dengan kerja ijtihadi, dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Usaha yang demikian tidak boleh berhenti sampai hukum syara’ yang dimaksud dapat ditemukan.Oleh karena itu, Kiai Azhar menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam melakukan kerja Ijtihad. Khusus tentang hal ini secara tersirat beliau menetapkan,
Oleh sebab, yang dicari adalah ketentuan hukum syara’, maka yang melakukan ijtihad harus benar-benar Muslim; kukuh akidahnya, baik ibadahnya dan mulia akhlaknya. Karena dalam mencarinya menggunakan pikiran, maka pencarinya pun harus memenuhi syarat-syarat berfikir yang benar. Karena hukum yang dicari harus berdasarkan dalil-dalil, maka pencarinya harus mengetahui bahasa yang digunakan dalam dalil-dalil tersebut. Bahasa al-Quran dan sunnah harus benar-benar diketahui, sejauh memungkinkan beristinbath (memetik kesimpulan hukum) dari al-Quran dan Sunnah. Juga, seluk beluk al-Quran dan sunnah harus diketahui secara baik. Mengetahui dengan benar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang menyangkut masalah-masalah yang dibahas. Jiwa syari’at dan tujuannya untuk mewujudkan kebaikan hidup manusiapun harus diketahuinya dengan baik (Basyir, 1988: 46-47).

Sebuah Catatan
Tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap sosok sekaliber Kiai Azhar, ada beberapa hal yang perlu dicatat dari percik pemikiran Kiai Azhar. Bahwa Filsafat yang dikembangkan oleh Kiai Azhar lebih bertumpu pada konsep rasionalistik an sich. Hal yang demikian tampak pada definisi yang diintrodusir oleh Kiai Azhar tentang filsafat dan bagaimana aplikasinya dalam usaha penemuan hukum Islam.
Prinsip berfikir yang demikian itu berdampak pada semakin tidak di-kembangkannya nuansa-nuansa esoteris dalam filsafat. Mungkin orang lebih menganggap nuansa-nuansa esoteris adalah objek kajian dalam khazanah sufisme. Pendapat yang demikian memang benar, tetapi juga tidak dapat di-salahkan kalau kemudian hal itu dikembangkan di dalam ranah filsafat.
Bagi penulis, terlalu berlebihan jika ada klaim yang secara tegas memisahkan bahwa esoterisme adalah milik tasawuf. Sedangkan filsafat hanya berkutat pada kerja rasio. Sebab kalau dikaji lagi, kita akan menemukan bahwa khazanah filsafat juga pekat dengan nuansa esoterisme. Simak saja pengertian filsafat menurut al-Kindi misalnya, baginya filsafat secara teoritis adalah pengetahuan untuk memperoleh kebenaran, dan secara praktis agar dapat berperilaku sesuai dengan kebenaran itu (Nasr dan Leaman, 2003: 31). Lebih spesifik Seyyed Hossein Nasr mengutip beberapa definisi filsafat yang sering digunakan oleh filsuf Muslim, yang juga diadopsi dari khazanah filsafat Yunani. Bahwa filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia; dan filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian (cinta pada kematian).
Secara gamblang, pernyataan-pernyataan di atas memasukkan unsur-unsur esoterisme-spiritualistik dalam filsafat. Hal ini penting, karena pada saat-saat tertentu spiritualitas akan lebih menemukan momentumnya dibandingkan dengan rasionalitas.

Epilog

Kiai Azhar adalah tipe pemimpin Muhammadiyah ordo filsafat. Pemikirannya tentang filsafat dan ijtihad cukup inspiratif dan iluminatif. Konsepnya tentang hubungan filsafat dan ijtihad betapa telah menjadi bukti bahwa ia adalah tipe pemikir Islam yang rasionalistis sekaligus realistis. Gagasan-gagasan cerdasnya malampaui pemikiran-pemikiran umum di masanya. Tidak hanya bagi Muhammadiyah, letupan-letupan pemikiran Kiai Azhar juga patut dijadikan sebagai rujukan bagi semua golongan yang hendak mengembangkan corak pemikiran filosofis.

Lebih penting lagi, sonar pemikiran Kiai Azhar tentang ijtihad harus terus dikembangkan untuk menjaga agar pintu ijtihad tetap terbuka dan banyak yang memasukinya. Karena kecenderungan saat ini, meskipun pintu ijtihad sudah dinyatakan terbuka, tapi tidak banyak orang yang memasukinya. Hal ini disebabkan banyak kalangan yang minder lebih dulu melihat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum berijtihad. Sehingga, ijtihad terkesan elitis dan eksklusif.

Bagi penulis, terbukanya pintu ijtihad ibarat terbukanya pintu restoran. Meskipun menu makanan di dalamnya lebih enak dan pasti variatif, tapi masih banyak orang yang silau jika harus makan di restoran, takut harganya terlalu mahal. Padahal, kalau sudah singgah benar, belum tentu harganya lebih mahal. Oleh karenanya, kalau sudah mengetahui ada restoran buka, tidak perlu segan untuk mampir, silahkan makan sepuasnya. Perkara nanti uangnya tidak cukup, tinggalkan saja KTP sebagai jaminan, selesai kan?

Begitu juga halnya dengan kerja ijtihad. Jika sudah terang-terangan dinyatakan pintu ijtihad terbuka, mari ramai-ramai berijtihad. Kalaupun nanti hasilnya dirasa kurang tepat, proses pembetulan dalam ijtihad bukanlah hal yang tabu. Ijtihad sangat penting untuk menjawab problematika hukum baru, atau hukum lama yang membutuhkan pembaharuan. Tidak baik terlalu banyak men-tawaquf-kan perkara. Wa Allahu a’lam bis shawab

* Kurdi Muhammad adalah Aktivis Pemuda Muhammadiyah Kota Malang dan Peneliti pada Komunitas Studi Islam dan Filsafat Malang

Selasa, 08 April 2008

Adat Apem-an dan Nilai-nilai Kesadaran Kolektif




Oleh: Kurdi Muhammad*

Di daerah tempat kelahiran penulis, desa Tamansari, salah satu desa yang terletak di wilayah Kabupaten Jember, terdapat satu perilaku adat yang unik dan sarat nilai filosofis. Masyarakat di desa tersebut menyebut perilaku adat tersebut sebagai adat apem-an.
Apem-an berasal dari kata dasar apem yang mendapat akhiran –an untuk menunjukkan arti kata kerja yang dibendakan. Apem sendiri adalah kata benda yang berasal dari bahasa Jawa. Apem adalah nama salah satu jenis kue yang sangat populer di daerah pedesaan, lebih-lebih di desa Tamansari. Apem adalah kue berbahan dasar tepung terigu atau tepung beras, yang rasanya manis. Warna atasnya putih, dan coklat kegosongan untuk warna bawahnya, karena harus di panggang di atas, yang oleh orang Tamansari disebut, empan.
Agar deskripsi kue apem ini lebih mudah ditangkap, penulis menggambarkan kue ini mirip dengan anatomi kue kucur, bentuknya bulat dan tebal berisi. Selain yang bulat, kue apem juga ada yang berbentuk lonjong seperti mikrofon, atau seperti krupuk yang biasa digunakan untuk membungkus es krim. Kue apem yang seperti ini biasa di sebut apem conthong. Bahan yang digunakan sebagai conthong biasanya terbuat dari daun pisang. Dibanding dengan kue-kue yang lain, kue apem relatif lebih mudah pembuatannya, dan rasanyapun lumayan mak nyos.
di desa Tamansari, kue apem ini menjadi sangat urgen dan tidak boleh dilupakan dalam setiap upacara selamatan. Selamatan kematian (tiga harian, tujuh harian, 40 harian dst), selamatan kelahiran ataupun selamatan-selamatan kesyukuran lain, sudah pasti ada kue apem yang disajikan. Oleh masyarakat desa Tamansari, kue apem dianggap sebagai ‘ratunya’ kue. Selain itu, kue apem juga dipercaya sebagai simbol ketenteraman, kemudahan jalan hidup dan kesucian tujuan. Sehingga, kue apem harus ada mengiringi kue-kue yang lain dalam sebuah prosesi selamatan..
Pada masyarakat adat di desa Tamansari, tradisi apem-an sudah menjadi kesadaran kolektif yang hampir tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di dalam setiap selamatan harus ada kue apem, walaupun juga tidak dilarang menyediakan kue-kue yang lain bersama sajian kue apem tersebut.
Kalaulah kemudian ada anggota masyarakat yang dalam pelaksanaan selamatan tidak mampu memberikan hidangan dan kue yang bermacam-macam. Maka sajian kue apem dirasa cukup untuk menggantikan itu semua. Sebaliknya, kalau kemudian ada orang yang mampu menyediakan beragam sajian dan jajanan dalam sebuah selamatan, tapi tidak menyediakan kue apem. Maka ia dianggap menyalahi kebiasaan, ia dianggap tidak memiliki kesadaran kolektif.
Sehingga jangan disalahkan kalau kemudian banyak orang yang menggunjing perbuatan itu, sebagai sanksi adat, meskipun kue yang disajikan lebih enak dan variatif. Masyarakat menganggap orang yang menyalahi kesadaran kolektif yang demikian itu sebagai orang yang tidak menghargai filosofi yang terkandung di dalam kue apem. Padahal oleh masyarakat setempat filosofi yang demikian itu diyakini akan berbuah konkritisasi.
Penulis menganggap pola perilaku apem-an yang demikian itu, sebagai perilaku adat yang memenuhi standar prototipe teori kesadaran kolektif Durkheim. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap sebagai bagian dari sebuah masyarakat, jika kesadaran individualnya sudah selaras dengan kesadaran komunal/kolektif masyarakat yang bersangkutan.
.
*Penulis adalah Penggiat Komunitas Studi Islam dan Filsafat (KATALiS) PSIF UMM dan Aktivis Pemuda Muhammadiyah Kota Malang

Puisi Cinta bagi Sang Rasul

TEMPO Interaktif, Jakarta:12 Rabiul Awal pada Tahun Gajah, saat itu suasana gelap seketika menjadi terang-benderang. Nabi suci telah lahir. Seluruh alam memuji dalam tasbih dan tahmid. Allahu akbar. Sang bayi telah datang untuk mengantar permadani bagi kelembutan seluruh nurani. "Ya, Nabi salam padamu, ya, Rasul salam padamu."
Sebuah pujian dilantunkan penyair D. Zawawi Imron untuk Nabi Besar Muhammad SAW dalam pertunjukan islami bertajuk Lentera Cinta di gedung BPPT Jakarta, Selasa malam lalu. Acara ini dihelat untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.
Zawawi, yang tampil dengan pakaian abu-abu berlengan panjang lengkap dengan kopiah hitam, mengumandangkan beberapa puisi tanpa henti. Pertama, ia menyairkan sebuah puisi berjudul Lidah.

Engkau beri aku lidah lalu kusebut nama-Mu/ tapi aneh diriku ini kusebut Engkau dalam lidahku tapi dalam hati tak kuingat Engkau/ aku bersujud menyebutmu yang terbayang pada anganku kemewahan dunia/ aku zikir menyapa-Mu ya Allah, yang kubayangkan senyuman setan/ lidah/ lidah/ lidah milikku lidah sayangku.

Selanjutnya, Zawawi berduet dengan Ratih Sanggarwati dalam lantunan puisi berjudul Ibu. "Rasulullah senang dengan umatnya yang menghormati ibunda," ujar Zawawi kepada Ratih di atas panggung. Ratih, yang berlakon sebagai sang ibu, awalnya enggan tampil lantaran Zawawi, yang berlakon sebagai anak, umurnya jauh lebih tua. "Saya merasa sangat tua memiliki anak yang sudah tua," ujarnya berkelakar.
Kemudian, bait-bait puisi pun mengalir. Ibu/ kalau aku merantau lalu datang musim kemarau/ sumur-sumur kering daunan pun gugur bersama reranting/ hanya mataair air matamu ibu yang tetap lancar mengalir.

Pujian itu pun langsung disambut Ratih. Petikan gitar mengiringi suaranya. Anakku/ bila ibu boleh memilih apakah ibu berbadan ramping atau berbadan mekar karena mengandungmu/ maka ibu memilih mengandungmu karena dalam mengandungmu ibu merasakan keajaiban dan kebesaran Allah/ sembilan bulan kau hidup di perutku, engkau ikut ke mana pun ku pergi.

Selain puisi, lantunan nada merdu dan syahdu juga mengalir dari pita suara Hedi Yunus. Hedi, mengenakan setelan putih, menyanyikan lagu berjudul Rindu Kami Padamu. Suara vokalis grup band Kahitna yang rendah itu mengajak setiap pendengar untuk tertegun dalam cinta. Suasana yang sebelumnya khidmat berubah menjadi gelak tawa manakala seniman Slamet Gundono muncul ke atas panggung. Ukulele yang diselempangkannya tampak kontras dengan tubuh tambunnya yang berbalut baju hitam lebar. Ia membacakan syair barzanji dengan terjemahan gaya banyumasan. Slamet pun mulai bergurau. "Saya ini umat Nabi Muhammad yang paling gemuk di Pulau Jawa karena beratnya 300 kilogram," ujarnya. Setelah menyapa penonton, Slamet mulai bercerita tentang masa kecilnya ketika mempertanyakan sosok Rasulullah. Acara yang berlangsung lebih dari 3 jam ini ditutup dengan penampilan KH Mustofa Bisri, yang duduk di bangku panjang di tengah panggung. Ia antara lain membaca puisi:
Ya Rasulullah/ setiap saat jasadku salat/ setiap kali tubuhku bersimpuh/ diriku jua yang kuingat/ setiap saat kubaca salawat/ setiap kali tak lupa kubaca salam/ salam kepadamu wahai nabi/ tapi tak pernah kusadari apakah di hadapanku kau menjawab salamku. AGUSLIA HIDAYAH