Selasa, 13 Mei 2008

Nilai Filosofis itu Bernama Tradisi Wetonan




Oleh: Kurdi Muhammad*

Satu lagi, adat orang Jawa yang penuh dengan filosofi kehidupan adalah tradisi wetonan. Wetonan dapat diartikan sebagai masa atau waktu keluar, yang dalam hal ini berarti masa keluarnya seseorang dari rahim ibu menuju rahim dunia (hari kelahiran). Memang benar kalau ada yang beranggapan bahwa tradisi ini mirip dengan tradisi perayaan ulang tahun di zaman modern saat ini. Dalam bentuk redaksi bahasa yang lain, peringatan Maulid, Natal, Dies Natalis dan Harlah adalah bentuk-bentuk sinonimitas dari tradisi wetonan itu. Namun bedanya, wetonan diperingati berdasarkan hari dan pasaran bulan Jawa, sementara yang lain didasarkan pada tanggal dan bulan kelahiran, baik kalender sistem solar maupun sistem lunar. Sehingga, jika yang lain peringatannya hanya terjadi sekali dalam setahun, maka wetonan bisa diperingati sembilan sampai sepuluh kali dalam satu tahun. Hal ini dengan mudah dapat dipahami, karena memang wetonan yang didasarkan pada siklus hari dan pasaran bulan Jawa dapat terjadi 36 hari sekali. Pasaran yang penulis maksud adalah Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Sehingga, jika ada seseorang yang lahir pada hari Rabu Kliwon misalnya, maka peringatan wetonan-nya dilaksanakan pada Rabu Kliwon berikutnya yang berjarak 36 hari.
Wetonan sejatinya lebih cenderung berupa upacara selamatan. Tradisi atau selamatan ini dilakukan dengan cara mengundang lima sampai sepuluh orang tetangga terdekat, diajak untuk turut mendoakan orang yang diperingati weton-nya. Acara murni diisi dengan hanya memanjatkan doa memohon keselamatan, kedamaian, kelebihan rizki dan kekuatan iman. Meskipun di dalamnya disajikan beberapa hidangan, namun muatan dan pelaksanaan seremoninya jauh dari hingar-bingar kemubadziran dan hedonisme, apalagi syirik.
Prosesi wetonan dimulai dengan pernyataan sikap dari yang memiliki hajat. Kemudian disambung dengan permohonannya kepada para undangan untuk dapat ikut senantiasa mendoakan yang diperingati weton-nya. Menakjubkan, undangan tidak hanya diminta untuk turut mendoakan pada saat acara saja, lebih dari itu mereka dimohon untuk tetap bisa sambung doa sampai hayat sudah dikandung tanah. Setelah itu, acara dilanjutkan berdoa bersama dipimpin oleh orang setempat yang ditokohkan, kadang-kadang juga langsung dipimpin oleh empunya hajat. Terakhir, acara disudahi dengan menyantap hidangan seadanya, diselingi dengan obrolan khas orang desa yang pekat nuansa ketulusan dan seduluran-nya. Tak jarang, hidangan dibawa pulang oleh para undangan untuk dibagi kepada keluarga dan tetangganya yang lain. Hidangan bukan merupakan sesuatu yang harus ada dalam sebuah penyelenggaraan selamatan wetonan, yang terpenting adalah doa dan guyubnya para tetangga. Oleh karena itu, realitas di lapangan banyak penulis jumpai keluarga yang hanya menyajikan secangkir teh atau kopi ditambah rokok linthing.
Nilai lebihnya, dibanding peringatan-peringatan hari kelahiran lainnya, wetonan relatif menghadirkan variasi waktu peringatan kelahiran. Artinya, kesempatan untuk memperingati atau bahkan merayakan hari kelahiran bisa lebih dari satu kali dalam setahun. Sehingga, tradisi wetonan tidak harus dirayakan setiap kali muncul hari dan pasaran kelahiran, akan tetapi kita dapat memilih minimal satu dari sekian banyak hari dan pasaran yang ada dalam satu tahun. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang dikaruniai kelebihan rizki, dapat menyelenggarakan wetonan sampai sepuluh kali dalam setahun. Hal itu berarti dalam setiap kali kemunculan hari dan pasaran, orang tersebut menyelenggarakan wetonan. Sebaliknya bagi yang kurang mampu, ia dapat memilih salah satu hari dan pasaran weton disesuaikan dengan kondisinya.
Selain itu, tradisi wetonan juga mengajarkan nilai solidaritas sekaligus soliditas antara sebuah keluarga dengan tetangga-tetangganya. Dengan mengundang tetangga untuk turut dalam selamatan, berarti seseorang ingin berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Seperti halnya tertawa dan mengantuk, kebahagiaan merupakan sebuah kondisi batin yang dapat menular kepada orang lain. Sehingga orang yang bahagia karena weton kelahirannya diperingati, dapat menularkan kebahagiaannya kepada orang lain yang diundang. Tidak hanya berbagi kebahagiaan, tradisi wetonan juga mencerminkan sikap rendah hati dan mau berbagi rizki. Hidangan yang disajikan oleh empunya hajat adalah realisasi simbol filantropi itu. Sikap mau berbagi rizki merupakan salah satu wujud penghambaan secara total kepada Sang Pemberi rizki.
Sementara nilai soliditas wetonan, tercermin dari suasana guyub yang tercipta selama acara berlangsung. Wetonan dapat menjadi forum untuk saling berbagi keluh kesah antarpara undangan, atau hanya sekedar menggelar obrolan santai untuk melepas penat setelah disibukkan rutinitas masing-masing. Suasana yang guyub semacam itu secara otomatis akan menumbuhkan benih-benih empati antarsesama, yang pada gilirannya akan mempererat kerukunan. Kerukunan inilah yang oleh masyarakat adat Jawa, diyakini sebagai simpul hidup damai dan sentausa. Sebagaimana falsafah Jawa mengatakan, rukun agawe santoso, krah agawe bubrah, bahwa kerukunan membuat hidup menjadi damai dan sentausa, sebaliknya pertengkaran hanya akan menyisakan sakit hati dan perpecahan.
Di tengah maraknya konflik yang banyak terjadi belakangan ini, tampaknya nilai soliditas wetonan perlu diteladani. Orang-orang yang sering terlibat konflik, baik konflik karena sengketa hasil Pilkada, penggusuran PKL, perkelahian antarmahasiswa, perkelahian antara mahasiswa dengan polisi, bentrokan antara warga dengan TNI, bentrokan antara TNI dengan Polisi, maupun bentrokan antarpolitisi dan pejabat negara yang masih sering terjadi di negeri ini, seharusnya malu kepada masyarakat desa yang guyub dan damai karena meyakini betul resapan nilai filosofis wetonan.
Di samping itu, di zaman yang serba susah dan serba krisis ini, nilai solidaritas dalam wetonan benar-benar menemukan momentumnya. Sudah sepantasnya kita harus terus menularkan kebahagiaan yang kita miliki kepada orang lain. Tidak pernah ada ruginya membagi kebahagiaan kepada orang lain. Karena selain gratis, kebahagiaan konon merupakan kondisi perasaan yang relevan dengan fitrah kemanusiaan, sehingga tidak akan ada orang yang menolak jika ditulari kebahagiaan. Lebih-lebih jika kita semua mau berbagi rizki, insya Allah bangsa ini akan segera lepas dari kesulitan masalah ekonomi. Membagi rizki ibarat menimba air sumur, ditimba atau tidak, airnya akan tetap sebegitu. Kalau sudah demikian kita tidak perlu ragu untuk menimbanya, bukankah dengan air yang ditimba dari sumur itu kita bisa menghidupi tanaman serta memberikan minum bagi binatang dan orang lain yang kehausan? Begitu juga dengan rizki, tidak akan pernah habis karena dibagi untuk orang lain. Bukankah manusia memang diciptakan untuk saling berbagi?

* Kurdi Muhammad adalah Santri Pesantren Al-Muniroh dan Sekretaris Pemuda Ka'bah Gresik

Kamis, 01 Mei 2008

Paradoks Nilai Religiusitas Film Ayat-Ayat Cinta




Oleh: Kurdi Muhammad*

Dunia perfilman Indonesia kembali diramaikan oleh kehadiran film yang sangat fenomenal. Salah satu dari sekian film fenomenal itu adalah film Ayat-Ayat Cinta, atau orang-orang banyak menyebutnya AAC. Konon, film ini sudah ditonton lebih dari tiga juta penonton sampai dengan hari ini. Tidak hanya itu, film ini juga sudah dibajak terlebih dahulu sebelum dirilis secara resmi. Hal ini, setidak-tidaknya, menunjukkan bahwa film ini sangat diminati dan ditunggu-tunggu oleh para movie goer, lebih-lebih para pembajak film di seluruh Indonesia.
Komentar mainstream yang beredar di masyarakat tentang film ini cenderung berupa pujian dan acungan jempol. Tidak kurang, tokoh sekaliber mantan presiden Habibie, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Pimpinan Muhammadiyah Din Syamsuddin, menyebut film ini sebagai film yang layak ditonton oleh masyarakat. Bahkan Presiden SBY dikabarkan berkali-kali menyeka air mata pada saat menonton film ini. Hanung Bramantyo, sang sutradara, menyebut film ini sebagai film religi romantis yang mampu menjadi tontonan alternatif di saat mainstream film Indonesia lebih berorientasi pada aspek horor dan kekerasan, serta eksploitasi seksual.
Film AAC disebut-sebut sebagai film yang mampu menghadirkan model romantisme, kalau enggan disebut gaya percintaan, yang lebih sopan, anggun dan bermartabat, karena didasarkan pada nilai-nilai religiusitas (Islam). Simak saja misalnya, adegan bagaimana Fahri tidak mau bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram-nya, atau kekonsistenan Aisha yang enggan membuka cadar penutup wajahnya kecuali untuk orang yang meng­-khitbah-nya dan tentu saja suaminya, serta masih banyak adegan lain yang dicitrakan sebagai perilaku yang pekat nuansa religiusitasnya.
Gaya percintaan dan model pergaulan yang semacam itu penting untuk setidak-tidaknya mengimbangi model pergaulan saat ini yang cenderung permisif dan sudah menjurus ke pola pergaulan bebas. Sadar atau tidak, pergaulan bebas yang semacam itu juga terinspirasi oleh film-film yang memang mengusung ideologi vulgaritas sensual, baik film lokal maupun film Barat. Dalam kaitannya dengan ini, saya kira jalur yang ditempuh oleh AAC sudah tepat. Sudah terbukti, film AAC mampu membius penontonnya yang pada gilirannya diharapkan dapat mengikuti pola pergaulan dan percintaan yang religius, sebagaimana terdapat di dalam film tersebut. Ekspektasi yang semacam itu dapat dengan mudah dipahami, mengingat film merupakan piranti yang cukup efektif untuk mempengaruhi orang yang menontonnya. Hal ini persis seperti yang pernah diungkapkan oleh Slamet Rahardjo, bahwa kehadiran film mampu membentuk dan mengawal moralitas, integritas, bahkan kepribadian bangsa, apabila film tersebut dibuat dengan penuh tanggungjawab dan menjunjung tinggi idealisme.
Namun, yang kemudian menjadi persoalan adalah benarkah film AAC sudah mencerminkan nilai-nilai religiusitas (Islam) yang komprehensif dan integral. Ada beberapa paradoks yang perlu diperhatikan untuk tidak terburu-buru mengatakan bahwa film AAC sudah merefleksikan film religi-romantis seutuhnya.
Adalah adegan kemesraan antara Fahri dengan Aisha yang menurut penulis agak janggal dan cenderung merusak citra religius film AAC. Bagaimana tidak, hubungan antara Fahri dan Aisha yang dicitrakan sebagai hubungan yang sangat romantis dan penuh kemesraan antara suami-istri, sejatinya justru merusak nilai-nilai religiusitas yang diusung oleh film AAC itu sendiri. Apapun skenarionya, Fahri yang dalam hal ini diperankan oleh Fedi Nuril dan Rianti yang memerankan tokoh Aisha, dalam kehidupan nyata adalah dua sosok yang berlainan jenis dan antara keduanya tidak ada hubungan mahram. Sehingga, jika keduanya bermesraan, maka sebetulnya mereka telah menabrak batas larangan hubungan lawan jenis yang bukan mahram, meskipun di dalam film mereka berperan sebagai suami-istri.
Dalam hal ini penulis merasa salut kepada aktris Inneke Koesherawati. Pada saat ia didapuk berperan sebagai seorang ibu yang memiliki seorang anak laki-laki dewasa, dalam sebuah sinetron di salah satu televisi swasta, ia cenderung menolak adegan-adegan memeluk atau mencium anaknya. Inneke menyadari bahwa ia tidak memiliki hubungan mahram dengan orang yang berperan sebagai anaknya itu di dalam kehidupan nyata.
Menurut penulis, para film maker harus tampil cerdas ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan semacam itu. Mereka harus dapat mensiasatinya, misalnya, dengan merekrut sejoli yang sudah menjadi suami istri untuk menampilkan kemesraan yang memang harus ada dalam adegan hubungan antara suami-istri. Kalau tidak, bisa juga dengan tidak terlalu menampakkan kemesraan yang berlebihan, seperti memeluk, mencium dan menyentuh/membelai dengan syahwat. Atau dengan menggunakan metafor-metafor yang dapat mewakili adegan-adegan yang sensitif seperti itu. Alternatif-alternatif semacam itu menjadi sangat penting, mengingat aktor dan aktris tersebut tetap merupakan pasangan yang tidak diperbolehkan melakukan kemesraan seperti itu dalam kehidupan nyata, apapun perannya dalam sebuah film. Dalam beberapa hal, penulis melihat sebetulnya film AAC sudah berhasil mensiasati persoalan semacam itu, namun khusus mengenai hubungan Fahri dengan Aisha terlihat masih sangat janggal.
Paradoks semacam ini memang terkesan membenturkan dua variabel yang sebenarnya tidak linier, antara kehidupan nyata dengan kehidupan semu di film. Namun, apa lantas segala sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam kehidupan nyata menjadi boleh dan harus ditampilkan apa adanya dalam film. Penulis kira tidak, karena ilustrasi yang paling ekstrim misalnya, untuk memvisualisasikan adegan mati tertembak, seorang aktor tidak perlu ditembak dengan pistol dan peluru sungguhan agar matinya pun terlihat sungguhan. Atau adegan pemerkosaan, saya kira sang aktor tidak perlu sunguh-sungguh memperkosa lawan mainnya dengan dalih untuk mendapatkan chemistry sebuah adegan.


* Kurdi Muhammad adalah peneliti pada Komunitas Studi Islam dan Filsafat UMM dan Santri Pesantren Al-Muniroh, Gresik-Jatim