Selasa, 08 April 2008

Adat Apem-an dan Nilai-nilai Kesadaran Kolektif




Oleh: Kurdi Muhammad*

Di daerah tempat kelahiran penulis, desa Tamansari, salah satu desa yang terletak di wilayah Kabupaten Jember, terdapat satu perilaku adat yang unik dan sarat nilai filosofis. Masyarakat di desa tersebut menyebut perilaku adat tersebut sebagai adat apem-an.
Apem-an berasal dari kata dasar apem yang mendapat akhiran –an untuk menunjukkan arti kata kerja yang dibendakan. Apem sendiri adalah kata benda yang berasal dari bahasa Jawa. Apem adalah nama salah satu jenis kue yang sangat populer di daerah pedesaan, lebih-lebih di desa Tamansari. Apem adalah kue berbahan dasar tepung terigu atau tepung beras, yang rasanya manis. Warna atasnya putih, dan coklat kegosongan untuk warna bawahnya, karena harus di panggang di atas, yang oleh orang Tamansari disebut, empan.
Agar deskripsi kue apem ini lebih mudah ditangkap, penulis menggambarkan kue ini mirip dengan anatomi kue kucur, bentuknya bulat dan tebal berisi. Selain yang bulat, kue apem juga ada yang berbentuk lonjong seperti mikrofon, atau seperti krupuk yang biasa digunakan untuk membungkus es krim. Kue apem yang seperti ini biasa di sebut apem conthong. Bahan yang digunakan sebagai conthong biasanya terbuat dari daun pisang. Dibanding dengan kue-kue yang lain, kue apem relatif lebih mudah pembuatannya, dan rasanyapun lumayan mak nyos.
di desa Tamansari, kue apem ini menjadi sangat urgen dan tidak boleh dilupakan dalam setiap upacara selamatan. Selamatan kematian (tiga harian, tujuh harian, 40 harian dst), selamatan kelahiran ataupun selamatan-selamatan kesyukuran lain, sudah pasti ada kue apem yang disajikan. Oleh masyarakat desa Tamansari, kue apem dianggap sebagai ‘ratunya’ kue. Selain itu, kue apem juga dipercaya sebagai simbol ketenteraman, kemudahan jalan hidup dan kesucian tujuan. Sehingga, kue apem harus ada mengiringi kue-kue yang lain dalam sebuah prosesi selamatan..
Pada masyarakat adat di desa Tamansari, tradisi apem-an sudah menjadi kesadaran kolektif yang hampir tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di dalam setiap selamatan harus ada kue apem, walaupun juga tidak dilarang menyediakan kue-kue yang lain bersama sajian kue apem tersebut.
Kalaulah kemudian ada anggota masyarakat yang dalam pelaksanaan selamatan tidak mampu memberikan hidangan dan kue yang bermacam-macam. Maka sajian kue apem dirasa cukup untuk menggantikan itu semua. Sebaliknya, kalau kemudian ada orang yang mampu menyediakan beragam sajian dan jajanan dalam sebuah selamatan, tapi tidak menyediakan kue apem. Maka ia dianggap menyalahi kebiasaan, ia dianggap tidak memiliki kesadaran kolektif.
Sehingga jangan disalahkan kalau kemudian banyak orang yang menggunjing perbuatan itu, sebagai sanksi adat, meskipun kue yang disajikan lebih enak dan variatif. Masyarakat menganggap orang yang menyalahi kesadaran kolektif yang demikian itu sebagai orang yang tidak menghargai filosofi yang terkandung di dalam kue apem. Padahal oleh masyarakat setempat filosofi yang demikian itu diyakini akan berbuah konkritisasi.
Penulis menganggap pola perilaku apem-an yang demikian itu, sebagai perilaku adat yang memenuhi standar prototipe teori kesadaran kolektif Durkheim. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual, norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi. Dengan kata lain, seseorang dapat dianggap sebagai bagian dari sebuah masyarakat, jika kesadaran individualnya sudah selaras dengan kesadaran komunal/kolektif masyarakat yang bersangkutan.
.
*Penulis adalah Penggiat Komunitas Studi Islam dan Filsafat (KATALiS) PSIF UMM dan Aktivis Pemuda Muhammadiyah Kota Malang

2 komentar:

MARIA mengatakan...

Lain kali, siarkan gambarnya sekali, jadi lagi senang faham gitu.

sandhi mengatakan...

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kenduri kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH


TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.


KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

 REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

 CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.