Kamis, 01 Mei 2008

Paradoks Nilai Religiusitas Film Ayat-Ayat Cinta




Oleh: Kurdi Muhammad*

Dunia perfilman Indonesia kembali diramaikan oleh kehadiran film yang sangat fenomenal. Salah satu dari sekian film fenomenal itu adalah film Ayat-Ayat Cinta, atau orang-orang banyak menyebutnya AAC. Konon, film ini sudah ditonton lebih dari tiga juta penonton sampai dengan hari ini. Tidak hanya itu, film ini juga sudah dibajak terlebih dahulu sebelum dirilis secara resmi. Hal ini, setidak-tidaknya, menunjukkan bahwa film ini sangat diminati dan ditunggu-tunggu oleh para movie goer, lebih-lebih para pembajak film di seluruh Indonesia.
Komentar mainstream yang beredar di masyarakat tentang film ini cenderung berupa pujian dan acungan jempol. Tidak kurang, tokoh sekaliber mantan presiden Habibie, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Pimpinan Muhammadiyah Din Syamsuddin, menyebut film ini sebagai film yang layak ditonton oleh masyarakat. Bahkan Presiden SBY dikabarkan berkali-kali menyeka air mata pada saat menonton film ini. Hanung Bramantyo, sang sutradara, menyebut film ini sebagai film religi romantis yang mampu menjadi tontonan alternatif di saat mainstream film Indonesia lebih berorientasi pada aspek horor dan kekerasan, serta eksploitasi seksual.
Film AAC disebut-sebut sebagai film yang mampu menghadirkan model romantisme, kalau enggan disebut gaya percintaan, yang lebih sopan, anggun dan bermartabat, karena didasarkan pada nilai-nilai religiusitas (Islam). Simak saja misalnya, adegan bagaimana Fahri tidak mau bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram-nya, atau kekonsistenan Aisha yang enggan membuka cadar penutup wajahnya kecuali untuk orang yang meng­-khitbah-nya dan tentu saja suaminya, serta masih banyak adegan lain yang dicitrakan sebagai perilaku yang pekat nuansa religiusitasnya.
Gaya percintaan dan model pergaulan yang semacam itu penting untuk setidak-tidaknya mengimbangi model pergaulan saat ini yang cenderung permisif dan sudah menjurus ke pola pergaulan bebas. Sadar atau tidak, pergaulan bebas yang semacam itu juga terinspirasi oleh film-film yang memang mengusung ideologi vulgaritas sensual, baik film lokal maupun film Barat. Dalam kaitannya dengan ini, saya kira jalur yang ditempuh oleh AAC sudah tepat. Sudah terbukti, film AAC mampu membius penontonnya yang pada gilirannya diharapkan dapat mengikuti pola pergaulan dan percintaan yang religius, sebagaimana terdapat di dalam film tersebut. Ekspektasi yang semacam itu dapat dengan mudah dipahami, mengingat film merupakan piranti yang cukup efektif untuk mempengaruhi orang yang menontonnya. Hal ini persis seperti yang pernah diungkapkan oleh Slamet Rahardjo, bahwa kehadiran film mampu membentuk dan mengawal moralitas, integritas, bahkan kepribadian bangsa, apabila film tersebut dibuat dengan penuh tanggungjawab dan menjunjung tinggi idealisme.
Namun, yang kemudian menjadi persoalan adalah benarkah film AAC sudah mencerminkan nilai-nilai religiusitas (Islam) yang komprehensif dan integral. Ada beberapa paradoks yang perlu diperhatikan untuk tidak terburu-buru mengatakan bahwa film AAC sudah merefleksikan film religi-romantis seutuhnya.
Adalah adegan kemesraan antara Fahri dengan Aisha yang menurut penulis agak janggal dan cenderung merusak citra religius film AAC. Bagaimana tidak, hubungan antara Fahri dan Aisha yang dicitrakan sebagai hubungan yang sangat romantis dan penuh kemesraan antara suami-istri, sejatinya justru merusak nilai-nilai religiusitas yang diusung oleh film AAC itu sendiri. Apapun skenarionya, Fahri yang dalam hal ini diperankan oleh Fedi Nuril dan Rianti yang memerankan tokoh Aisha, dalam kehidupan nyata adalah dua sosok yang berlainan jenis dan antara keduanya tidak ada hubungan mahram. Sehingga, jika keduanya bermesraan, maka sebetulnya mereka telah menabrak batas larangan hubungan lawan jenis yang bukan mahram, meskipun di dalam film mereka berperan sebagai suami-istri.
Dalam hal ini penulis merasa salut kepada aktris Inneke Koesherawati. Pada saat ia didapuk berperan sebagai seorang ibu yang memiliki seorang anak laki-laki dewasa, dalam sebuah sinetron di salah satu televisi swasta, ia cenderung menolak adegan-adegan memeluk atau mencium anaknya. Inneke menyadari bahwa ia tidak memiliki hubungan mahram dengan orang yang berperan sebagai anaknya itu di dalam kehidupan nyata.
Menurut penulis, para film maker harus tampil cerdas ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan semacam itu. Mereka harus dapat mensiasatinya, misalnya, dengan merekrut sejoli yang sudah menjadi suami istri untuk menampilkan kemesraan yang memang harus ada dalam adegan hubungan antara suami-istri. Kalau tidak, bisa juga dengan tidak terlalu menampakkan kemesraan yang berlebihan, seperti memeluk, mencium dan menyentuh/membelai dengan syahwat. Atau dengan menggunakan metafor-metafor yang dapat mewakili adegan-adegan yang sensitif seperti itu. Alternatif-alternatif semacam itu menjadi sangat penting, mengingat aktor dan aktris tersebut tetap merupakan pasangan yang tidak diperbolehkan melakukan kemesraan seperti itu dalam kehidupan nyata, apapun perannya dalam sebuah film. Dalam beberapa hal, penulis melihat sebetulnya film AAC sudah berhasil mensiasati persoalan semacam itu, namun khusus mengenai hubungan Fahri dengan Aisha terlihat masih sangat janggal.
Paradoks semacam ini memang terkesan membenturkan dua variabel yang sebenarnya tidak linier, antara kehidupan nyata dengan kehidupan semu di film. Namun, apa lantas segala sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam kehidupan nyata menjadi boleh dan harus ditampilkan apa adanya dalam film. Penulis kira tidak, karena ilustrasi yang paling ekstrim misalnya, untuk memvisualisasikan adegan mati tertembak, seorang aktor tidak perlu ditembak dengan pistol dan peluru sungguhan agar matinya pun terlihat sungguhan. Atau adegan pemerkosaan, saya kira sang aktor tidak perlu sunguh-sungguh memperkosa lawan mainnya dengan dalih untuk mendapatkan chemistry sebuah adegan.


* Kurdi Muhammad adalah peneliti pada Komunitas Studi Islam dan Filsafat UMM dan Santri Pesantren Al-Muniroh, Gresik-Jatim

Tidak ada komentar: