Oleh: Kurdi Muhammad
Jika dirunut lebih jauh, ternyata euforia selebrasi hari ibu menyisakan artefak histori yang demikian panjang dan bervariasi antara negara satu dengan negara yang lain, termasuk diferensiasi tanggal peringatannya. Konon, hari ibu diperingati pertama kali secara seremonial pada masa imperium Romawi. Bangsa Romawi Purba memperingati hari ibu untuk memberi penghormatan kepada ‘Cybele’ yang mereka anggap sebagai The Great Mother of God (Ibu Tuhan Yang Perkasa). Versi lain menyebutkan, hari ibu pertama kali diperingati oleh bangsa Yunani kuno. Setiap kali musim bunga, bangsa Yunani kuno mempersembahkan bunga yang cantik nan harum kepada Rhea, yang mereka anggap sebagai ibu Tuhan. Di Amerika Serikat, sejarah hari ibu bermula dari kisah seorang perempuan bernama Anna Jarvis yang berusaha menyelamatkan orang-orang miskin dalam masyarakatnya, terutama kaum ibu. Akhirnya, Anna Jarvis memilih tanggal 8 Mei sebagai hari terbaik untuk menghargai kaum ibu. Dia menyebutnya Mother’s Work Day. Belakangan, Anna Jarvis ditetapkan sebagai Mother of Mother’s Day (ibu hari ibu). Dan, hari itu oleh Presiden Woodrow Wilson ditetapkan sebagai hari cuti nasional, minggu kedua bulan Mei, setiap tahunnya. Di Inggris peringatan semacam itu dikenal dengan istilah Mothering Sunday.
Berbeda dengan negara-negara tersebut di atas, Indonesia memiliki benih sejarah (The Seed of History) hari ibu yang khas. Hari Ibu di Indonesia diperingati pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Bukan ingin membuat sensasi (karena kebanyakan peringatan hari Ibu di negara Barat jatuh pada tanggal 8 Mei), bukan pula wujud antipati terhadap West Ideology. Melainkan lebih dikarenakan pada tempo itu terjadi peristiwa sejarah yang sangat monumental. Peringatan hari ibu di negara ini bertolak dari momentum Kongres Perempoean Indonesia I di Yogyakarta (22-25 Desember 1928). Kongres ini merupakan puncak kesadaran berorganisasi kaum perempuan kala itu, mereka tak lagi mempersoalkan latar belakang SARA, yang terpenting bagi mereka adalah tujuan untuk memajukan kaum perempuan Indonesia dan menyatukan organisasi kewanitaan yang sudah eksis. Yang lebih mengesankan, Kongres berhasil merumuskan beberapa tuntutan yang penting bagi kaum perempuan Indonesia, antara lain mengusahakan bantuan dari pemerintah untuk para janda dan anak yatim, beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan. Akhirnya, bermaksud mengambil dan mengabadikan spirit kongres yang dibidani oleh ibu-ibu itu (baca juga; kaum perempuan), pada tahun 1959, Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden bernomor 316 yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu yang diperingati setiap tahunnya secara nasional.
Hari Ibu sering dianggap sama dengan Mother’s Day, seperti tampak pada tulisan Bintoro Gunadi (KOMPAS, 20 Desember 2004). Namun, Beberapa pakar yang fully Indonesianist sempat memprotes argumen yang menyamakan Hari Ibu a la Indonesia dengan Mother’s Day versi negara-negara Barat. Antara lain Yeni Rosa Damayanti dan Hary Prabowo, aktivis gerakan Sosial, dalam Hari Ibu Tidak Sama dengan Mother’s Day":Mengembalikan Akar Sejarah Hari Ibu, mengatakan bahwa Hari Ibu tidak dapat disamakan dengan Mother’s Day. Karena semangat yang diusung oleh hari Ibu jauh lebih luhur dibanding Mother’s Day. Spirit yang diusung oleh hari Ibu adalah semangat pembebasan nasib kaum perempuan dari belenggu ketertindasan pada waktu itu. Sedangkan Mother’s Day lebih merupakan aktivisme untuk mendedikasikan hari itu sebagai penghormatan terhadap jasa para ibu dalam merawat anak-anak dan suami serta mengurus rumah tangga. Pada hari itu kaum perempuan dibebaskan dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.Manifestasi Mother’s Day ini kerap dinyatakan dengan mengirim kartu, memberikan bunga, menggantikan peran ibu di dapur, dan membelikan hadiah. Biasanya hadiah yang dipilih pun adalah benda yang mencerminkan "sifat keibuan", seperti perlengkapan dapur yang cantik. Inti pemaknaan Mother’s Day macam ini adalah perayaan peran domestik perempuan sekaligus peneguhan posisi perempuan sebagai makhluk domestik. Domestifikasi perempuan ini mengawetkan bilik dapur, sumur, dan kasur sebagai domain kaum perempuan. (KOMPAS, Desember 2004)
Hemat penulis, baik Hari Ibu maupun Mother’s Day sama-sama mengusung ruh penghormatan harkat, martabat dan derajat kaum perempuan. Sebenarnya, nilai luhur yang diusung oleh keduanya saling berkait kelindan. Hari Ibu yang mengusung misi pembebasan kaum perempuan dari ketertindasan, tidak akan maksimal tanpa penghargaan terhadap peran domestik (ke-rumah tangga-an) sebagaimana lazimnya Mother’s Day. Sebaliknya, apresiasi terhadap peran domestik kaum ibu saja tidak cukup, karena domestifikasi peran ibu lama-kelamaan akan mengasingkan ibu dalam percaturan sosio kultural dan sosio struktural. Dus, meskipun dibedakan antara Hari Ibu dan Mother’s Day, namun muatan nilai yang terkandung akan senantiasa inheren, tidak bisa terpisah satu sama lain. Karena kalau dipisah akan menimbulkan destruksi keberpihakan terhadap kaum ibu/perempuan secara kaffah.
Sekarang, Hari Ibu sudah diperingati 47 kali semenjak di-Keppres-kan tahun 1959. Ironisnya, setelah sekian lama, masalah ketertindasan perempuan tak kunjung terselesaikan. Bahkan, polarisasi problem sosial, pendidikan dan kesehatan bertubi-tubi menghantam kaum perempuan. Kematian ibu hamil, gizi buruk bagi ibu hamil, kekerasan dalam rumah tangga, Trafficking, kekerasan terhadap PRT/TKW adalah sederet masalah yang kerap dihadapi oleh para ibu di zaman ini.
Kematian ibu hamil misalnya, dari data yang dirilis oleh BKKBN diketahui Angka kematian ibu pada tahun 1990 mencapai 450 orang per 100.000 kelahiran. Di tahun 2003, jumlah itu turun menjadi 307 orang per 100.000 kelahiran hidup, atau sekitar 15.700 orang. Angka kematian ibu hamil dan melahirkan di Indonesia tergolong tinggi dibanding Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sebanyak 11 persen kematian disebabkan karena aborsi. Jumlah kasus aborsi per tahun mencapai dua juta atau 43 persen aborsi per 100 kehamilan (Utomo dkk, 2001). Angka tersebut juga masih jauh dari target yang ditetapkan Internastional Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo. Yaitu di bawah 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 dan 75 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015.
Tingginya angka kematian ibu sangat dipengaruhi oleh asupan gizi yang dikonsumsi ibu saat hamil. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, dari 35 persen wanita usia subur yang kekurangan energi protein (KEP) ada 14 persen, di antaranya adalah ibu hamil. Sementara data Survei Kesehatan Nasional (Surkenas) 2001 menunjukkan adanya kenaikan ibu hamil kurang gizi menjadi 19,1 persen. Kamampuan mengakses fasilitas kesehatan juga turut mempengaruhi tingginya angka kematian ibu. Data Program Kesehatan Reproduksi WHO untuk Indonesia menyebutkan, ada 34 % wanita di Indonesia yang masih kesulitan mengakses fasilitas kesehatan.
Berkait masalah kekerasan domestik, WHO (World Health Organization) telah melakukan penelitian terhadap 24 ribu responden wanita di 10 negara, termasuk Jepang, Brazil, Ethiopia, dan Selandia Baru. Di Jepang, 13 persen wanita yang menjadi responden penelitian melaporkan adanya kekerasan dalam rumah tangganya, sementara di Ethiopia angkanya lebih besar, mencapai 50 persen. Bentuk kekerasan yang dialami responden, dicekik, dipukul dengan kepalan tangan, diseret dan dibakar. Di Indonesia data tahun ini juga mencatat ada beberapa kasus yang korbannya lebih dari satu orang dan satu kasus dengan empat orang pelaku. Jadi, total kasus baru tahun ini berjumlah 455. Pelaku kekerasan paling banyak adalah suami (77,36 persen), mantan suami (3,08 persen), orang tua/mertua/saudara (6,15 persen), majikan (0,22 persen). Ada juga pelaku kekerasan adalah pacar/teman dekat sebanyak 9,01 persen. (KOMPAS, 24 Desember 2005)
Sedangkan untuk kasus trafficking (perdagangan perempuan dan anak), Indonesia masuk peringkat ketiga atau berarti berbahaya. Padahal, Indonesia sebagai negara pengirim mempunyai catatan kasus cukup tinggi-7.000 kasus. Polanya sangat variatif, namun mayoritas dikemas dalam bentuk pengiriman tenaga kerja. Korban trafficking terbesar berasal dari Asia, atau lebih dari 225.000 orang dari Asia Tenggara dan lebih dari 115.000 orang dari Asia Selatan. Dalam laporan Deplu AS tanggal 12 Juni 2001 mengenai trafficking in persons, yang dibuat berdasarkan masukan dari kedutaan-kedutaan besar dan konsulat AS di seluruh dunia, Indonesia bersama 22 negara lain dipandang sebagai sumber trafficking, baik di dalam negeri maupun antarnegara. (KOMPAS, 2002)
Melihat multiderita yang dialami kaum ibu, kiranya kebahagiaan Mother’s Day (baca: Hari Ibu) hanya dapat dinikmati sehari saja (pada tanggal 22 Desember) oleh mereka, kaum ibu. Selebihnya, 364 hari tak ubahnya Monster Day, yang siap memangsa kaum ibu yang lalai meningkatkan standar kehidupan ekonomi, pendidikan dan kesehatannya. Namun lebih dulu, kaum ibu harus mempunyai tekad membendung derita dan melawan ketertindasan. Karena dengan begitu akan muncul inisiatif-inisiatif gerakan meningkatkan derajat dan kualitas hidup kaum ibu.
Pemerintah tidak boleh tinggal diam, karena problem yang dialami oleh kaum ibu ini juga menjadi tanggung jawabnya. Pemerataan pendidikan dan kesempatan belajar, kemudahan akses kesehatan, kepastian hukum dan kewibawaan negara di mata dunia akan sangat membantu mengurangi penderitaan kaum ibu selama ini.
* Tulisan ini pernah dimuat di tabloid Bestari Edisi 210
Jumat, 19 Desember 2008
Rabu, 17 Desember 2008
Cak Bagong, Bekutheh, Wedus Kacang dan Pesan Antikorupsi
Oleh: Kurdi Muhammad
Ada yang menarik pada saat penulis mudik, hari raya Idhul Adha kemarin. Barangkali anda yang bukan asli orang Jawa agak mumet mencari tahu apa itu wedus kacang. Saya sendiri terpaksa menggunakan istilah wedus kacang, karena belum tahu atau lebih tepatnya belum menemukan padanan kata wedus kacang dalam bahasa Indonesia.Kambing congek? saya rasa bukan! kambing hitam? juga bukan!kambing api atau kambing kempis? apalagi, juga bukan!
Kalau diterjemahkan dengan bahasa yang agak lugu, wedus kacang berarti kambing kacang, karena bahasa Indonesianya kacang ya tetap kacang. Atau yang agak nyambung bisa diartikan kambing 'kacang(an)' alias kambing penakut, kambing munafik atau kambing pengecut. Namun, lagi-lagi itu bukan terjemahan yang pas untuk memaknai wedus kacang. Sudahlah, apapun bahasa yang digunakan untuk memaknai, wedus kacang tetaplah wedus kacang, kambing yang memiliki warna bulu perpaduan antara hitam, putih dan coklat, serta memiliki suara embekan yang khas. Dan satu yang pasti, wedus kacang tetaplah seekor kambing yang dagingnya sangat lezat, namun mematikan bagi orang tertentu, dan menambah gairah bagi orang tertentu yang lain.
Belum lagi tuntas pembahasan tentang wedus kacang, kini anda harus kembali bingung mencari tahu apa itu bekutheh. Suku kata yang pertama dibaca dengan nada biasa 'be ku' sedangkan suku kata yang terakhir bacalah seperti anda membaca kata 'teh' dalam kalimat, Nyoman suka minum 'teh', dengan logat Balinya yang kental.Saya meskipun asli orang desa, bingung juga ketika harus mengartikan kata itu. Kebingungan itu seperti ketika dulu saya untuk pertama kali mendengar kata 'labirin malam', kue apa labirin malam itu? Lalu apa bekutheh itu? Nanti anda akan paham setelah tuntas membaca tulisan ini.
Kebetulan hari Adha kemarin saya tidak ada job Khutbah di tempat domisili, sehingga saya memutuskan untuk mudik,temu kangen dengan saudara-saudara di kampung. di Kampung saya itu, ada Mushola kecil tempat saya biasa melakukan sholat, termasuk sholat hari Raya Idul Adha.Ada empat kambing yang siap dikorbankan pada pagi hari itu, salah satunya adalah wedus kacang yang bikin kita bingung tadi. Saat pengurbanan telah tiba, warga kampung yang baru saja selesai sholat Idul Adha berkerumun menyaksikan penyembelihan. Satu per satu kambing pun disembelih, dan giliran wedus kacangpun akhirnya datang. Ngesss....sekali gorok, nyawa wedus kacangpun perlahan namun pasti bergerak menuju nirwana. Yang penulis kagumi dari para kambing itu, tidak ada sedikitpun ekspresi kesedihan dan ketakutan tampak di wajah mereka, seperti halnya trio pengebom Bali jelang pelaksanaan eksekusi beberapa waktu lalu.
Setelah mayat kambing dikupas dan dikuliti, seluruh isi perutnya dikeluarkan, besar dan banyaknya mencapai dua keranjang besar. Setelah itu, Bu Nyai di kampung saya berteriak, "Ayo Lare! sopo sing gelem bekutheh?", ujarnya sambil menunjuk dua keranjang isi perut kambing tadi. Kalau saya terjemahkan kira-kira artinya begini, Ayo mas, siapa yang mau bekutheh?. Spontan teman-teman Remaja Mushola (Remush) mengangkat dan membawa dua keranjang tadi itu ke sungai. Sesampainya disungai, para Remush tadi itu langsung membedah perut dan usus-usus kambing,untuk kemudian membersihkan kotoran yang ada di dalamnya. Anda tidak perlu membayangkan bagaimana para Remush bersimbah jorok dan baunya kotoran kambing. Tapi satu yang pasti, dengan begitu, saya jadi tahu bahwa ternyata bekutheh itu, mengeluarkan dan membersihkan kotoran dari dalam perut dan usus kambing.
Seperti halnya kambing-kambing yang tidak takut sedikitpun ketika mau disembelih, para Remush dan tentu saja saya ikut di dalamnya, tidak sedikitpun merasa jijik pada saat membersihkan kotoran tersebut. Saya yakin bukan karena para Remush itu orang desa -yang biasanya dicitrakan dekil dan jorok- karena ternyata banyak juga orang desa yang masih jijik terhadap hal-hal yang demikian itu. Lebih dari itu, karena memang mereka semua menghayati makna hari Raya Kurban. Barangkali yang ada di dalam pikiran para Remush ini, masak mereka kalah dengan kambing yang mau mengorbankan nyawanya untuk Idhul Adha, padahal mereka hanya dituntut untuk mengorbankan rasa jijiknya saja.
Pada saat sedang asyik-asyiknya ber-bekutheh, tiba-tiba Cak Bagong (bukan nama samaran) nyletuk, "Saya minta dagingnya sedikit Rek!", katanya dengan nada polos. Menanggapi pernyataan Cak Bagong itu teman-teman berbeda pendapat, ada yang tidak membolehkan karena itu daging kurban, sebagian ada yang membolehkan, karena itung-itung itu adalah upah jerih payah Cak Bagong mbekutheh. Mendengar perdebatan semacam itu, tiba-tiba dalam pikiran saya keluar file tentang pejabat-pejabat yang sudah melakukan korupsi milyaran bahkan trilyunan rupiah. Dalam batin saya, kayaknya tidak ada apa-apanya apa yang dilakukan oleh Cak Bagong dibanding penggarongan yang sudah dilakukan oleh para koruptor.
Koruptor dan korupsi di negeri ini sudah sangat keterlaluan. Mereka, para koruptor yang mengaku sebagai pejabat,petinggi negara,petinggi parpol, hakim, jaksa dan juga kebanyakan pengusaha, ternyata tidak lebih baik dari wedus kacang yang dikurbankan tadi. Bayangkan, Wedus Kacang berani mengurbankan nyawanya demi kegembiraan umat di hari Raya, tapi para koruptor ini, yang ada bukannya berkurban, tapi justru mengorbankan rakyat dan negaranya untuk kepentingan pribadi. Mereka, para koruptor ini, ternyata juga tidak lebih baik dari Cak Bagong yang walaupun dia orang desa dan pendidikannya pas-pasan, tapi dia mengambil haknya setelah bekerja secara fair, itupun secukupnya, tidak sampai 1 ons daging.
Oleh karena itu, kalau ada koruptor yang nyasar membaca tulisan ini, terserah mau pilih tetap menjadi lebih jelek dari wedus kacang, menjadi persis seperti wedus kacang atau lebih baik dari wedus kacang, monggo kerso! Kalau setelah membaca tulisan ini tetap saja korupsi, maka anda memang benar-benar kambing kacang(an)! Bagi pembaca yang kebetulan belum pernah korupsi, atau sudah pernah korupsi tapi masih sedikit, masak anda mau jadi kambing kacang(an) juga?!!!!
Terakhir, saya ingin minta maaf kepada wedus kacang, karena saya terpaksa mengupas namanya dalam tulisan ini, selain saya memang benar-benar mengupas kulit dan perutnya ketika ikut mbekutheh. Termasuk, kalau tulisan saya yang menganalogikan wedus kacang dengan para koruptor ini dinilai merendahkan martabat wedus kacang dan kambing pada umumnya, sekali lagi saya mohon maaf. Semoga arwah para kambing dan wedus kacang yang sudah dikurbankan, diterima disisi-Nya. Dan mudah-mudahan para koruptor segara menyusul arwah para kambing ke alam baka. Amien dong! Amien.....
Ada yang menarik pada saat penulis mudik, hari raya Idhul Adha kemarin. Barangkali anda yang bukan asli orang Jawa agak mumet mencari tahu apa itu wedus kacang. Saya sendiri terpaksa menggunakan istilah wedus kacang, karena belum tahu atau lebih tepatnya belum menemukan padanan kata wedus kacang dalam bahasa Indonesia.Kambing congek? saya rasa bukan! kambing hitam? juga bukan!kambing api atau kambing kempis? apalagi, juga bukan!
Kalau diterjemahkan dengan bahasa yang agak lugu, wedus kacang berarti kambing kacang, karena bahasa Indonesianya kacang ya tetap kacang. Atau yang agak nyambung bisa diartikan kambing 'kacang(an)' alias kambing penakut, kambing munafik atau kambing pengecut. Namun, lagi-lagi itu bukan terjemahan yang pas untuk memaknai wedus kacang. Sudahlah, apapun bahasa yang digunakan untuk memaknai, wedus kacang tetaplah wedus kacang, kambing yang memiliki warna bulu perpaduan antara hitam, putih dan coklat, serta memiliki suara embekan yang khas. Dan satu yang pasti, wedus kacang tetaplah seekor kambing yang dagingnya sangat lezat, namun mematikan bagi orang tertentu, dan menambah gairah bagi orang tertentu yang lain.
Belum lagi tuntas pembahasan tentang wedus kacang, kini anda harus kembali bingung mencari tahu apa itu bekutheh. Suku kata yang pertama dibaca dengan nada biasa 'be ku' sedangkan suku kata yang terakhir bacalah seperti anda membaca kata 'teh' dalam kalimat, Nyoman suka minum 'teh', dengan logat Balinya yang kental.Saya meskipun asli orang desa, bingung juga ketika harus mengartikan kata itu. Kebingungan itu seperti ketika dulu saya untuk pertama kali mendengar kata 'labirin malam', kue apa labirin malam itu? Lalu apa bekutheh itu? Nanti anda akan paham setelah tuntas membaca tulisan ini.
Kebetulan hari Adha kemarin saya tidak ada job Khutbah di tempat domisili, sehingga saya memutuskan untuk mudik,temu kangen dengan saudara-saudara di kampung. di Kampung saya itu, ada Mushola kecil tempat saya biasa melakukan sholat, termasuk sholat hari Raya Idul Adha.Ada empat kambing yang siap dikorbankan pada pagi hari itu, salah satunya adalah wedus kacang yang bikin kita bingung tadi. Saat pengurbanan telah tiba, warga kampung yang baru saja selesai sholat Idul Adha berkerumun menyaksikan penyembelihan. Satu per satu kambing pun disembelih, dan giliran wedus kacangpun akhirnya datang. Ngesss....sekali gorok, nyawa wedus kacangpun perlahan namun pasti bergerak menuju nirwana. Yang penulis kagumi dari para kambing itu, tidak ada sedikitpun ekspresi kesedihan dan ketakutan tampak di wajah mereka, seperti halnya trio pengebom Bali jelang pelaksanaan eksekusi beberapa waktu lalu.
Setelah mayat kambing dikupas dan dikuliti, seluruh isi perutnya dikeluarkan, besar dan banyaknya mencapai dua keranjang besar. Setelah itu, Bu Nyai di kampung saya berteriak, "Ayo Lare! sopo sing gelem bekutheh?", ujarnya sambil menunjuk dua keranjang isi perut kambing tadi. Kalau saya terjemahkan kira-kira artinya begini, Ayo mas, siapa yang mau bekutheh?. Spontan teman-teman Remaja Mushola (Remush) mengangkat dan membawa dua keranjang tadi itu ke sungai. Sesampainya disungai, para Remush tadi itu langsung membedah perut dan usus-usus kambing,untuk kemudian membersihkan kotoran yang ada di dalamnya. Anda tidak perlu membayangkan bagaimana para Remush bersimbah jorok dan baunya kotoran kambing. Tapi satu yang pasti, dengan begitu, saya jadi tahu bahwa ternyata bekutheh itu, mengeluarkan dan membersihkan kotoran dari dalam perut dan usus kambing.
Seperti halnya kambing-kambing yang tidak takut sedikitpun ketika mau disembelih, para Remush dan tentu saja saya ikut di dalamnya, tidak sedikitpun merasa jijik pada saat membersihkan kotoran tersebut. Saya yakin bukan karena para Remush itu orang desa -yang biasanya dicitrakan dekil dan jorok- karena ternyata banyak juga orang desa yang masih jijik terhadap hal-hal yang demikian itu. Lebih dari itu, karena memang mereka semua menghayati makna hari Raya Kurban. Barangkali yang ada di dalam pikiran para Remush ini, masak mereka kalah dengan kambing yang mau mengorbankan nyawanya untuk Idhul Adha, padahal mereka hanya dituntut untuk mengorbankan rasa jijiknya saja.
Pada saat sedang asyik-asyiknya ber-bekutheh, tiba-tiba Cak Bagong (bukan nama samaran) nyletuk, "Saya minta dagingnya sedikit Rek!", katanya dengan nada polos. Menanggapi pernyataan Cak Bagong itu teman-teman berbeda pendapat, ada yang tidak membolehkan karena itu daging kurban, sebagian ada yang membolehkan, karena itung-itung itu adalah upah jerih payah Cak Bagong mbekutheh. Mendengar perdebatan semacam itu, tiba-tiba dalam pikiran saya keluar file tentang pejabat-pejabat yang sudah melakukan korupsi milyaran bahkan trilyunan rupiah. Dalam batin saya, kayaknya tidak ada apa-apanya apa yang dilakukan oleh Cak Bagong dibanding penggarongan yang sudah dilakukan oleh para koruptor.
Koruptor dan korupsi di negeri ini sudah sangat keterlaluan. Mereka, para koruptor yang mengaku sebagai pejabat,petinggi negara,petinggi parpol, hakim, jaksa dan juga kebanyakan pengusaha, ternyata tidak lebih baik dari wedus kacang yang dikurbankan tadi. Bayangkan, Wedus Kacang berani mengurbankan nyawanya demi kegembiraan umat di hari Raya, tapi para koruptor ini, yang ada bukannya berkurban, tapi justru mengorbankan rakyat dan negaranya untuk kepentingan pribadi. Mereka, para koruptor ini, ternyata juga tidak lebih baik dari Cak Bagong yang walaupun dia orang desa dan pendidikannya pas-pasan, tapi dia mengambil haknya setelah bekerja secara fair, itupun secukupnya, tidak sampai 1 ons daging.
Oleh karena itu, kalau ada koruptor yang nyasar membaca tulisan ini, terserah mau pilih tetap menjadi lebih jelek dari wedus kacang, menjadi persis seperti wedus kacang atau lebih baik dari wedus kacang, monggo kerso! Kalau setelah membaca tulisan ini tetap saja korupsi, maka anda memang benar-benar kambing kacang(an)! Bagi pembaca yang kebetulan belum pernah korupsi, atau sudah pernah korupsi tapi masih sedikit, masak anda mau jadi kambing kacang(an) juga?!!!!
Terakhir, saya ingin minta maaf kepada wedus kacang, karena saya terpaksa mengupas namanya dalam tulisan ini, selain saya memang benar-benar mengupas kulit dan perutnya ketika ikut mbekutheh. Termasuk, kalau tulisan saya yang menganalogikan wedus kacang dengan para koruptor ini dinilai merendahkan martabat wedus kacang dan kambing pada umumnya, sekali lagi saya mohon maaf. Semoga arwah para kambing dan wedus kacang yang sudah dikurbankan, diterima disisi-Nya. Dan mudah-mudahan para koruptor segara menyusul arwah para kambing ke alam baka. Amien dong! Amien.....
Langganan:
Postingan (Atom)