Oleh: Kurdi Muhammad
Jika dirunut lebih jauh, ternyata euforia selebrasi hari ibu menyisakan artefak histori yang demikian panjang dan bervariasi antara negara satu dengan negara yang lain, termasuk diferensiasi tanggal peringatannya. Konon, hari ibu diperingati pertama kali secara seremonial pada masa imperium Romawi. Bangsa Romawi Purba memperingati hari ibu untuk memberi penghormatan kepada ‘Cybele’ yang mereka anggap sebagai The Great Mother of God (Ibu Tuhan Yang Perkasa). Versi lain menyebutkan, hari ibu pertama kali diperingati oleh bangsa Yunani kuno. Setiap kali musim bunga, bangsa Yunani kuno mempersembahkan bunga yang cantik nan harum kepada Rhea, yang mereka anggap sebagai ibu Tuhan. Di Amerika Serikat, sejarah hari ibu bermula dari kisah seorang perempuan bernama Anna Jarvis yang berusaha menyelamatkan orang-orang miskin dalam masyarakatnya, terutama kaum ibu. Akhirnya, Anna Jarvis memilih tanggal 8 Mei sebagai hari terbaik untuk menghargai kaum ibu. Dia menyebutnya Mother’s Work Day. Belakangan, Anna Jarvis ditetapkan sebagai Mother of Mother’s Day (ibu hari ibu). Dan, hari itu oleh Presiden Woodrow Wilson ditetapkan sebagai hari cuti nasional, minggu kedua bulan Mei, setiap tahunnya. Di Inggris peringatan semacam itu dikenal dengan istilah Mothering Sunday.
Berbeda dengan negara-negara tersebut di atas, Indonesia memiliki benih sejarah (The Seed of History) hari ibu yang khas. Hari Ibu di Indonesia diperingati pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Bukan ingin membuat sensasi (karena kebanyakan peringatan hari Ibu di negara Barat jatuh pada tanggal 8 Mei), bukan pula wujud antipati terhadap West Ideology. Melainkan lebih dikarenakan pada tempo itu terjadi peristiwa sejarah yang sangat monumental. Peringatan hari ibu di negara ini bertolak dari momentum Kongres Perempoean Indonesia I di Yogyakarta (22-25 Desember 1928). Kongres ini merupakan puncak kesadaran berorganisasi kaum perempuan kala itu, mereka tak lagi mempersoalkan latar belakang SARA, yang terpenting bagi mereka adalah tujuan untuk memajukan kaum perempuan Indonesia dan menyatukan organisasi kewanitaan yang sudah eksis. Yang lebih mengesankan, Kongres berhasil merumuskan beberapa tuntutan yang penting bagi kaum perempuan Indonesia, antara lain mengusahakan bantuan dari pemerintah untuk para janda dan anak yatim, beasiswa untuk anak perempuan dan sekolah-sekolah perempuan. Akhirnya, bermaksud mengambil dan mengabadikan spirit kongres yang dibidani oleh ibu-ibu itu (baca juga; kaum perempuan), pada tahun 1959, Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden bernomor 316 yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu yang diperingati setiap tahunnya secara nasional.
Hari Ibu sering dianggap sama dengan Mother’s Day, seperti tampak pada tulisan Bintoro Gunadi (KOMPAS, 20 Desember 2004). Namun, Beberapa pakar yang fully Indonesianist sempat memprotes argumen yang menyamakan Hari Ibu a la Indonesia dengan Mother’s Day versi negara-negara Barat. Antara lain Yeni Rosa Damayanti dan Hary Prabowo, aktivis gerakan Sosial, dalam Hari Ibu Tidak Sama dengan Mother’s Day":Mengembalikan Akar Sejarah Hari Ibu, mengatakan bahwa Hari Ibu tidak dapat disamakan dengan Mother’s Day. Karena semangat yang diusung oleh hari Ibu jauh lebih luhur dibanding Mother’s Day. Spirit yang diusung oleh hari Ibu adalah semangat pembebasan nasib kaum perempuan dari belenggu ketertindasan pada waktu itu. Sedangkan Mother’s Day lebih merupakan aktivisme untuk mendedikasikan hari itu sebagai penghormatan terhadap jasa para ibu dalam merawat anak-anak dan suami serta mengurus rumah tangga. Pada hari itu kaum perempuan dibebaskan dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.Manifestasi Mother’s Day ini kerap dinyatakan dengan mengirim kartu, memberikan bunga, menggantikan peran ibu di dapur, dan membelikan hadiah. Biasanya hadiah yang dipilih pun adalah benda yang mencerminkan "sifat keibuan", seperti perlengkapan dapur yang cantik. Inti pemaknaan Mother’s Day macam ini adalah perayaan peran domestik perempuan sekaligus peneguhan posisi perempuan sebagai makhluk domestik. Domestifikasi perempuan ini mengawetkan bilik dapur, sumur, dan kasur sebagai domain kaum perempuan. (KOMPAS, Desember 2004)
Hemat penulis, baik Hari Ibu maupun Mother’s Day sama-sama mengusung ruh penghormatan harkat, martabat dan derajat kaum perempuan. Sebenarnya, nilai luhur yang diusung oleh keduanya saling berkait kelindan. Hari Ibu yang mengusung misi pembebasan kaum perempuan dari ketertindasan, tidak akan maksimal tanpa penghargaan terhadap peran domestik (ke-rumah tangga-an) sebagaimana lazimnya Mother’s Day. Sebaliknya, apresiasi terhadap peran domestik kaum ibu saja tidak cukup, karena domestifikasi peran ibu lama-kelamaan akan mengasingkan ibu dalam percaturan sosio kultural dan sosio struktural. Dus, meskipun dibedakan antara Hari Ibu dan Mother’s Day, namun muatan nilai yang terkandung akan senantiasa inheren, tidak bisa terpisah satu sama lain. Karena kalau dipisah akan menimbulkan destruksi keberpihakan terhadap kaum ibu/perempuan secara kaffah.
Sekarang, Hari Ibu sudah diperingati 47 kali semenjak di-Keppres-kan tahun 1959. Ironisnya, setelah sekian lama, masalah ketertindasan perempuan tak kunjung terselesaikan. Bahkan, polarisasi problem sosial, pendidikan dan kesehatan bertubi-tubi menghantam kaum perempuan. Kematian ibu hamil, gizi buruk bagi ibu hamil, kekerasan dalam rumah tangga, Trafficking, kekerasan terhadap PRT/TKW adalah sederet masalah yang kerap dihadapi oleh para ibu di zaman ini.
Kematian ibu hamil misalnya, dari data yang dirilis oleh BKKBN diketahui Angka kematian ibu pada tahun 1990 mencapai 450 orang per 100.000 kelahiran. Di tahun 2003, jumlah itu turun menjadi 307 orang per 100.000 kelahiran hidup, atau sekitar 15.700 orang. Angka kematian ibu hamil dan melahirkan di Indonesia tergolong tinggi dibanding Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Sebanyak 11 persen kematian disebabkan karena aborsi. Jumlah kasus aborsi per tahun mencapai dua juta atau 43 persen aborsi per 100 kehamilan (Utomo dkk, 2001). Angka tersebut juga masih jauh dari target yang ditetapkan Internastional Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo. Yaitu di bawah 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005 dan 75 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015.
Tingginya angka kematian ibu sangat dipengaruhi oleh asupan gizi yang dikonsumsi ibu saat hamil. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, dari 35 persen wanita usia subur yang kekurangan energi protein (KEP) ada 14 persen, di antaranya adalah ibu hamil. Sementara data Survei Kesehatan Nasional (Surkenas) 2001 menunjukkan adanya kenaikan ibu hamil kurang gizi menjadi 19,1 persen. Kamampuan mengakses fasilitas kesehatan juga turut mempengaruhi tingginya angka kematian ibu. Data Program Kesehatan Reproduksi WHO untuk Indonesia menyebutkan, ada 34 % wanita di Indonesia yang masih kesulitan mengakses fasilitas kesehatan.
Berkait masalah kekerasan domestik, WHO (World Health Organization) telah melakukan penelitian terhadap 24 ribu responden wanita di 10 negara, termasuk Jepang, Brazil, Ethiopia, dan Selandia Baru. Di Jepang, 13 persen wanita yang menjadi responden penelitian melaporkan adanya kekerasan dalam rumah tangganya, sementara di Ethiopia angkanya lebih besar, mencapai 50 persen. Bentuk kekerasan yang dialami responden, dicekik, dipukul dengan kepalan tangan, diseret dan dibakar. Di Indonesia data tahun ini juga mencatat ada beberapa kasus yang korbannya lebih dari satu orang dan satu kasus dengan empat orang pelaku. Jadi, total kasus baru tahun ini berjumlah 455. Pelaku kekerasan paling banyak adalah suami (77,36 persen), mantan suami (3,08 persen), orang tua/mertua/saudara (6,15 persen), majikan (0,22 persen). Ada juga pelaku kekerasan adalah pacar/teman dekat sebanyak 9,01 persen. (KOMPAS, 24 Desember 2005)
Sedangkan untuk kasus trafficking (perdagangan perempuan dan anak), Indonesia masuk peringkat ketiga atau berarti berbahaya. Padahal, Indonesia sebagai negara pengirim mempunyai catatan kasus cukup tinggi-7.000 kasus. Polanya sangat variatif, namun mayoritas dikemas dalam bentuk pengiriman tenaga kerja. Korban trafficking terbesar berasal dari Asia, atau lebih dari 225.000 orang dari Asia Tenggara dan lebih dari 115.000 orang dari Asia Selatan. Dalam laporan Deplu AS tanggal 12 Juni 2001 mengenai trafficking in persons, yang dibuat berdasarkan masukan dari kedutaan-kedutaan besar dan konsulat AS di seluruh dunia, Indonesia bersama 22 negara lain dipandang sebagai sumber trafficking, baik di dalam negeri maupun antarnegara. (KOMPAS, 2002)
Melihat multiderita yang dialami kaum ibu, kiranya kebahagiaan Mother’s Day (baca: Hari Ibu) hanya dapat dinikmati sehari saja (pada tanggal 22 Desember) oleh mereka, kaum ibu. Selebihnya, 364 hari tak ubahnya Monster Day, yang siap memangsa kaum ibu yang lalai meningkatkan standar kehidupan ekonomi, pendidikan dan kesehatannya. Namun lebih dulu, kaum ibu harus mempunyai tekad membendung derita dan melawan ketertindasan. Karena dengan begitu akan muncul inisiatif-inisiatif gerakan meningkatkan derajat dan kualitas hidup kaum ibu.
Pemerintah tidak boleh tinggal diam, karena problem yang dialami oleh kaum ibu ini juga menjadi tanggung jawabnya. Pemerataan pendidikan dan kesempatan belajar, kemudahan akses kesehatan, kepastian hukum dan kewibawaan negara di mata dunia akan sangat membantu mengurangi penderitaan kaum ibu selama ini.
* Tulisan ini pernah dimuat di tabloid Bestari Edisi 210
Jumat, 19 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar