Oleh: Kurdi Muhammad
Ada yang menarik pada saat penulis mudik, hari raya Idhul Adha kemarin. Barangkali anda yang bukan asli orang Jawa agak mumet mencari tahu apa itu wedus kacang. Saya sendiri terpaksa menggunakan istilah wedus kacang, karena belum tahu atau lebih tepatnya belum menemukan padanan kata wedus kacang dalam bahasa Indonesia.Kambing congek? saya rasa bukan! kambing hitam? juga bukan!kambing api atau kambing kempis? apalagi, juga bukan!
Kalau diterjemahkan dengan bahasa yang agak lugu, wedus kacang berarti kambing kacang, karena bahasa Indonesianya kacang ya tetap kacang. Atau yang agak nyambung bisa diartikan kambing 'kacang(an)' alias kambing penakut, kambing munafik atau kambing pengecut. Namun, lagi-lagi itu bukan terjemahan yang pas untuk memaknai wedus kacang. Sudahlah, apapun bahasa yang digunakan untuk memaknai, wedus kacang tetaplah wedus kacang, kambing yang memiliki warna bulu perpaduan antara hitam, putih dan coklat, serta memiliki suara embekan yang khas. Dan satu yang pasti, wedus kacang tetaplah seekor kambing yang dagingnya sangat lezat, namun mematikan bagi orang tertentu, dan menambah gairah bagi orang tertentu yang lain.
Belum lagi tuntas pembahasan tentang wedus kacang, kini anda harus kembali bingung mencari tahu apa itu bekutheh. Suku kata yang pertama dibaca dengan nada biasa 'be ku' sedangkan suku kata yang terakhir bacalah seperti anda membaca kata 'teh' dalam kalimat, Nyoman suka minum 'teh', dengan logat Balinya yang kental.Saya meskipun asli orang desa, bingung juga ketika harus mengartikan kata itu. Kebingungan itu seperti ketika dulu saya untuk pertama kali mendengar kata 'labirin malam', kue apa labirin malam itu? Lalu apa bekutheh itu? Nanti anda akan paham setelah tuntas membaca tulisan ini.
Kebetulan hari Adha kemarin saya tidak ada job Khutbah di tempat domisili, sehingga saya memutuskan untuk mudik,temu kangen dengan saudara-saudara di kampung. di Kampung saya itu, ada Mushola kecil tempat saya biasa melakukan sholat, termasuk sholat hari Raya Idul Adha.Ada empat kambing yang siap dikorbankan pada pagi hari itu, salah satunya adalah wedus kacang yang bikin kita bingung tadi. Saat pengurbanan telah tiba, warga kampung yang baru saja selesai sholat Idul Adha berkerumun menyaksikan penyembelihan. Satu per satu kambing pun disembelih, dan giliran wedus kacangpun akhirnya datang. Ngesss....sekali gorok, nyawa wedus kacangpun perlahan namun pasti bergerak menuju nirwana. Yang penulis kagumi dari para kambing itu, tidak ada sedikitpun ekspresi kesedihan dan ketakutan tampak di wajah mereka, seperti halnya trio pengebom Bali jelang pelaksanaan eksekusi beberapa waktu lalu.
Setelah mayat kambing dikupas dan dikuliti, seluruh isi perutnya dikeluarkan, besar dan banyaknya mencapai dua keranjang besar. Setelah itu, Bu Nyai di kampung saya berteriak, "Ayo Lare! sopo sing gelem bekutheh?", ujarnya sambil menunjuk dua keranjang isi perut kambing tadi. Kalau saya terjemahkan kira-kira artinya begini, Ayo mas, siapa yang mau bekutheh?. Spontan teman-teman Remaja Mushola (Remush) mengangkat dan membawa dua keranjang tadi itu ke sungai. Sesampainya disungai, para Remush tadi itu langsung membedah perut dan usus-usus kambing,untuk kemudian membersihkan kotoran yang ada di dalamnya. Anda tidak perlu membayangkan bagaimana para Remush bersimbah jorok dan baunya kotoran kambing. Tapi satu yang pasti, dengan begitu, saya jadi tahu bahwa ternyata bekutheh itu, mengeluarkan dan membersihkan kotoran dari dalam perut dan usus kambing.
Seperti halnya kambing-kambing yang tidak takut sedikitpun ketika mau disembelih, para Remush dan tentu saja saya ikut di dalamnya, tidak sedikitpun merasa jijik pada saat membersihkan kotoran tersebut. Saya yakin bukan karena para Remush itu orang desa -yang biasanya dicitrakan dekil dan jorok- karena ternyata banyak juga orang desa yang masih jijik terhadap hal-hal yang demikian itu. Lebih dari itu, karena memang mereka semua menghayati makna hari Raya Kurban. Barangkali yang ada di dalam pikiran para Remush ini, masak mereka kalah dengan kambing yang mau mengorbankan nyawanya untuk Idhul Adha, padahal mereka hanya dituntut untuk mengorbankan rasa jijiknya saja.
Pada saat sedang asyik-asyiknya ber-bekutheh, tiba-tiba Cak Bagong (bukan nama samaran) nyletuk, "Saya minta dagingnya sedikit Rek!", katanya dengan nada polos. Menanggapi pernyataan Cak Bagong itu teman-teman berbeda pendapat, ada yang tidak membolehkan karena itu daging kurban, sebagian ada yang membolehkan, karena itung-itung itu adalah upah jerih payah Cak Bagong mbekutheh. Mendengar perdebatan semacam itu, tiba-tiba dalam pikiran saya keluar file tentang pejabat-pejabat yang sudah melakukan korupsi milyaran bahkan trilyunan rupiah. Dalam batin saya, kayaknya tidak ada apa-apanya apa yang dilakukan oleh Cak Bagong dibanding penggarongan yang sudah dilakukan oleh para koruptor.
Koruptor dan korupsi di negeri ini sudah sangat keterlaluan. Mereka, para koruptor yang mengaku sebagai pejabat,petinggi negara,petinggi parpol, hakim, jaksa dan juga kebanyakan pengusaha, ternyata tidak lebih baik dari wedus kacang yang dikurbankan tadi. Bayangkan, Wedus Kacang berani mengurbankan nyawanya demi kegembiraan umat di hari Raya, tapi para koruptor ini, yang ada bukannya berkurban, tapi justru mengorbankan rakyat dan negaranya untuk kepentingan pribadi. Mereka, para koruptor ini, ternyata juga tidak lebih baik dari Cak Bagong yang walaupun dia orang desa dan pendidikannya pas-pasan, tapi dia mengambil haknya setelah bekerja secara fair, itupun secukupnya, tidak sampai 1 ons daging.
Oleh karena itu, kalau ada koruptor yang nyasar membaca tulisan ini, terserah mau pilih tetap menjadi lebih jelek dari wedus kacang, menjadi persis seperti wedus kacang atau lebih baik dari wedus kacang, monggo kerso! Kalau setelah membaca tulisan ini tetap saja korupsi, maka anda memang benar-benar kambing kacang(an)! Bagi pembaca yang kebetulan belum pernah korupsi, atau sudah pernah korupsi tapi masih sedikit, masak anda mau jadi kambing kacang(an) juga?!!!!
Terakhir, saya ingin minta maaf kepada wedus kacang, karena saya terpaksa mengupas namanya dalam tulisan ini, selain saya memang benar-benar mengupas kulit dan perutnya ketika ikut mbekutheh. Termasuk, kalau tulisan saya yang menganalogikan wedus kacang dengan para koruptor ini dinilai merendahkan martabat wedus kacang dan kambing pada umumnya, sekali lagi saya mohon maaf. Semoga arwah para kambing dan wedus kacang yang sudah dikurbankan, diterima disisi-Nya. Dan mudah-mudahan para koruptor segara menyusul arwah para kambing ke alam baka. Amien dong! Amien.....
Rabu, 17 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar