Oleh: Kurdi Muhammad*
'Ramadan sudah tinggal menghitung hari (pinjam istilah Krisdayanti), lebaran sebentar lagi (pinjem istilah Bimbo atau siapa saya agak lupa), minal 'aidzin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin (pinjam istilah bang haji Rhoma Irama), mudah-mudahan qta dpertemukan kembali dalam keadaan wajah berbinar dan hati berpendar (hayo...pinjem istilah siapa lagi?)'
Paragraf di atas adalah petikan email yang saya kirim ke milis jaringan alumni saya di MAKN Jember/MAN I Jember, beberapa waktu yang lalu. Membaca penggalan email tersebut, anda mungkin berfikir saya suka minjem (saya pake minjem bukan minjam agar chemistry-nya lebih dapat, chemistry juga istilah yang saya pinjem dari para film maker). Jika anda berfikir bahwa saya orangnya suka minjem, maka anda sudah benar dengan sendirinya tanpa harus meminjam pengakuan dari orang lain. Namun yang menjadi masalah adalah Adakah di antara kita yang tidak pernah minjem? saya ragu, ketika anda memikirkan saya dan kemudian mengadili saya sebagai tukang pinjem, bukankah anda juga minjem pikiran itu, entah dari siapa anda minjemnya, anda yang lebih tahu tentang hal itu.
Atau jangan-jangan malah, untuk membaca tulisan saya ini, anda harus minjem duit sama temen untuk ngongkosi penjaga warnet yang sekarang lagi chatting-an cari pinjeman itu. Atau diam-diam anda sedang minjem akses internet di rumah yang sedang ditinggal empunya, yang kemungkinan juga tidak lepas dari pinjaman (kali ini saya sengaja pake 'a' bukan 'e', untuk menghargai kehebatan orang-orang seperti mereka). Saya tahu itu, karena waktu bikin tulisan ini saya juga pake akses internet pinjeman seperti anda.
Saya (mungkin termasuk anda juga) sering tidak sadar bahwa kita ini sedang minjem atau memakai barang pinjaman. Tidak usah jauh-jauh membicarakan masalah umur, alat vital kita saja, tahukah anda siapa yang membuatkan atau membelikannya untuk kita? Kalau jawabannya tidak tahu (apalagi kalo tau), berarti kita harus sadar bahwa kita sedang menggunakan barang pinjaman. Apalagi alat-alat yang tidak vital, saya yakin semuanya pinjaman.
Yang dipinjamkan harus dijaga, yang dipinjamkan harus dipelihara, yang dipinjamkan harus dirawat, yang dipinjamkan harus digunakan sebagaimana mestinya, yang dipinjamkan harus tetap bagus, yang dipinjamkan berserakan harus dirapikan kembali, yang dipinjamkan roboh harus ditegakkan kembali, yang dipinjamkan kotor harus dibersihkan kembali, yang dipinjamkan rusak harus diperbaiki, yang dipinjamkan hilang harus diganti, yang dipinjamkan porak-poranda harus dibangun kembali, yang dipinjamkan gundul harus digondrongkan kembali, yang dipinjamkan kerontang harus disemai kembali, yang dipinjamkan menangis harus digembirakan kembali, yang dipinjamkan menjerit harus ditenangkan, yang dipinjamkan robek harus disulam kembali, yang terakhir, yang dipinjamkan harus dikembalikan, dan yang dipinjamkan mati harus dihidupkan kembali. Ini adalah klausul yang saya sebut sebagai hukum 'yang-kembali'. Hukum ini akan selalu melekat pada pinjaman yang kita pinjam atau pinjaman yang 'secara paksa' dipinjamkan kepada kita.
Badan kita dan baunya,kentut kita dan baunya,(bau)nafas kita, (s)umur kita, kesedihan kita, kebahagiaan kita, eraman dan auman kita, kematian sampai kuburan kita, kesombongan kita, tingkah lacur kita, korupsi kita, durhaka kita, sikap sok kita, skandal kita, kebohongan kita, angkuh kita, gila hormat kita, mau menang sendiri kita, semua yang kita miliki, semua yang ada di sekitar kita, termasuk Ramadhan dan Idul Fitri kita, semuanya tidak akan pernah lepas dari hukum 'yang-kembali'. Yang dipinjamkan mati harus dihidupkan kembali, yang dipinjamkan harus dikembalikan. 'Yang' (puasa) Ramadhan boleh 'Kembali' Fithri (makan pagi, suci, tanpa dosa atau apa sajalah artinya terserah).
Selamat Idul Fithri 1429 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Yang merasa punya salah dengan saya, ayo segera minta maaf. Karena umur yang dipinjamkan kepada anda mungkin tidak lama, atau sebaliknya, umur yang dipinjamkan kepada saya diperpanjang dengan memperpendek jatah pinjaman umur anda. Sedangkan salah saya pada anda, saya anggap telah anda maafkan dengan berkenannya anda membaca tulisan yang banyak pinjamannya ini.
Terakhir, melalui tulisan ini saya juga hendak mengumumkan dan mengingatkan kepada siapa saja yang merasa pernah meminjam atau saya pinjami sesuatu, tolong segera dikembalikan. Karena begitulah hukumnya, 'yang'.....(baca: titik-titik) harus.....'kembali'. Sebaliknya, melalui tulisan ini saya juga mengundang siapa saja yang pernah meminjamkan sesuatu kepada saya, untuk segera menagihnya, karena kebiasaan saya (barangkali juga kebiasaan anda), agak susah mengembalikan sesuatu yang telah dipinjamkan. Terima kasih
* Kurdi Muhammad adalah orang yang suka meminjam tapi (agak) susah untuk mengembalikan, juga orang yang (agak) susah memberi pinjaman karena takut tidak dikembalikan
Kamis, 25 September 2008
Senin, 22 September 2008
Ramadhan Membakar
Oleh: Muhammad Kurdi eL-Byzant
Allah telah menegaskan bahwa salah satu gharizah manusia adalah kecenderungan menyukai lawan jenis. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan biologis, kebutuhan seksual. Tidak ada satupun manusia di zaman kita ini yang lahir tanpa melalui hubungan seksual. Kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang prinsipiil dalam roda kehidupan manusia. Kebutuhan seksual merupakan fitrah manusia. Fitrah ini bak pedang bermata dua, di satu sisi dapat berupa nikmat, dan di sisi yang lain bisa mengundang adzab. Bagaimana tidak? Jika kebutuhan seksual seseorang disalurkan melalui $B!F(Jpipa$B!G(J yang telah ditentukan syari$B!G(Jat, maka hal itu akan membawa kemaslahatan, bahkan bisa bernilai ibadah. Sebaliknya, jika sexual need itu disalahposisikan, maka bisa-bisa seseorang akan terjerumus ke dalam kebobrokan jasmani dan rohani serta degradasi moral-etik. Salah satu bentuk pe-liar-an kebutuhan seksual adalah pelacuran. Masalah pelacuran sudah menjadi penyakit sosial yang akut.
Masalah pelacuran berkembang sama tuanya dengan peradaban manusia. Masalah pelacuaran acap kali menjadi grand tema sebuah peradaban. Ada beberapa hal yang melatar belakangi munculnya pelacuran. Dari pihak perempuan yang melacurkan diri, rata-rata karena mereka merasa terdesak oleh kebutuhan, yang, kalau mau jujur, kian hari kian meningkat oleh berbagai alasan yang secara rasional-bukan moral - bisa dipahami. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka perceraian, meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat dan tantangan yang dihadapi. Sementara itu, berbagai macam alasan yang mendalangi laki-laki hidung belang jajan ke tempat pelacuran, ada yang karena kurang puas dengan istri lah, ada yang ingin cari suasana baru, ada yang karena ingin punya istri dua tapi tidak diperbolehkan istri dan segudang alasan lain yang belum penulis ketahui.
Apapun alasan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak, yang jelas ada satu hal yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam dunia kelam itu, yaitu nafsu. Mereka tidak kuasa mengendalikan hawa nafsunya yang sedang on. Untuk memadamkan nafsu yang berkobar-kobar itu mereka menempuh jalan pintas yang resiko dan tanggung jawabnya -setidak-tidaknya menurut mereka- relatif kecil. Nafsu, layaknya candu, yang dapat menjadikan inang sakau, karena nafsu yang berkobar membutuhkan pemadam. Dalam keadaan seperti ini, tidak afdhal rasanya kalau nafasu -dalam hal ini nafsu biologis- tidak disalurkan. Nafsu yang sedang menyala layaknya si jago merah yang membakar hutan kering, yang harus segera dipadamkan. Untuk membendung keberingasan nafsu itu, seperti biasa, seseorang ada yang menempuh cara yang diperbolehkan secara syar$B!G(Ji, pun ada juga yang menempuh cara yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral-etik dan religi.
Islam, yang merupakan agama rahmatan lil a$B!G(Jlamin, tidak berpangku tangan, thenguk-thenguk melihat realita menyedihkan itu. Secara konseptual, Islam, sejak ber abad-abad yang lalu telah menyadari bahaya besar yang akan ditimbulkan oleh nafsu yang tak terkendalikan. Nafsu yang $B!F(Jnyasar$B!G(J akan berakibat fatal bagi individu yang bersangkutan. Nafsu liar akan menimbulkan kerusakan tatanan sosial-budaya ketimuran yang menjunjung tinggi kehormatan, harkat dan martabat manusianya. Bahkan, tak jarang nafsu $B!F(Jberingas$B!G(J itu(J menimbulkan komplikasi penyakit berbahaya, seperti AIDS, spilis dan penyakit kelamin lainnya. Oleh karena itu, Islam merasa tertantang untuk turun tangan mencegah kemungkinan-kemungkinan kerusakan dan bahaya yang terkecil sekalipun, yang ditimbulkan oleh nafsu birahi. Lalu bagaimanakah konsep Islam dalam memberikan solusi untuk mengerem ganasnya nafsu.
Secara eksplisit, Rasul telah menjelaskan bahwa untuk mengendalikan nafsu agar tidak cenderung destruktif, adalah dengan nikah dan puasa. Nikah merupakan tempat penyaluran nafsu yang telah dilembagakan dan diratifikasi oleh syari$B!G(Jat Islam. Dengan menikah seseorang dihalalkan untuk melampiaskan nafsunya (behubungan suami-isteri) yang sebelum itu diharamkan. Bahkan, Islam menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang mau menikah dan menjalankan kewajiban sebagai suami-istri. Islam juga melegalkan poligami, asalkan sang suami dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Yang jadi persoalan, saat ini semacam ada nikah-phobia. Para pemuda cenderung menganut ideologi jombloisme, mereka lebih memilih hidup sendiri dari pada harus hidup dengan istri, begitu juga sebaliknya. Mereka takut setelah menikah tidak dapat memberikan nafkah pada pasangannya, mereka takut miskin. Padahal, sudah banyak cerita tentang bagaimana Allah memudahkan rizki bagi orang yang sudah menikah, ada saja rizki yang bisa dinikmati oleh pasangan yang resmi menikah. Rasul sendiri pernah menceritakan bahwa siapa saja yang mau dan ikhlas menikah, Allah akan membuatnya kaya. Dan, sudah menjadi rahasia umum Pasutri, bahwa enaknya nikah hanya satu persen saja, yang sembilan puluh sembilan persen uenak tenan.... :0)
Adapun puasa, merupakan alternatif kedua setelah nikah. Jika yang bersangkutan benar-benar belum mampu memberikan nafkah bagi pasangannya, maka puasa dapat digunakan sebagai The second solution untuk meredam $B!F(Jamarah$B!G(J nafsu. Secara medis, nafsu berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Oleh karenanya, logis kalau puasa dijadikan sebagai obat penawar $B!F(Jcakaran nafsu,$B!G(J karena dalam puasa ada pengaturan -kalau tidak mau dibilang pengurangan- pola makan sehari-hari. Dengan begitu, orientasi nafsu yang selalu mencari $B!F(Jmangsa,$B!G(J akan beralih untuk merasakan lapar dan dahaga karena puasa. Puasa di sini bukan hanya puasa bulan ramadhan saja, melainkan juga termasuk puasa-puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, puasa Baidh dan lain-lain. Bahkan kalau perlu, setiap nafsu kita bergejolak, segeralah berpuasa!
* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Agama Islam UMM, aktif sebagai Kepala Bidang Penalaran BEM dan Ketua Public Relation Program Pendidikan Ulama Tarjih.
Allah telah menegaskan bahwa salah satu gharizah manusia adalah kecenderungan menyukai lawan jenis. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan biologis, kebutuhan seksual. Tidak ada satupun manusia di zaman kita ini yang lahir tanpa melalui hubungan seksual. Kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang prinsipiil dalam roda kehidupan manusia. Kebutuhan seksual merupakan fitrah manusia. Fitrah ini bak pedang bermata dua, di satu sisi dapat berupa nikmat, dan di sisi yang lain bisa mengundang adzab. Bagaimana tidak? Jika kebutuhan seksual seseorang disalurkan melalui $B!F(Jpipa$B!G(J yang telah ditentukan syari$B!G(Jat, maka hal itu akan membawa kemaslahatan, bahkan bisa bernilai ibadah. Sebaliknya, jika sexual need itu disalahposisikan, maka bisa-bisa seseorang akan terjerumus ke dalam kebobrokan jasmani dan rohani serta degradasi moral-etik. Salah satu bentuk pe-liar-an kebutuhan seksual adalah pelacuran. Masalah pelacuran sudah menjadi penyakit sosial yang akut.
Masalah pelacuran berkembang sama tuanya dengan peradaban manusia. Masalah pelacuaran acap kali menjadi grand tema sebuah peradaban. Ada beberapa hal yang melatar belakangi munculnya pelacuran. Dari pihak perempuan yang melacurkan diri, rata-rata karena mereka merasa terdesak oleh kebutuhan, yang, kalau mau jujur, kian hari kian meningkat oleh berbagai alasan yang secara rasional-bukan moral - bisa dipahami. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka perceraian, meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat dan tantangan yang dihadapi. Sementara itu, berbagai macam alasan yang mendalangi laki-laki hidung belang jajan ke tempat pelacuran, ada yang karena kurang puas dengan istri lah, ada yang ingin cari suasana baru, ada yang karena ingin punya istri dua tapi tidak diperbolehkan istri dan segudang alasan lain yang belum penulis ketahui.
Apapun alasan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak, yang jelas ada satu hal yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam dunia kelam itu, yaitu nafsu. Mereka tidak kuasa mengendalikan hawa nafsunya yang sedang on. Untuk memadamkan nafsu yang berkobar-kobar itu mereka menempuh jalan pintas yang resiko dan tanggung jawabnya -setidak-tidaknya menurut mereka- relatif kecil. Nafsu, layaknya candu, yang dapat menjadikan inang sakau, karena nafsu yang berkobar membutuhkan pemadam. Dalam keadaan seperti ini, tidak afdhal rasanya kalau nafasu -dalam hal ini nafsu biologis- tidak disalurkan. Nafsu yang sedang menyala layaknya si jago merah yang membakar hutan kering, yang harus segera dipadamkan. Untuk membendung keberingasan nafsu itu, seperti biasa, seseorang ada yang menempuh cara yang diperbolehkan secara syar$B!G(Ji, pun ada juga yang menempuh cara yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral-etik dan religi.
Islam, yang merupakan agama rahmatan lil a$B!G(Jlamin, tidak berpangku tangan, thenguk-thenguk melihat realita menyedihkan itu. Secara konseptual, Islam, sejak ber abad-abad yang lalu telah menyadari bahaya besar yang akan ditimbulkan oleh nafsu yang tak terkendalikan. Nafsu yang $B!F(Jnyasar$B!G(J akan berakibat fatal bagi individu yang bersangkutan. Nafsu liar akan menimbulkan kerusakan tatanan sosial-budaya ketimuran yang menjunjung tinggi kehormatan, harkat dan martabat manusianya. Bahkan, tak jarang nafsu $B!F(Jberingas$B!G(J itu(J menimbulkan komplikasi penyakit berbahaya, seperti AIDS, spilis dan penyakit kelamin lainnya. Oleh karena itu, Islam merasa tertantang untuk turun tangan mencegah kemungkinan-kemungkinan kerusakan dan bahaya yang terkecil sekalipun, yang ditimbulkan oleh nafsu birahi. Lalu bagaimanakah konsep Islam dalam memberikan solusi untuk mengerem ganasnya nafsu.
Secara eksplisit, Rasul telah menjelaskan bahwa untuk mengendalikan nafsu agar tidak cenderung destruktif, adalah dengan nikah dan puasa. Nikah merupakan tempat penyaluran nafsu yang telah dilembagakan dan diratifikasi oleh syari$B!G(Jat Islam. Dengan menikah seseorang dihalalkan untuk melampiaskan nafsunya (behubungan suami-isteri) yang sebelum itu diharamkan. Bahkan, Islam menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang mau menikah dan menjalankan kewajiban sebagai suami-istri. Islam juga melegalkan poligami, asalkan sang suami dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Yang jadi persoalan, saat ini semacam ada nikah-phobia. Para pemuda cenderung menganut ideologi jombloisme, mereka lebih memilih hidup sendiri dari pada harus hidup dengan istri, begitu juga sebaliknya. Mereka takut setelah menikah tidak dapat memberikan nafkah pada pasangannya, mereka takut miskin. Padahal, sudah banyak cerita tentang bagaimana Allah memudahkan rizki bagi orang yang sudah menikah, ada saja rizki yang bisa dinikmati oleh pasangan yang resmi menikah. Rasul sendiri pernah menceritakan bahwa siapa saja yang mau dan ikhlas menikah, Allah akan membuatnya kaya. Dan, sudah menjadi rahasia umum Pasutri, bahwa enaknya nikah hanya satu persen saja, yang sembilan puluh sembilan persen uenak tenan.... :0)
Adapun puasa, merupakan alternatif kedua setelah nikah. Jika yang bersangkutan benar-benar belum mampu memberikan nafkah bagi pasangannya, maka puasa dapat digunakan sebagai The second solution untuk meredam $B!F(Jamarah$B!G(J nafsu. Secara medis, nafsu berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Oleh karenanya, logis kalau puasa dijadikan sebagai obat penawar $B!F(Jcakaran nafsu,$B!G(J karena dalam puasa ada pengaturan -kalau tidak mau dibilang pengurangan- pola makan sehari-hari. Dengan begitu, orientasi nafsu yang selalu mencari $B!F(Jmangsa,$B!G(J akan beralih untuk merasakan lapar dan dahaga karena puasa. Puasa di sini bukan hanya puasa bulan ramadhan saja, melainkan juga termasuk puasa-puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, puasa Baidh dan lain-lain. Bahkan kalau perlu, setiap nafsu kita bergejolak, segeralah berpuasa!
* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Agama Islam UMM, aktif sebagai Kepala Bidang Penalaran BEM dan Ketua Public Relation Program Pendidikan Ulama Tarjih.
Membakar Ramadhan
Oleh: Kurdi Muhammad
Ramadhan Datang Sekali
Tidak ada yang Bisa Menjamin
Kita Bertemu Dengannya Lagi
Ramadhan Sekali Harus Berarti
Sudah itu Boleh Mati
Ramadhan Datang Sekali
Tidak ada yang Bisa Menjamin
Kita Bertemu Dengannya Lagi
Ramadhan Sekali Harus Berarti
Sudah itu Boleh Mati
Ramadhan Berbagi
Oleh: Kurdi Muhammad
Ramadhan Kita adalah Ramadhan Berbagi
Bukanlah Berbagi Jika Tak Berarti
Berbagi yang Berarti adalah Inti Hidup ini
Ramadhan Kita adalah Ramadhan Berbagi
Bukanlah Berbagi Jika Tak Berarti
Berbagi yang Berarti adalah Inti Hidup ini
Khawarij Modern Versus Liberal Kuno
Oleh: Muhammad Kurdi*
Kalau kita mencoba menyelinap di balik sejarah Islam masa lampau (The Ancient History of Islam), kita akan menemukan sebab yang berbeda antara munculnya kaum khawarij zaman dulu dengan sebagian umat Islam yang dianggap sebagai khawarij modern, saat ini. Khawarij klasik (baca: khawarij zaman dulu) timbul disaat terjadi pertempuran antara tentara Muslim dengan tentara kafir. Alkisah, ada salah seorang tentara kafir yang sudah tidak berdaya, dia berada dalam genggaman kaum muslim, sehigga kalau sedikit saja dia melawan, pastilah batang lehernya terpisah dari wadag urip, tertebas pedang tentara Islam. Dalam keadaan terjepit seperti itu, orang kafir tersebut menyatakan diri masuk Islam, dengan harapan dapat memperoleh kompensasi hidup dari tentara Islam. Namun, apa hendak dikata, ternyata salah seorang tentara Islam tidak menerima tasyahud orang kafir tersebut, karena dia merasa kalau itu hanyalah alibi dari orang kafir itu untuk tetap hidup. Diapun mengayunkan pedangnya ke leher orang kafir itu, terbubuhlah dia.
Melihat kejadian itu, salah seorang sahabat melapor kepada Rasul dan menceritakan apa yang telah terjadi kepada beliau. Kemudian Rasul bersabda kepada orang yang telah membunuh si kafir tadi, “Sesungguhnya yang kamu tahu adalah yang lahir saja, adapun urusan hati adalah milik Allah.”
Bertolak dari peristiwa itulah, muncul terminologi ‘Khawarij’ dalam Islam, yang berarti golongan yang keluar. Sebenarnya terminologi khawarij ini merupakan produk muarrikhin, bukan murni dari Rasul. Sehingga, menurut penulis, hal itu masih sarat subjektifitas. Plus, tidak ada keterangan eksplisit dari al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi dalil bagi kita untuk mengklaim bahwa khawarij itu jelek. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa golongan khawarij tidak semudah itu mengecap seseorang kafir. Mereka masih menggunakan parameter yang secara skriptualis terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi, mereka tidak asal tuding, orang ini kafir, orang itu kafir. Karena kalau kita lihat sejarah munculnya Khawarij seperti yang dibahas di atas, founding father Khawarij tidak ingin ada kemunafikan seseorang dalam beragama, beragama hanya untuk kepentingan diri dan dunianya saja, tidak ada hubungan transpersonal yang tulus dengan Tuhannya.
Argumen saudara Ulil lebih tidak relevan,saat dia menengarai bahwa aksi teror yang dilakukan oleh sebagian umat Islam sebagai gejala munculnya Khawarij modern. Dalam pandangan penulis Khawarij merupakan khazanah ideologi dalam Islam. Secara srukturalis religius, tidak ada beda antara Khawarij dengan aliran-aliran teologi yang lain, termasuk ahlus sunnah wal jama’ah. Perbedaan aliran-aliran semacam ini hanyalah terletak pada metodologi-teologis masing-masing. Satu sama lain harus mengakui dan menghargai itu sebagai salah satu khazanah teologis Islam.
Tentang aksi teror yang belakangan marak, penulis lebih cenderung mengamatinya sebagai gejala sosial yang lazim. Mengapa lazim? Karena aksi teror tersebut lebih mengarah kepada reaksi umat Islam terhadap perlakuan keji negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat yang selama ini terus berusaha melenyapkan Islam. Mengapa harus menggunakan teror? disaat upaya-upaya diplomatis tak lagi dapat diandalkan, maka hal itu dapat menjadi salah satu alternatif. Kita semua tahu hampir seratus persen pemerintah negara di dunia ini mendukung dan takut terhadap hegemoni Barat, sehingga upaya-upaya diplomatis-persuasif tidak mungkin direspon.
Oleh karena itu, kurang tepat kiranya, jika aksi teror yang marak belakangan ini dipersamakan dengan Khawarij. Karena Khawarij lebih menekankan pada masalah kemurnian teologis, sedangkan aksi teror saat ini merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan co-rezim yang tiran. Meskipun secara lahiriah tampak sama-sama radikal, namun keradikalan Khawarij mengacu pada niat suci untuk mentauhidkan Allah. Dan, keradikalan Khawarij terarah pada orang yang patut diperlakukan secara radikal serta melalui pertimbangan syar’i. Lain halnya dengan aksi teror yang belakangan marak, adakalanya mereka salah menentukan target, sehingga orang-orang yang tidak bersalahpun menjadi korban. Padahal Islam sangat mengecam radikalisme yang tidak pada tempatnya. Sehingga para pelaku teror, hendaknya mereorientasi arah gerakan mereka. Dengan demikian kesalahan operasional dapat dinafikan.
* Penulis pernah nyantri di Pesantren Al-Muniroh
Tulisan ini disulih dari www.islamlib.com
Kalau kita mencoba menyelinap di balik sejarah Islam masa lampau (The Ancient History of Islam), kita akan menemukan sebab yang berbeda antara munculnya kaum khawarij zaman dulu dengan sebagian umat Islam yang dianggap sebagai khawarij modern, saat ini. Khawarij klasik (baca: khawarij zaman dulu) timbul disaat terjadi pertempuran antara tentara Muslim dengan tentara kafir. Alkisah, ada salah seorang tentara kafir yang sudah tidak berdaya, dia berada dalam genggaman kaum muslim, sehigga kalau sedikit saja dia melawan, pastilah batang lehernya terpisah dari wadag urip, tertebas pedang tentara Islam. Dalam keadaan terjepit seperti itu, orang kafir tersebut menyatakan diri masuk Islam, dengan harapan dapat memperoleh kompensasi hidup dari tentara Islam. Namun, apa hendak dikata, ternyata salah seorang tentara Islam tidak menerima tasyahud orang kafir tersebut, karena dia merasa kalau itu hanyalah alibi dari orang kafir itu untuk tetap hidup. Diapun mengayunkan pedangnya ke leher orang kafir itu, terbubuhlah dia.
Melihat kejadian itu, salah seorang sahabat melapor kepada Rasul dan menceritakan apa yang telah terjadi kepada beliau. Kemudian Rasul bersabda kepada orang yang telah membunuh si kafir tadi, “Sesungguhnya yang kamu tahu adalah yang lahir saja, adapun urusan hati adalah milik Allah.”
Bertolak dari peristiwa itulah, muncul terminologi ‘Khawarij’ dalam Islam, yang berarti golongan yang keluar. Sebenarnya terminologi khawarij ini merupakan produk muarrikhin, bukan murni dari Rasul. Sehingga, menurut penulis, hal itu masih sarat subjektifitas. Plus, tidak ada keterangan eksplisit dari al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi dalil bagi kita untuk mengklaim bahwa khawarij itu jelek. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa golongan khawarij tidak semudah itu mengecap seseorang kafir. Mereka masih menggunakan parameter yang secara skriptualis terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi, mereka tidak asal tuding, orang ini kafir, orang itu kafir. Karena kalau kita lihat sejarah munculnya Khawarij seperti yang dibahas di atas, founding father Khawarij tidak ingin ada kemunafikan seseorang dalam beragama, beragama hanya untuk kepentingan diri dan dunianya saja, tidak ada hubungan transpersonal yang tulus dengan Tuhannya.
Argumen saudara Ulil lebih tidak relevan,saat dia menengarai bahwa aksi teror yang dilakukan oleh sebagian umat Islam sebagai gejala munculnya Khawarij modern. Dalam pandangan penulis Khawarij merupakan khazanah ideologi dalam Islam. Secara srukturalis religius, tidak ada beda antara Khawarij dengan aliran-aliran teologi yang lain, termasuk ahlus sunnah wal jama’ah. Perbedaan aliran-aliran semacam ini hanyalah terletak pada metodologi-teologis masing-masing. Satu sama lain harus mengakui dan menghargai itu sebagai salah satu khazanah teologis Islam.
Tentang aksi teror yang belakangan marak, penulis lebih cenderung mengamatinya sebagai gejala sosial yang lazim. Mengapa lazim? Karena aksi teror tersebut lebih mengarah kepada reaksi umat Islam terhadap perlakuan keji negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat yang selama ini terus berusaha melenyapkan Islam. Mengapa harus menggunakan teror? disaat upaya-upaya diplomatis tak lagi dapat diandalkan, maka hal itu dapat menjadi salah satu alternatif. Kita semua tahu hampir seratus persen pemerintah negara di dunia ini mendukung dan takut terhadap hegemoni Barat, sehingga upaya-upaya diplomatis-persuasif tidak mungkin direspon.
Oleh karena itu, kurang tepat kiranya, jika aksi teror yang marak belakangan ini dipersamakan dengan Khawarij. Karena Khawarij lebih menekankan pada masalah kemurnian teologis, sedangkan aksi teror saat ini merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan co-rezim yang tiran. Meskipun secara lahiriah tampak sama-sama radikal, namun keradikalan Khawarij mengacu pada niat suci untuk mentauhidkan Allah. Dan, keradikalan Khawarij terarah pada orang yang patut diperlakukan secara radikal serta melalui pertimbangan syar’i. Lain halnya dengan aksi teror yang belakangan marak, adakalanya mereka salah menentukan target, sehingga orang-orang yang tidak bersalahpun menjadi korban. Padahal Islam sangat mengecam radikalisme yang tidak pada tempatnya. Sehingga para pelaku teror, hendaknya mereorientasi arah gerakan mereka. Dengan demikian kesalahan operasional dapat dinafikan.
* Penulis pernah nyantri di Pesantren Al-Muniroh
Tulisan ini disulih dari www.islamlib.com
Langganan:
Postingan (Atom)