Senin, 22 September 2008

Khawarij Modern Versus Liberal Kuno

Oleh: Muhammad Kurdi*

Kalau kita mencoba menyelinap di balik sejarah Islam masa lampau (The Ancient History of Islam), kita akan menemukan sebab yang berbeda antara munculnya kaum khawarij zaman dulu dengan sebagian umat Islam yang dianggap sebagai khawarij modern, saat ini. Khawarij klasik (baca: khawarij zaman dulu) timbul disaat terjadi pertempuran antara tentara Muslim dengan tentara kafir. Alkisah, ada salah seorang tentara kafir yang sudah tidak berdaya, dia berada dalam genggaman kaum muslim, sehigga kalau sedikit saja dia melawan, pastilah batang lehernya terpisah dari wadag urip, tertebas pedang tentara Islam. Dalam keadaan terjepit seperti itu, orang kafir tersebut menyatakan diri masuk Islam, dengan harapan dapat memperoleh kompensasi hidup dari tentara Islam. Namun, apa hendak dikata, ternyata salah seorang tentara Islam tidak menerima tasyahud orang kafir tersebut, karena dia merasa kalau itu hanyalah alibi dari orang kafir itu untuk tetap hidup. Diapun mengayunkan pedangnya ke leher orang kafir itu, terbubuhlah dia.

Melihat kejadian itu, salah seorang sahabat melapor kepada Rasul dan menceritakan apa yang telah terjadi kepada beliau. Kemudian Rasul bersabda kepada orang yang telah membunuh si kafir tadi, “Sesungguhnya yang kamu tahu adalah yang lahir saja, adapun urusan hati adalah milik Allah.”

Bertolak dari peristiwa itulah, muncul terminologi ‘Khawarij’ dalam Islam, yang berarti golongan yang keluar. Sebenarnya terminologi khawarij ini merupakan produk muarrikhin, bukan murni dari Rasul. Sehingga, menurut penulis, hal itu masih sarat subjektifitas. Plus, tidak ada keterangan eksplisit dari al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi dalil bagi kita untuk mengklaim bahwa khawarij itu jelek. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa golongan khawarij tidak semudah itu mengecap seseorang kafir. Mereka masih menggunakan parameter yang secara skriptualis terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Jadi, mereka tidak asal tuding, orang ini kafir, orang itu kafir. Karena kalau kita lihat sejarah munculnya Khawarij seperti yang dibahas di atas, founding father Khawarij tidak ingin ada kemunafikan seseorang dalam beragama, beragama hanya untuk kepentingan diri dan dunianya saja, tidak ada hubungan transpersonal yang tulus dengan Tuhannya.

Argumen saudara Ulil lebih tidak relevan,saat dia menengarai bahwa aksi teror yang dilakukan oleh sebagian umat Islam sebagai gejala munculnya Khawarij modern. Dalam pandangan penulis Khawarij merupakan khazanah ideologi dalam Islam. Secara srukturalis religius, tidak ada beda antara Khawarij dengan aliran-aliran teologi yang lain, termasuk ahlus sunnah wal jama’ah. Perbedaan aliran-aliran semacam ini hanyalah terletak pada metodologi-teologis masing-masing. Satu sama lain harus mengakui dan menghargai itu sebagai salah satu khazanah teologis Islam.

Tentang aksi teror yang belakangan marak, penulis lebih cenderung mengamatinya sebagai gejala sosial yang lazim. Mengapa lazim? Karena aksi teror tersebut lebih mengarah kepada reaksi umat Islam terhadap perlakuan keji negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat yang selama ini terus berusaha melenyapkan Islam. Mengapa harus menggunakan teror? disaat upaya-upaya diplomatis tak lagi dapat diandalkan, maka hal itu dapat menjadi salah satu alternatif. Kita semua tahu hampir seratus persen pemerintah negara di dunia ini mendukung dan takut terhadap hegemoni Barat, sehingga upaya-upaya diplomatis-persuasif tidak mungkin direspon.

Oleh karena itu, kurang tepat kiranya, jika aksi teror yang marak belakangan ini dipersamakan dengan Khawarij. Karena Khawarij lebih menekankan pada masalah kemurnian teologis, sedangkan aksi teror saat ini merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan co-rezim yang tiran. Meskipun secara lahiriah tampak sama-sama radikal, namun keradikalan Khawarij mengacu pada niat suci untuk mentauhidkan Allah. Dan, keradikalan Khawarij terarah pada orang yang patut diperlakukan secara radikal serta melalui pertimbangan syar’i. Lain halnya dengan aksi teror yang belakangan marak, adakalanya mereka salah menentukan target, sehingga orang-orang yang tidak bersalahpun menjadi korban. Padahal Islam sangat mengecam radikalisme yang tidak pada tempatnya. Sehingga para pelaku teror, hendaknya mereorientasi arah gerakan mereka. Dengan demikian kesalahan operasional dapat dinafikan.

* Penulis pernah nyantri di Pesantren Al-Muniroh

Tulisan ini disulih dari www.islamlib.com

Tidak ada komentar: