Senin, 22 September 2008

Ramadhan Membakar

Oleh: Muhammad Kurdi eL-Byzant

Allah telah menegaskan bahwa salah satu gharizah manusia adalah kecenderungan menyukai lawan jenis. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan biologis, kebutuhan seksual. Tidak ada satupun manusia di zaman kita ini yang lahir tanpa melalui hubungan seksual. Kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang prinsipiil dalam roda kehidupan manusia. Kebutuhan seksual merupakan fitrah manusia. Fitrah ini bak pedang bermata dua, di satu sisi dapat berupa nikmat, dan di sisi yang lain bisa mengundang adzab. Bagaimana tidak? Jika kebutuhan seksual seseorang disalurkan melalui $B!F(Jpipa$B!G(J yang telah ditentukan syari$B!G(Jat, maka hal itu akan membawa kemaslahatan, bahkan bisa bernilai ibadah. Sebaliknya, jika sexual need itu disalahposisikan, maka bisa-bisa seseorang akan terjerumus ke dalam kebobrokan jasmani dan rohani serta degradasi moral-etik. Salah satu bentuk pe-liar-an kebutuhan seksual adalah pelacuran. Masalah pelacuran sudah menjadi penyakit sosial yang akut.

Masalah pelacuran berkembang sama tuanya dengan peradaban manusia. Masalah pelacuaran acap kali menjadi grand tema sebuah peradaban. Ada beberapa hal yang melatar belakangi munculnya pelacuran. Dari pihak perempuan yang melacurkan diri, rata-rata karena mereka merasa terdesak oleh kebutuhan, yang, kalau mau jujur, kian hari kian meningkat oleh berbagai alasan yang secara rasional-bukan moral - bisa dipahami. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka perceraian, meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat dan tantangan yang dihadapi. Sementara itu, berbagai macam alasan yang mendalangi laki-laki hidung belang jajan ke tempat pelacuran, ada yang karena kurang puas dengan istri lah, ada yang ingin cari suasana baru, ada yang karena ingin punya istri dua tapi tidak diperbolehkan istri dan segudang alasan lain yang belum penulis ketahui.

Apapun alasan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak, yang jelas ada satu hal yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam dunia kelam itu, yaitu nafsu. Mereka tidak kuasa mengendalikan hawa nafsunya yang sedang on. Untuk memadamkan nafsu yang berkobar-kobar itu mereka menempuh jalan pintas yang resiko dan tanggung jawabnya -setidak-tidaknya menurut mereka- relatif kecil. Nafsu, layaknya candu, yang dapat menjadikan inang sakau, karena nafsu yang berkobar membutuhkan pemadam. Dalam keadaan seperti ini, tidak afdhal rasanya kalau nafasu -dalam hal ini nafsu biologis- tidak disalurkan. Nafsu yang sedang menyala layaknya si jago merah yang membakar hutan kering, yang harus segera dipadamkan. Untuk membendung keberingasan nafsu itu, seperti biasa, seseorang ada yang menempuh cara yang diperbolehkan secara syar$B!G(Ji, pun ada juga yang menempuh cara yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral-etik dan religi.

Islam, yang merupakan agama rahmatan lil a$B!G(Jlamin, tidak berpangku tangan, thenguk-thenguk melihat realita menyedihkan itu. Secara konseptual, Islam, sejak ber abad-abad yang lalu telah menyadari bahaya besar yang akan ditimbulkan oleh nafsu yang tak terkendalikan. Nafsu yang $B!F(Jnyasar$B!G(J akan berakibat fatal bagi individu yang bersangkutan. Nafsu liar akan menimbulkan kerusakan tatanan sosial-budaya ketimuran yang menjunjung tinggi kehormatan, harkat dan martabat manusianya. Bahkan, tak jarang nafsu $B!F(Jberingas$B!G(J itu(J menimbulkan komplikasi penyakit berbahaya, seperti AIDS, spilis dan penyakit kelamin lainnya. Oleh karena itu, Islam merasa tertantang untuk turun tangan mencegah kemungkinan-kemungkinan kerusakan dan bahaya yang terkecil sekalipun, yang ditimbulkan oleh nafsu birahi. Lalu bagaimanakah konsep Islam dalam memberikan solusi untuk mengerem ganasnya nafsu.

Secara eksplisit, Rasul telah menjelaskan bahwa untuk mengendalikan nafsu agar tidak cenderung destruktif, adalah dengan nikah dan puasa. Nikah merupakan tempat penyaluran nafsu yang telah dilembagakan dan diratifikasi oleh syari$B!G(Jat Islam. Dengan menikah seseorang dihalalkan untuk melampiaskan nafsunya (behubungan suami-isteri) yang sebelum itu diharamkan. Bahkan, Islam menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang mau menikah dan menjalankan kewajiban sebagai suami-istri. Islam juga melegalkan poligami, asalkan sang suami dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Yang jadi persoalan, saat ini semacam ada nikah-phobia. Para pemuda cenderung menganut ideologi jombloisme, mereka lebih memilih hidup sendiri dari pada harus hidup dengan istri, begitu juga sebaliknya. Mereka takut setelah menikah tidak dapat memberikan nafkah pada pasangannya, mereka takut miskin. Padahal, sudah banyak cerita tentang bagaimana Allah memudahkan rizki bagi orang yang sudah menikah, ada saja rizki yang bisa dinikmati oleh pasangan yang resmi menikah. Rasul sendiri pernah menceritakan bahwa siapa saja yang mau dan ikhlas menikah, Allah akan membuatnya kaya. Dan, sudah menjadi rahasia umum Pasutri, bahwa enaknya nikah hanya satu persen saja, yang sembilan puluh sembilan persen uenak tenan.... :0)

Adapun puasa, merupakan alternatif kedua setelah nikah. Jika yang bersangkutan benar-benar belum mampu memberikan nafkah bagi pasangannya, maka puasa dapat digunakan sebagai The second solution untuk meredam $B!F(Jamarah$B!G(J nafsu. Secara medis, nafsu berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi. Oleh karenanya, logis kalau puasa dijadikan sebagai obat penawar $B!F(Jcakaran nafsu,$B!G(J karena dalam puasa ada pengaturan -kalau tidak mau dibilang pengurangan- pola makan sehari-hari. Dengan begitu, orientasi nafsu yang selalu mencari $B!F(Jmangsa,$B!G(J akan beralih untuk merasakan lapar dan dahaga karena puasa. Puasa di sini bukan hanya puasa bulan ramadhan saja, melainkan juga termasuk puasa-puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, puasa Baidh dan lain-lain. Bahkan kalau perlu, setiap nafsu kita bergejolak, segeralah berpuasa!


* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Agama Islam UMM, aktif sebagai Kepala Bidang Penalaran BEM dan Ketua Public Relation Program Pendidikan Ulama Tarjih.

Tidak ada komentar: