Selasa, 13 Januari 2009

Menangkal Kekerasan di Sekolah (bersambung)

Oleh: Naura Ambarini

Akhir-akhir ini banyak kekerasan yang menimpa anak-anak baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan sekolah. Selama dua bulan belakangan ini pemberitaan di media massa tentang kekerasan yang terjadi pada anak, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual masih terus berlangsung. Yang membuat kita terperangah bahwa pelaku dari kekerasan itu adalah orang terdekat dari anak sendiri, yang seharusnya memberikan perlindungan, semisal kerabat atau bahkan guru mereka sendiri.

Kekerasan yang terjadi pada institusi pendidikan, baik yang dilakukan guru maupun kepala sekolah, merupakan sebuah fenomena dimana selama ini kita beranggapan lembaga pendidikan adalah tempat untuk mencetak individu-individu yang mandiri di masa depan. Situasi kekerasan itu dapat tergambar dengan jelas, di mana tidak masalah ketika seorang guru menghukum siswanya dengan cara memukul, mencubit, menampar. Hal ini dianggap sebagai satu proses pembelajaran untuk menegakkan disiplin di sekolah.

Pendidik yang seharusnya menjadi pelindung anak-anak, malah menularkan perilaku yang tak terpuji, perilaku yang akan ditiru murid-muridnya kelak. Fenomena ini akhirnya seperti menjadi satu mata rantai yang tidak terputus. Setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi budaya kekerasan. Anak-anak yang tertekan dengan perilaku kekerasan yang diterima akan mengadopsi budaya kekerasan seperti itu. Pada titik tertentu kemungkinan dia akan melakukan perbuatan kekerasan yang pernah diterimanya, kepada orang lain.

Hasil penelitian Yayasan Semai Jiwa pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 10% guru melakukan kekerasan fisik sebagai bagian dari hukuman. Sebanyak 10% juga guru berpendapat bahwa hukuman fisik merupakan cara yang efektif untuk menegur siswa. Sedangkan, 27,5% guru beranggapan bahwa kekerasan itu tidak akan berdampak pada psikologis siswa. Ini menyiratkan satu makna penting bahwa masih ada saja guru di sekolah yang menganggap kekerasan adalah bagian dari proses pendidikan.

Tidak ada komentar: