By: Lazuarda Mumtaza
Yang ada hanya kelembutan
Selain kelembutan adalah menyakitkan
Semua yang menyakitkan kecil ada harapan
Yang kecil harapan adalah kemusnahan
Senin, 09 Juni 2008
Kamis, 05 Juni 2008
Peta Damai Liberalisme dan Fundamentalisme Islam
Oleh: Naura Ambarini*
Selalu menarik membincang masalah Islam, tidak hanya karena memang Islam layak dikaji, lebih dari itu, di zaman yang serba terbuka semacam ini relevansi nilai-nilai Islam juga harus dapat ditampilkan secara rasional dan lebih terbuka. Lalu pertanyaannya, apakah selama ini relevansi nilai-nilai Islam tidak ditampilkan dengan rasional dan terbuka?
Jika dirunut lebih jauh, sebenarnya bukan tidak ada aktivisme yang memunculkan pencitraan terhadap Islam yang rasional dan terbuka. Namun yang menjadi persoalan, yang tampak lebih dominan adalah yang sebaliknya, bahwa Islam dicitrakan sebagai sebuah ajaran yang hanya memupuk asketisme-esoteris, yang miskin falsifikasi-kritis.
Disadari atau tidak, perkembangan zaman yang semakin cepat dan meng-global, telah membawa dampak yang luar biasa pada perkembangan studi Islam. Kita harus jujur, bahwa dalam hal-hal tertentu umat Islam tertinggal jauh dari Negara-negara Barat. Dalam perumusan paradigma ilmiah dan teori-teori sosial-keagamaan misalnya, umat Islam masih berada jauh di belakang. Padahal tren dunia saat ini cenderung mengikuti paradigma yang telah dikembangkan oleh Barat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka umat Islam dihadapkan pada pilihan antara bersikap terbuka terhadap teori-teori Barat yang sudah terbukti ampuh menghadirkan gemerlap modernitas, ataukah tetap mempertahankan tradisi lama dengan dalih Barat menyesatkan.
Lanskap studi Islam kontemporer sangat beragam, ada banyak jenis me-todologi dan pendekatan yang digunakan. Secara matematis, saya belum menemukan penelitian yang secara pasti mengungkap berapa jumlah metodologi dan pendekatan itu, jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan. Saya rasa kita tidak perlu tahu jumlahnya, karena yang terpenting sebetulnya kita paham karakteristiknya.
Setidak-tidaknya, jumlah metodologi dan pendekatan yang sedemikian itu dapat diperas menjadi dua poros utama, yang dalam bahasa Amin Abdullah disebut sebagai pendekatan doktriner-normatif dan pendekatan historis –kritis. Pendekatan yang disebut pertama bersifat mutlak dan akan selalu ada, karena mainstream pendekatan ini adalah pengkajian secara tekstual dan doktrinal-teologis terhadap wahyu. Sementara pendekatan historis kritis bertumpu pada telaah proses keberagamaan manusia yang multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan filosofis (berusaha melihat fenomena agama sampai pada pe-mahaman yang mengakar), sosiologis (kesadaran bahwa agama tidak hanya me-ngatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tapi juga melibatkan kesadaran berkelompok), antropologis (kesadaran terhadap pencarian asal-usul agama), kul-tural (kesadaran bahwa penetrasi agama akan selalu mengusung dan melawan kultur masyarakat tertentu), historis (perjalanan agama senantiasa terikat ruang dan waktu) bahkan ekonomis (Eksistensi agama dapat mendorong terjadinya penguatan pola ekonomi tertentu).
Proses transformasi dari pendekatan doktriner-normatif ke pendekatan historis-kritis terjadi pada penghujung abad ke-19 dan tampak lebih jelas pada paruh abad ke-20. Pada saat itu terjadi pergeseran pemahaman paradigmatik tentang agama, dari yang dulunya terbatas pada idealitas, kemudian menjadi his-torisitas, dari yang hanya berkisar pada doktrin mengarah ke entitas sosiologis, dan dari diskursus esensi ke arah eksistensi.
Pendekatan doktriner-normatif menghasilkan pemahaman yang skriptualis atau tekstualis, yang mencerminkan ketertundukan secara mutlak kepada makna teks wahyu yang dianggap sebagai representasi Pewahyu. Produk nyata dari pendekatan ini adalah kaidah-kaidah fikih dan ushul fikih. Sementara pendekatan historis-kritis akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan teori, kebudayaan, peradaban dan institusi-institusi. Tak jarang, pendekatan yang disebut pertama menimbulkan perilaku keberagamaan yang fundamentalis dan cenderung rigid. Sedangkan model pendekatan yang kedua cenderung menghasilkan corak keberagamaan yang moderat-progresif, bahkan terkadang liberal dalam pengertian yang peyoratif.
Meski demikian, kehadiran keduanya bukan untuk dipertentangkan. Kedua model pendekatan yang menghasilkan corak keberagamaan yang berbeda itu akan lebih baik jika saling melengkapi. Pemahaman yang moderat-progresif hendaknya didasarkan pada akar-akar normativitas ajaran Islam guna memperkuat basis epistemologis. Sehingga tidak sampai terjerumus upaya dekonstruksi Islam yang destruktif dan kebablasan. Sebaliknya, pendekatan doktriner-normatif harus pula dilengkapi dengan upaya pembacaan historis dan konteks sosial yang kritis, agar menghasilkan sebuah doktrin yang arif dan berkemajuan. Perbedaan tidak seharusnya berujung pada perpecahan, karena pada hakikatnya perbedaan adalah seni kehidupan yang memunculkan riak-riak keindahan. Satu hal lagi, bahwa di antara dua ekstrimitas perbedaan akan selalu ada jalan tengah untuk mendamai-kannya. Wa Allahu a’lamu bi al-shawab.
* Naura Ambarini adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang dan Penggiat Diskursus Sufisme Islam Pesantren Al-Muniroh, Gresik
Selalu menarik membincang masalah Islam, tidak hanya karena memang Islam layak dikaji, lebih dari itu, di zaman yang serba terbuka semacam ini relevansi nilai-nilai Islam juga harus dapat ditampilkan secara rasional dan lebih terbuka. Lalu pertanyaannya, apakah selama ini relevansi nilai-nilai Islam tidak ditampilkan dengan rasional dan terbuka?
Jika dirunut lebih jauh, sebenarnya bukan tidak ada aktivisme yang memunculkan pencitraan terhadap Islam yang rasional dan terbuka. Namun yang menjadi persoalan, yang tampak lebih dominan adalah yang sebaliknya, bahwa Islam dicitrakan sebagai sebuah ajaran yang hanya memupuk asketisme-esoteris, yang miskin falsifikasi-kritis.
Disadari atau tidak, perkembangan zaman yang semakin cepat dan meng-global, telah membawa dampak yang luar biasa pada perkembangan studi Islam. Kita harus jujur, bahwa dalam hal-hal tertentu umat Islam tertinggal jauh dari Negara-negara Barat. Dalam perumusan paradigma ilmiah dan teori-teori sosial-keagamaan misalnya, umat Islam masih berada jauh di belakang. Padahal tren dunia saat ini cenderung mengikuti paradigma yang telah dikembangkan oleh Barat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka umat Islam dihadapkan pada pilihan antara bersikap terbuka terhadap teori-teori Barat yang sudah terbukti ampuh menghadirkan gemerlap modernitas, ataukah tetap mempertahankan tradisi lama dengan dalih Barat menyesatkan.
Lanskap studi Islam kontemporer sangat beragam, ada banyak jenis me-todologi dan pendekatan yang digunakan. Secara matematis, saya belum menemukan penelitian yang secara pasti mengungkap berapa jumlah metodologi dan pendekatan itu, jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan. Saya rasa kita tidak perlu tahu jumlahnya, karena yang terpenting sebetulnya kita paham karakteristiknya.
Setidak-tidaknya, jumlah metodologi dan pendekatan yang sedemikian itu dapat diperas menjadi dua poros utama, yang dalam bahasa Amin Abdullah disebut sebagai pendekatan doktriner-normatif dan pendekatan historis –kritis. Pendekatan yang disebut pertama bersifat mutlak dan akan selalu ada, karena mainstream pendekatan ini adalah pengkajian secara tekstual dan doktrinal-teologis terhadap wahyu. Sementara pendekatan historis kritis bertumpu pada telaah proses keberagamaan manusia yang multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan filosofis (berusaha melihat fenomena agama sampai pada pe-mahaman yang mengakar), sosiologis (kesadaran bahwa agama tidak hanya me-ngatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tapi juga melibatkan kesadaran berkelompok), antropologis (kesadaran terhadap pencarian asal-usul agama), kul-tural (kesadaran bahwa penetrasi agama akan selalu mengusung dan melawan kultur masyarakat tertentu), historis (perjalanan agama senantiasa terikat ruang dan waktu) bahkan ekonomis (Eksistensi agama dapat mendorong terjadinya penguatan pola ekonomi tertentu).
Proses transformasi dari pendekatan doktriner-normatif ke pendekatan historis-kritis terjadi pada penghujung abad ke-19 dan tampak lebih jelas pada paruh abad ke-20. Pada saat itu terjadi pergeseran pemahaman paradigmatik tentang agama, dari yang dulunya terbatas pada idealitas, kemudian menjadi his-torisitas, dari yang hanya berkisar pada doktrin mengarah ke entitas sosiologis, dan dari diskursus esensi ke arah eksistensi.
Pendekatan doktriner-normatif menghasilkan pemahaman yang skriptualis atau tekstualis, yang mencerminkan ketertundukan secara mutlak kepada makna teks wahyu yang dianggap sebagai representasi Pewahyu. Produk nyata dari pendekatan ini adalah kaidah-kaidah fikih dan ushul fikih. Sementara pendekatan historis-kritis akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan teori, kebudayaan, peradaban dan institusi-institusi. Tak jarang, pendekatan yang disebut pertama menimbulkan perilaku keberagamaan yang fundamentalis dan cenderung rigid. Sedangkan model pendekatan yang kedua cenderung menghasilkan corak keberagamaan yang moderat-progresif, bahkan terkadang liberal dalam pengertian yang peyoratif.
Meski demikian, kehadiran keduanya bukan untuk dipertentangkan. Kedua model pendekatan yang menghasilkan corak keberagamaan yang berbeda itu akan lebih baik jika saling melengkapi. Pemahaman yang moderat-progresif hendaknya didasarkan pada akar-akar normativitas ajaran Islam guna memperkuat basis epistemologis. Sehingga tidak sampai terjerumus upaya dekonstruksi Islam yang destruktif dan kebablasan. Sebaliknya, pendekatan doktriner-normatif harus pula dilengkapi dengan upaya pembacaan historis dan konteks sosial yang kritis, agar menghasilkan sebuah doktrin yang arif dan berkemajuan. Perbedaan tidak seharusnya berujung pada perpecahan, karena pada hakikatnya perbedaan adalah seni kehidupan yang memunculkan riak-riak keindahan. Satu hal lagi, bahwa di antara dua ekstrimitas perbedaan akan selalu ada jalan tengah untuk mendamai-kannya. Wa Allahu a’lamu bi al-shawab.
* Naura Ambarini adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang dan Penggiat Diskursus Sufisme Islam Pesantren Al-Muniroh, Gresik
Rabu, 04 Juni 2008
Membangun Desa Menata (Ulang) Kota
Oleh: Naura Ambarini*
Beberapa waktu yang lalu, pada saat saya menempuh perjalanan dari Jember ke Malang, di daerah Warungdowo- Pasuruan, secara tidak sengaja saya melihat sebuah poster besar milik salah seorang Calon Gubernur Jawa Timur, yang tidak perlu saya sebut namanya, yang memuat tulisan mbangun deso noto kutho. Secara spontan tulisan tersebut membawa ingatan saya menyeberangi masa tiga tahun lalu, dimana saya mendengar kata-kata yang searti dengan kata dalam iklan tersebut, untuk pertama kalinya. Tepatnya, saya mendengar kata itu pada saat mengikuti sebuah seminar, yang di dalamnya dipaparkan tentang visi dam misi Pemerintah Kabupaten Gresik, tahun 2005 silam. Membangun Desa Menata Kota, adalah kata yang disitir oleh KH. Robbach Ma’shum, Bupati Gresik waktu itu. Singkat cerita, Pak Robach, begitu ia biasa dipanggil, mengintrodusir Membangun Desa Menata Kota pada saat mempresentasikan visinya dalam membangun Kabupaten Gresik. Mbangun deso noto kutho dengan Membangun Desa Menata Kota adalah dua jargon yang berbeda, namun memiliki makna yang sama. Bedanya hanya yang disebut pertama merupakan redaksi bahasa Jawa. Saya tidak mengetahui betul jargon mana yang lebih dulu muncul. Ibarat harus menjawab pertanyaan lebih dulu mana telur dengan ayam, penulis juga tidak mengetahui secara persis mana yang lebih dahulu ada, Mbangun deso noto kutho atau Membangun Desa Menata Kota..
Namun satu yang pasti, bahwa usaha pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini, dimanapun daerahnya, sudah seharusnya bertolak dari akar filosofis Membangun Desa Menata Kota. Membangun desa berarti, akselerasi peningkatan seluruh aspek pengembang desa harus semakin ditingkatkan. Mulai dari struktur-infrastruktur, sarana dan prasarana, sampai dengan sumber daya manusianya. Perbaikan jalan desa, peningkatan daya saing home industry, pemberian modal berbunga rendah, menambah tempat-tempat hiburan (dalam arti positif), adalah bentuk-bentuk usaha konkrit yang dapat dicoba untuk membangun desa. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah pembangunan sumber daya manusia desa, lewat jalur pendidikan dan penguatan kepribadian.
Pendek kata, usaha membangun desa adalah upaya menjadikan desa semenarik dan senyaman kota. Pembangunan desa juga harus dapat mengarah kepada strategi menjadikan kader berkualitas yang ada memiliki loyalitas untuk tetap tinggal dan mengembangkan desanya. Hal ini juga akan menjadi preseden yang menarik bagi para kader desa yang menimba ilmu di luar daerah. Karena, kader-kader desa yang semacam inilah yang pengalamannya melihat pengembangan dan perkembangan daerah lain, sangat dibutuhkan sebagai referensi pengembangan desa asalnya. Sehingga desa yang bersangkutan tidak mengalami brain drain, sulit berkembang karena sumber daya manusia berkualitas yang dimiliki, hijrah ke daerah lain yang dianggap lebih bisa memberikan jaminan hidup. Sebaliknya, desa yang bersangkutan justru bisa merasakan manfaat dari kualitas dan loyalitas kadernya (brain gain).
Sementara itu, pembangunan dan pengembangan kota sudah saatnya mengarah kepada upaya penataan kota. Hal ini dapat dipahami karena memang lanskap pembangunan perkotaan tidak bisa seluas dan semaksimal pembangunan desa. Karena sejatinya pembangunan daerah perkotaan sudah sangat maju jauh meninggalkan pembangunan desa. Meskipun upaya itu belum final, namun pembangunan sarana-prasarana dan struktur-infrastruktur di daerah perkotaan sudah relatif maksimal dibanding pedesaan. Sehingga, jargon noto kutho memang secara harfiah seharusnya berimplikasi pada upaya untuk menjadikan kota lebih tertata rapi, bersih, bebas polusi, aman, tidak rawan banjir, tidak macet dan masing-masing fungsi memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakatnya. Usaha ini penting, mengingat akhir-akhir ini banyak sekali pemerintah daerah maupun pemerintah kota yang kurang memperhatikan fungsi dan tata letak kota dalam menggenjot pembangunan daerahnya. Misalnya, di beberapa daerah, taman kota yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk ruang publik justru dijadikan pusat perbelanjaan. Ada juga kawasan yang seharusnya khusus untuk kawasan pendidikan tapi justru digunakan untuk Supermarket. Lebih parah lagi, ada lahan yang seharusnya untuk daerah resapan justru di atasnya dibangun Mal atau Villa Eksklusif. Jika pembangunan kota sudah seperti itu, maka wajar kalau kemudian banyak terjadi banjir, kemacetan dimana-mana dan udara segar kota sudah semakin sulit dicari. Oleh karena itu, tepat kirannya jika pembangunan kota diarahkan kepada upaya untuk menata dan menempatkan semua fungsi kota sesuai dengan proporsinya.
* Naura Ambarini adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang
Beberapa waktu yang lalu, pada saat saya menempuh perjalanan dari Jember ke Malang, di daerah Warungdowo- Pasuruan, secara tidak sengaja saya melihat sebuah poster besar milik salah seorang Calon Gubernur Jawa Timur, yang tidak perlu saya sebut namanya, yang memuat tulisan mbangun deso noto kutho. Secara spontan tulisan tersebut membawa ingatan saya menyeberangi masa tiga tahun lalu, dimana saya mendengar kata-kata yang searti dengan kata dalam iklan tersebut, untuk pertama kalinya. Tepatnya, saya mendengar kata itu pada saat mengikuti sebuah seminar, yang di dalamnya dipaparkan tentang visi dam misi Pemerintah Kabupaten Gresik, tahun 2005 silam. Membangun Desa Menata Kota, adalah kata yang disitir oleh KH. Robbach Ma’shum, Bupati Gresik waktu itu. Singkat cerita, Pak Robach, begitu ia biasa dipanggil, mengintrodusir Membangun Desa Menata Kota pada saat mempresentasikan visinya dalam membangun Kabupaten Gresik. Mbangun deso noto kutho dengan Membangun Desa Menata Kota adalah dua jargon yang berbeda, namun memiliki makna yang sama. Bedanya hanya yang disebut pertama merupakan redaksi bahasa Jawa. Saya tidak mengetahui betul jargon mana yang lebih dulu muncul. Ibarat harus menjawab pertanyaan lebih dulu mana telur dengan ayam, penulis juga tidak mengetahui secara persis mana yang lebih dahulu ada, Mbangun deso noto kutho atau Membangun Desa Menata Kota..
Namun satu yang pasti, bahwa usaha pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini, dimanapun daerahnya, sudah seharusnya bertolak dari akar filosofis Membangun Desa Menata Kota. Membangun desa berarti, akselerasi peningkatan seluruh aspek pengembang desa harus semakin ditingkatkan. Mulai dari struktur-infrastruktur, sarana dan prasarana, sampai dengan sumber daya manusianya. Perbaikan jalan desa, peningkatan daya saing home industry, pemberian modal berbunga rendah, menambah tempat-tempat hiburan (dalam arti positif), adalah bentuk-bentuk usaha konkrit yang dapat dicoba untuk membangun desa. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah pembangunan sumber daya manusia desa, lewat jalur pendidikan dan penguatan kepribadian.
Pendek kata, usaha membangun desa adalah upaya menjadikan desa semenarik dan senyaman kota. Pembangunan desa juga harus dapat mengarah kepada strategi menjadikan kader berkualitas yang ada memiliki loyalitas untuk tetap tinggal dan mengembangkan desanya. Hal ini juga akan menjadi preseden yang menarik bagi para kader desa yang menimba ilmu di luar daerah. Karena, kader-kader desa yang semacam inilah yang pengalamannya melihat pengembangan dan perkembangan daerah lain, sangat dibutuhkan sebagai referensi pengembangan desa asalnya. Sehingga desa yang bersangkutan tidak mengalami brain drain, sulit berkembang karena sumber daya manusia berkualitas yang dimiliki, hijrah ke daerah lain yang dianggap lebih bisa memberikan jaminan hidup. Sebaliknya, desa yang bersangkutan justru bisa merasakan manfaat dari kualitas dan loyalitas kadernya (brain gain).
Sementara itu, pembangunan dan pengembangan kota sudah saatnya mengarah kepada upaya penataan kota. Hal ini dapat dipahami karena memang lanskap pembangunan perkotaan tidak bisa seluas dan semaksimal pembangunan desa. Karena sejatinya pembangunan daerah perkotaan sudah sangat maju jauh meninggalkan pembangunan desa. Meskipun upaya itu belum final, namun pembangunan sarana-prasarana dan struktur-infrastruktur di daerah perkotaan sudah relatif maksimal dibanding pedesaan. Sehingga, jargon noto kutho memang secara harfiah seharusnya berimplikasi pada upaya untuk menjadikan kota lebih tertata rapi, bersih, bebas polusi, aman, tidak rawan banjir, tidak macet dan masing-masing fungsi memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakatnya. Usaha ini penting, mengingat akhir-akhir ini banyak sekali pemerintah daerah maupun pemerintah kota yang kurang memperhatikan fungsi dan tata letak kota dalam menggenjot pembangunan daerahnya. Misalnya, di beberapa daerah, taman kota yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk ruang publik justru dijadikan pusat perbelanjaan. Ada juga kawasan yang seharusnya khusus untuk kawasan pendidikan tapi justru digunakan untuk Supermarket. Lebih parah lagi, ada lahan yang seharusnya untuk daerah resapan justru di atasnya dibangun Mal atau Villa Eksklusif. Jika pembangunan kota sudah seperti itu, maka wajar kalau kemudian banyak terjadi banjir, kemacetan dimana-mana dan udara segar kota sudah semakin sulit dicari. Oleh karena itu, tepat kirannya jika pembangunan kota diarahkan kepada upaya untuk menata dan menempatkan semua fungsi kota sesuai dengan proporsinya.
* Naura Ambarini adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang
Perempuan Berkepala Angsa
By: Kurdi Muhammad*
Dalam bukunya, Rekayasa Sosial, Jalaluddin Rakhmat mengintrodusir sebuah istilah ketatabahasaan baru. Homo Orbaicus, adalah konstruk kebahasaan itu, adalah ragam kreasi bahasa yang diambil dari kata orde baru. Secara harfiah, konstruk kata itu dapat dimaknai sebagai ‘manusia-manusia bermental orde baru.’ Kata Homo Orbaicus, dibuat serumpun dengan Homo Sapiens, Pithecantropus Erectus, Homo Homini Lupus, serta homo dan akhiran-akhiran –us yang lain. Terilhami hal itu, penulis memunculkan ragam kreasi bahasa baru juga, penulis menyebutnya Homo Wedho'icus. Istilah ini merupakan hasil rekonstruk kata Homo (berarti manusia) dan wedho'icus (bermakna perempuan – Terj. Jawa).
Tulisannya, Jalaluddin mengutarakan, bahwa ada beberapa karakter buruk manusia bertipe homo orbaicus, yakni iri, mengandalkan fasilitas, inkonsisten, pasif, mementingkan diri sendiri, lebih percaya gosip daripada fakta dan berkepribadian benalu. Jika dicermati, sekian karakter itu tak jarang terdapat dalam diri homo wedho'icus. Bahkan, belakangan karakter itu sering secara otomatis menempel pada ‘manusia perempuan,’ meskipun sebetulnya tidak ada karakter itu di dalam dirinya. Tanpa bermaksud menafikan perempuan-perempuan tangguh, penulis melihat, ada banyak bukti pemerkuat tudingan bahwa watak homo orbaicus sering berkait kelindan dengan behavioral homo wedho’icus. Padahal, ‘manusia perempuan’ inilah yang menjadi tiang keberlangsungan kehidupan umat, jika kaum perempuannya bermental homo orbaicus, ke depan, dapat dipastikan umat ini akan berbau kakus dan berduri laiknya kaktus.
Meski begitu, ‘manusia perempuan’ tidak perlu terlalu khawatir, karena ada banyak cara menghilangkan stigma itu. Salah satunya, seperti yang dicontohkan Khalifah. Suatu hari, Abu Bakar As-Shiddiq pernah bergumam, “Semoga aku menjadi pohon yang ditebang kemudian dimanfaatkan.” Sebuah analogi bermakna elegan, jika dalam setiap benak homo wedho’icus tersembul cita-cita menjadi pohon yang ditebang, kemudian dapat dimanfaatkan. Analog demikian sejatinya menyiratkan makna, bahwa dalam kapasitas terlemah dan terendah sekalipun, seorang perempuan harus memiliki nilai kemanfaatan (advantage values), sebuah ideologi yang barangkali tidak sulit diterapkan.
Selain itu, mengutip pidato Bung Karno, bahwa manusia Indonesia, tak terkecuali perempuannya, harus mampu manjadi ‘pewahyu rakyat.’ Pesan itu terasa sangat bermakna jika dikorelasikan dengan urgensi peran perempuan. Pewahyu rakyat dapat diterjemahkan sebagai orang yang memiliki sikap mental yang progresif-transformatif dan berwatak calvinis (rajin, tekun dan cerdas). Watak-watak semacam ini harus dimiliki perempuan, mengingat transformasi keberlangsungan umat di masa-masa yang akan datang.
Homo wedho’icus harus mampu menunjukkan diri, bahwa ia bukan Homo Orbaicus. Selain berwatak progresif-transformatif, calvinis dan memiliki nilai kemanfaatan, homo wedho’icus juga harus mampu ber-uzlah, mengasingkan diri memikirkan sebuah inovasi dan kreasi baru untuk kemajuan bangsa dan negaranya, minimal masyarakat terkecil dalam keluarganya. Sebagaimana pelatih kesebelasan Perancis, Raymond Domenech, yang beberapa hari sebelum perhelatan piala dunia digelar, menginstruksikan pemainnya agar ber-uzlah ke negeri yang bahasa kaumnya tidak dimengerti. Bagi Domenech, ini sangat penting agar tidak ada yang bertanya tentang kans Perancis di Piala Dunia, sehingga pemain tidak terbebani dan bebas berkreasi saat hari H Piala Dunia.
Di samping itu, homo wedho’icus harus mampu menjadi Leader di masyarakatnya, mengutip pepatah China, bahwa menjadi kepala angsa masih lebih baik daripada menjadi ekor naga. Qatadah pernah mengatakan, ada tiga macam manusia, yaitu manusia sejati, setengah manusia dan manusia yang tidak berguna. Manusia sejati adalah yang berakal dan mempunyai gagasan yang bermanfaat. Setengah manusia adalah orang yang mengajak musyawarah dengan manusia sejati dan berbuat dengan pendapat mereka. Sedangkan manusia yang tidak berguna adalah yang tidak berakal, tidak mempunyai gagasan dan tidak mengajak musyawarah/meminta pendapat siapapun. Karenanya, homo wedho’icus, sebisa mungkin selalu menempatkan dirinya menjadi tipe manusia pertama.
* Kurdi Muhammad adalah Presidium Pusat Studi Filsafat dan Sufisme Islam, pernah nyantri di Pesantren Al-Muniroh
Taekwondo dan Restorasi Pendidikan
Oleh: Kurdi Muhammad*
Sejarah (Singkat) Taekwondo
Pada dasarnya, manusia terlahir ke dunia ini dengan memiliki kecen-derungan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan tendensi semacam itu, memaksa manusia untuk mencari cara melindungi dan mempertahankan dirinya dari serangan musuh, lebih-lebih musuh yang notabene berasal dari jenis mereka sendiri.
Pada zaman kuno, manusia tidak punya pikiran lain untuk mem-pertahankan dirinya kecuali dengan tangan kosong, hal ini secara alamiah mendorong manusia mengembangkan teknik-teknik bertarung dengan tangan kosong. Pada saat kemampuan bertarung dengan tangan kosong dikembangkan sebagai suatu cara untuk menyerang dan bertahan, maka akan lahir sebuah teknik, yang dalam bahasa kita saat ini lebih dikenal dengan istilah seni beladiri. Hal inilah yang diyakini menjadi dasar lahirnya seni beladiri Taekwondo.
Dahulu, Taekwondo dikenal sebagai Subak, Taekkyon dan Takkyon. Pada Dinasti Koryo (918-1392 M), Taekkyon berkembang sangat sistematis dan me-rupakan mata ujian penting untuk seleksi ketentaraan. Sementara Pada masa Dinasti Chosun (1392-1910 M), Subakhui dan Taekkyon, sebutan Taekwondo pada saat itu mengalami kemunduran.
Dinasti Chosun (Yi) yang didirikan dalam ideologi Konfusius, lebih mementingkan kegiatan kebudayaan daripada seni beladiri. Kemunduran Taekwondo semakin menemukan momentumnya saat pen-jajahan Jepang. Selain karena dilarang Jepang, kemunduran Taekwondo juga disebabkan tidak adanya dukungan dari pemerintah, yang pada saat itu, lebih ber-kenan memodernisasi tentaranya dengan senjata api.
Seiring dengan kemerdekaan Korea dari penjajahan Jepang, kebudayaan dan tradisi Korea mulai bangkit kembali. Hal ini dipertegas dengan semakin ba-nyaknya ahli seni beladiri yang mendirikan perguruan beladiri. Sampai akhirnya, pada tahun 1954, diputuskan untuk menyatukan berbagai nama seni beladiri itu dengan sebutan Tae Kwon Do.
Menurut data yang dilansir dalam situs www.taekwondo-indonesia.org., pada tanggal 16 September 1961 nama Tae-kwondo sempat berubah menjadi Taesoodo, namun akhirnya kembali menjadi Taekwondo dengan organisasi nasionalnya bernama Korea Taekwondo Ass-ociation (KTA) pada tanggal 5 Agustus 1965, dan menjadi anggota Korean Sport Council. Masih dalam situs yang sama, pada 28 Mei 1973, The World Taekwondo Federation (WTF) didirikan, dan sekarang telah mempunyai 156 negara anggota serta telah dipraktekan oleh lebih dari 50 juta orang diseluruh penjuru dunia.
Taekwondo dan Kemajuan Korea
Menurut Arip Muttaqien, Taekwondo terdiri dari tiga kata tae, kwon dan do. Tae artinya kaki atau menghancurkan dengan menggunakan teknik tendangan. Kwon artinya tangan atau menghantam dan mempertahankan diri dengan teknik tangan. Do artinya seni mendisiplinkan diri. Secara sederhana, Taekwondo berarti seni dan cara mendisiplinkan diri dengan menggunakan teknik kaki dan tangan tanpa menggunakan senjata. Taekwondo merupakan cabang olahraga beladiri po-puler Korea, bahkan menjadi kebanggaan masyarakat Korea.
Dalam Taekwondo ada lima sila yang sampai sekarang menjadi aturan pokok bagi Taekwondoin, yaitu: setia kepada Negara, patuh kepada orang tua, dapat dipercaya teman, pantang mundur dalam peperangan dan haram membunuh secara tidak adil. Tae-kwondo juga menekankan sikap saling menghormati dan menghargai, pada musuh sekalipun.
Sepintas lalu, Taekwondo dengan berbagai bentuk derivasinya seolah seperti barang mati yang tidak mungkin mampu menggerakkan makhluk hidup lain, lebih-lebih sebuah bangsa yang urusan rumah tangganya sangat kompleks. Namun, salah besar jika kita melanggengkan asumsi yang semacam itu. Karena faktanya, dengan spirit Taekwondo, Korea mampu mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah lebih dulu maju.
Ada banyak contoh kesuksesan Korea yang diilhami oleh spirit Tae-kwondo. Spirit Taekwondo yang menanamkan budaya disiplin dan bekerja keras sangat tampak ketika kesebelasan Korea mampu menjadi semi finalis Piala Dunia 2002 dengan mengalahkan tim-tim favorit juara kala itu, Italia dan Spanyol. Barangkali tidak akan pernah lekang dalam ingatan kita, bagaimana Ahn Jung Hwan dan kawan-kawan terus berlari mengejar bola sampai peluit akhir berbunyi. Bahkan tidak jarang mereka membalikkan keadaan setelah terlebih dahulu ter-tinggal. Mereka bermain tidak ada beban layaknya banteng ketaton meski lebih dulu tertinggal, dan memang begitulah spirit Taekwondo.
Kabar terbaru, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kontingen Korea dengan semangat juangnya, mampu berada di peringkat ketiga dalam Asian Games 2006 di Doha, Qatar.
Sila pertama Taekwondo, setia kepada Negara, menjadi semacam motivasi kuat bagi masyarakat Korea untuk terus membangun dan memajukan negaranya. Hampir semua tenaga produktif di Korea mampu bekerja 18 jam sehari. Sekarang, sudah tidak sedikit perusahaan multinasional berkebangsaan Korea telah berhasil menggeser dominasi perusahaan-perusahaan besar lainnya. Sebut saja pabrikan mobil Hyundai dan KIA, di banyak Negara keberadaannya sudah mampu me-nyaingi perusahaan lain yang lebih dulu mapan. Belum lagi LG dan SAMSUNG, pangsa pasarnya kini telah menembus hampir seluruh Negara di dunia.
Korea juga tercatat berada di peringkat ke-28 dalam Human Development Index (2004), dengan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 16.950 dollar AS. Sementara Indonesia masih berada di posisi ke-112. Bahkan, posisi Indonesia jauh di bawah Singapura yang ada di posisi ke-28 (0,888), Brunei Darussalam ke-31 (0,872), Malaysia ke-58 (0,790), Thailand ke-74 (0,768), dan Filipina ke-85 (0,751). (KOMPAS, 02/06/2004)
Taekwondo dan Restorasi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan persoalan fundamental semua bangsa. Bahkan, kemajuan sebuah bangsa dapat ditengarai dari maju atau tidaknya penye-lenggaraan pendidikannya. Pendidikan juga erat kaitannya dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Sedangkan kemajuan ekonomi sebuah bangsa, merupakan landasan pacu untuk memperoleh kemajuan pada bidang-bidang yang lain. Sehingga, dengan logika yang sederhana, dapat dikatakan bahwa pendidikan me-rupakan tonggak dasar kemajuan bangsa.
William Schweke, dalam Smart Money: Education and Economic Development (2004), sebagaimana dikutip Amich Alhumami, mengatakan bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan eko-nomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan wel-fare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Memasuki abad ke-21, Korea dengan semangat Taekwondonya mulai mengembangkan paradigma pembangunan yang merujuk pada knowledge-based economy. Paradigma ini, menurut Almich, menegaskan tiga hal. Pertama, ke-majuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pe-ngetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan ke-majuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi peng-gerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses trans-formasi struktural berjangka panjang.
Komitmen Korea terhadap pembangunan pendidikan, setidak-tidaknya, tercermin dalam besaran anggaran yang dikucurkan untuk pendidikan. Pada tahun 1951 anggaran yang dialokasikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, dan terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971. Setelah pro-gram ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan pada kisaran antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara.
Sementara di Indonesia, anggaran pendidikan yang ditentukan 20 persen dari APBN 2007 atau setara setara dengan Rp 495,9 triliun rencana alokasi, re-alisasinya hanya 10,3 persen saja atau sekitar Rp 51,3 triliun. (Tempo, 08/09/2006). Hal ini mengindikasikan Pemerintah tidak disiplin menjalankan Undang-undang yang telah ditetapkan.
Di Korea, program wajib belajar pendidikan dasar (universal basic education) sudah berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar SLTP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi. (Amich: 2005)
Ironisnya, pendidikan di Indonesia masih berorientasi mengisi lapangan pekerjaan bukan menciptakan lapangan pekerjaan. Padahal tren yang berkembang, pencari kerja akan selalu lebih banyak daripada lapangan perkerjaan yang ada. Dan, setiap tahunnya lapangan pekerjaan justru tambah sempit. Fenomena me-narik, justru yang tak tamat SD bisa membuat usaha sendiri dan mempekerjakan orang lain mencapai sekitar 15 persen. Sementara lulusan perguruan tinggi yang bisa melakukan hal serupa hanya 3,2 persen. Sekitar 83 persen sarjana hanya menjadi buruh atau karyawan. (KOMPAS, 07/08/2006)
Selain itu, pendidikan di Indonesia, alih-alih dapat menciptakan output yang pantang menyerah, suka bekerja keras dan disiplin, dalam proses belajar-mengajarnya saja banyak kita jumpai tindakan yang indisiplin dan cenderung bermalas-malasan. Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh masyarakat Indonesia merevisi sistem dan spirit pendidikannya. Dalam hal ini, nilai-nilai filosofis Taekwondo seperti berdisiplin tinggi, kerja keras, pantang menyerah, tidak pernah puas dengan hasil yang sudah dicapai, kreatif dan serba bisa, patut untuk dijadikan rujukan. Selain itu, lima sila pokok Taekwondo juga harus terus mendampingi. Karena dengan kelima sila tersebut kemajuan bangsa, kasih sayang, toleransi dan keadilan akan senantiasa menyertai kemajuan yang akan kita raih.
* Penulis adalah Presidium Pusat Studi Islam dan Peradaban, pernah nyantri di Pesantren Al-Muniroh, Gresik
Langganan:
Postingan (Atom)