Oleh: Naura Ambarini*
Beberapa waktu yang lalu, pada saat saya menempuh perjalanan dari Jember ke Malang, di daerah Warungdowo- Pasuruan, secara tidak sengaja saya melihat sebuah poster besar milik salah seorang Calon Gubernur Jawa Timur, yang tidak perlu saya sebut namanya, yang memuat tulisan mbangun deso noto kutho. Secara spontan tulisan tersebut membawa ingatan saya menyeberangi masa tiga tahun lalu, dimana saya mendengar kata-kata yang searti dengan kata dalam iklan tersebut, untuk pertama kalinya. Tepatnya, saya mendengar kata itu pada saat mengikuti sebuah seminar, yang di dalamnya dipaparkan tentang visi dam misi Pemerintah Kabupaten Gresik, tahun 2005 silam. Membangun Desa Menata Kota, adalah kata yang disitir oleh KH. Robbach Ma’shum, Bupati Gresik waktu itu. Singkat cerita, Pak Robach, begitu ia biasa dipanggil, mengintrodusir Membangun Desa Menata Kota pada saat mempresentasikan visinya dalam membangun Kabupaten Gresik. Mbangun deso noto kutho dengan Membangun Desa Menata Kota adalah dua jargon yang berbeda, namun memiliki makna yang sama. Bedanya hanya yang disebut pertama merupakan redaksi bahasa Jawa. Saya tidak mengetahui betul jargon mana yang lebih dulu muncul. Ibarat harus menjawab pertanyaan lebih dulu mana telur dengan ayam, penulis juga tidak mengetahui secara persis mana yang lebih dahulu ada, Mbangun deso noto kutho atau Membangun Desa Menata Kota..
Namun satu yang pasti, bahwa usaha pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini, dimanapun daerahnya, sudah seharusnya bertolak dari akar filosofis Membangun Desa Menata Kota. Membangun desa berarti, akselerasi peningkatan seluruh aspek pengembang desa harus semakin ditingkatkan. Mulai dari struktur-infrastruktur, sarana dan prasarana, sampai dengan sumber daya manusianya. Perbaikan jalan desa, peningkatan daya saing home industry, pemberian modal berbunga rendah, menambah tempat-tempat hiburan (dalam arti positif), adalah bentuk-bentuk usaha konkrit yang dapat dicoba untuk membangun desa. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah pembangunan sumber daya manusia desa, lewat jalur pendidikan dan penguatan kepribadian.
Pendek kata, usaha membangun desa adalah upaya menjadikan desa semenarik dan senyaman kota. Pembangunan desa juga harus dapat mengarah kepada strategi menjadikan kader berkualitas yang ada memiliki loyalitas untuk tetap tinggal dan mengembangkan desanya. Hal ini juga akan menjadi preseden yang menarik bagi para kader desa yang menimba ilmu di luar daerah. Karena, kader-kader desa yang semacam inilah yang pengalamannya melihat pengembangan dan perkembangan daerah lain, sangat dibutuhkan sebagai referensi pengembangan desa asalnya. Sehingga desa yang bersangkutan tidak mengalami brain drain, sulit berkembang karena sumber daya manusia berkualitas yang dimiliki, hijrah ke daerah lain yang dianggap lebih bisa memberikan jaminan hidup. Sebaliknya, desa yang bersangkutan justru bisa merasakan manfaat dari kualitas dan loyalitas kadernya (brain gain).
Sementara itu, pembangunan dan pengembangan kota sudah saatnya mengarah kepada upaya penataan kota. Hal ini dapat dipahami karena memang lanskap pembangunan perkotaan tidak bisa seluas dan semaksimal pembangunan desa. Karena sejatinya pembangunan daerah perkotaan sudah sangat maju jauh meninggalkan pembangunan desa. Meskipun upaya itu belum final, namun pembangunan sarana-prasarana dan struktur-infrastruktur di daerah perkotaan sudah relatif maksimal dibanding pedesaan. Sehingga, jargon noto kutho memang secara harfiah seharusnya berimplikasi pada upaya untuk menjadikan kota lebih tertata rapi, bersih, bebas polusi, aman, tidak rawan banjir, tidak macet dan masing-masing fungsi memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakatnya. Usaha ini penting, mengingat akhir-akhir ini banyak sekali pemerintah daerah maupun pemerintah kota yang kurang memperhatikan fungsi dan tata letak kota dalam menggenjot pembangunan daerahnya. Misalnya, di beberapa daerah, taman kota yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk ruang publik justru dijadikan pusat perbelanjaan. Ada juga kawasan yang seharusnya khusus untuk kawasan pendidikan tapi justru digunakan untuk Supermarket. Lebih parah lagi, ada lahan yang seharusnya untuk daerah resapan justru di atasnya dibangun Mal atau Villa Eksklusif. Jika pembangunan kota sudah seperti itu, maka wajar kalau kemudian banyak terjadi banjir, kemacetan dimana-mana dan udara segar kota sudah semakin sulit dicari. Oleh karena itu, tepat kirannya jika pembangunan kota diarahkan kepada upaya untuk menata dan menempatkan semua fungsi kota sesuai dengan proporsinya.
* Naura Ambarini adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang
Rabu, 04 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar