Oleh: Naura Ambarini*
Selalu menarik membincang masalah Islam, tidak hanya karena memang Islam layak dikaji, lebih dari itu, di zaman yang serba terbuka semacam ini relevansi nilai-nilai Islam juga harus dapat ditampilkan secara rasional dan lebih terbuka. Lalu pertanyaannya, apakah selama ini relevansi nilai-nilai Islam tidak ditampilkan dengan rasional dan terbuka?
Jika dirunut lebih jauh, sebenarnya bukan tidak ada aktivisme yang memunculkan pencitraan terhadap Islam yang rasional dan terbuka. Namun yang menjadi persoalan, yang tampak lebih dominan adalah yang sebaliknya, bahwa Islam dicitrakan sebagai sebuah ajaran yang hanya memupuk asketisme-esoteris, yang miskin falsifikasi-kritis.
Disadari atau tidak, perkembangan zaman yang semakin cepat dan meng-global, telah membawa dampak yang luar biasa pada perkembangan studi Islam. Kita harus jujur, bahwa dalam hal-hal tertentu umat Islam tertinggal jauh dari Negara-negara Barat. Dalam perumusan paradigma ilmiah dan teori-teori sosial-keagamaan misalnya, umat Islam masih berada jauh di belakang. Padahal tren dunia saat ini cenderung mengikuti paradigma yang telah dikembangkan oleh Barat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka umat Islam dihadapkan pada pilihan antara bersikap terbuka terhadap teori-teori Barat yang sudah terbukti ampuh menghadirkan gemerlap modernitas, ataukah tetap mempertahankan tradisi lama dengan dalih Barat menyesatkan.
Lanskap studi Islam kontemporer sangat beragam, ada banyak jenis me-todologi dan pendekatan yang digunakan. Secara matematis, saya belum menemukan penelitian yang secara pasti mengungkap berapa jumlah metodologi dan pendekatan itu, jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan. Saya rasa kita tidak perlu tahu jumlahnya, karena yang terpenting sebetulnya kita paham karakteristiknya.
Setidak-tidaknya, jumlah metodologi dan pendekatan yang sedemikian itu dapat diperas menjadi dua poros utama, yang dalam bahasa Amin Abdullah disebut sebagai pendekatan doktriner-normatif dan pendekatan historis –kritis. Pendekatan yang disebut pertama bersifat mutlak dan akan selalu ada, karena mainstream pendekatan ini adalah pengkajian secara tekstual dan doktrinal-teologis terhadap wahyu. Sementara pendekatan historis kritis bertumpu pada telaah proses keberagamaan manusia yang multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan filosofis (berusaha melihat fenomena agama sampai pada pe-mahaman yang mengakar), sosiologis (kesadaran bahwa agama tidak hanya me-ngatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tapi juga melibatkan kesadaran berkelompok), antropologis (kesadaran terhadap pencarian asal-usul agama), kul-tural (kesadaran bahwa penetrasi agama akan selalu mengusung dan melawan kultur masyarakat tertentu), historis (perjalanan agama senantiasa terikat ruang dan waktu) bahkan ekonomis (Eksistensi agama dapat mendorong terjadinya penguatan pola ekonomi tertentu).
Proses transformasi dari pendekatan doktriner-normatif ke pendekatan historis-kritis terjadi pada penghujung abad ke-19 dan tampak lebih jelas pada paruh abad ke-20. Pada saat itu terjadi pergeseran pemahaman paradigmatik tentang agama, dari yang dulunya terbatas pada idealitas, kemudian menjadi his-torisitas, dari yang hanya berkisar pada doktrin mengarah ke entitas sosiologis, dan dari diskursus esensi ke arah eksistensi.
Pendekatan doktriner-normatif menghasilkan pemahaman yang skriptualis atau tekstualis, yang mencerminkan ketertundukan secara mutlak kepada makna teks wahyu yang dianggap sebagai representasi Pewahyu. Produk nyata dari pendekatan ini adalah kaidah-kaidah fikih dan ushul fikih. Sementara pendekatan historis-kritis akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan teori, kebudayaan, peradaban dan institusi-institusi. Tak jarang, pendekatan yang disebut pertama menimbulkan perilaku keberagamaan yang fundamentalis dan cenderung rigid. Sedangkan model pendekatan yang kedua cenderung menghasilkan corak keberagamaan yang moderat-progresif, bahkan terkadang liberal dalam pengertian yang peyoratif.
Meski demikian, kehadiran keduanya bukan untuk dipertentangkan. Kedua model pendekatan yang menghasilkan corak keberagamaan yang berbeda itu akan lebih baik jika saling melengkapi. Pemahaman yang moderat-progresif hendaknya didasarkan pada akar-akar normativitas ajaran Islam guna memperkuat basis epistemologis. Sehingga tidak sampai terjerumus upaya dekonstruksi Islam yang destruktif dan kebablasan. Sebaliknya, pendekatan doktriner-normatif harus pula dilengkapi dengan upaya pembacaan historis dan konteks sosial yang kritis, agar menghasilkan sebuah doktrin yang arif dan berkemajuan. Perbedaan tidak seharusnya berujung pada perpecahan, karena pada hakikatnya perbedaan adalah seni kehidupan yang memunculkan riak-riak keindahan. Satu hal lagi, bahwa di antara dua ekstrimitas perbedaan akan selalu ada jalan tengah untuk mendamai-kannya. Wa Allahu a’lamu bi al-shawab.
* Naura Ambarini adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang dan Penggiat Diskursus Sufisme Islam Pesantren Al-Muniroh, Gresik
Kamis, 05 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar