Rabu, 04 Juni 2008
Taekwondo dan Restorasi Pendidikan
Oleh: Kurdi Muhammad*
Sejarah (Singkat) Taekwondo
Pada dasarnya, manusia terlahir ke dunia ini dengan memiliki kecen-derungan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dengan tendensi semacam itu, memaksa manusia untuk mencari cara melindungi dan mempertahankan dirinya dari serangan musuh, lebih-lebih musuh yang notabene berasal dari jenis mereka sendiri.
Pada zaman kuno, manusia tidak punya pikiran lain untuk mem-pertahankan dirinya kecuali dengan tangan kosong, hal ini secara alamiah mendorong manusia mengembangkan teknik-teknik bertarung dengan tangan kosong. Pada saat kemampuan bertarung dengan tangan kosong dikembangkan sebagai suatu cara untuk menyerang dan bertahan, maka akan lahir sebuah teknik, yang dalam bahasa kita saat ini lebih dikenal dengan istilah seni beladiri. Hal inilah yang diyakini menjadi dasar lahirnya seni beladiri Taekwondo.
Dahulu, Taekwondo dikenal sebagai Subak, Taekkyon dan Takkyon. Pada Dinasti Koryo (918-1392 M), Taekkyon berkembang sangat sistematis dan me-rupakan mata ujian penting untuk seleksi ketentaraan. Sementara Pada masa Dinasti Chosun (1392-1910 M), Subakhui dan Taekkyon, sebutan Taekwondo pada saat itu mengalami kemunduran.
Dinasti Chosun (Yi) yang didirikan dalam ideologi Konfusius, lebih mementingkan kegiatan kebudayaan daripada seni beladiri. Kemunduran Taekwondo semakin menemukan momentumnya saat pen-jajahan Jepang. Selain karena dilarang Jepang, kemunduran Taekwondo juga disebabkan tidak adanya dukungan dari pemerintah, yang pada saat itu, lebih ber-kenan memodernisasi tentaranya dengan senjata api.
Seiring dengan kemerdekaan Korea dari penjajahan Jepang, kebudayaan dan tradisi Korea mulai bangkit kembali. Hal ini dipertegas dengan semakin ba-nyaknya ahli seni beladiri yang mendirikan perguruan beladiri. Sampai akhirnya, pada tahun 1954, diputuskan untuk menyatukan berbagai nama seni beladiri itu dengan sebutan Tae Kwon Do.
Menurut data yang dilansir dalam situs www.taekwondo-indonesia.org., pada tanggal 16 September 1961 nama Tae-kwondo sempat berubah menjadi Taesoodo, namun akhirnya kembali menjadi Taekwondo dengan organisasi nasionalnya bernama Korea Taekwondo Ass-ociation (KTA) pada tanggal 5 Agustus 1965, dan menjadi anggota Korean Sport Council. Masih dalam situs yang sama, pada 28 Mei 1973, The World Taekwondo Federation (WTF) didirikan, dan sekarang telah mempunyai 156 negara anggota serta telah dipraktekan oleh lebih dari 50 juta orang diseluruh penjuru dunia.
Taekwondo dan Kemajuan Korea
Menurut Arip Muttaqien, Taekwondo terdiri dari tiga kata tae, kwon dan do. Tae artinya kaki atau menghancurkan dengan menggunakan teknik tendangan. Kwon artinya tangan atau menghantam dan mempertahankan diri dengan teknik tangan. Do artinya seni mendisiplinkan diri. Secara sederhana, Taekwondo berarti seni dan cara mendisiplinkan diri dengan menggunakan teknik kaki dan tangan tanpa menggunakan senjata. Taekwondo merupakan cabang olahraga beladiri po-puler Korea, bahkan menjadi kebanggaan masyarakat Korea.
Dalam Taekwondo ada lima sila yang sampai sekarang menjadi aturan pokok bagi Taekwondoin, yaitu: setia kepada Negara, patuh kepada orang tua, dapat dipercaya teman, pantang mundur dalam peperangan dan haram membunuh secara tidak adil. Tae-kwondo juga menekankan sikap saling menghormati dan menghargai, pada musuh sekalipun.
Sepintas lalu, Taekwondo dengan berbagai bentuk derivasinya seolah seperti barang mati yang tidak mungkin mampu menggerakkan makhluk hidup lain, lebih-lebih sebuah bangsa yang urusan rumah tangganya sangat kompleks. Namun, salah besar jika kita melanggengkan asumsi yang semacam itu. Karena faktanya, dengan spirit Taekwondo, Korea mampu mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah lebih dulu maju.
Ada banyak contoh kesuksesan Korea yang diilhami oleh spirit Tae-kwondo. Spirit Taekwondo yang menanamkan budaya disiplin dan bekerja keras sangat tampak ketika kesebelasan Korea mampu menjadi semi finalis Piala Dunia 2002 dengan mengalahkan tim-tim favorit juara kala itu, Italia dan Spanyol. Barangkali tidak akan pernah lekang dalam ingatan kita, bagaimana Ahn Jung Hwan dan kawan-kawan terus berlari mengejar bola sampai peluit akhir berbunyi. Bahkan tidak jarang mereka membalikkan keadaan setelah terlebih dahulu ter-tinggal. Mereka bermain tidak ada beban layaknya banteng ketaton meski lebih dulu tertinggal, dan memang begitulah spirit Taekwondo.
Kabar terbaru, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kontingen Korea dengan semangat juangnya, mampu berada di peringkat ketiga dalam Asian Games 2006 di Doha, Qatar.
Sila pertama Taekwondo, setia kepada Negara, menjadi semacam motivasi kuat bagi masyarakat Korea untuk terus membangun dan memajukan negaranya. Hampir semua tenaga produktif di Korea mampu bekerja 18 jam sehari. Sekarang, sudah tidak sedikit perusahaan multinasional berkebangsaan Korea telah berhasil menggeser dominasi perusahaan-perusahaan besar lainnya. Sebut saja pabrikan mobil Hyundai dan KIA, di banyak Negara keberadaannya sudah mampu me-nyaingi perusahaan lain yang lebih dulu mapan. Belum lagi LG dan SAMSUNG, pangsa pasarnya kini telah menembus hampir seluruh Negara di dunia.
Korea juga tercatat berada di peringkat ke-28 dalam Human Development Index (2004), dengan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 16.950 dollar AS. Sementara Indonesia masih berada di posisi ke-112. Bahkan, posisi Indonesia jauh di bawah Singapura yang ada di posisi ke-28 (0,888), Brunei Darussalam ke-31 (0,872), Malaysia ke-58 (0,790), Thailand ke-74 (0,768), dan Filipina ke-85 (0,751). (KOMPAS, 02/06/2004)
Taekwondo dan Restorasi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan persoalan fundamental semua bangsa. Bahkan, kemajuan sebuah bangsa dapat ditengarai dari maju atau tidaknya penye-lenggaraan pendidikannya. Pendidikan juga erat kaitannya dengan kemajuan ekonomi suatu bangsa. Sedangkan kemajuan ekonomi sebuah bangsa, merupakan landasan pacu untuk memperoleh kemajuan pada bidang-bidang yang lain. Sehingga, dengan logika yang sederhana, dapat dikatakan bahwa pendidikan me-rupakan tonggak dasar kemajuan bangsa.
William Schweke, dalam Smart Money: Education and Economic Development (2004), sebagaimana dikutip Amich Alhumami, mengatakan bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan eko-nomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan wel-fare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Memasuki abad ke-21, Korea dengan semangat Taekwondonya mulai mengembangkan paradigma pembangunan yang merujuk pada knowledge-based economy. Paradigma ini, menurut Almich, menegaskan tiga hal. Pertama, ke-majuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pe-ngetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan ke-majuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi peng-gerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses trans-formasi struktural berjangka panjang.
Komitmen Korea terhadap pembangunan pendidikan, setidak-tidaknya, tercermin dalam besaran anggaran yang dikucurkan untuk pendidikan. Pada tahun 1951 anggaran yang dialokasikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, dan terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971. Setelah pro-gram ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan pada kisaran antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara.
Sementara di Indonesia, anggaran pendidikan yang ditentukan 20 persen dari APBN 2007 atau setara setara dengan Rp 495,9 triliun rencana alokasi, re-alisasinya hanya 10,3 persen saja atau sekitar Rp 51,3 triliun. (Tempo, 08/09/2006). Hal ini mengindikasikan Pemerintah tidak disiplin menjalankan Undang-undang yang telah ditetapkan.
Di Korea, program wajib belajar pendidikan dasar (universal basic education) sudah berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar SLTP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi. (Amich: 2005)
Ironisnya, pendidikan di Indonesia masih berorientasi mengisi lapangan pekerjaan bukan menciptakan lapangan pekerjaan. Padahal tren yang berkembang, pencari kerja akan selalu lebih banyak daripada lapangan perkerjaan yang ada. Dan, setiap tahunnya lapangan pekerjaan justru tambah sempit. Fenomena me-narik, justru yang tak tamat SD bisa membuat usaha sendiri dan mempekerjakan orang lain mencapai sekitar 15 persen. Sementara lulusan perguruan tinggi yang bisa melakukan hal serupa hanya 3,2 persen. Sekitar 83 persen sarjana hanya menjadi buruh atau karyawan. (KOMPAS, 07/08/2006)
Selain itu, pendidikan di Indonesia, alih-alih dapat menciptakan output yang pantang menyerah, suka bekerja keras dan disiplin, dalam proses belajar-mengajarnya saja banyak kita jumpai tindakan yang indisiplin dan cenderung bermalas-malasan. Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh masyarakat Indonesia merevisi sistem dan spirit pendidikannya. Dalam hal ini, nilai-nilai filosofis Taekwondo seperti berdisiplin tinggi, kerja keras, pantang menyerah, tidak pernah puas dengan hasil yang sudah dicapai, kreatif dan serba bisa, patut untuk dijadikan rujukan. Selain itu, lima sila pokok Taekwondo juga harus terus mendampingi. Karena dengan kelima sila tersebut kemajuan bangsa, kasih sayang, toleransi dan keadilan akan senantiasa menyertai kemajuan yang akan kita raih.
* Penulis adalah Presidium Pusat Studi Islam dan Peradaban, pernah nyantri di Pesantren Al-Muniroh, Gresik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar