Rabu, 04 Juni 2008

Perempuan Berkepala Angsa




By: Kurdi Muhammad*

Dalam bukunya, Rekayasa Sosial, Jalaluddin Rakhmat mengintrodusir sebuah istilah ketatabahasaan baru. Homo Orbaicus, adalah konstruk kebahasaan itu, adalah ragam kreasi bahasa yang diambil dari kata orde baru. Secara harfiah, konstruk kata itu dapat dimaknai sebagai ‘manusia-manusia bermental orde baru.’ Kata Homo Orbaicus, dibuat serumpun dengan Homo Sapiens, Pithecantropus Erectus, Homo Homini Lupus, serta homo dan akhiran-akhiran –us yang lain. Terilhami hal itu, penulis memunculkan ragam kreasi bahasa baru juga, penulis menyebutnya Homo Wedho'icus. Istilah ini merupakan hasil rekonstruk kata Homo (berarti manusia) dan wedho'icus (bermakna perempuan – Terj. Jawa).
Tulisannya, Jalaluddin mengutarakan, bahwa ada beberapa karakter buruk manusia bertipe homo orbaicus, yakni iri, mengandalkan fasilitas, inkonsisten, pasif, mementingkan diri sendiri, lebih percaya gosip daripada fakta dan berkepribadian benalu. Jika dicermati, sekian karakter itu tak jarang terdapat dalam diri homo wedho'icus. Bahkan, belakangan karakter itu sering secara otomatis menempel pada ‘manusia perempuan,’ meskipun sebetulnya tidak ada karakter itu di dalam dirinya. Tanpa bermaksud menafikan perempuan-perempuan tangguh, penulis melihat, ada banyak bukti pemerkuat tudingan bahwa watak homo orbaicus sering berkait kelindan dengan behavioral homo wedho’icus. Padahal, ‘manusia perempuan’ inilah yang menjadi tiang keberlangsungan kehidupan umat, jika kaum perempuannya bermental homo orbaicus, ke depan, dapat dipastikan umat ini akan berbau kakus dan berduri laiknya kaktus.
Meski begitu, ‘manusia perempuan’ tidak perlu terlalu khawatir, karena ada banyak cara menghilangkan stigma itu. Salah satunya, seperti yang dicontohkan Khalifah. Suatu hari, Abu Bakar As-Shiddiq pernah bergumam, “Semoga aku menjadi pohon yang ditebang kemudian dimanfaatkan.” Sebuah analogi bermakna elegan, jika dalam setiap benak homo wedho’icus tersembul cita-cita menjadi pohon yang ditebang, kemudian dapat dimanfaatkan. Analog demikian sejatinya menyiratkan makna, bahwa dalam kapasitas terlemah dan terendah sekalipun, seorang perempuan harus memiliki nilai kemanfaatan (advantage values), sebuah ideologi yang barangkali tidak sulit diterapkan.
Selain itu, mengutip pidato Bung Karno, bahwa manusia Indonesia, tak terkecuali perempuannya, harus mampu manjadi ‘pewahyu rakyat.’ Pesan itu terasa sangat bermakna jika dikorelasikan dengan urgensi peran perempuan. Pewahyu rakyat dapat diterjemahkan sebagai orang yang memiliki sikap mental yang progresif-transformatif dan berwatak calvinis (rajin, tekun dan cerdas). Watak-watak semacam ini harus dimiliki perempuan, mengingat transformasi keberlangsungan umat di masa-masa yang akan datang.
Homo wedho’icus harus mampu menunjukkan diri, bahwa ia bukan Homo Orbaicus. Selain berwatak progresif-transformatif, calvinis dan memiliki nilai kemanfaatan, homo wedho’icus juga harus mampu ber-uzlah, mengasingkan diri memikirkan sebuah inovasi dan kreasi baru untuk kemajuan bangsa dan negaranya, minimal masyarakat terkecil dalam keluarganya. Sebagaimana pelatih kesebelasan Perancis, Raymond Domenech, yang beberapa hari sebelum perhelatan piala dunia digelar, menginstruksikan pemainnya agar ber-uzlah ke negeri yang bahasa kaumnya tidak dimengerti. Bagi Domenech, ini sangat penting agar tidak ada yang bertanya tentang kans Perancis di Piala Dunia, sehingga pemain tidak terbebani dan bebas berkreasi saat hari H Piala Dunia.
Di samping itu, homo wedho’icus harus mampu menjadi Leader di masyarakatnya, mengutip pepatah China, bahwa menjadi kepala angsa masih lebih baik daripada menjadi ekor naga. Qatadah pernah mengatakan, ada tiga macam manusia, yaitu manusia sejati, setengah manusia dan manusia yang tidak berguna. Manusia sejati adalah yang berakal dan mempunyai gagasan yang bermanfaat. Setengah manusia adalah orang yang mengajak musyawarah dengan manusia sejati dan berbuat dengan pendapat mereka. Sedangkan manusia yang tidak berguna adalah yang tidak berakal, tidak mempunyai gagasan dan tidak mengajak musyawarah/meminta pendapat siapapun. Karenanya, homo wedho’icus, sebisa mungkin selalu menempatkan dirinya menjadi tipe manusia pertama.

* Kurdi Muhammad adalah Presidium Pusat Studi Filsafat dan Sufisme Islam, pernah nyantri di Pesantren Al-Muniroh

Tidak ada komentar: