Jumat, 31 Oktober 2008
Kepemimpinan Muda, Pecel dan Batik Jogja
Oleh: Kurdi Muhammad
Penulis mengawali tulisan ini dengan sebuah cerita hasil perbincangan ringan bersama seorang Kiai sepuh di salah satu pesantren berpengaruh di kabupaten Gresik, Jawa Timur, beberapa hari yang lalu. Kiai tersebut, entah karena terbawa arus isu kepemimpinan kaum muda yang belakangan ini sedang marak atau karena memang kesadaran pribadi, merasa gundah karena usianya yang sudah semakin senja. Dalam kegundahannya itu, ia menuturkan kepada penulis bahwa sudah saatnya generasi muda yang harus tampil memimpin. Berbeda dengan kebanyakan pejabat di Indonesia, sang Kiai menyadari betul bahwa di usianya yang semakin sepuh itu, ia tidak akan bisa seproduktif dan se-visioner kaum muda dalam hal memacu kemajuan pesantren dan lembaga pen-didikan yang dipimpinnya.
Apa yang dirasakan oleh Kiai tersebut, setidak-tidaknya juga pernah menghinggapi tokoh sekaliber KH. AR. Fachruddin dan KH. Ali Ma’shum (keduanya pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan NU dalam waktu yang lama) yang dalam masa-masa senjanya sangat mendambakan tampilnya pemimpin muda untuk menggantikan posisinya (Arifin Thoha, 2003: 280-283). Sikap yang ditunjukkan oleh ketiga Kiai tersebut merupakan sebuah cerminan kematangan prinsip yang mengerti betul urgensi regenerasi kepemimpinan.
Lebih dari itu, sikap seperti itu juga mencerminkan penghargaan terhadap kapabilitas kaum muda yang dianggap dapat memacu perkembangan sebuah lembaga/organisasi dengan lebih akseleratif dan berkemajuan. Sebuah sikap yang menurut penulis langka dan jarang ada di Indonesia, lebih-lebih bagi para pejabat. Kita harus jujur bahwa paradigma kepemimpinan di Indonesia masih menem-patkan kaum muda di urutan kedua. Meskipun kadang-kadang juga didasarkan pada alasan yang dapat diterima logika.
Namun kita patut bangga karena belakangan ini, meskipun bukan ter-masuk isu baru, kaum muda mulai memperlihatkan visi dan kapabilitasnya untuk, secara fair, mengambil alih kepemimpinan bangsa dari generasi tua. Tidak hanya dari internal kaum muda, dukungan agar generasi muda tampil memimpin bangsa juga datang dari generasi tua yang memahami betul potensi tersembunyi yang di-miliki oleh generasi muda.
Jika kita perhatikan dengan seksama arah baru kepemimpinan dunia saat ini, tampaknya kaum muda memang sedang menemukan momentumnya. Simak saja, Medvedev terpilih menjadi Perdana Menteri Rusia di usia yang masih berada di bawah 50 tahun. Begitu juga Barack Obama, di usia yang hampir sama, seolah sudah mampu memastikan bahwa pertarungan dalam pemilu Presiden Amerika Serikat November nanti akan menjadi miliknya.
Di Indonesia kasusnya juga hampir sama, isu kepemimpinan kaum muda juga sudah mulai menemukan momentumnya. Pasangan cagub-cawagub, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf adalah contohnya. Mereka mampu memenangi Pilkada Jawa Barat karena mampu mengusung isu kepemimpinan kaum muda. Demikian juga daftar isian caleg yang diusung Parpol peserta Pemilu 2009, isu kepemimpinan kaum muda juga dijadikan sebagai daya tarik tersendiri untuk memikat hati pemilih nantinya.
Tidak berhenti sampai di situ, isu kepemimpinan kaum muda dengan sendirinya juga akan menggiring tokoh-tokoh muda untuk running dalam Pilpres 2009 nanti. Orang-orang seperti Hidayat Nur Wahid, Soetrisno Bachir, Yusril Ihza Mahendra, Mallarangeng bersaudara dan Fadjroel Rahman, konon disebut-sebut sebagai representasi kaum muda, karena usianya masih di bawah 60 tahun, yang sudah hampir pasti maju dalam pemilihan Presiden tahun depan.
Plus- Minus
Dalam beberapa hal, karakter kepemimpinan kaum muda mengungguli generasi yang lebih senior. Kaum muda tidak jarang memiliki ambisi yang sangat besar dan cenderung revolutif dalam mewujudkan ambisinya itu. Karakter yang demikian ini sangat dibutuhkan dalam konteks kepemimpinan bangsa oleh generasi tua yang biasanya cenderung lamban dan terkesan kurang tegas. Kepe-mimpinan generasi muda juga lebih unggul dari sisi mobilitas dan semangat juang. Karakter anak muda yang cenderung revolutif juga menjadikan yang ber-sangkutan tidak mudah puas atas hasil usaha yang dilakukan, dan menginginkan perubahan yang serbainstan serta radikal.
Sepak terjang Pemuda Sukarni dan kawan-kawan yang mendesak Soekarno dan Moh. Hatta agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dapat dijadikan sebagai contoh karakter anak muda yang radikal dan cenderung revolutif. Demo mahasiswa pada saat meruntuhkan rezim dua Orde, adalah deskripsi riil dari karakter manusia berdarah muda. Jiwa kaum muda identik dengan jiwa pemberontak, sehingga kalau mereka diberi kesempatan untuk memimpin bangsa, maka yang ada dalam benaknya adalah bagaimana se-segera mungkin memperkuat dan memajukan negaranya.
Namun di sisi yang lain, penulis melihat bukan tidak mungkin karakter kepemimpinan kaum muda yang demikian itu dapat menjadi bumerang bagi Negara yang hendak dipimpinnya. Hal itu lebih dikarenakan penulis masih melihat ada banyak kekurangan yang harus ditambal sulam oleh generasi muda yang ingin memimpin Indonesia. Karakter anak muda yang radikal dan revolutif, cenderung akan lebih cepat merusak stabilitas politik di dalam sebuah Negara, yang pada akhirnya juga akan berujung pada ketidakstabilan bidang-bidang yang lain. Menurut Dale Carnegie, seorang pemimpin harus memiliki ketenangan dan keseimbangan, selain kesabaran dan pengertian (Carnegie, 2005: 151). Sikap yang semacam ini cnderung diabaikan oleh kaum muda yang revolutif dan radikal. Padahal semua itu sangat penting untuk menjaga stabilitas penyelenggaraan Ne-gara.
Satu lagi lubang hitam kaum muda yang harus ditambal adalah minimnya pengalaman, yang dalam hal ini adalah pengalaman memimpin Negara. Penga-laman ikut menentukan arah baru pola kepemimpinan bangsa menuju ke arah yang lebih baik. Karena pengalaman dapat dijadikan sebagai titik evaluatif untuk merumuskan kebijakan yang lebih relevan dan tepat sasaran. Ibaratnya, orang yang sering pergi ke Jakarta naik pesawat, tidak bisa disamakan dengan orang yang baru akan pergi ke Jakarta, minimal dalam hal kepercayaan diri.
Kita semua mafhum, meminjam teori Francis Fukuyama tentang fungsi Negara, bahwa Indonesia termasuk Negara yang masih belum cukup mampu untuk sekedar menunaikan fungsi minimal sebuah Negara. Di Indonesia pene-gakan hukum dan keadilan masih terseok-seok, bahkan terkesan tebang pilih; kedaulatan Negara masih sering dinjak-injak Negara lain dan pemodal asing; pe-ngangguran menggurita; orang miskin semakin tidak tersejahterakan, bahkan hanya untuk sekedar memperoleh layanan kesehatan saja sering dipersulit. Padahal Fukuyama menyebutkan bahwa fungsi minimal sebuah Negara adalah menyediakan kebutuhan publik, yang meliputi kesehatan, ketertiban dan per-tahanan; memastikan dan menjamin tegaknya supremasi hukum; meningkatkan keadilan; melindungi hak milik pribadi dan mensejahterakan kaum miskin (Fukuyama, 2005: 10).
Tragedi semacam itu juga diperparah dengan sikap pejabat bangsa ini yang sangat korup dan cenderung menjadikan jabatannya untuk memperkaya diri bukan untuk mengabdi (Syafi’i Ma’arif, 2005: 181-184 dan al-Asy’ari, 2005: 170-171), bahkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2005 masih berada pada level 2,2. Hal itu mengindikasikan bahwa Indonesia masih berstatus Negara terkorup di dunia. (Sarjadi dan Rinakit, 2006: 305)
Oleh karena itu, untuk merubah dan membawa Indonesia menjadi Negara lebih maju, dibutuhkan pemimpin yang tidak hanya muda usianya. Lebih dari itu, meminjam istilah Iwan Fals, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin setengah Dewa. Pemimpin setengah Dewa dapat diterjemahkan sebagai sosok yang visioner, berpengalaman independen, berani, tegas, berkemajuan dan selalu meng-utamakan kesejahteraan rakyatnya. Kriteria pemimpin yang seperti ini bisa dimiliki oleh siapa saja, dari generasi muda maupun golongan tua.
Penulis juga melihat bahwa ketidakberhasilan pemerintahan selama ini bukan karena usia pemimpin-pemimpinnya yang sudah tua, melainkan lebih dikarenakan belum terpenuhinya kriteria pemimpin setengah Dewa sebagaimana telah diuraikan, yang paling kentara adalah mengenai kurangnya keberpihakan kepada rakyat. Kalau kita mau jujur, juga tidak sedikit pemimpin yang usianya masih muda tapi sudah korup dan selalu merongrong nasib bangsanya. Jika sudah demikian, maka tidak ada bedanya antara yang muda dan yang tua.
Bukan Sekedar Muda Usia
Dengan argumentasi di atas, penulis tidak hendak mengatakan bahwa belum saatnya kaum muda memimpin bangsa. Akan tetapi penulis lebih melihat bahwa persoalan bangsa yang sudah sedemikian akut ini tidak akan bisa di-selesaikan dengan hanya memilih pemimpin yang usianya masih muda. Sehingga, tokoh-tokoh seperti Hidayat Nur Wahid, Soetrisno Bachir, Yusril Ihza Mahendra, Mallarangeng bersaudara dan Fadjroel Rahman, tidak lantas bisa mengklaim atau diklaim bahwa mereka lebih layak memimpin bangsa hanya karena usia mereka lebih muda beberapa tahun dibanding Amien Rais, Gus Dur, SBY, Jusuf Kalla, Megawati, Wiranto dan Sutiyoso yang usianya sudah di atas 60 tahun pada 2009 nanti.
Lebih-lebih pemilahan kriteria pemimpin berdasarkan usia muda - usia tua sangat pekat nuansa subjektifitas dan unsur politisnya. Coba bayangkan, jika kemudian tokoh-tokoh muda, yang usianya di bawah 60 tahun, semuanya berhasil menjadi pemimpin dengan mengalahkan semua golongan tua yang sekarang ada, maka sejatinya para pemimpin muda itu telah menjadi golongan tua baru. Ditambah lagi, jika secara subjektif semua nama itu dibandingkan dengan usia penulis yang masih 25 tahun, maka tidak ada seorangpun di antara mereka yang masuk ke dalam kategori pemimpin muda, apalagi bagi mereka yang hanya mengaku-ngaku masih muda.
Dus, penulis sepakat dengan pendapat Amien Rais yang mengatakan tidak perlu ada dikotomi antara pemimpin muda dan pemimpin tua, terlepas dari kemungkinan bahwa ia berpendapat seperti itu karena merasa termasuk dalam kategori pemimpin tua. Karena sebenarnya, pemimpin muda bukanlah pemimpin yang sekedar muda usia, melainkan pemimpin yang sadar bahwa masa depan bangsa ada di tangannya, dan selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Wa Allahu a’lam
Rabu, 29 Oktober 2008
Tuhan, Ibn Thufail dan Hayy Ibn Yaqdzan
Oleh: Cak Kur
Umat Islam patut berbangga, meskipun agak berbau romantisisme masa lam-pau, memiliki tokoh sekaliber Ibn Thufail, Allahu yarhamhu. Beliau adalah seorang fil-suf agung yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Sebagai salah satu bentuk peng-hormatan yang dapat diberikan kepada beliau, penulis sengaja pada kesempatan kali ini mereview karya besar beliau, kitab Hayy Ibn Yaqdzan. Selain karena memang kar-ya tersebut layak diberi apresiasi lebih, kitab yang berisi kisah tokoh imajinatif itu terbilang sangat klasik. Bayangkan, kitab tersebut ditulis oleh Ibn Thufail sendiri yang wafat sekitar tahun 1185 M. Berarti dengan hitung-hitungan yang gampang dapat di-ketahui usia kitab tersebut sudah mencapai delapan setengah abad.
Lebih dari itu, adalah gaya pengemasan studi filsafat Ibn Thufail yang di-tuangkan dalam bentuk fabel itulah yang membuat penulis terpancing untuk meng-kajinya. Jangankan di zaman Ibn Thufail, di zaman modern tempat kita hidup saat ini saja masih langka kajian filsafat yang berbentuk fabel. Kitab Hayy Ibn Yaqdzan, sampai tulisan ini dicetak, menurut para pakar merupakan satu-satunya kitab Ibn Thufail yang terdokumentasikan secara sistematis.
Penulis tidak dapat menemukan buku Hayy Ibn Yaqdzan versi bahasa aslinya. Menurut AS Fulton, Naskah Arabnya dicetak pertama kali bersamaan dengan naskah versi Latin berjudul Philosophus Autodidactus yang diterjemahkan oleh Edward Pocock junior (1671). Pada Tahun 1904 Paul Bronnle menterjemahkan kisah yang sama dan diberi judul The Awakening of the Soul (Wisdomof the East Series, London). Kitab Ibn Thufail yang ada di tangan penulis ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa In-donesia oleh Nur Hidayah dan diterbitkan oleh penerbit Navila (2003). Penulis juga berhasil melacak terjemahan berbahasa Inggris yang diterjemahkan dari teks Arabnya oleh Simon Ockley, yang lantas diberi judul The History of Hayy Ibn Yaqzan (1708). Secara bergantian, kedua referensi tersebut akan penulis pergunakan sebagai bahan review.
Sekilas tentang Ibn Thufail dan Tipologi Pemikiran Filsafatnya
Filsuf muslim yang membuat hati penulis berdecak kagum ini memiliki nama lengkap Abu Bakr Muhammad Ibn 'Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufayl al-Qaysi. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Ibn Thufail, sementara di Ba-rat Ia dikenal sebagai Abubacer. Ibn Thufail lahir di Timur Laut Granada, Andalusia (Spanyol –pen) pada dekade pertama abad ke-6 Hijriyah. Ibn Thufail (w. 581 H/ 1185[6] M) merupakan filsuf ternama dari dunia Islam Barat. Ibn Thufail juga dikenal sebagai guru filsafat yang sangat otoritatif di bidangnya. Muridnya yang terkenal, salah satunya adalah Ibn Rusyd. Selain filsuf, dia juga seorang sastrawan dan dokter.
Dalam ranah filsafat, di tengah semakin menguatnya pengarus utamaan Pla-tonisme dan Aristotelianisme, Ibn Thufail lebih cenderung dapat dimasukkan filsuf bercorak neo-platonik. Corak filsafat Platonik, menurut Amin Abdullah, lebih mene-kankan pada aspek idealisme atau rasionalisme. Sementara corak filsafat Aris-totelian lebih bercorak emprisisme. Aliran filsafat idealisme memiliki bangunan argumen dasar bahwa episteme diperoleh dari ide-ide yang dibawa sejak lahir, meskipun tanpa bantuan pengetahuan inderawi sekalipun. Sementara aliran empirisisme menganggap episteme hanya dapat diperoleh melalui realitas inderawi.
Adapun Ibn Thufail dan filsuf-filsuf lain yang cenderung neo-platonis, ciri utamanya adalah usaha mereka yang sangat gencar untuk menjembatani antara filsafat dengan mistisisme, antara akal dengan wahyu (agama), antara realitas dengan idealitas, antara fenomena dengan nomena, antara yang fisis dengan metafisis, antara yang fana dengan yang baka, antara syariat dengan ma’rifat bahkan antara yang mawjudat dengan wajibul wujud. Maka, menurut Lenn E. Goodman, fabel filosofis Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqdzan, merupakan pertanda yang sangat jelas bahwa Ibn Thufail merupakan salah satu penganut aliran filsafat neo-platonik. Karena dalam cerita itu, Ibn Thufail meng-gambarkan kesebangunan antara akal lewat pemikiran yang mendalam dan jernih de-ngan identitas wahyu.
Garis Besar Isi Buku
Setelah dibuka dengan sebuah kontroversi tentang kelahiran sosok Hayy Ibn Yaqdzan, Secara garis besar kisah Hayy dapat digambarkan sebagai sebuah per-jalanan anak manusia yang hidup terpencil di hutan. Terpencil dalam arti bahwa ia hidup hanya ditemani oleh mahluk yang biasa hidup di hutan belantara, tanpa ke-adiran seorang manusiapun, kecuali dirinya sendiri. Bahkan dalam buku itu, ia di-isahkan diasuh dan dibesarkan oleh seekor rusa. Ibn Thufail dalam menggambarkan situasi ini mengatakan:
Setelah masa kelahiran (Hayy Ibn Yaqdzan) Para Salafus tak lagi berbeda pendapat tentang pendidikan dan pemeliharaan yang Hayy peroleh. Mereka sepakat bahwa induk rusa yang jadi pengasuh itu tinggal di tanah yang sangat subur. Dengan hamparan rumput yang membentang sangat luas. Rusa itu menjadi gemuk, air susunya selalu penuh dan mampu menyusui seorang bayi dengan baik. Ia selalu mendampingi bayi itu dan tak pernah meninggalkannya walaupun sejenak, kecuali ketika mencari rumput. Ia sangat mencintai bayi itu. Jika didengarnya tangisan bayi itu, ia akan segera bergegas menghampiri.
Bagian terpenting dari kisah Hayy Ibn Yaqdzan ini adalah pengamatan, pe-nelitian dan kontemplasinya secara filosofis yang berusaha menjawab kehausan pe-ngetahuan yang secara epistimologis terlecut dari fenomena dan nomena yang terjadi di sekelilingnya (baca: hutan). Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang alim bernama Isal yang beriman kepada agama wahyu. Diceritakan, bahwa Isal adalah seorang alim yang hendak beruzlah ke tempat yang sepi. Sampai akhirnya dia me-nemukan pulau Wak-wak, tempat tinggal Hayy, sebagai tujuan. Sesampainya di pulau itu, ia bertemu dengan Hayy yang sudah lebih dulu dapat merasakan nikmatnya ekstase Ilahiyah.
Setelah sekian lama menetap di pulau itu, Isal mengajari Hayy bahasa manusia dan mencoba berinteraksi dengannya. Hingga pada masanya, setelah berdiskusi panjang, Isal menyimpulkan apa yang diceritakan oleh Hayy tentang pengalaman ke-Tuhan-annya selaras dengan apa yang dibawa agamanya. Sebaliknya Hayy, ia merasa bahwa hakikat ke-Tuhan-an yang dibawa oleh Rasul agama tersebut relevan dengan hasil perenungannya yang mendalam selama ini. Dari satu kisah ke kisah yang lain, dari perenungan Hayy satu ke perenungan yang lain inilah sebetulnya konsep-konsep filsafat Ibn Thufail direpresentasikan. Hayy Ibn Yadzan adalah tokoh rekaan Ibn Thufail, sehingga kalau diceritakan ba-gaimana ia berfikir dan menemukan ide-ide filosofis, maka sebetulnya konsep itu adalah konsep yang diyakini oleh Ibn Thufail.
Ibn Thufail dan Konsep tentang Penciptaan Alam
Dalam buku Hayy Ibn Yaqdzan, Ibn Thufail banyak sekali menguraikan ide-ide dan pemikiran filsafatnya. Dari sekian luas lanskap pemikiran filsafatnya, konsep beliau tentang penciptaan alam tidak dapat dipandang sebelah mata. Lebih menarik lagi, konsep beliau tentang penciptaan alam berbeda dengan mainstream pemikiran tentang tema serupa yang berujung pada dua kutub, hadits atau qadim-kah alam ini.
Ibn Thufail melalui analisis yang diasosiakan kepada Hayy Ibn Yaqdzan, berusaha menggiring bahwa apapun hasilnya, hadits atau qadim, penciptaan alam mengisyaratkan eksistensi Tuhan. Kesimpulan itu ia dapat setelah mengalami be-berapa kebingungan. Ia merasa kurang sreg kalau harus meyakini bahwa alam adalah qadim (dahulu), tidak didahului tiada. Karena jika ia harus meyakini konsep semacam itu, maka ia akan dihadapkan beberapa kemustahilan. Ia meyakini bahwa eksistensi alam tidak bisa terlepas dari benda-benda yang baharu (hadis). Alam tidak munngkin mendahului benda-benda baharu yang ada di dalam alam itu sendiri. Sesuatu yang ti-dak dapat mendahului benda yang hadits, maka ia juga hadits.
Sebaliknya, ia juga akan dihadapkan pada beberapa kerancuan jika harus me-yakini bahwa alam adalah hadits. Menurut Ibn Thufail dalam buku tersebut, sesuatu yang hadits menuntut pengertian bahwa ia diciptakan setelah sebelumnya tiada. Makna yang demikian tidak akan bisa dipahami tanpa pandangan bahwa waktu telah di-ciptakan sebelum alam ini diciptakan. Sementara waktu adalah bagian dari alam, yang tidak bisa lepas dari eksistensi alam. Maka tidak mungkin waktu diciptakan men-dahului alam, sehingga tidak mungkin juga alam bersifat hadits.
Oleh karena itu, Ibn Thufail lebih senang mendedahkan kedua pendapat tersebut sebagai bukti eksistensi Tuhan. Jika alam itu bersifat hadits, lanjut ibn Thufail, maka ia kan membawa konsekuensi logis bahwa sesuatu yang ada setelah ketiadaan tidak bisa tercipta dengan sendirinya. Ia pasti membutuhkan Fail (pelaku/Pencipta) yang menciptakannya dan menjadikannya ada. fail tersebut tidak bisa diindera, karena sesuatu yang bisa dindera pasti memiliki dimensi Imtidad, dimensi panjang; lebar dan dalam. Sesuatu yang memiliki dimensi imtidad pasti ia adalah benda. Dan benda merupakan bagian dari alam ini, bagian dari alam ini tidak mungkin mampu men-ciptakan bagian lain sampai pada kadar sempurna.
Sementara pendapat yang mengatakan bahwa alam ini adalah qadim, akan membawa sebuah kontinuitas yang lazim bahwa gerakan sesuatu (alam) yang adanya didahului tiada bersifat azali (tidak bermula), karena ia tidak didahului oleh keadaan diam. Namun semua gerakan pasti membutuhkan penggerak. Kekuatan penggerak bisa jadi berasal dari luar sesuatu itu atau bahkan dari dalam dirinya sendiri. Dalam konteks alam yang diciptakan tanpa ada permulaan, maka kekuatan yang meng-gerakkannya pasti berada di luar benda itu atau benda lain. Karena jika Penggerak tersebut berada dalam benda, maka ia adalah benda juga. Padahal untuk meng-gerakkan alam yang sedemikian itu memerlukan kekuatan yang tidak memiliki unsur kebendaan/materiil.
Paradigma Berfikir dan Metode
Beralih ke masalah bagaimana cara berfikir dan metode yang digunakan oleh Ibn Thufail dalam mengkaji dan mengurai konsep-konsep filosofisnya yang ter-ejawantahkan ke dalam apa yang dialami oleh Hayy Ibn Yaqdzan. Jika kita menelaah buku tentang kisah Hayy ibn Yaqdzan secara utuh sebagai satu kesatuan cerita fabel, maka dapat diidentifikasi bahwa gaya filsafat yang diusung oleh Ibn Thufail adalah gaya berfikir filsafat yang empiris-imajiner. Yang penulis maksud sebagai empiris adalah bahwa ide-ide filsafat Ibn Thufail direfleksikan dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan yang selalu mengandalkan pengamatan inderawinya sebelum memikirkannya dalam-dalam. Empiris juga berarti bahwa untuk memperkuat keyakinan terhadap ide fil-safatnya, Ibn thufail selalu menggerakkan Hayy untuk melakukan tajribah. Hal ini dapat disimpulkan dari cerita Hayy yang membelah jantung rusa pengasuhnya yang sudah mati hanya untuk membuktikan keberadaan ruh, anasir yang oleh Hayy di-yakini sebagai penggerak utama. Sementara imajiner berarti bahwa dalam konteks Hayy, kisah tersebut merupakan imajinasi Ibn Thufail, atau setidak-tidaknya konsepsi dan pengalaman pribadi yang diasosiasikan.
Corak berfikir yang diasosiasikan oleh Ibn Thufail dalam kisah Hayy setidak-tidaknya, menurut penulis, ada tiga varian, yaitu naratif, reflektif dan analogis. Pola berfikir naratif digunakan oleh IbnThuifail dalam merangkai perkembangan Hayy dari satu fase ke fase berikutnya, termasuk fase perkembangan pemikirannya. Semen-tara corak berfikir reflektif, antara lain, dapat ditemukan dari perenungan-perenungan Hayy tentang qadim atau hadits-nya alam, termasuk tentang nihilisme sifat kebendaan dalam diri al-Fa’il al-Mukhtar. Sementara gaya berfikir analogis Ibn Thufail tampak dalam deskripsinya tentang kehinggaan (Mutanahin) atau ketakterhinggaan (ghairu mutanahin) benda-benda langit.
Di samping itu, di dalam kajian metodologi studi filsafat Islam, setidak-tidaknya ada empat jenis metode. Metode tersebut adalah metode historis, metode tematis, metode komparatif dan metode biografi intelektual. Jika paradigma tersebut digunakan untuk memotret jarak dekat aras pemikiran filsafat Ibn Thufail yang ter-tuang dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan, maka penulis sampai pada kesimpulan bahwa metode yang digunakan oleh Ibn Thufail adalah metode studi tematis. Hal ini bisa di-buktikan dari stressing point pembahasan dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan. Bahwa yang diungkapkan dalam kisah Hayy adalah proses tersingkapnya ilmu dan kesadaran melalui proses penalaran yang jernih dan mendalam, serta mujahadah dan riyadloh yang tiada henti, berdasarkan tema tertentu yang menjadi kajian filsafat (Islam). Penulis mencatat, setidak-tidaknya ada empat tema penting dalam kisah Hayy. Tema-tema tersebut adalah tentang hakikat ruh, mikro dan makro kosmos, sedikit tentang manu-sia dan tema tentang ke-Tuhan-an.
Tema tentang hakikat ruh, oleh Ibn Thufail dijabarkan menjadi kajian filo-sofis tentang konsep mawjudat, shurah, dimensi, emanasi, mortalitas dan lain-lain. Konsep mikro dan makro kosmos lebih diperinci menjadi konsep tentang penciptaan alam, keterhinggaan benda-benda langit, anasir-anasir pembentuk alam dan sifat-sifat benda yang ada di alam. Setelah itu, Ibn Thufail juga mengembangkan konsep tentang tipologi dan kecenderungan manusia. Sementara konsep ke-Tuhan-an diper-luas menjadi usaha rasionisasi eksistensi Tuhan dengan menguarai nihilisme keben-daan, sebab awal, penggerak awal dan seterusnya. Konsep ini kemudian di-pertajam oleh Ibn Thufail, menukik sampai keberjumpaan (musyahadah/pantheism) Hayy Ibn Yaqdzan dengan Allah, yang oleh Ibn Thufail digambarkan sebagai puncak keinda-han dan kecantikan.
Metode yang dipakai oleh Ibn Thufail dalam kisah Hayy Ibn bukanlah me-tode historis. Karena sama sekali Ibn Thufail tidak menyinggung filsafat skolastik ataupun filsafat lain yang menjadi bagaian sejarah hidupnya. Ibn thufail juga tidak berusaha membandingkan konsep filsafat yang satu dengan konsep yang lain maupun filsuf yang satu dengan filsuf yang lain. Oleh karena itu, dari indikasi ini dapat di-simpulkan bahwa ia juga tidak memakai metode komparatif. Begitu juga dengan metode biografi intelektual tokoh. Meskipun dalam kisah tersebut, ditampilkan kon-sep-konsep filosofis dan falsifikasi ide-ide Hayy Ibn Yaqdzan, namun eksistensi Hayy dapat dipandang sebagai bentuk asosiatif, karena ia sebenarnya hanya tokoh ima-jinatif. Lalu kalau kemudian Hayy dan seluruh bentuk pemikirannya disandarkan kembali kepada Ibn Thufail, apakah bisa disebut menggunakan metode biografi inte-lektual Ibn Thufail? Wa Allahu a’lamu bi al-Shawab
Beberapa Catatan
Ada beberapa tema filsafat yang dilewatkan oleh Ibn Thufail dalam bukunya itu. Adalah pembahasan tentang manusia. Jika dibandingkan dengan tema-tema fil-safat lain yang dibahas dalam buku tersebut, pembahasan tentang konsep filosofis manusia porsinya terlalu sedikit. Itupun pembahasannya terlalu global. Selain itu, kedua tokoh yang ditampilkan sebagai ikon cerita terkesan eskapis dan acuh-acuh tak acuh terhadap hubungan antarsesama.
Hal itu, misalnya, tampak dari bagaimana sikap Isal yang cenderung menjauh bahkan meninggalkan masyarakatnya demi memperoleh kepuasan bermusyahadah dengan Tuhan yang sifatnya sangat individualistis. Anggapan yang seperti itu di-perkuat dengan sikap Isal, ketika sampai di pulau Wak-wak dan mengetahui kebe-radaan Hayy, yang cenderung menganggap Hayy sebagai gangguan dari ritual eskatisnya. Begitu juga sebaliknya dengan Hayy. Bahkan Ibn Thufail menggambarkan awal pertemuan mereka berdua dengan kata-kata:
...Isal sangat terluka dengan pertemuan itu. Kedua mata mereka saling bertemu.....ia takut kalu laki-laki itu akan mendekat lalu mengenalnya. Karena hal itu akan membuat segalanya tidak sebagaimana yang ia harapkan.
Penulis belum begitu paham, apakah untuk mencapai stasiun ma’rifat kita harus bersikap ultra-zuhud seperti itu. Padahal yang penulis ketahui, konsep zuhud seperti yang diutarakan Ali, berbunyi al-zahidu yamliku dunya la yamlikuhu al-dunya, bahwa seorang yang zuhud itu (seharusnya) mampu menguasai dunia, tidak sebaliknya, dapat dikuasai oleh (urusan) dunia. Atau apakah karena orang sudah me-nemukan kenikmatan ekstase, lantas mengganggap semuanya sudah tidak berarti lagi dan bawaannya selalu ingin bersama dengan Tuhan.
Terlepas dari semua penilaian subjektif penulis, apa yang sudah dilakukan oleh Ibn Thufail patut mendapat apresiasi lebih. Ide kreatif beliau untuk menuangkan pemikiran filsafat dalam bentuk roman (yang tidak picisan) hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar telah memperoleh cahaya ke-Tuhan-an (iluminasi). Akhirnya, penulis sampaikan terima kasih kepada Ibn Thufail yang meskipun jasadnya sudah menemani kepergian Hayy, namun ruh iluminasinya akan tetap hidup di dalam kesadaran filosofis kita, sebagaimana judul bukunya Hayy Ibn Yaqdzan.
Umat Islam patut berbangga, meskipun agak berbau romantisisme masa lam-pau, memiliki tokoh sekaliber Ibn Thufail, Allahu yarhamhu. Beliau adalah seorang fil-suf agung yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Sebagai salah satu bentuk peng-hormatan yang dapat diberikan kepada beliau, penulis sengaja pada kesempatan kali ini mereview karya besar beliau, kitab Hayy Ibn Yaqdzan. Selain karena memang kar-ya tersebut layak diberi apresiasi lebih, kitab yang berisi kisah tokoh imajinatif itu terbilang sangat klasik. Bayangkan, kitab tersebut ditulis oleh Ibn Thufail sendiri yang wafat sekitar tahun 1185 M. Berarti dengan hitung-hitungan yang gampang dapat di-ketahui usia kitab tersebut sudah mencapai delapan setengah abad.
Lebih dari itu, adalah gaya pengemasan studi filsafat Ibn Thufail yang di-tuangkan dalam bentuk fabel itulah yang membuat penulis terpancing untuk meng-kajinya. Jangankan di zaman Ibn Thufail, di zaman modern tempat kita hidup saat ini saja masih langka kajian filsafat yang berbentuk fabel. Kitab Hayy Ibn Yaqdzan, sampai tulisan ini dicetak, menurut para pakar merupakan satu-satunya kitab Ibn Thufail yang terdokumentasikan secara sistematis.
Penulis tidak dapat menemukan buku Hayy Ibn Yaqdzan versi bahasa aslinya. Menurut AS Fulton, Naskah Arabnya dicetak pertama kali bersamaan dengan naskah versi Latin berjudul Philosophus Autodidactus yang diterjemahkan oleh Edward Pocock junior (1671). Pada Tahun 1904 Paul Bronnle menterjemahkan kisah yang sama dan diberi judul The Awakening of the Soul (Wisdomof the East Series, London). Kitab Ibn Thufail yang ada di tangan penulis ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa In-donesia oleh Nur Hidayah dan diterbitkan oleh penerbit Navila (2003). Penulis juga berhasil melacak terjemahan berbahasa Inggris yang diterjemahkan dari teks Arabnya oleh Simon Ockley, yang lantas diberi judul The History of Hayy Ibn Yaqzan (1708). Secara bergantian, kedua referensi tersebut akan penulis pergunakan sebagai bahan review.
Sekilas tentang Ibn Thufail dan Tipologi Pemikiran Filsafatnya
Filsuf muslim yang membuat hati penulis berdecak kagum ini memiliki nama lengkap Abu Bakr Muhammad Ibn 'Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufayl al-Qaysi. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Ibn Thufail, sementara di Ba-rat Ia dikenal sebagai Abubacer. Ibn Thufail lahir di Timur Laut Granada, Andalusia (Spanyol –pen) pada dekade pertama abad ke-6 Hijriyah. Ibn Thufail (w. 581 H/ 1185[6] M) merupakan filsuf ternama dari dunia Islam Barat. Ibn Thufail juga dikenal sebagai guru filsafat yang sangat otoritatif di bidangnya. Muridnya yang terkenal, salah satunya adalah Ibn Rusyd. Selain filsuf, dia juga seorang sastrawan dan dokter.
Dalam ranah filsafat, di tengah semakin menguatnya pengarus utamaan Pla-tonisme dan Aristotelianisme, Ibn Thufail lebih cenderung dapat dimasukkan filsuf bercorak neo-platonik. Corak filsafat Platonik, menurut Amin Abdullah, lebih mene-kankan pada aspek idealisme atau rasionalisme. Sementara corak filsafat Aris-totelian lebih bercorak emprisisme. Aliran filsafat idealisme memiliki bangunan argumen dasar bahwa episteme diperoleh dari ide-ide yang dibawa sejak lahir, meskipun tanpa bantuan pengetahuan inderawi sekalipun. Sementara aliran empirisisme menganggap episteme hanya dapat diperoleh melalui realitas inderawi.
Adapun Ibn Thufail dan filsuf-filsuf lain yang cenderung neo-platonis, ciri utamanya adalah usaha mereka yang sangat gencar untuk menjembatani antara filsafat dengan mistisisme, antara akal dengan wahyu (agama), antara realitas dengan idealitas, antara fenomena dengan nomena, antara yang fisis dengan metafisis, antara yang fana dengan yang baka, antara syariat dengan ma’rifat bahkan antara yang mawjudat dengan wajibul wujud. Maka, menurut Lenn E. Goodman, fabel filosofis Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqdzan, merupakan pertanda yang sangat jelas bahwa Ibn Thufail merupakan salah satu penganut aliran filsafat neo-platonik. Karena dalam cerita itu, Ibn Thufail meng-gambarkan kesebangunan antara akal lewat pemikiran yang mendalam dan jernih de-ngan identitas wahyu.
Garis Besar Isi Buku
Setelah dibuka dengan sebuah kontroversi tentang kelahiran sosok Hayy Ibn Yaqdzan, Secara garis besar kisah Hayy dapat digambarkan sebagai sebuah per-jalanan anak manusia yang hidup terpencil di hutan. Terpencil dalam arti bahwa ia hidup hanya ditemani oleh mahluk yang biasa hidup di hutan belantara, tanpa ke-adiran seorang manusiapun, kecuali dirinya sendiri. Bahkan dalam buku itu, ia di-isahkan diasuh dan dibesarkan oleh seekor rusa. Ibn Thufail dalam menggambarkan situasi ini mengatakan:
Setelah masa kelahiran (Hayy Ibn Yaqdzan) Para Salafus tak lagi berbeda pendapat tentang pendidikan dan pemeliharaan yang Hayy peroleh. Mereka sepakat bahwa induk rusa yang jadi pengasuh itu tinggal di tanah yang sangat subur. Dengan hamparan rumput yang membentang sangat luas. Rusa itu menjadi gemuk, air susunya selalu penuh dan mampu menyusui seorang bayi dengan baik. Ia selalu mendampingi bayi itu dan tak pernah meninggalkannya walaupun sejenak, kecuali ketika mencari rumput. Ia sangat mencintai bayi itu. Jika didengarnya tangisan bayi itu, ia akan segera bergegas menghampiri.
Bagian terpenting dari kisah Hayy Ibn Yaqdzan ini adalah pengamatan, pe-nelitian dan kontemplasinya secara filosofis yang berusaha menjawab kehausan pe-ngetahuan yang secara epistimologis terlecut dari fenomena dan nomena yang terjadi di sekelilingnya (baca: hutan). Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang alim bernama Isal yang beriman kepada agama wahyu. Diceritakan, bahwa Isal adalah seorang alim yang hendak beruzlah ke tempat yang sepi. Sampai akhirnya dia me-nemukan pulau Wak-wak, tempat tinggal Hayy, sebagai tujuan. Sesampainya di pulau itu, ia bertemu dengan Hayy yang sudah lebih dulu dapat merasakan nikmatnya ekstase Ilahiyah.
Setelah sekian lama menetap di pulau itu, Isal mengajari Hayy bahasa manusia dan mencoba berinteraksi dengannya. Hingga pada masanya, setelah berdiskusi panjang, Isal menyimpulkan apa yang diceritakan oleh Hayy tentang pengalaman ke-Tuhan-annya selaras dengan apa yang dibawa agamanya. Sebaliknya Hayy, ia merasa bahwa hakikat ke-Tuhan-an yang dibawa oleh Rasul agama tersebut relevan dengan hasil perenungannya yang mendalam selama ini. Dari satu kisah ke kisah yang lain, dari perenungan Hayy satu ke perenungan yang lain inilah sebetulnya konsep-konsep filsafat Ibn Thufail direpresentasikan. Hayy Ibn Yadzan adalah tokoh rekaan Ibn Thufail, sehingga kalau diceritakan ba-gaimana ia berfikir dan menemukan ide-ide filosofis, maka sebetulnya konsep itu adalah konsep yang diyakini oleh Ibn Thufail.
Ibn Thufail dan Konsep tentang Penciptaan Alam
Dalam buku Hayy Ibn Yaqdzan, Ibn Thufail banyak sekali menguraikan ide-ide dan pemikiran filsafatnya. Dari sekian luas lanskap pemikiran filsafatnya, konsep beliau tentang penciptaan alam tidak dapat dipandang sebelah mata. Lebih menarik lagi, konsep beliau tentang penciptaan alam berbeda dengan mainstream pemikiran tentang tema serupa yang berujung pada dua kutub, hadits atau qadim-kah alam ini.
Ibn Thufail melalui analisis yang diasosiakan kepada Hayy Ibn Yaqdzan, berusaha menggiring bahwa apapun hasilnya, hadits atau qadim, penciptaan alam mengisyaratkan eksistensi Tuhan. Kesimpulan itu ia dapat setelah mengalami be-berapa kebingungan. Ia merasa kurang sreg kalau harus meyakini bahwa alam adalah qadim (dahulu), tidak didahului tiada. Karena jika ia harus meyakini konsep semacam itu, maka ia akan dihadapkan beberapa kemustahilan. Ia meyakini bahwa eksistensi alam tidak bisa terlepas dari benda-benda yang baharu (hadis). Alam tidak munngkin mendahului benda-benda baharu yang ada di dalam alam itu sendiri. Sesuatu yang ti-dak dapat mendahului benda yang hadits, maka ia juga hadits.
Sebaliknya, ia juga akan dihadapkan pada beberapa kerancuan jika harus me-yakini bahwa alam adalah hadits. Menurut Ibn Thufail dalam buku tersebut, sesuatu yang hadits menuntut pengertian bahwa ia diciptakan setelah sebelumnya tiada. Makna yang demikian tidak akan bisa dipahami tanpa pandangan bahwa waktu telah di-ciptakan sebelum alam ini diciptakan. Sementara waktu adalah bagian dari alam, yang tidak bisa lepas dari eksistensi alam. Maka tidak mungkin waktu diciptakan men-dahului alam, sehingga tidak mungkin juga alam bersifat hadits.
Oleh karena itu, Ibn Thufail lebih senang mendedahkan kedua pendapat tersebut sebagai bukti eksistensi Tuhan. Jika alam itu bersifat hadits, lanjut ibn Thufail, maka ia kan membawa konsekuensi logis bahwa sesuatu yang ada setelah ketiadaan tidak bisa tercipta dengan sendirinya. Ia pasti membutuhkan Fail (pelaku/Pencipta) yang menciptakannya dan menjadikannya ada. fail tersebut tidak bisa diindera, karena sesuatu yang bisa dindera pasti memiliki dimensi Imtidad, dimensi panjang; lebar dan dalam. Sesuatu yang memiliki dimensi imtidad pasti ia adalah benda. Dan benda merupakan bagian dari alam ini, bagian dari alam ini tidak mungkin mampu men-ciptakan bagian lain sampai pada kadar sempurna.
Sementara pendapat yang mengatakan bahwa alam ini adalah qadim, akan membawa sebuah kontinuitas yang lazim bahwa gerakan sesuatu (alam) yang adanya didahului tiada bersifat azali (tidak bermula), karena ia tidak didahului oleh keadaan diam. Namun semua gerakan pasti membutuhkan penggerak. Kekuatan penggerak bisa jadi berasal dari luar sesuatu itu atau bahkan dari dalam dirinya sendiri. Dalam konteks alam yang diciptakan tanpa ada permulaan, maka kekuatan yang meng-gerakkannya pasti berada di luar benda itu atau benda lain. Karena jika Penggerak tersebut berada dalam benda, maka ia adalah benda juga. Padahal untuk meng-gerakkan alam yang sedemikian itu memerlukan kekuatan yang tidak memiliki unsur kebendaan/materiil.
Paradigma Berfikir dan Metode
Beralih ke masalah bagaimana cara berfikir dan metode yang digunakan oleh Ibn Thufail dalam mengkaji dan mengurai konsep-konsep filosofisnya yang ter-ejawantahkan ke dalam apa yang dialami oleh Hayy Ibn Yaqdzan. Jika kita menelaah buku tentang kisah Hayy ibn Yaqdzan secara utuh sebagai satu kesatuan cerita fabel, maka dapat diidentifikasi bahwa gaya filsafat yang diusung oleh Ibn Thufail adalah gaya berfikir filsafat yang empiris-imajiner. Yang penulis maksud sebagai empiris adalah bahwa ide-ide filsafat Ibn Thufail direfleksikan dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan yang selalu mengandalkan pengamatan inderawinya sebelum memikirkannya dalam-dalam. Empiris juga berarti bahwa untuk memperkuat keyakinan terhadap ide fil-safatnya, Ibn thufail selalu menggerakkan Hayy untuk melakukan tajribah. Hal ini dapat disimpulkan dari cerita Hayy yang membelah jantung rusa pengasuhnya yang sudah mati hanya untuk membuktikan keberadaan ruh, anasir yang oleh Hayy di-yakini sebagai penggerak utama. Sementara imajiner berarti bahwa dalam konteks Hayy, kisah tersebut merupakan imajinasi Ibn Thufail, atau setidak-tidaknya konsepsi dan pengalaman pribadi yang diasosiasikan.
Corak berfikir yang diasosiasikan oleh Ibn Thufail dalam kisah Hayy setidak-tidaknya, menurut penulis, ada tiga varian, yaitu naratif, reflektif dan analogis. Pola berfikir naratif digunakan oleh IbnThuifail dalam merangkai perkembangan Hayy dari satu fase ke fase berikutnya, termasuk fase perkembangan pemikirannya. Semen-tara corak berfikir reflektif, antara lain, dapat ditemukan dari perenungan-perenungan Hayy tentang qadim atau hadits-nya alam, termasuk tentang nihilisme sifat kebendaan dalam diri al-Fa’il al-Mukhtar. Sementara gaya berfikir analogis Ibn Thufail tampak dalam deskripsinya tentang kehinggaan (Mutanahin) atau ketakterhinggaan (ghairu mutanahin) benda-benda langit.
Di samping itu, di dalam kajian metodologi studi filsafat Islam, setidak-tidaknya ada empat jenis metode. Metode tersebut adalah metode historis, metode tematis, metode komparatif dan metode biografi intelektual. Jika paradigma tersebut digunakan untuk memotret jarak dekat aras pemikiran filsafat Ibn Thufail yang ter-tuang dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan, maka penulis sampai pada kesimpulan bahwa metode yang digunakan oleh Ibn Thufail adalah metode studi tematis. Hal ini bisa di-buktikan dari stressing point pembahasan dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan. Bahwa yang diungkapkan dalam kisah Hayy adalah proses tersingkapnya ilmu dan kesadaran melalui proses penalaran yang jernih dan mendalam, serta mujahadah dan riyadloh yang tiada henti, berdasarkan tema tertentu yang menjadi kajian filsafat (Islam). Penulis mencatat, setidak-tidaknya ada empat tema penting dalam kisah Hayy. Tema-tema tersebut adalah tentang hakikat ruh, mikro dan makro kosmos, sedikit tentang manu-sia dan tema tentang ke-Tuhan-an.
Tema tentang hakikat ruh, oleh Ibn Thufail dijabarkan menjadi kajian filo-sofis tentang konsep mawjudat, shurah, dimensi, emanasi, mortalitas dan lain-lain. Konsep mikro dan makro kosmos lebih diperinci menjadi konsep tentang penciptaan alam, keterhinggaan benda-benda langit, anasir-anasir pembentuk alam dan sifat-sifat benda yang ada di alam. Setelah itu, Ibn Thufail juga mengembangkan konsep tentang tipologi dan kecenderungan manusia. Sementara konsep ke-Tuhan-an diper-luas menjadi usaha rasionisasi eksistensi Tuhan dengan menguarai nihilisme keben-daan, sebab awal, penggerak awal dan seterusnya. Konsep ini kemudian di-pertajam oleh Ibn Thufail, menukik sampai keberjumpaan (musyahadah/pantheism) Hayy Ibn Yaqdzan dengan Allah, yang oleh Ibn Thufail digambarkan sebagai puncak keinda-han dan kecantikan.
Metode yang dipakai oleh Ibn Thufail dalam kisah Hayy Ibn bukanlah me-tode historis. Karena sama sekali Ibn Thufail tidak menyinggung filsafat skolastik ataupun filsafat lain yang menjadi bagaian sejarah hidupnya. Ibn thufail juga tidak berusaha membandingkan konsep filsafat yang satu dengan konsep yang lain maupun filsuf yang satu dengan filsuf yang lain. Oleh karena itu, dari indikasi ini dapat di-simpulkan bahwa ia juga tidak memakai metode komparatif. Begitu juga dengan metode biografi intelektual tokoh. Meskipun dalam kisah tersebut, ditampilkan kon-sep-konsep filosofis dan falsifikasi ide-ide Hayy Ibn Yaqdzan, namun eksistensi Hayy dapat dipandang sebagai bentuk asosiatif, karena ia sebenarnya hanya tokoh ima-jinatif. Lalu kalau kemudian Hayy dan seluruh bentuk pemikirannya disandarkan kembali kepada Ibn Thufail, apakah bisa disebut menggunakan metode biografi inte-lektual Ibn Thufail? Wa Allahu a’lamu bi al-Shawab
Beberapa Catatan
Ada beberapa tema filsafat yang dilewatkan oleh Ibn Thufail dalam bukunya itu. Adalah pembahasan tentang manusia. Jika dibandingkan dengan tema-tema fil-safat lain yang dibahas dalam buku tersebut, pembahasan tentang konsep filosofis manusia porsinya terlalu sedikit. Itupun pembahasannya terlalu global. Selain itu, kedua tokoh yang ditampilkan sebagai ikon cerita terkesan eskapis dan acuh-acuh tak acuh terhadap hubungan antarsesama.
Hal itu, misalnya, tampak dari bagaimana sikap Isal yang cenderung menjauh bahkan meninggalkan masyarakatnya demi memperoleh kepuasan bermusyahadah dengan Tuhan yang sifatnya sangat individualistis. Anggapan yang seperti itu di-perkuat dengan sikap Isal, ketika sampai di pulau Wak-wak dan mengetahui kebe-radaan Hayy, yang cenderung menganggap Hayy sebagai gangguan dari ritual eskatisnya. Begitu juga sebaliknya dengan Hayy. Bahkan Ibn Thufail menggambarkan awal pertemuan mereka berdua dengan kata-kata:
...Isal sangat terluka dengan pertemuan itu. Kedua mata mereka saling bertemu.....ia takut kalu laki-laki itu akan mendekat lalu mengenalnya. Karena hal itu akan membuat segalanya tidak sebagaimana yang ia harapkan.
Penulis belum begitu paham, apakah untuk mencapai stasiun ma’rifat kita harus bersikap ultra-zuhud seperti itu. Padahal yang penulis ketahui, konsep zuhud seperti yang diutarakan Ali, berbunyi al-zahidu yamliku dunya la yamlikuhu al-dunya, bahwa seorang yang zuhud itu (seharusnya) mampu menguasai dunia, tidak sebaliknya, dapat dikuasai oleh (urusan) dunia. Atau apakah karena orang sudah me-nemukan kenikmatan ekstase, lantas mengganggap semuanya sudah tidak berarti lagi dan bawaannya selalu ingin bersama dengan Tuhan.
Terlepas dari semua penilaian subjektif penulis, apa yang sudah dilakukan oleh Ibn Thufail patut mendapat apresiasi lebih. Ide kreatif beliau untuk menuangkan pemikiran filsafat dalam bentuk roman (yang tidak picisan) hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar telah memperoleh cahaya ke-Tuhan-an (iluminasi). Akhirnya, penulis sampaikan terima kasih kepada Ibn Thufail yang meskipun jasadnya sudah menemani kepergian Hayy, namun ruh iluminasinya akan tetap hidup di dalam kesadaran filosofis kita, sebagaimana judul bukunya Hayy Ibn Yaqdzan.
Santri, Produk (Gagal) Pesantren
Oleh: Cak Kur*
Baru-baru ini, santri dari pesantren di seluruh Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB dan Bali) berkumpul mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) Santri I, di Pesantren Mahasiswa al-Hikam, Malang. Selain didasari semangat mempererat kekerabatan antarsantri, barangkali tidak terlalu berlebihan jika Munas itu dianggap sebagai respon terhadap ketertinggalan santri belakangan ini. Terutama ketertinggalan dalam bidang intelektualitas dan kemandirian usaha.
Hal itu misalnya, tercermin dari agenda pokok Munas, yakni usaha membangun masa depan bangsa dengan memberdayakan intelektualitas dan jiwa entrepreneurship santri. Agenda ini mendedahkan bahwa penguatan basis intelektualitas dan entrepreneurship santri mutlak diperlukan guna membangun masa depan bangsa yang cerah. Selain itu, jika dipahami dengan logika mafhum mukhalafah, agenda tersebut juga berarti bahwa selama ini santri kurang mampu -untuk tidak dikatakan tidak mampu- mengambil prakarsa dalam memperkuat bangsa dengan basis intelektualitas dan entrepreneurship.
Ada banyak indikasi untuk tidak terburu-buru mengatakan bahwa argumen di atas salah. Simak saja misalnya, tidak banyak santri yang dapat mengambil peran-peran strategis dalam dinamika intelektualitas bangsa ini. Jumlah kalangan santri atau setidak-tidaknya seluruh eksponen pesantren, tidak lebih banyak dari pada jumlah akademisi Perguruan Tinggi (Agama) yang mampu meramaikan aras pemikiran keagamaan. Kalaupun ada, biasanya statusnya sudah mutakharij ma’had (alumni santri) dan yang bersangkutan sudah tercerahkan dengan pendidikan di Perguruan Tinggi, umum maupun agama, baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir-hampir tidak dapat ditemukan santri yang mampu menelurkan gagasan-gagasan ke-Islam-an yang orisinil, lebih-lebih pembaharuan pemikiran keagamaan.
Di lain pihak, tidak banyak kalangan santri yang memiliki kemampuan metolodologis sebagai prasyarat memasuki iklim ilmiah. Penguatan ilmu-ilmu metodologis menjadi sangat signifikan dalam usaha pengayaan basis intelektualitas. Ibarat ingin belajar membaca kitab gundul, mutlak terlebih dahulu harus menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Memasuki iklim ilmiah berbasis intelektualitas tanpa penguasaan terhadap aspek metodologis, laiknya membaca kitab gundul tanpa ilmu nahwu-sharaf, cenderung gagap dan tersendat-sendat.
Minimnya penguasaan aspek metodologis menjadikan santri tidak dapat melakukan penelitian-penelitian ilmiah. Padahal, ada banyak objek kajian di lingkungan santri dan pesantren yang bisa diteliti. Sehingga tidak terlalu mengherankan kalau kemudian kesempatan itu diambil oleh akademisi non-santri, dan menjadi temuan ilmiah yang sangat berharga. Selain menjadi ukuran mutlak basis intelektualitas, penelitian-penelitian semacam itu sejatinya sangat urgen bagi progresivitas santri dan pesantren di Indonesia. Riset tentang agama, santri dan pesantren bisa jadi lebih relevan dilakukan oleh kalangan santri sendiri dibanding peneliti non-santri. Karena jika santri mampu dan mau melakukan penelitian tentang objek-objek penelitian tersebut, maka akan lebih bisa melibatkan kesadaran fenomenologis.
Dalam bidang entrepeneurship, penulis kira situasinya setali tiga uang. Meski sudah mulai banyak pesantren yang mengembangkan pola entrepreneurship, namun masih belum banyak santri maupun alumni santri yang mampu merintis, lebih-lebih mengembangkan kerajaan bisnis. Tidak mengherankan jika kemudian jarang kita dengar kisah pengusaha atau pebisnis sukses dari kalangan santri.
Kesenjangan Paradigmatik
Bagi penulis, masalah fundamental penyebab miskinnya peran santri dalam lanskap intelektualitas adalah pemahaman dan penerimaan terhadap teks dan konteks keagamaan yang cenderung kurang holistik. Santri cenderung memahami agama sebagai sesuatu yang hanya berorientasi jauh ke akhirat. Mereka sudah merasa terpuaskan dengan ilmu-ilmu agama yang didapat dari pesantren, yang biasanya sudah diperas menjadi ilmu Fikih an sich. Belum lagi, mereka juga sering berlindung di balik paradigma zuhud. Sebuah paradigma yang dipahami sebagai pengerahan segala daya dan upaya secara maksimal untuk meraih kebahagiaan akhirat meski harus menomerduakan urusan dunia. Bagi golongan yang seperti ini, tidak masalah hidup sengsara di dunia asalkan bisa bahagia di akhirat.
Pandangan yang demikian bukannya tidak benar, hanya saja orientasi yang semacam itu turut mematikan semangat untuk dapat berkiprah secara maksimal dalam masalah keduniaan. Padahal dunia adalah satu-satunya jembatan menuju akhirat. Barangkali sudah saatnya konsep Zuhud yang seperti itu dikaji ulang. Simak saja pendapat Ali bin Abi Thalib r.a., yang mengatakan bahwa al-zahidu yamliku al-dunya walakin la yamlikuhu al-dunya (orang yang Zuhud adalah orang yang berhasil menguasai dunia, namun tidak dapat dikuasai oleh dunia).
Lebih dari itu, tesis yang diajukan Ali Maschan Moesa tentang bagaimana seharusnya santri, secara tidak langsung memperkuat konsep bahwa santri tidak seharusnya hanya berorientasi pada realitas transendental. Menurut Ali Maschan, Santri adalah generasi yang dipersiapkan untuk menjadi orang yang aliman, abidan, wira’an, zahidan wa ya’rifu al-mashalih al-ammah. Pendek kata, selain zuhud, shaleh dan wara’, santri seharusnya juga memilki basis intelektual yang kokoh dan relevan dengan kemaslahatan umum.
Di samping itu, faktor pesantren yang cenderung tertutup terhadap perkembangan ilmu-ilmu metodologis, lebih-lebih ilmu yang berasal dari Barat, juga memiliki andil memperkuat citra suramnya corak berfikir ilmiah di kalangan santri. Padahal, ilmu-imu metodologis menjadi sangat penting sebagai ilmu alat untuk mengkaji ilmu apa saja, termasuk ilmu agama. Dengan penguasaan terhadap ilmu-ilmu metodologis, pengkajian dan penelitian keagamaan dapat dilakukan secara simultan.
Pengkajian dan penelitian yang didasarkan pada kesadaran metodologis, akan menghasilkan produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal yang demikian masih belum banyak dimiliki oleh kalangan santri dan pesantren. Sehingga, santri menjadi kurang dapat mengikuti perkembangan-perkembangan tradisi pemikiran keagamaan dewasa ini. Kondisi seperti inilah yang oleh Tolchah Hasan diintrodusir sebagai kesenjangan paradigmatik antara santri dan masyarakat ilmiah lainnya.
Santri dan pesantren seharusnya lebih terbuka dalam usaha pengayaan basis intelektualitas. Bahwa mempelajari ilmu agama penting dan wajib, semua orang setuju. Namun tidak ada dalil yang secara tegas melarang belajar ilmu di luar ilmu agama. Saat ini, pesantren sudah harus lebih inklusif untuk dapat mengikuti perkembangan penelitian dan pemikiran keagamaan. Untuk sampai pada tujuan itu, sudah seharusnya dalam kurikulum pesantren dimasukkan juga pelajaran-pelajaran tentang metodologi penelitian dan standar-standar berfikir ilmiah. Ke depan, pesantren-pesantren inklusif inilah yang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga ilmiah lainnya. Dengan menjadi inklusif, santri akan mampu mengambil prakarsa untuk melakukan pengembangan pemikiran keagamaan melalui penelitian-penelitian ilmiah.
* Cak Kur adalah Santri (yang pernah) Gagal
Baru-baru ini, santri dari pesantren di seluruh Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB dan Bali) berkumpul mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) Santri I, di Pesantren Mahasiswa al-Hikam, Malang. Selain didasari semangat mempererat kekerabatan antarsantri, barangkali tidak terlalu berlebihan jika Munas itu dianggap sebagai respon terhadap ketertinggalan santri belakangan ini. Terutama ketertinggalan dalam bidang intelektualitas dan kemandirian usaha.
Hal itu misalnya, tercermin dari agenda pokok Munas, yakni usaha membangun masa depan bangsa dengan memberdayakan intelektualitas dan jiwa entrepreneurship santri. Agenda ini mendedahkan bahwa penguatan basis intelektualitas dan entrepreneurship santri mutlak diperlukan guna membangun masa depan bangsa yang cerah. Selain itu, jika dipahami dengan logika mafhum mukhalafah, agenda tersebut juga berarti bahwa selama ini santri kurang mampu -untuk tidak dikatakan tidak mampu- mengambil prakarsa dalam memperkuat bangsa dengan basis intelektualitas dan entrepreneurship.
Ada banyak indikasi untuk tidak terburu-buru mengatakan bahwa argumen di atas salah. Simak saja misalnya, tidak banyak santri yang dapat mengambil peran-peran strategis dalam dinamika intelektualitas bangsa ini. Jumlah kalangan santri atau setidak-tidaknya seluruh eksponen pesantren, tidak lebih banyak dari pada jumlah akademisi Perguruan Tinggi (Agama) yang mampu meramaikan aras pemikiran keagamaan. Kalaupun ada, biasanya statusnya sudah mutakharij ma’had (alumni santri) dan yang bersangkutan sudah tercerahkan dengan pendidikan di Perguruan Tinggi, umum maupun agama, baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir-hampir tidak dapat ditemukan santri yang mampu menelurkan gagasan-gagasan ke-Islam-an yang orisinil, lebih-lebih pembaharuan pemikiran keagamaan.
Di lain pihak, tidak banyak kalangan santri yang memiliki kemampuan metolodologis sebagai prasyarat memasuki iklim ilmiah. Penguatan ilmu-ilmu metodologis menjadi sangat signifikan dalam usaha pengayaan basis intelektualitas. Ibarat ingin belajar membaca kitab gundul, mutlak terlebih dahulu harus menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Memasuki iklim ilmiah berbasis intelektualitas tanpa penguasaan terhadap aspek metodologis, laiknya membaca kitab gundul tanpa ilmu nahwu-sharaf, cenderung gagap dan tersendat-sendat.
Minimnya penguasaan aspek metodologis menjadikan santri tidak dapat melakukan penelitian-penelitian ilmiah. Padahal, ada banyak objek kajian di lingkungan santri dan pesantren yang bisa diteliti. Sehingga tidak terlalu mengherankan kalau kemudian kesempatan itu diambil oleh akademisi non-santri, dan menjadi temuan ilmiah yang sangat berharga. Selain menjadi ukuran mutlak basis intelektualitas, penelitian-penelitian semacam itu sejatinya sangat urgen bagi progresivitas santri dan pesantren di Indonesia. Riset tentang agama, santri dan pesantren bisa jadi lebih relevan dilakukan oleh kalangan santri sendiri dibanding peneliti non-santri. Karena jika santri mampu dan mau melakukan penelitian tentang objek-objek penelitian tersebut, maka akan lebih bisa melibatkan kesadaran fenomenologis.
Dalam bidang entrepeneurship, penulis kira situasinya setali tiga uang. Meski sudah mulai banyak pesantren yang mengembangkan pola entrepreneurship, namun masih belum banyak santri maupun alumni santri yang mampu merintis, lebih-lebih mengembangkan kerajaan bisnis. Tidak mengherankan jika kemudian jarang kita dengar kisah pengusaha atau pebisnis sukses dari kalangan santri.
Kesenjangan Paradigmatik
Bagi penulis, masalah fundamental penyebab miskinnya peran santri dalam lanskap intelektualitas adalah pemahaman dan penerimaan terhadap teks dan konteks keagamaan yang cenderung kurang holistik. Santri cenderung memahami agama sebagai sesuatu yang hanya berorientasi jauh ke akhirat. Mereka sudah merasa terpuaskan dengan ilmu-ilmu agama yang didapat dari pesantren, yang biasanya sudah diperas menjadi ilmu Fikih an sich. Belum lagi, mereka juga sering berlindung di balik paradigma zuhud. Sebuah paradigma yang dipahami sebagai pengerahan segala daya dan upaya secara maksimal untuk meraih kebahagiaan akhirat meski harus menomerduakan urusan dunia. Bagi golongan yang seperti ini, tidak masalah hidup sengsara di dunia asalkan bisa bahagia di akhirat.
Pandangan yang demikian bukannya tidak benar, hanya saja orientasi yang semacam itu turut mematikan semangat untuk dapat berkiprah secara maksimal dalam masalah keduniaan. Padahal dunia adalah satu-satunya jembatan menuju akhirat. Barangkali sudah saatnya konsep Zuhud yang seperti itu dikaji ulang. Simak saja pendapat Ali bin Abi Thalib r.a., yang mengatakan bahwa al-zahidu yamliku al-dunya walakin la yamlikuhu al-dunya (orang yang Zuhud adalah orang yang berhasil menguasai dunia, namun tidak dapat dikuasai oleh dunia).
Lebih dari itu, tesis yang diajukan Ali Maschan Moesa tentang bagaimana seharusnya santri, secara tidak langsung memperkuat konsep bahwa santri tidak seharusnya hanya berorientasi pada realitas transendental. Menurut Ali Maschan, Santri adalah generasi yang dipersiapkan untuk menjadi orang yang aliman, abidan, wira’an, zahidan wa ya’rifu al-mashalih al-ammah. Pendek kata, selain zuhud, shaleh dan wara’, santri seharusnya juga memilki basis intelektual yang kokoh dan relevan dengan kemaslahatan umum.
Di samping itu, faktor pesantren yang cenderung tertutup terhadap perkembangan ilmu-ilmu metodologis, lebih-lebih ilmu yang berasal dari Barat, juga memiliki andil memperkuat citra suramnya corak berfikir ilmiah di kalangan santri. Padahal, ilmu-imu metodologis menjadi sangat penting sebagai ilmu alat untuk mengkaji ilmu apa saja, termasuk ilmu agama. Dengan penguasaan terhadap ilmu-ilmu metodologis, pengkajian dan penelitian keagamaan dapat dilakukan secara simultan.
Pengkajian dan penelitian yang didasarkan pada kesadaran metodologis, akan menghasilkan produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal yang demikian masih belum banyak dimiliki oleh kalangan santri dan pesantren. Sehingga, santri menjadi kurang dapat mengikuti perkembangan-perkembangan tradisi pemikiran keagamaan dewasa ini. Kondisi seperti inilah yang oleh Tolchah Hasan diintrodusir sebagai kesenjangan paradigmatik antara santri dan masyarakat ilmiah lainnya.
Santri dan pesantren seharusnya lebih terbuka dalam usaha pengayaan basis intelektualitas. Bahwa mempelajari ilmu agama penting dan wajib, semua orang setuju. Namun tidak ada dalil yang secara tegas melarang belajar ilmu di luar ilmu agama. Saat ini, pesantren sudah harus lebih inklusif untuk dapat mengikuti perkembangan penelitian dan pemikiran keagamaan. Untuk sampai pada tujuan itu, sudah seharusnya dalam kurikulum pesantren dimasukkan juga pelajaran-pelajaran tentang metodologi penelitian dan standar-standar berfikir ilmiah. Ke depan, pesantren-pesantren inklusif inilah yang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga ilmiah lainnya. Dengan menjadi inklusif, santri akan mampu mengambil prakarsa untuk melakukan pengembangan pemikiran keagamaan melalui penelitian-penelitian ilmiah.
* Cak Kur adalah Santri (yang pernah) Gagal
Nabi Muhammad, Aristoteles, Cak Kur dan Aktivitas Berfikir
Oleh: Cak Kur
Aktivitas berfikir merupakan fitrah manusia yang paling asasi. Berfikir dan hidup ini ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Uang yang hanya memiliki satu sisi, dan kososng pada sisi yang lain, tidak akan pernah laku dijadikan sebagai alat tukar. Begitu juga dengan hidup ini, tanpa disertai dengan aktivitas berfikir kita sama dengan orang mati, atau kalaupun hidup, kita tidak jauh berbeda dengan orang yang gila. Seolah mengetahui rahasia hidup yang tidak akan pernah berarti tanpa berfikir, Islam sangat menekankan kepada umatnya agar senantiasa menggunakan akal pikirannya baik dalam kondisi duduk, berdiri maupun berbaring. Bahkan dalam beberapa kesempatan, agama diidentikkan dengan akal, yang merupakan piranti utama untuk melaksanakan aktivitas berfikir. Al-diinu huwa al-aqlu, laa diina liman laa aqla lahu, begitu kira-kira redaksi argumentatifnya. Tidak kurang, ada hampir 50 ayat dalam hitungan penulis yang menerangkan arti penting menggunakan akal secara maksimal (berfikir).
Begitu penting arti aktivitas berfikir bagi kehidupan ini, sampai-sampai Louis O. Kattsof menyebut bahwa lebih baik kita diperbudak secara ragawi daripada diperbudak secara akali (Kattsof, 1996: xiii). Hal ini dapat segera dengan mudah dipahami, karena tanpa aktivitas berfikir tidak akan pernah ada inovasi dan kreasi. Kalau sudah tidak ada inovasi dan kreasi, maka ibarat kata, dunia ini seperti manusia tanpa nyawa. Dunia menjadi sangat gemerlap seperti saat ini tidak lain adalah buah dari aktivitas berfikir.
Dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas berfikir inilah yang kemudian memunculkan filsafat. Filsafat Yunani yang dianggap sebagai cikal bakal filsafat sistematis, meminjam tulisan Moh. Hatta yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, muncul dari penggunaan akal secara kritis terhadap fenomena takhayul yang berkembang dalam masyarakat Yunani ketika itu. Filsafat muncul juga karena, ketertarikan sebagaian orang Yunani untuk mengetahui rahasia dibalik keindahan dan kebesaran alam (Tafsir, 2001: 14).
Rene Descartes, filsuf terkenal dari Perancis, menyebut aktivitas berfikir sebagai kebutuhan eksistensi manusia yang paling mendasar. Tanpa berfikir, manusia tidak akan pernah menemukan eksistensi kehidupannya. Oleh karena itu, filsafat yang dikembangkan oleh Descartes ini adalah filsafat rasionalisme eksistensialis. Adagiumnya yang sudah sangat terkenal adalah cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Adagium ini muncul dari usaha kontemplatif Descartes ketika melihat tipisnya batas antara realitas dan halusinasi. Sehingga ia mengatakan, jika aku berfikir, maka aku ada karena yang berfikir itu aku.
Jika dikaitkan dengan dunia filsafat, ada banyak madzhab atau –isme untuk menjelaskan aktivitas berfikir. Namun jika diringkas, ada tiga madzhab besar yang mendeskripsikan mengenai hal itu. Ketiga madzhab besar itu adalah, paradigma positivisme, intepretivisme dan Kritisisme. Salah satu corak berfikir dalam paradigma positivisme adalah adanya penolakan terhadap sesuatu yang bersifat metarealitas. Realitas yang dapat diterima, menurut positivisme, adalah pengetahuan empiris yang dapat diujicobakan secara ilmiah. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, positivisme cenderung mengkonkritkan hal-hal yang bersifat metarealitas (ghaib).
Sebaliknya, paradigma intepretivisme cenderung melihat realitas sebagai hasil pemaknaan manusia yang juga melibatkan aspek-aspek rasa dan ruhiyah. Dengan kata lain, paradigma ini cenderung mengghaibkan yang konkrit. Sementara paradigma kritisisme agak lebih proporsional dalam melihat realitas, dengan tidak sampai jatuh kepada upaya mengkonkritkan yang ghaib maupun mengghaibkan yang konkrit.
Smentara dalam khazanah keilmuan yang lebih awam, ada tiga sistematika berfikir, deduktif, induktif dan campuran. Model deduktif yaitu sebuah pola pengambilan kesimpulan yang berpangkal dari fenomena yang umum ke khusus (ijmaliyah). Contoh alur berfikir yang konkrit dari corak ini adalah plot adegan dalam film Munich. Logika yang digunakan dalam film tersebut adalah logika yang bertolak dari sesuatu yang umum menuju penjelasan yang lebih terperinci, dimana film diawali dengan adegan sebuah penyerangan terhadap kamp latihan atlet Israel di Munich. Baru setelah itu film merinci satu persatu proses pembunuhan sebagai bentuk balas dendam terhadap para tersangka pembunuhan di Munich. Kedua, adalah corak berfikir yang bersifat Induktif, yaitu sebuah pola penggalian kesimpulan dari yang khusus ke umum, misalnya, anak saya (Tazkiy), setiap saya ajak naik motor, dia selalu melihat saya memakai helm sebelum berkendara, dan itu terjadi berkali-kali. Hingga pada suatu kesempatan, ketika saya hendak berkeliling di sekitar rumah dengan menggunakan motor tanpa memakai helm, karena justru agak risih kalau memakai helm, si Tazkiy dengan nada terbata-bata ayah..! elm…! Ayah…! Elm..! Sementara corak berfikir yang ketiga adalah model campuran antara deduktif dan induktif.
Aktivitas berfikir merupakan fitrah manusia yang paling asasi. Berfikir dan hidup ini ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Uang yang hanya memiliki satu sisi, dan kososng pada sisi yang lain, tidak akan pernah laku dijadikan sebagai alat tukar. Begitu juga dengan hidup ini, tanpa disertai dengan aktivitas berfikir kita sama dengan orang mati, atau kalaupun hidup, kita tidak jauh berbeda dengan orang yang gila. Seolah mengetahui rahasia hidup yang tidak akan pernah berarti tanpa berfikir, Islam sangat menekankan kepada umatnya agar senantiasa menggunakan akal pikirannya baik dalam kondisi duduk, berdiri maupun berbaring. Bahkan dalam beberapa kesempatan, agama diidentikkan dengan akal, yang merupakan piranti utama untuk melaksanakan aktivitas berfikir. Al-diinu huwa al-aqlu, laa diina liman laa aqla lahu, begitu kira-kira redaksi argumentatifnya. Tidak kurang, ada hampir 50 ayat dalam hitungan penulis yang menerangkan arti penting menggunakan akal secara maksimal (berfikir).
Begitu penting arti aktivitas berfikir bagi kehidupan ini, sampai-sampai Louis O. Kattsof menyebut bahwa lebih baik kita diperbudak secara ragawi daripada diperbudak secara akali (Kattsof, 1996: xiii). Hal ini dapat segera dengan mudah dipahami, karena tanpa aktivitas berfikir tidak akan pernah ada inovasi dan kreasi. Kalau sudah tidak ada inovasi dan kreasi, maka ibarat kata, dunia ini seperti manusia tanpa nyawa. Dunia menjadi sangat gemerlap seperti saat ini tidak lain adalah buah dari aktivitas berfikir.
Dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas berfikir inilah yang kemudian memunculkan filsafat. Filsafat Yunani yang dianggap sebagai cikal bakal filsafat sistematis, meminjam tulisan Moh. Hatta yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, muncul dari penggunaan akal secara kritis terhadap fenomena takhayul yang berkembang dalam masyarakat Yunani ketika itu. Filsafat muncul juga karena, ketertarikan sebagaian orang Yunani untuk mengetahui rahasia dibalik keindahan dan kebesaran alam (Tafsir, 2001: 14).
Rene Descartes, filsuf terkenal dari Perancis, menyebut aktivitas berfikir sebagai kebutuhan eksistensi manusia yang paling mendasar. Tanpa berfikir, manusia tidak akan pernah menemukan eksistensi kehidupannya. Oleh karena itu, filsafat yang dikembangkan oleh Descartes ini adalah filsafat rasionalisme eksistensialis. Adagiumnya yang sudah sangat terkenal adalah cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Adagium ini muncul dari usaha kontemplatif Descartes ketika melihat tipisnya batas antara realitas dan halusinasi. Sehingga ia mengatakan, jika aku berfikir, maka aku ada karena yang berfikir itu aku.
Jika dikaitkan dengan dunia filsafat, ada banyak madzhab atau –isme untuk menjelaskan aktivitas berfikir. Namun jika diringkas, ada tiga madzhab besar yang mendeskripsikan mengenai hal itu. Ketiga madzhab besar itu adalah, paradigma positivisme, intepretivisme dan Kritisisme. Salah satu corak berfikir dalam paradigma positivisme adalah adanya penolakan terhadap sesuatu yang bersifat metarealitas. Realitas yang dapat diterima, menurut positivisme, adalah pengetahuan empiris yang dapat diujicobakan secara ilmiah. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, positivisme cenderung mengkonkritkan hal-hal yang bersifat metarealitas (ghaib).
Sebaliknya, paradigma intepretivisme cenderung melihat realitas sebagai hasil pemaknaan manusia yang juga melibatkan aspek-aspek rasa dan ruhiyah. Dengan kata lain, paradigma ini cenderung mengghaibkan yang konkrit. Sementara paradigma kritisisme agak lebih proporsional dalam melihat realitas, dengan tidak sampai jatuh kepada upaya mengkonkritkan yang ghaib maupun mengghaibkan yang konkrit.
Smentara dalam khazanah keilmuan yang lebih awam, ada tiga sistematika berfikir, deduktif, induktif dan campuran. Model deduktif yaitu sebuah pola pengambilan kesimpulan yang berpangkal dari fenomena yang umum ke khusus (ijmaliyah). Contoh alur berfikir yang konkrit dari corak ini adalah plot adegan dalam film Munich. Logika yang digunakan dalam film tersebut adalah logika yang bertolak dari sesuatu yang umum menuju penjelasan yang lebih terperinci, dimana film diawali dengan adegan sebuah penyerangan terhadap kamp latihan atlet Israel di Munich. Baru setelah itu film merinci satu persatu proses pembunuhan sebagai bentuk balas dendam terhadap para tersangka pembunuhan di Munich. Kedua, adalah corak berfikir yang bersifat Induktif, yaitu sebuah pola penggalian kesimpulan dari yang khusus ke umum, misalnya, anak saya (Tazkiy), setiap saya ajak naik motor, dia selalu melihat saya memakai helm sebelum berkendara, dan itu terjadi berkali-kali. Hingga pada suatu kesempatan, ketika saya hendak berkeliling di sekitar rumah dengan menggunakan motor tanpa memakai helm, karena justru agak risih kalau memakai helm, si Tazkiy dengan nada terbata-bata ayah..! elm…! Ayah…! Elm..! Sementara corak berfikir yang ketiga adalah model campuran antara deduktif dan induktif.
PIMNAS XIX dan Rongsokan Tahun 2005
Oleh: Cak Kur
Di tahun ini pemerintah melalui dinas Kementerian Riset dan Teknologi mencanangkan Visi Misi Iptek 2025, yang menetapkan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan dan peradaban bangsa. Untuk tahun 2005 sampai 2009, sekurang-kurangnya ada enam fokus program pencapaian Iptek; Teknologi pertahanan, Teknologi Kesehatan dan Obat-obatan, Tekonologi Ketahanan Pangan dan Pertanian, Teknologi Transportasi serta Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dengan ke-enam fokus pencapaian Iptek ini, maka sebenarnya pengembangan Iptek dan apresiasinya memperoleh porsi yang sangat besar. Dalam era yang oleh Anthony Gidden disebut sebagai Run Away World, yang mana eksistensi sebuah bangsa ditentukan lewat kemampuan percepatan pengembangan riset dan teknologi, memaksa Negara semacam Indonesia sudah harus berpacu menciptakan inovasi teknologi baru yang akseleratif.
Sayang seribu sayang, dalam masalah Iptek, meskipun sebetulnya sangat potensial, Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Negara-negara lain di belahan bumi Asia (Apalagi Eropa dan Amerika). Dari data perbandingan publikasi penelitian bidang Fisika yang ada, Indonesia dengan jumlah penduduk 245,45 juta jiwa, hanya memiliki 113 publikasi hasil riset. Indonesia kalah jauh dibanding Vietnam, Singapura, Pakistan, Taiwan dan Korea Selatan yang jumlah publikasi hasil risetnya, secara berurut, 201 karya dengan 84,40 juta jumlah penduduk, 253 karya dengan 4,49 juta penduduk, 584 karya dengan 165,80 juta penduduk, 3911 karya dengan 23,04 juta penduduk dan 6493 karya dengan 48,85 juta jumlah penduduk. Lebih ironis, jumlah anggaran Iptek di Indonesia jauh lebih kecil dibanding jumlah belanja iklan masyarakat. Pada tahun 2005 lalu, belanja iklan masyarakat sudah mencapai angka Rp. 27 trilyun, sementara jumlah anggaran Iptek hanya Rp. 1, 489 trilyun. Tahun ini, belanja iklan masyarakat ditargetkan akan mencapai angka Rp. 28 trilyun, sementara anggaran Iptek hanya Rp. 1,760 trilyun (pagu). (KOMPAS, 03/05 dan 08/05)
Kepincangan
Data-data di atas mengindikasikan apresiasi masyarakat dalam pengembangan Iptek masih sangat minim. Indikasi lain dapat ditelisik melalui banyak variabel upaya pengembangan Iptek yang masih pincang. Indonesia sering kehilangan banyak peneliti handalnya. Tidak sedikit peneliti yang dibesarkan di dan oleh Indonesia akhirnya hijrah dan memilih tinggal di luar negeri dengan berbagai alasan. Alasan yang sering diungkapkan adalah, tidak ada garansi dari pemerintah menyangkut masa depan pekerjaan mereka, minimnya ruang aktualisasi, dan yang paling parah, keringnya apresiasi yang diberikan oleh pemerintah. Apresiasi dalam hal ini beragam bentuknya, tapi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan hidup, penghargaan dan insentif. Jamak yang mafhum, standar insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia masih sangat kecil dibanding dengan Negara-negara maju lain. Sebagai gambaran, di Jerman, paling apes, seorang peneliti hanya dibayar Rp. 20 juta per bulan, sudah berupa gaji bersih setelah dipotong pajak dan segala tetek-mbengeknya.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga tidak jarang kalah start dalam take caring pelajar berpotensi. Ada banyak, pelajar berpotensi yang justru diboyong ke luar negeri oleh Negara lain dengan tawaran beasiswa yang menggiurkan. Karenanya, tidak dapat disalahkan, kalau pada akhirnya mereka lebih memilih sekolah di luar negeri dengan beasiswa penuh. Setelah lulus, ghalibnya pihak asing memberi tawaran visa tinggal sementara atau bahkan naturalisasi dengan berbagai iming-iming pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan. Kalau sudah begitu, sangat jarang ada yang mau menolaknya. Karena hemat mereka, dari pada harus kembali ke Indonesia dengan kondisi yang serba tidak pasti, lebih baik menerima tawaran menguntungkan yang sudah ada di depan mata. Ditambah lagi, paradigma berfikir masyarakat saat ini terpola bahwa sekolah dan bekerja di luar negeri lebih bergengsi. Hal ini persis seperti apa yang disinyalir oleh Syed Syakib Arsalan, bahwa Negara yang kalah memberikan insentif, bersiap-siaplah untuk menghadapi migrasi intelektual. Padahal, saat BJ Habibie menjabat sebagai Menristek dulu, ada sebanyak 2.445 orang penerima beasiswa mulai dari jenjang S1 hingga S3, belum lagi ditambah pengiriman pegawai-pegawai lembaga penelitian non Departemen keluar negeri, yang jumlahnya mencapai ribuan orang.
Solusi
Kini, Indonesia tampaknya sedang mengalami apa yang oleh Yuni Ekawati disebut sebagai Brain Drain, karena banyaknya ilmuwan yang hijrah dari Indonesia ke negara-negara lain, yang mereka anggap lebih bisa memberikan jaminan kehidupan dan kelangsungan aktivitas pengembangan Iptek.
Tampaknya, Indonesia harus banyak belajar dari negara-negara lain, seperti China dan India, yang dulunya juga pernah mengalami brain drain. China dan India menerapkan kebijakan ‘sikap terbuka’ dalam rangka menarik kembali para ilmuwannya yang sempat eksodus ke negara lain. Kebijakan ‘sikap terbuka’ tersebut dilakukan dengan cara memberikan insentif gaji yang tinggi, jaminan hidup dan penghargaan yang mumpuni. Dengan kebijakan itu, kini China dan India tidak lagi mengalami brain drain, namun sebaliknya, kedua negara tersebut sudah mengalami nikmatnya fase brain gain, yakni mengambil manfaat keilmuan dari para ilmuwan yang sudah kembali itu.
Wal akhir, moda kebijakan sikap terbuka seperti itu yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Selain berani mengambil inisiatif untuk memberikan insentif tinggi, pemerintah juga harus mampu memberikan jaminan kepada para ilmuwannya yang kini berada di luar negeri, bahwa prospek pengembangan Ipteknya tidak akan mati sekembalinya ke Indonesia. Lagi, pemeritah juga mesti menempatkan Iptek sebagai prioritas utama untuk pengembangan peradaban bangsa, tentunya diikuti dengan pengembangan sarana dan prasarana yang paralel dengan upaya peningkatan kualitas Iptek. penulis berharap, PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) XIX yang diadakan di UMM ini, sebisa mungkin sudah dapat menyaring sejak dini intelektual muda bangsa ini. Untuk kemudian ‘memanjakannya’ di negeri sendiri atau jika terpaksa melanglang buana ke negeri orang, harus dipastikan nantinya mau kembali guna memajukan tanah airnya. Peranan insentif dalam hal ini, tidak dapat dipandang sebelah mata.
Di tahun ini pemerintah melalui dinas Kementerian Riset dan Teknologi mencanangkan Visi Misi Iptek 2025, yang menetapkan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan dan peradaban bangsa. Untuk tahun 2005 sampai 2009, sekurang-kurangnya ada enam fokus program pencapaian Iptek; Teknologi pertahanan, Teknologi Kesehatan dan Obat-obatan, Tekonologi Ketahanan Pangan dan Pertanian, Teknologi Transportasi serta Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dengan ke-enam fokus pencapaian Iptek ini, maka sebenarnya pengembangan Iptek dan apresiasinya memperoleh porsi yang sangat besar. Dalam era yang oleh Anthony Gidden disebut sebagai Run Away World, yang mana eksistensi sebuah bangsa ditentukan lewat kemampuan percepatan pengembangan riset dan teknologi, memaksa Negara semacam Indonesia sudah harus berpacu menciptakan inovasi teknologi baru yang akseleratif.
Sayang seribu sayang, dalam masalah Iptek, meskipun sebetulnya sangat potensial, Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Negara-negara lain di belahan bumi Asia (Apalagi Eropa dan Amerika). Dari data perbandingan publikasi penelitian bidang Fisika yang ada, Indonesia dengan jumlah penduduk 245,45 juta jiwa, hanya memiliki 113 publikasi hasil riset. Indonesia kalah jauh dibanding Vietnam, Singapura, Pakistan, Taiwan dan Korea Selatan yang jumlah publikasi hasil risetnya, secara berurut, 201 karya dengan 84,40 juta jumlah penduduk, 253 karya dengan 4,49 juta penduduk, 584 karya dengan 165,80 juta penduduk, 3911 karya dengan 23,04 juta penduduk dan 6493 karya dengan 48,85 juta jumlah penduduk. Lebih ironis, jumlah anggaran Iptek di Indonesia jauh lebih kecil dibanding jumlah belanja iklan masyarakat. Pada tahun 2005 lalu, belanja iklan masyarakat sudah mencapai angka Rp. 27 trilyun, sementara jumlah anggaran Iptek hanya Rp. 1, 489 trilyun. Tahun ini, belanja iklan masyarakat ditargetkan akan mencapai angka Rp. 28 trilyun, sementara anggaran Iptek hanya Rp. 1,760 trilyun (pagu). (KOMPAS, 03/05 dan 08/05)
Kepincangan
Data-data di atas mengindikasikan apresiasi masyarakat dalam pengembangan Iptek masih sangat minim. Indikasi lain dapat ditelisik melalui banyak variabel upaya pengembangan Iptek yang masih pincang. Indonesia sering kehilangan banyak peneliti handalnya. Tidak sedikit peneliti yang dibesarkan di dan oleh Indonesia akhirnya hijrah dan memilih tinggal di luar negeri dengan berbagai alasan. Alasan yang sering diungkapkan adalah, tidak ada garansi dari pemerintah menyangkut masa depan pekerjaan mereka, minimnya ruang aktualisasi, dan yang paling parah, keringnya apresiasi yang diberikan oleh pemerintah. Apresiasi dalam hal ini beragam bentuknya, tapi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan hidup, penghargaan dan insentif. Jamak yang mafhum, standar insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia masih sangat kecil dibanding dengan Negara-negara maju lain. Sebagai gambaran, di Jerman, paling apes, seorang peneliti hanya dibayar Rp. 20 juta per bulan, sudah berupa gaji bersih setelah dipotong pajak dan segala tetek-mbengeknya.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga tidak jarang kalah start dalam take caring pelajar berpotensi. Ada banyak, pelajar berpotensi yang justru diboyong ke luar negeri oleh Negara lain dengan tawaran beasiswa yang menggiurkan. Karenanya, tidak dapat disalahkan, kalau pada akhirnya mereka lebih memilih sekolah di luar negeri dengan beasiswa penuh. Setelah lulus, ghalibnya pihak asing memberi tawaran visa tinggal sementara atau bahkan naturalisasi dengan berbagai iming-iming pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan. Kalau sudah begitu, sangat jarang ada yang mau menolaknya. Karena hemat mereka, dari pada harus kembali ke Indonesia dengan kondisi yang serba tidak pasti, lebih baik menerima tawaran menguntungkan yang sudah ada di depan mata. Ditambah lagi, paradigma berfikir masyarakat saat ini terpola bahwa sekolah dan bekerja di luar negeri lebih bergengsi. Hal ini persis seperti apa yang disinyalir oleh Syed Syakib Arsalan, bahwa Negara yang kalah memberikan insentif, bersiap-siaplah untuk menghadapi migrasi intelektual. Padahal, saat BJ Habibie menjabat sebagai Menristek dulu, ada sebanyak 2.445 orang penerima beasiswa mulai dari jenjang S1 hingga S3, belum lagi ditambah pengiriman pegawai-pegawai lembaga penelitian non Departemen keluar negeri, yang jumlahnya mencapai ribuan orang.
Solusi
Kini, Indonesia tampaknya sedang mengalami apa yang oleh Yuni Ekawati disebut sebagai Brain Drain, karena banyaknya ilmuwan yang hijrah dari Indonesia ke negara-negara lain, yang mereka anggap lebih bisa memberikan jaminan kehidupan dan kelangsungan aktivitas pengembangan Iptek.
Tampaknya, Indonesia harus banyak belajar dari negara-negara lain, seperti China dan India, yang dulunya juga pernah mengalami brain drain. China dan India menerapkan kebijakan ‘sikap terbuka’ dalam rangka menarik kembali para ilmuwannya yang sempat eksodus ke negara lain. Kebijakan ‘sikap terbuka’ tersebut dilakukan dengan cara memberikan insentif gaji yang tinggi, jaminan hidup dan penghargaan yang mumpuni. Dengan kebijakan itu, kini China dan India tidak lagi mengalami brain drain, namun sebaliknya, kedua negara tersebut sudah mengalami nikmatnya fase brain gain, yakni mengambil manfaat keilmuan dari para ilmuwan yang sudah kembali itu.
Wal akhir, moda kebijakan sikap terbuka seperti itu yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Selain berani mengambil inisiatif untuk memberikan insentif tinggi, pemerintah juga harus mampu memberikan jaminan kepada para ilmuwannya yang kini berada di luar negeri, bahwa prospek pengembangan Ipteknya tidak akan mati sekembalinya ke Indonesia. Lagi, pemeritah juga mesti menempatkan Iptek sebagai prioritas utama untuk pengembangan peradaban bangsa, tentunya diikuti dengan pengembangan sarana dan prasarana yang paralel dengan upaya peningkatan kualitas Iptek. penulis berharap, PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) XIX yang diadakan di UMM ini, sebisa mungkin sudah dapat menyaring sejak dini intelektual muda bangsa ini. Untuk kemudian ‘memanjakannya’ di negeri sendiri atau jika terpaksa melanglang buana ke negeri orang, harus dipastikan nantinya mau kembali guna memajukan tanah airnya. Peranan insentif dalam hal ini, tidak dapat dipandang sebelah mata.
PENDEKATAN BAYANI, BURHANI DAN IRFANI DALAM RANAH IJTIHADI MUHAMMADIYAH
Oleh: Muhammad Kurdi
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani, sesuai dengan obyek kajiannya --apakah teks, ilham atau realitas-- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek tranhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
Nama M Amin Abdullah patut diberi kredit karena cukup sukses dalam menggugah pemikiran kritis di Muhammadiyah. Sewaktu menjadi Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI), M Amin Abdullah selalu mengambil prakarsa melakukan kajian secara mendalam dan sistematis terhadap tema-tema krusial yang dihadapi umat Islam, katakanlah, seperti pengembangan manhaj atau metodologi pemikiran Islam dan pluralisme. Berkat prakarsa M Amin Abdullah pemikiran Islam, setidaknya di lingkungan Muhammadiyah, memperoleh sentuhan epistemologi baru seperti diadopsinya epistemologi bayani, burhani, dan irfani dalam manhaj tarjih Muhammadiyah.
Arifin Sepakat bahwa Muhammadiyah dalam Ijtihad dan Istinbath mengenai problem umat, sudah harus menggunakan metodologi sistematis yang secara ilmiah kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga metode tersebut dengan segala aturannya akan mampu mendekatkan produk Ijtihad Muhammdiyah ke arah tersebut. Berikut penulis mengulas ketiga pendekatan yang sampai sekarang masih dipedomani oleh Muhammadiyah.
PENDEKATAN BAYANI
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Bayani adalah pendekatan untuk : a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau diendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan b) Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafadl. Hubungan antara makna dan lafadz dapat dilihat dari segi : a) Makna wad'i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, 'am dan mustarak; b) Makna isti'mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqah (sarihah dan mukniyah) dan makna majaz (sarih dan kinayah); c) Darajat al-wudhuh, sifat dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan d) Turuqu al-dalalah, penunjukan lafz terhadap makna, meliputi dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nass dan dalalah al-iqtida' (menurut khanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut syafi'iyyah).
Untuk itu pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kuncu (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl - far' - lafz ma'na (mantuq al-fughah dan mushkilah al-dalalah; dan nizam al-kitab dan nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-qiyas al-bayani, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam : 1)al-qiyas berdasarkan ukuran kepantasan antara asl dan far' bagi hukum tertentu; yang meliputi al-qiyas al-jali; b) al-qiyas fi ma'na al-nass; dan c) al-qiyas al-khafi; 2)al-qiyas berdasarkan 'illat terbagi menajdi : a)qiyas al-'illat dan b) qiyas al-dalalah; dan 3) al-qiyas al-jama'i terhadap asl dan far'.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan : 1) Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq; 2) Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil; 3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan 4) bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani
menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, dengan semboyan kurang lebih "right or wrong is my country" (dalam konteks ini tentu diterjemahkan : salah apa bener, yang penting agama gue bo!).
PENDEKATAN BURHANI
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum - hukum logika. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian Hermeneutic). Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inserawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
'Ilmu al-mantiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang menyamaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adhhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a'yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhath al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mabhath al-qiyas). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidlal.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani. Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada lam semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah )berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pad manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, keiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan kan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar pembahuruan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
PENDEKATAN 'IRFANI
'Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah
PENUTUP
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah).
Wa Allahu a’lamu bi al shawab
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani, sesuai dengan obyek kajiannya --apakah teks, ilham atau realitas-- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek tranhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
Nama M Amin Abdullah patut diberi kredit karena cukup sukses dalam menggugah pemikiran kritis di Muhammadiyah. Sewaktu menjadi Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI), M Amin Abdullah selalu mengambil prakarsa melakukan kajian secara mendalam dan sistematis terhadap tema-tema krusial yang dihadapi umat Islam, katakanlah, seperti pengembangan manhaj atau metodologi pemikiran Islam dan pluralisme. Berkat prakarsa M Amin Abdullah pemikiran Islam, setidaknya di lingkungan Muhammadiyah, memperoleh sentuhan epistemologi baru seperti diadopsinya epistemologi bayani, burhani, dan irfani dalam manhaj tarjih Muhammadiyah.
Arifin Sepakat bahwa Muhammadiyah dalam Ijtihad dan Istinbath mengenai problem umat, sudah harus menggunakan metodologi sistematis yang secara ilmiah kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga metode tersebut dengan segala aturannya akan mampu mendekatkan produk Ijtihad Muhammdiyah ke arah tersebut. Berikut penulis mengulas ketiga pendekatan yang sampai sekarang masih dipedomani oleh Muhammadiyah.
PENDEKATAN BAYANI
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Bayani adalah pendekatan untuk : a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau diendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan b) Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafadl. Hubungan antara makna dan lafadz dapat dilihat dari segi : a) Makna wad'i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, 'am dan mustarak; b) Makna isti'mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqah (sarihah dan mukniyah) dan makna majaz (sarih dan kinayah); c) Darajat al-wudhuh, sifat dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan d) Turuqu al-dalalah, penunjukan lafz terhadap makna, meliputi dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nass dan dalalah al-iqtida' (menurut khanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut syafi'iyyah).
Untuk itu pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kuncu (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl - far' - lafz ma'na (mantuq al-fughah dan mushkilah al-dalalah; dan nizam al-kitab dan nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-qiyas al-bayani, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam : 1)al-qiyas berdasarkan ukuran kepantasan antara asl dan far' bagi hukum tertentu; yang meliputi al-qiyas al-jali; b) al-qiyas fi ma'na al-nass; dan c) al-qiyas al-khafi; 2)al-qiyas berdasarkan 'illat terbagi menajdi : a)qiyas al-'illat dan b) qiyas al-dalalah; dan 3) al-qiyas al-jama'i terhadap asl dan far'.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan : 1) Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq; 2) Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil; 3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan 4) bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani
menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, dengan semboyan kurang lebih "right or wrong is my country" (dalam konteks ini tentu diterjemahkan : salah apa bener, yang penting agama gue bo!).
PENDEKATAN BURHANI
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum - hukum logika. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian Hermeneutic). Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inserawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
'Ilmu al-mantiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang menyamaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adhhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a'yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhath al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mabhath al-qiyas). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidlal.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani. Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada lam semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah )berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pad manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, keiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan kan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar pembahuruan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
PENDEKATAN 'IRFANI
'Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah
PENUTUP
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah).
Wa Allahu a’lamu bi al shawab
Ple(per)setan Poligami
Oleh:KH.Mahmudi Ambar*
Pro-kontra tentang kebolehan poligami kembali menyeruak, meski bukan ter-masuk polemik baru, namun isu poligami saat ini gaungnya lebih mengguncang. Maklum, yang baru saja berpoligami adalah seorang publik figur sekaliber Aa Gym yang jangkauan pengaruhnya menembus semua lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan Pre-siden SBY dan Menteri Pemberdayaan Perempuan sempat ‘kebakaran jenggot’ sebab peristiwa itu.
Sejarah mencatat, praktik poligami sebenarnya sudah berlaku pada bangsa-bangsa tertentu sebelum kedatangan Islam. Praktik semacam ini juga disunahkan pada umat Yahudi, disyariatkan pada bangsa Persi, dan bahkan pada bangsa Arab Jahiliyah sendiri, sebelum kedatangan Islam, praktik poligami sudah marak. Di China, budaya mem-perbanyak selir Kaisar pada setiap dinasti adalah cerminan nyata praktik poligami. Pe-jabat tinggi kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara juga tidak sedikit yang berpoligami, dengan istilah yang kita kenal sebagai gundik.
Kini, di Indonesia wacana penolakan terhadap konsep poligami kembali me-nyeruak, karena dalam praktiknya, poligami justru dianggap menyengsarakan istri dan cita-cita perkawinan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, terasa jauh api dari panggang. Mekanisme pertahanan terhadap maraknya poligami itu rencananya juga akan dilakukan dengan lebih memperketat lagi syarat-syarat poligami yang sudah ada dalam UU No.1 tahun 1974. Bahkan pemerintah juga sudah mewacanakan perluasan larangan poligami untuk pejabat Negara.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah dengan dalih ketidak harmonisan rumah tangga, serta merta ajaran poligami dapat dibatalkan. Untuk mengurai per-masalahan tersebut, Penulis mencoba mendudukkannya secara proporsional dengan mengutip ayat yang berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 3: 3)
Ayat di atas adalah dalil legitimasi poligami yang paling jelas (Sharih) dalam ranah istidlal hukum Islam. Jika dianalisis dari semantik lughawinya ada beberapa hukum yang terkandung di dalamnya. Firman di atas mengindikasikan kebolehan seorang laki-laki menikah lebih dari satu, dengan batas maksimal empat. Dalam penunjukan hukumnya, ayat di atas menggunakan kalimat perintah (fi’il amr). Dalam kaidah Ushul Fikih kalimat perintah menunjukkan arti wajib, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari makna penunjukkan awal.
Dalil naqliy yang sering digunakan untuk menolak konsep poligami adalah hadits Rasul yang malarang Ali Bin Abi Thalib menduakan istrinya, Fatimah yang notabene adalah putri Rasul. Hadits ini dianggap sebagai representasi perasaan Rasul yang ternyata juga tidak berkenan terhadap praktik poligami.
Dalam pandangan penulis, hadits tersebut tidak lantas menasakh (baca: me-nonaktifkan) hukum yang terkandung dalam ayat al-Quran yang telah penulis sitir di atas. Dalam konsep ushul fikih ada metode istinbath hukum yang disebut tarjih, yakni memakai dalil yang lebih kuat dari dua dalil yang (seolah-olah) bertentangan untuk menentukan hukum sebuah perkara. Dalam konsep tarjih, jumhur ulama sepakat bahwa jika ada pertentangan antara dalil Quran dan Hadits, maka yang dimenangkan adalah al-Quran. Hemat penulis, hadits larangan poligami ini merupakan qarinah yang me-malingkan derajat perintah dalam ayat poligami di atas, dari makna wajib menjadi mubah, sebatas kebolehan. Oleh karena itu, eksistensi hadits tersebut tidak lantas meng-haramkan poligami.
Selain itu, ketidak harmonisan rumah tangga dan ketidak mampuan suami berbuat adil pada istri-istrinya, sering dijadikan alasan untuk melarang poligami, karena dianggap menyalahi kemaslahatan yang menjadi tujuan pokok ditetapkannya hukum Islam. Sebaliknya, dalam pandangan penulis kasus semacam itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang poligami. Logikanya, ketidakharmonisan rumah tangga, ketidak-mampuan berbuat adil terhadap istri, sexual abuse dan penelantaran anak juga sering terjadi dalam perkawinan monogami. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar untuk mengharamkan perkawinan. Oleh karenanya, kasus family error dalam keluarga produk perkawinan poligami, tidak dapat digunakan untuk melarang ajaran poligami secara umum. Karena kenyataannya, masih banyak orang yang sanggup membahagiakan keluarga hasil perkawinan poligaminya.
* Tulisan ini disulih dari www.jatim.go.id
** KH. Mahmudi Ambar adalah pengasuh pesantren Al-Muniroh Gresik-Jawa Timur.
Pro-kontra tentang kebolehan poligami kembali menyeruak, meski bukan ter-masuk polemik baru, namun isu poligami saat ini gaungnya lebih mengguncang. Maklum, yang baru saja berpoligami adalah seorang publik figur sekaliber Aa Gym yang jangkauan pengaruhnya menembus semua lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan Pre-siden SBY dan Menteri Pemberdayaan Perempuan sempat ‘kebakaran jenggot’ sebab peristiwa itu.
Sejarah mencatat, praktik poligami sebenarnya sudah berlaku pada bangsa-bangsa tertentu sebelum kedatangan Islam. Praktik semacam ini juga disunahkan pada umat Yahudi, disyariatkan pada bangsa Persi, dan bahkan pada bangsa Arab Jahiliyah sendiri, sebelum kedatangan Islam, praktik poligami sudah marak. Di China, budaya mem-perbanyak selir Kaisar pada setiap dinasti adalah cerminan nyata praktik poligami. Pe-jabat tinggi kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara juga tidak sedikit yang berpoligami, dengan istilah yang kita kenal sebagai gundik.
Kini, di Indonesia wacana penolakan terhadap konsep poligami kembali me-nyeruak, karena dalam praktiknya, poligami justru dianggap menyengsarakan istri dan cita-cita perkawinan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, terasa jauh api dari panggang. Mekanisme pertahanan terhadap maraknya poligami itu rencananya juga akan dilakukan dengan lebih memperketat lagi syarat-syarat poligami yang sudah ada dalam UU No.1 tahun 1974. Bahkan pemerintah juga sudah mewacanakan perluasan larangan poligami untuk pejabat Negara.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah dengan dalih ketidak harmonisan rumah tangga, serta merta ajaran poligami dapat dibatalkan. Untuk mengurai per-masalahan tersebut, Penulis mencoba mendudukkannya secara proporsional dengan mengutip ayat yang berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 3: 3)
Ayat di atas adalah dalil legitimasi poligami yang paling jelas (Sharih) dalam ranah istidlal hukum Islam. Jika dianalisis dari semantik lughawinya ada beberapa hukum yang terkandung di dalamnya. Firman di atas mengindikasikan kebolehan seorang laki-laki menikah lebih dari satu, dengan batas maksimal empat. Dalam penunjukan hukumnya, ayat di atas menggunakan kalimat perintah (fi’il amr). Dalam kaidah Ushul Fikih kalimat perintah menunjukkan arti wajib, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari makna penunjukkan awal.
Dalil naqliy yang sering digunakan untuk menolak konsep poligami adalah hadits Rasul yang malarang Ali Bin Abi Thalib menduakan istrinya, Fatimah yang notabene adalah putri Rasul. Hadits ini dianggap sebagai representasi perasaan Rasul yang ternyata juga tidak berkenan terhadap praktik poligami.
Dalam pandangan penulis, hadits tersebut tidak lantas menasakh (baca: me-nonaktifkan) hukum yang terkandung dalam ayat al-Quran yang telah penulis sitir di atas. Dalam konsep ushul fikih ada metode istinbath hukum yang disebut tarjih, yakni memakai dalil yang lebih kuat dari dua dalil yang (seolah-olah) bertentangan untuk menentukan hukum sebuah perkara. Dalam konsep tarjih, jumhur ulama sepakat bahwa jika ada pertentangan antara dalil Quran dan Hadits, maka yang dimenangkan adalah al-Quran. Hemat penulis, hadits larangan poligami ini merupakan qarinah yang me-malingkan derajat perintah dalam ayat poligami di atas, dari makna wajib menjadi mubah, sebatas kebolehan. Oleh karena itu, eksistensi hadits tersebut tidak lantas meng-haramkan poligami.
Selain itu, ketidak harmonisan rumah tangga dan ketidak mampuan suami berbuat adil pada istri-istrinya, sering dijadikan alasan untuk melarang poligami, karena dianggap menyalahi kemaslahatan yang menjadi tujuan pokok ditetapkannya hukum Islam. Sebaliknya, dalam pandangan penulis kasus semacam itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang poligami. Logikanya, ketidakharmonisan rumah tangga, ketidak-mampuan berbuat adil terhadap istri, sexual abuse dan penelantaran anak juga sering terjadi dalam perkawinan monogami. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar untuk mengharamkan perkawinan. Oleh karenanya, kasus family error dalam keluarga produk perkawinan poligami, tidak dapat digunakan untuk melarang ajaran poligami secara umum. Karena kenyataannya, masih banyak orang yang sanggup membahagiakan keluarga hasil perkawinan poligaminya.
* Tulisan ini disulih dari www.jatim.go.id
** KH. Mahmudi Ambar adalah pengasuh pesantren Al-Muniroh Gresik-Jawa Timur.
Kurban Transdimensional*
Oleh: Kurdi Muhammad
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin yang berbahagia, Khatib tidak pernah bosan untuk terus berwasiat agar kita semua dapat senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah S.W.T. Sebaliknya, Khatib juga berharap hadirin tidak pernah bosan mendengar seruan taqwa, lebih-lebih dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
Hari ini adalah hari raya kedua di tahun 1428 H ini. Manisnya Idul fitri sudah kita rasakan bersama. Kini saatnya keharuan Idul Adha menusuk relung hati kita yang terdalam. Syukur kepada Allah yang mempertemukan kita kembali dengan hari yang diberkahi ini. Untaian takbir dan tahmid yang mengiringi hari besar ini tak jarang membuat kita menangis tersedu-sedu. Tentu saja menangis bukan karena cengeng, melainkan menangis karena kita sadar bahwa betapa kecil dan lemahnya kita disandingkan dengan Allah yang Akbar.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin, hari raya Idhul Adha yang juga biasa disebut hari raya kurban memiliki dasar argumentasi yang qath’iy dan akar kesejarahan yang sangat kuat. Allah berfirman:
“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah,” (al-Kautsar:1- 2)
Sayyid Quthb dalam tafsirnya fi Dzilalil Qur’an (2001: Jil. 12, 360-361) menjelaskan bahwa setelah diberi penegasan ayat pertama tentang pemberian nikmat yang melimpah ruah dari Allah, Ayat kedua ini adalah bentuk kesyukuran yang merupakan hak pertama Allah. Dalam arti, hak keikhlasan dan memurnikan ibadah hanya tertuju kepada-Nya dengan menunaikan shalat dan menyembelih kurban karena-Nya.
Sayyid Quthb menambahkan, bahwa ajaran berkurban menunjukkan perhatian agama Islam yang sangat besar untuk membersihkan pandangan hidup dan hati nurani dari penyakit syirik dan bekas-bekasnya. Hal itu misalnya, tercermin dari praktik berkurban yang tidak membolehkan menyembelih binatang kurban tanpa menyebut nama Allah.
Islam adalah agama tauhid yang tulus, murni dan jelas. Tauhid adalah hak Allah yang paling asasi. Oleh karena itu, Islam berusaha memberantas segala bentuk kemusyrikan dengan segala simbolnya, di manapun berada. Baik yang ada di dalam hati, yang merayap dalam tradisi, lebih-lebih yang tampak dalam peribadatan.
Allahu Akbar 3x
Hadirin yang dirahmati Allah, selain memiliki dimensi purifikasi tauhid, dilihat dari aspek sejarahnya, seremoni berkurban juga mencerminkan prinsip hidup yang mulia. Simak saja cerita tentang perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya, yang menjadi inspirasi disyari’atkannya berkurban. Allah berfirman:
“Maka tatkala ia (Isma’il) telah mencapai usia berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ ia (Ismail) menjawab: ‘Hai Bapakku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; engkau akan mendapatiku, insya Allah termasuk para penyabar.’ (QS. Ash-Shaffat; 37)
Terlepas dari siapakah putra Ibrahim yang hendak disembelih, Ismail atau Ishaq, ayat ini menggambarkan keikhlasan seorang Bapak dan Anak yang berkadar luar biasa. Ibrahim yang baru memiliki putra, setelah sekian lama tidak dikaruniai seorang anak, tanpa berfikir panjang mentaati perintah Allah meskipun hanya disampaikan dalam bentuk mimpi. Demikian juga putranya, tanpa berdebat panjang ia langsung menyanggupi apa yang diisyaratkan oleh Allah melalui mimpi ayahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang bernar-benar mukhlis seutuhnya.
Untuk menjadi orang mukhlis seutuhnya, menurut khatib, kita tidak perlu menunggu menjadi Nabi terlebih dahulu seperti Ibrahim. Khatib yakin, Ibrahim dan putranya dapat melakukan hal itu bukan karena status kenabiannya, lebih dari itu, karena memang mereka merasakan kedekatan dengan Allah dan mampu menahan hawa nafsunya. Prof. Hamka dalam tafsirnya al-Azhar misalnya, ia menyebutkan, sejatinya hati Ibrahim ketika itu bertempur di antara dua cinta, yakni cinta kepada Allah dan cinta kepada anaknya. Dan akhirnya ia memenangkan cintanya kepada Allah (Hamka, 1993: Jil. 8, 6105). Usaha dan proses untuk mendekatkan diri kepada Allah inilah yang kemudian disebut sebagai qurban/kurban, yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja qa ru ba yang berarti mendekat.
Dalam konteks cerita Ibrahim dan kurban yang dilakukan dengan menyembelih binatang, titik tekannya bukan pada binatang sembelihan yang dikurbankan untuk Allah. Tapi kerelaan menjalankan perintah Allah dengan memberikan sesuatu yang paling dicintai itulah makna sesungguhnya berkurban. Oleh karena itu, dalam arti luas, orang yang mampu dan mau mendermakan sesuatu yang sangat dicintainya demi Allah, maka sesungguhnya ia telah berkurban.
Allahu Akbar 3x
Hadirin rahimakumullah, pada zaman Nabi Ibrahim hidup, hampir seluruh bangsa di dunia, masyarakatnya rela mempersembahkan nyawa manusia untuk Tuhan yang disembah. Di Mesir misalnya, gadis cantik dipersembahkan untuk Dewa sungai Nil. Di Irak, bayi dikurbankan untuk Dewa Baal. Sementara bangsa Viking, selalu mempersembahkan ‘Kyai’ atau tokoh agamanya untuk Dewa Odion (dewa perang).
Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab, perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya yang kemudian dibatalkan, menunjukkan bahwa jiwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai sesaji kepada-Nya. Hal itu karena kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, sehingga Dia melarang persembahan manusia sebagai korban (Shihab, 2004: Vol. 12, 65).
Selain itu, cerita Ibrahim dan putranya tersebut hendaknya menyadarkan kita untuk tidak takut mati dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar. Kalaupun perintah itu tidak dibatalkan, Ibrahim tidak akan rapuh melihat kematian putranya. Apalagi putranya yang sudah sejak awal justru berserah diri dan ikhlas kalaupun disembelih. Hal itu semata-mata dilakukan karena mereka meyakini kebesaran Allah dan kebenaran perintah-Nya.
Kematian adalah sesuatu yang niscaya. Sepintar dan segesit apapun kita berusaha menghindarinya, pada akhirnya akan bertemu juga. Hanya saja, kita mau mati dengan cara bagaimana itu terserah kita, khusnul khatimah atau su’ul khatimah, mati di jalan Allah atau mati di jalan Syaitan. Kematian ibarat rasa lapar dan dahaga yang pada gilirannya akan menghampiri kita. Umat Islam harus berani mati, lebih-lebih mati dalam rangka menjalankan perintah Allah. Hamka pernah mengatakan, kematian yang paling indah adalah kematian karena menjalankan perintah Allah.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin yang dimulyakan Allah, lalu Bagaimana dengan diri kita? Sudahkah sebagai orang tua, kita mampu berbuat seperti Ibrahim? Atau sebaliknya, sebagai seorang anak, sejauh mana usaha kita untuk dapat meniru putra Ibrahim? Tidak sepatutnya, kita sebagai orang tua hanya menuntut anak kita berperilaku seperti Ismail, jika perilaku kita sendiri masih mirip Namrudz. Sebaliknya, sebagai seorang anak, tidak etis kita menuntut orang tua menjadi seperti Ibrahim, sementara kita sendiri masih berperilaku seperti Malin Kundang. Bersama mari kita mengoreksi diri masing-masing. Mudah-mudahan, mulai hari ini kita dapat menjadi Ibrahim-Ibrahim baru yang mampu menciptakan kisah yang mengharu biru.
Wal akhir, mudah-mudahan kita diberi kesempatan untuk kembali menikmati kesyahduan Idhul Adha tahun mendatang. Alhamdulillahi Rabbil A’lamin. Al-sholatu wa salamu ala Muhammadin wa a’la alihi wa sahbihi ajmain.
*Naskah Khutbah Hari Raya Idul Adha 1428 H
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin yang berbahagia, Khatib tidak pernah bosan untuk terus berwasiat agar kita semua dapat senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah S.W.T. Sebaliknya, Khatib juga berharap hadirin tidak pernah bosan mendengar seruan taqwa, lebih-lebih dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
Hari ini adalah hari raya kedua di tahun 1428 H ini. Manisnya Idul fitri sudah kita rasakan bersama. Kini saatnya keharuan Idul Adha menusuk relung hati kita yang terdalam. Syukur kepada Allah yang mempertemukan kita kembali dengan hari yang diberkahi ini. Untaian takbir dan tahmid yang mengiringi hari besar ini tak jarang membuat kita menangis tersedu-sedu. Tentu saja menangis bukan karena cengeng, melainkan menangis karena kita sadar bahwa betapa kecil dan lemahnya kita disandingkan dengan Allah yang Akbar.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin, hari raya Idhul Adha yang juga biasa disebut hari raya kurban memiliki dasar argumentasi yang qath’iy dan akar kesejarahan yang sangat kuat. Allah berfirman:
“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah,” (al-Kautsar:1- 2)
Sayyid Quthb dalam tafsirnya fi Dzilalil Qur’an (2001: Jil. 12, 360-361) menjelaskan bahwa setelah diberi penegasan ayat pertama tentang pemberian nikmat yang melimpah ruah dari Allah, Ayat kedua ini adalah bentuk kesyukuran yang merupakan hak pertama Allah. Dalam arti, hak keikhlasan dan memurnikan ibadah hanya tertuju kepada-Nya dengan menunaikan shalat dan menyembelih kurban karena-Nya.
Sayyid Quthb menambahkan, bahwa ajaran berkurban menunjukkan perhatian agama Islam yang sangat besar untuk membersihkan pandangan hidup dan hati nurani dari penyakit syirik dan bekas-bekasnya. Hal itu misalnya, tercermin dari praktik berkurban yang tidak membolehkan menyembelih binatang kurban tanpa menyebut nama Allah.
Islam adalah agama tauhid yang tulus, murni dan jelas. Tauhid adalah hak Allah yang paling asasi. Oleh karena itu, Islam berusaha memberantas segala bentuk kemusyrikan dengan segala simbolnya, di manapun berada. Baik yang ada di dalam hati, yang merayap dalam tradisi, lebih-lebih yang tampak dalam peribadatan.
Allahu Akbar 3x
Hadirin yang dirahmati Allah, selain memiliki dimensi purifikasi tauhid, dilihat dari aspek sejarahnya, seremoni berkurban juga mencerminkan prinsip hidup yang mulia. Simak saja cerita tentang perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya, yang menjadi inspirasi disyari’atkannya berkurban. Allah berfirman:
“Maka tatkala ia (Isma’il) telah mencapai usia berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ ia (Ismail) menjawab: ‘Hai Bapakku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; engkau akan mendapatiku, insya Allah termasuk para penyabar.’ (QS. Ash-Shaffat; 37)
Terlepas dari siapakah putra Ibrahim yang hendak disembelih, Ismail atau Ishaq, ayat ini menggambarkan keikhlasan seorang Bapak dan Anak yang berkadar luar biasa. Ibrahim yang baru memiliki putra, setelah sekian lama tidak dikaruniai seorang anak, tanpa berfikir panjang mentaati perintah Allah meskipun hanya disampaikan dalam bentuk mimpi. Demikian juga putranya, tanpa berdebat panjang ia langsung menyanggupi apa yang diisyaratkan oleh Allah melalui mimpi ayahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang bernar-benar mukhlis seutuhnya.
Untuk menjadi orang mukhlis seutuhnya, menurut khatib, kita tidak perlu menunggu menjadi Nabi terlebih dahulu seperti Ibrahim. Khatib yakin, Ibrahim dan putranya dapat melakukan hal itu bukan karena status kenabiannya, lebih dari itu, karena memang mereka merasakan kedekatan dengan Allah dan mampu menahan hawa nafsunya. Prof. Hamka dalam tafsirnya al-Azhar misalnya, ia menyebutkan, sejatinya hati Ibrahim ketika itu bertempur di antara dua cinta, yakni cinta kepada Allah dan cinta kepada anaknya. Dan akhirnya ia memenangkan cintanya kepada Allah (Hamka, 1993: Jil. 8, 6105). Usaha dan proses untuk mendekatkan diri kepada Allah inilah yang kemudian disebut sebagai qurban/kurban, yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja qa ru ba yang berarti mendekat.
Dalam konteks cerita Ibrahim dan kurban yang dilakukan dengan menyembelih binatang, titik tekannya bukan pada binatang sembelihan yang dikurbankan untuk Allah. Tapi kerelaan menjalankan perintah Allah dengan memberikan sesuatu yang paling dicintai itulah makna sesungguhnya berkurban. Oleh karena itu, dalam arti luas, orang yang mampu dan mau mendermakan sesuatu yang sangat dicintainya demi Allah, maka sesungguhnya ia telah berkurban.
Allahu Akbar 3x
Hadirin rahimakumullah, pada zaman Nabi Ibrahim hidup, hampir seluruh bangsa di dunia, masyarakatnya rela mempersembahkan nyawa manusia untuk Tuhan yang disembah. Di Mesir misalnya, gadis cantik dipersembahkan untuk Dewa sungai Nil. Di Irak, bayi dikurbankan untuk Dewa Baal. Sementara bangsa Viking, selalu mempersembahkan ‘Kyai’ atau tokoh agamanya untuk Dewa Odion (dewa perang).
Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab, perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya yang kemudian dibatalkan, menunjukkan bahwa jiwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai sesaji kepada-Nya. Hal itu karena kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, sehingga Dia melarang persembahan manusia sebagai korban (Shihab, 2004: Vol. 12, 65).
Selain itu, cerita Ibrahim dan putranya tersebut hendaknya menyadarkan kita untuk tidak takut mati dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar. Kalaupun perintah itu tidak dibatalkan, Ibrahim tidak akan rapuh melihat kematian putranya. Apalagi putranya yang sudah sejak awal justru berserah diri dan ikhlas kalaupun disembelih. Hal itu semata-mata dilakukan karena mereka meyakini kebesaran Allah dan kebenaran perintah-Nya.
Kematian adalah sesuatu yang niscaya. Sepintar dan segesit apapun kita berusaha menghindarinya, pada akhirnya akan bertemu juga. Hanya saja, kita mau mati dengan cara bagaimana itu terserah kita, khusnul khatimah atau su’ul khatimah, mati di jalan Allah atau mati di jalan Syaitan. Kematian ibarat rasa lapar dan dahaga yang pada gilirannya akan menghampiri kita. Umat Islam harus berani mati, lebih-lebih mati dalam rangka menjalankan perintah Allah. Hamka pernah mengatakan, kematian yang paling indah adalah kematian karena menjalankan perintah Allah.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin yang dimulyakan Allah, lalu Bagaimana dengan diri kita? Sudahkah sebagai orang tua, kita mampu berbuat seperti Ibrahim? Atau sebaliknya, sebagai seorang anak, sejauh mana usaha kita untuk dapat meniru putra Ibrahim? Tidak sepatutnya, kita sebagai orang tua hanya menuntut anak kita berperilaku seperti Ismail, jika perilaku kita sendiri masih mirip Namrudz. Sebaliknya, sebagai seorang anak, tidak etis kita menuntut orang tua menjadi seperti Ibrahim, sementara kita sendiri masih berperilaku seperti Malin Kundang. Bersama mari kita mengoreksi diri masing-masing. Mudah-mudahan, mulai hari ini kita dapat menjadi Ibrahim-Ibrahim baru yang mampu menciptakan kisah yang mengharu biru.
Wal akhir, mudah-mudahan kita diberi kesempatan untuk kembali menikmati kesyahduan Idhul Adha tahun mendatang. Alhamdulillahi Rabbil A’lamin. Al-sholatu wa salamu ala Muhammadin wa a’la alihi wa sahbihi ajmain.
*Naskah Khutbah Hari Raya Idul Adha 1428 H
Model-model Studi Islam
Oleh: Kurdi Muhammad
Belakangan ini menarik membincang masalah studi Islam (Islamic Stu-dies), tidak hanya karena memang Islam layak dikaji, akan tetapi lebih dari itu, di zaman yang serba terbuka semacam ini relevansi nilai-nilai Islam juga harus dapat ditampilkan secara rasional dan lebih terbuka. Lalu pertanyaannya, apakah selama ini relevansi nilai-nilai Islam tidak ditampilkan dengan rasional dan terbuka?
Jika dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya bukan tidak ada aktivisme yang memunculkan pencitraan terhadap Islam yang rasional dan terbuka. Namun yang menjadi persoalan adalah yang tampak lebih dominan adalah yang sebaliknya, pencitraan Islam yang asketis-esoteris yang miskin kritisisme.
Perkembangan zaman yang semakin cepat dan mengglobal, telah mem-bawa dampak yang juga luar biasa pada perkembangan studi Islam. Kita harus jujur, bahwa dalam hal-hal tertentu umat Islam tertinggal jauh dari Negara-negara Barat. Dalam perumusan paradigma ilmiah dan teori-teori social-keagamaan mi-salnya, umat Islam masih tertinggal. Padahal tren dunia saat ini cenderung me-ngikuti paradigma yang telah dikembangkan oleh dunia Barat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka umat Islam akan dihadapkan pada fenomena yang semacam itu. Islam dihadapkan pada pilihan antara bersikap terbuka terhadap teori-teori Barat yang sudah terbukti ampuh menghadirkan gemerlap modernitas ataukah tetap mempertahankan tradisi lama dengan dalih Barat menyesatkan. Dari tesis se-macam itu, dapat dikembangkan menjadi sebuah pertanyaan, haruskah Islam me-nyesuaikan dengan teori-teori semacam itu ataukah teori-teori itu yang harus me-nyesuaikan dengan Islam? Sebuah pertanyaan yang menurut penulis dilematis.
Kembali ke masalah studi Islam, dihadapkan pada problem-problem pa-radigmatik yang pelik semacam itu, kemudian muncul beberapa tokoh yang me-lakukan reorientasi, kalau tidak mau dikatam penafsiran ulang, studi Islam. Untuk tidak menyebut semuanya, Fazlur Rahman dan Hassan Hanafi kiranya dapat di-jadikan sebagai prototipe tokoh yang concern dalam masalah itu. Reorientasi itu dilakukan tidak hanya mengkaji Islam dari sudut paradigma doktriner, lebh dari itu adopsi teori-teori social muatkhir juga dikembangkan, tentu saja dengan tetap mengembangkan kritisisme. Tindakan semcam itu, menurut mereka, dilakukan a-gar Islam tetap relevan dan tidak tertinggal terlalu jauh.
Corak Studi Islam Kontemporer
Lanskap studi Islam kontemporer sangat beragam. Ada banyak jenis me-todologi dan pendekatan yang digunakan dalam men-studi Islam kontemporer, se-cara matematis penulis belum menemukan penelitian yang secara pasti me-ngungkap berapa jumlah metodologi dan pendekatan itu, jumlahnya bisa ratusan, bahkan ribuan. Penulis rasa kita tidak perlu tahu jumlahnya, karena yang ter-penting sebetulnya kita paham karakteristiknya secara umum.
Namun setidak-tidaknya, jumlah metodologi dan pendekatan yang sede-mikian itu dapat diperas menjadi dua poros utama, yang dalam bahasa Amin Ab-dullah disebut sebagai pendekatan doktriner-normatif dan pendekatan historis –kritis . Pendekatan yang disebut pertama bersifat mutlak dan akan selalu ada, karena mainstream pendekatan ini adalah pengkajian secara tekstual dan doktrinal-teologis terhadap wahyu. Sementara pendekatan historis kritis bertumpu pada telaah proses keberagamaan manusia yang multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan filosofis (berusaha melihat fenomena agama sampai pada pe-mahaman yang mengakar), sosiologis (kesadaran bahwa agama tidak hanya me-ngatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tapi juga melibatkan kesadaran berkelompok), antropologis (kesadaran terhadap pencarian asal-usul agama), kul-tural (kesadaran bahwa penetrasi agama akan selalu mengusung dan melawan kultur masyarakat tertentu), historis (perjalanan agama senantiasa terikat ruang dan waktu) bahkan ekonomis.
Proses transformasi dari pendekatan doktriner-normatif ke pendekatan historis-kritis terjadi pada penghujung abad ke-19 dan tampak lebih jelas pada paruh abad ke-20. Pada saat itu terjadi pergeseran pemahaman paradigmatik tentang agama, dari yang dulunya terbatas pada idealitas, kemudian menjadi his-torisitas, dai yang hanya berkisar pada doktrin mengarah ke entitas sosiologis, dan dari diskursus esensi kea rah eksistensi.
Pendekatan doktriner-normatif menghasilkan pemahaman yang skriptualis atau tekstualis, yang mencerminkan ketertundukan pada makna teks wahyu yang dianggap sebagai representasi Pewahyu. Produk nyata dari pendekatan ini adalah kaidah-kaidah fikih dan ushul fikih. Sementara pendekatan histories-kritis akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan teori, kebudayaan, peradaban dan ins-titusi-institusi.
Doktriner-Normatif Vs Historis-Kritis?
Meski tidak seharusnya dipertentangkan, secara otomatis, lebih-lebih di Indonesia, terjadi ketegangan antara pendekatan berparadigma doktriner-normatif dan histories-kritis. Penganut kedua ‘madzhab’ ini tak jarang terlibat dalam tensi itu. Selama pertentangan itu mengarah pada atmosfer keragaman pemahaman yang kondusif, kreatif dan konstruktif, tidak ada masalah menurut penulis. Ma-salah muncul pada saat penyikapan terhadap perbedaan itu mengarah pada stig-matisasi dan labelisasi yang cenderung merendahkan satu sama lain.
Fakta di lapangan menunjukkan saling pertentangan antarkeduanya nyata adanya. Golongan normatif-doktriner menyebut golongan historis-kritis sebagai penganut paham reduksionis, yakni pemahaman keagamaan yang hanya mene-kankan pada aspek lahiriah-eksternal saja, kurang kurang begitu memahami, me-nyentuh dan menyelami aspek batiniah-esoteris serta makna terdalam dan mo-ralitas yang terkandung dalam agama itu sendiri. Sebaliknya, golongan yang me-nganut pemahaman historis-kritis menyebut pemahaman dan corak pendekatan doktriner-normatif sebagai pemahaman keagamaan yang cenderung absolutis. Hal ini menurut mereka, karena pemahaman doktriner-normatif mengabsolutkan teks, tanpa terlebih dahulu berusaha memahami latar belakang mengapa teks tersebut sampai diturunkan.
Fenomena yang terjadi di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Golongan historis-kritis menyebut golongan normative-doktriner sebagai pemahaman garis keras, fundamental, bahkan beberapa waktu yang lalu karena maraknya terorisme, sempat juga diasosiasikan sebagai teroris. Sebaliknya, golongan pemahaman nor-matif-doktriner menyebut pemahaman histories-kritis sebagai orientalis, antek Ba-rat bahkan perusak agama.
Sebenarnya, kedua model pemahaman tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi. Mata uang menjadi tidak laku di pasar, jika sisi yang lain tidak ada, apalagi kalau sisi yang satu menjelek-jelekkan sisi yang lain. Meminjam bahasa Amin Abdullah, kedua poros utama model pemahaman itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi secara tegas dapat dibedakan.
Wa Allahu a’lamu bi al-sawab
Belakangan ini menarik membincang masalah studi Islam (Islamic Stu-dies), tidak hanya karena memang Islam layak dikaji, akan tetapi lebih dari itu, di zaman yang serba terbuka semacam ini relevansi nilai-nilai Islam juga harus dapat ditampilkan secara rasional dan lebih terbuka. Lalu pertanyaannya, apakah selama ini relevansi nilai-nilai Islam tidak ditampilkan dengan rasional dan terbuka?
Jika dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya bukan tidak ada aktivisme yang memunculkan pencitraan terhadap Islam yang rasional dan terbuka. Namun yang menjadi persoalan adalah yang tampak lebih dominan adalah yang sebaliknya, pencitraan Islam yang asketis-esoteris yang miskin kritisisme.
Perkembangan zaman yang semakin cepat dan mengglobal, telah mem-bawa dampak yang juga luar biasa pada perkembangan studi Islam. Kita harus jujur, bahwa dalam hal-hal tertentu umat Islam tertinggal jauh dari Negara-negara Barat. Dalam perumusan paradigma ilmiah dan teori-teori social-keagamaan mi-salnya, umat Islam masih tertinggal. Padahal tren dunia saat ini cenderung me-ngikuti paradigma yang telah dikembangkan oleh dunia Barat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka umat Islam akan dihadapkan pada fenomena yang semacam itu. Islam dihadapkan pada pilihan antara bersikap terbuka terhadap teori-teori Barat yang sudah terbukti ampuh menghadirkan gemerlap modernitas ataukah tetap mempertahankan tradisi lama dengan dalih Barat menyesatkan. Dari tesis se-macam itu, dapat dikembangkan menjadi sebuah pertanyaan, haruskah Islam me-nyesuaikan dengan teori-teori semacam itu ataukah teori-teori itu yang harus me-nyesuaikan dengan Islam? Sebuah pertanyaan yang menurut penulis dilematis.
Kembali ke masalah studi Islam, dihadapkan pada problem-problem pa-radigmatik yang pelik semacam itu, kemudian muncul beberapa tokoh yang me-lakukan reorientasi, kalau tidak mau dikatam penafsiran ulang, studi Islam. Untuk tidak menyebut semuanya, Fazlur Rahman dan Hassan Hanafi kiranya dapat di-jadikan sebagai prototipe tokoh yang concern dalam masalah itu. Reorientasi itu dilakukan tidak hanya mengkaji Islam dari sudut paradigma doktriner, lebh dari itu adopsi teori-teori social muatkhir juga dikembangkan, tentu saja dengan tetap mengembangkan kritisisme. Tindakan semcam itu, menurut mereka, dilakukan a-gar Islam tetap relevan dan tidak tertinggal terlalu jauh.
Corak Studi Islam Kontemporer
Lanskap studi Islam kontemporer sangat beragam. Ada banyak jenis me-todologi dan pendekatan yang digunakan dalam men-studi Islam kontemporer, se-cara matematis penulis belum menemukan penelitian yang secara pasti me-ngungkap berapa jumlah metodologi dan pendekatan itu, jumlahnya bisa ratusan, bahkan ribuan. Penulis rasa kita tidak perlu tahu jumlahnya, karena yang ter-penting sebetulnya kita paham karakteristiknya secara umum.
Namun setidak-tidaknya, jumlah metodologi dan pendekatan yang sede-mikian itu dapat diperas menjadi dua poros utama, yang dalam bahasa Amin Ab-dullah disebut sebagai pendekatan doktriner-normatif dan pendekatan historis –kritis . Pendekatan yang disebut pertama bersifat mutlak dan akan selalu ada, karena mainstream pendekatan ini adalah pengkajian secara tekstual dan doktrinal-teologis terhadap wahyu. Sementara pendekatan historis kritis bertumpu pada telaah proses keberagamaan manusia yang multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan filosofis (berusaha melihat fenomena agama sampai pada pe-mahaman yang mengakar), sosiologis (kesadaran bahwa agama tidak hanya me-ngatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tapi juga melibatkan kesadaran berkelompok), antropologis (kesadaran terhadap pencarian asal-usul agama), kul-tural (kesadaran bahwa penetrasi agama akan selalu mengusung dan melawan kultur masyarakat tertentu), historis (perjalanan agama senantiasa terikat ruang dan waktu) bahkan ekonomis.
Proses transformasi dari pendekatan doktriner-normatif ke pendekatan historis-kritis terjadi pada penghujung abad ke-19 dan tampak lebih jelas pada paruh abad ke-20. Pada saat itu terjadi pergeseran pemahaman paradigmatik tentang agama, dari yang dulunya terbatas pada idealitas, kemudian menjadi his-torisitas, dai yang hanya berkisar pada doktrin mengarah ke entitas sosiologis, dan dari diskursus esensi kea rah eksistensi.
Pendekatan doktriner-normatif menghasilkan pemahaman yang skriptualis atau tekstualis, yang mencerminkan ketertundukan pada makna teks wahyu yang dianggap sebagai representasi Pewahyu. Produk nyata dari pendekatan ini adalah kaidah-kaidah fikih dan ushul fikih. Sementara pendekatan histories-kritis akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan teori, kebudayaan, peradaban dan ins-titusi-institusi.
Doktriner-Normatif Vs Historis-Kritis?
Meski tidak seharusnya dipertentangkan, secara otomatis, lebih-lebih di Indonesia, terjadi ketegangan antara pendekatan berparadigma doktriner-normatif dan histories-kritis. Penganut kedua ‘madzhab’ ini tak jarang terlibat dalam tensi itu. Selama pertentangan itu mengarah pada atmosfer keragaman pemahaman yang kondusif, kreatif dan konstruktif, tidak ada masalah menurut penulis. Ma-salah muncul pada saat penyikapan terhadap perbedaan itu mengarah pada stig-matisasi dan labelisasi yang cenderung merendahkan satu sama lain.
Fakta di lapangan menunjukkan saling pertentangan antarkeduanya nyata adanya. Golongan normatif-doktriner menyebut golongan historis-kritis sebagai penganut paham reduksionis, yakni pemahaman keagamaan yang hanya mene-kankan pada aspek lahiriah-eksternal saja, kurang kurang begitu memahami, me-nyentuh dan menyelami aspek batiniah-esoteris serta makna terdalam dan mo-ralitas yang terkandung dalam agama itu sendiri. Sebaliknya, golongan yang me-nganut pemahaman historis-kritis menyebut pemahaman dan corak pendekatan doktriner-normatif sebagai pemahaman keagamaan yang cenderung absolutis. Hal ini menurut mereka, karena pemahaman doktriner-normatif mengabsolutkan teks, tanpa terlebih dahulu berusaha memahami latar belakang mengapa teks tersebut sampai diturunkan.
Fenomena yang terjadi di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Golongan historis-kritis menyebut golongan normative-doktriner sebagai pemahaman garis keras, fundamental, bahkan beberapa waktu yang lalu karena maraknya terorisme, sempat juga diasosiasikan sebagai teroris. Sebaliknya, golongan pemahaman nor-matif-doktriner menyebut pemahaman histories-kritis sebagai orientalis, antek Ba-rat bahkan perusak agama.
Sebenarnya, kedua model pemahaman tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi. Mata uang menjadi tidak laku di pasar, jika sisi yang lain tidak ada, apalagi kalau sisi yang satu menjelek-jelekkan sisi yang lain. Meminjam bahasa Amin Abdullah, kedua poros utama model pemahaman itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi secara tegas dapat dibedakan.
Wa Allahu a’lamu bi al-sawab
Seputar Klitoris dan Khitan Perempuan
By: Muhammad Kurdi
Jamal el-Bekarisk
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997, Vol 3 pada sub bab Khitan diterangkan sebagai berikut: Khitan (berasal dari akar kata arab khatana-yakhtanu-khatnan = memotong). Secara terminologi pengertian khitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Imam al-Mawardi, ulama fikih Mahzab Syafi’I, khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah membuang bagian dalam faraj yaitu kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd. Namun keduanya lazim disebut khitan. Sunat atau khitan perempuan dlm bhs medisnya disebut Clitoridectomy. Sedangkan dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan sebutan "Female Genital Mutilation" disingkat menjadi FGM.
Dari berbagai literatur yg penulis dapatkan, bahwa pendapat Imam Abu Hanifah mengenai berkhitan (sunat), yakni hukumnya sunat. Beliau berpedoman sebuah hadits yang bermaksud: “Berkhitan itu sunat bagi lelaki dan penghormatan bagi perempuan.” Referensi lain adalah hadits Abu Dawud, “bahwa Nabi Muhammad pernah berkata kepada seorang perempuan juru khitan anak perempuan, ‘sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suaminya”.
MELACAK JEJAK SEJARAH KHITAN
Khitan sesungguhnya kelanjutan dari tradisi Ibrahim AS. Dialah orang yang pertama kali dikhitan. Selain proses bedah kulit bersifat fisik, khitan Ibrahim juga dimaksudkan sebagai simbol dan ikatan perjanjian suci (mîtsâq) antara dia dengan Tuhannya, Allah. Seseorang tidak diperkenankan memasuki kawasan suci Kalam Ilahi sebelum mendapat "stempel Tuhan" berupa khitan. Khitan yang melambangkan kesucian itu kemudian diikuti pengikut Ibrahim, laki-laki dan perempuan, hingga kini. Para antropolog menemukan, budaya khitan telah populer di masyarakat semenjak pra-Islam yang dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan di Mesir Kuno abad ke-16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Pada abad ke-2 SM, khitan perempuan dijadikan ritual dalam prosesi perkawinan. Dalam penelitian lain ditemukan khitan telah dilakukan bangsa pengembara Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, tepatnya di Museum Batavia, terdapat benda kuno yang memperlihatkan zakar telah dikhitan.
Pada jaman Rumawi para budak perempuan diharuskan sunat. Masalahnya budak perempuan yang disunat nilainya jauh lebih tinggi, karena masih perawan.
Sunat bagi budak perempuan itu sama seperti juga segel, bahwa budak ini
masih gres belum dipakai begitu. Mereka memotong seluruh klitoris budak tsb
dengan menghilangkan bibir utama vagina. Lalu menempelkan kedua sisinya
dengan dijahit. Sehingga yang tersisa hanya lubang buatan sebesar batang
korek api. Ini dibutuhkan untuk menstruasi dan membuang air seni. Di
kemudian hari pada saat perempuan ini mau dipakai atau menikah; jahitan
atau segelnya bisa di buka lagi. Hal yang serupa dilakukan juga ketika
jaman Firaun dgn diketemukannya mumi perempuan yang telah disunat
TUJUAN KHITAN
Khitan bagi lelaki dilakukan dalam bentuk hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulit kepala penis. Sedangkan khitan bagi perempuan dilakukan berbeda-beda: hanya sebatas membasuh ujung klitoris; menusuk ujung klitoris dengan jarum; membuang sebagian klitoris; membuang seluruh klitoris; dan membuang labia minora (bibir kecil vagina) serta seluruh klitoris, kemudian hampir seluruh labia majora (bibir luar vagina) dijahit, kecuali sebesar ujung kelingking untuk pembuangan darah menstruasi.
Secara medis, khitan bagi lelaki memiliki implikasi positif. Lapisan kulit penis terlalu panjang sehingga sulit dibersihkan. Bila tidak dibersihkan, kotoran yang biasa disebut smegma mengumpul sehingga dapat menimbulkan infeksi pada penis serta kanker leher rahim pada perempuan yang disetubuhinya. Secara medis juga dibuktikan, bagian kepala penis peka terhadap rangsangan karena banyak mengandung syaraf erotis sehingga kepala penis yang tidak disunat lebih sensitif daripada yang disunat dan sunat membantu mencegah ejakulasi dini.
Secara medis, khitan bagi perempuan belum ditemukan keuntungannya. Praktik amputasi alat kelamin perempuan tidak terlepas dari nilai kultur masyarakat. Perempuan dianggap tidak berhak menikmati kepuasan seksual sebab dia hanya pelengkap kepuasan seksual lelaki. Di samping itu, sebagian masyarakat meyakini perempuan memiliki nafsu seksual lebih tinggi dibanding lelaki. Cara efektif untuk mereduksi seksual perempuan ini, menurut mereka, adalah dengan mengkhitannya.
HUKUM ISLAM
Al-Quran tidak menjelaskan khitan, namun ada beberapa hadis yang menerangkan hal itu. Pertama, riwayat dari Utsman bin Kulaib bahwa kakeknya datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata: "Aku telah masuk Islam." Lalu Nabi SAW bersabda: "Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah." Kedua, riwayat dari Harb bin Ismail: "Siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah besar." Ketiga, riwayat dari Abu Hurairah: "Bersih itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak." Keempat, riwayat dari Ibn Abbas: "Khitan itu disunahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan."
Meskipun banyak hadis menunjukkan pensyariatan khitan, ternyata itu belum memberi kejelasan secara pasti tentang status hukumnya. Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menegaskan, "Semua hadis yang berkaitan khitan perempuan adalah dha‘if, tidak ada satu pun yang shahih". Dengan demikian secara ex officio bisa dikatakan khitan perempuan merupakan masalah ijtihadiyah. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mendeskripsikan perbedaan ulama mazhab tentang hukum khitan. "Khitan bagi laki- laki menurut mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnah mu’akkad (sunah yang dekat kepada wajib), sedangkan khitan bagi perempuan dianggap kemuliaan, asal tidak berlebihan sehingga ia tetap mudah merasakan kenikmatan seksual. Menurut Imam Syafi’i, khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan.
Perumusan hukum khitan juga harus mempertimbangkan tujuan pensyariatan hukum. Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah mengatakan syariat Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia, di dunia dan akhirat. Cita kemaslahatan dapat direalisasikan jika lima unsur pokok dapat terpelihara, yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Mengikuti konsep di atas, tampak khitan lelaki bertujuan memelihara jiwa, baik suami maupun istrinya. Dengan mempertimbangkan hal ini, khitan bagi lelaki menjadi wajib demi mendatangkan kebaikan (maslahah) dan menghindari kerusakan (mafsadah).
Praktik khitan bagi perempuan di masyarakat agaknya dimaksudkan sebagai kontrol terhadap seksualitas perempuan. Dengan demikian, praktik khitan yang membuang sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam nalar masyarakat patriark. Sejumlah penelitian menemukan, praktik pemotongan klitoris menyebabkan perempuan mengalami kesulitan orgasme. Dengan teori tujuan pensyariatan hukum, disimpulkan praktik pemotongan klitoris menimbulkan kemudaratan sehingga tidak absah dilaksanakan. Hal ini berbeda dari praktik khitan yang hanya sekadar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada Ummu Athiyyah, tukang khitan perempuan di Madinah: "Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami." Dalam riwayat lain disebutkan: "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami." (HR Abu Daud)
Ada dua pendekatan dalam memahami hadis di atas. Pertama, dilihat dari asbab al-wurud hadis. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab terbiasa mengkhitan perempuan dengan membuang seluruh klitoris dengan alasan agar dapat mengurangi kelebihan seksual perempuan, yang pada gilirannya dapat memagari dekadensi moral masyarakat Arab ketika itu. Sewaktu Nabi mendengar Ummu Athiyyah mengkhitan dengan cara demikian, Nabi langsung menegur agar praktik khitannya harus diubah sebab dapat menimbulkan kurangnya kenikmatan seksual perempuan.
Kedua, redaksi (matan) hadis terdapat ungkapan isymii wa laa tunhikii (sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan). Kata isymam, secara etimologis, berarti mencium bau. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Nabi Muhammad SAW memerintahkan khitan perempuan dengan cara seperti halnya mencium bau sehingga tidak merusak klitoris. Sedangkan kata laa tunhikii merupakan lafaz larangan (al-nahy) yang bermakna pasti, artinya "pastikan jangan berlebihan". Dengan demikian secara teks dapat dipahami, Nabi tidak pernah memerintahkan khitan dengan merusak alat reproduksi. Justru sebaliknya, khitan yang diajarkan Nabi diharapkan dapat memberi keceriaan, kenikmatan, dan kepuasan seksual bagi perempuan. Menurut Islam, hak memperoleh kepuasan seksual antara lelaki dan perempuan sama. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami dan istri secara paralel (QS 2: 187).
ARGUMENTASI PENOLAKAN KAUM FEMINIS
Aktivis perempuan dan medis melihatnya sebagai suatu tindakan yang bisa merusak hak reproduksi perempuan. Bahkan, Kaum feminis menentang hadits-hadits khitan, dengan menyatakan bahwa sunat perempuan tidak dicantumkan dengan jelas di al qur’an. Adapun mengenai adanya (minimal) 2 hadits di atas (yang berarti merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an), juga ditolak dengan alasan sanad kurang kuat yang berakibat masing-masing imam mazhab tidak memiliki kesepakatan. Sebenarnya penolakan kaum feminis bisa dimengerti, jika kita melihat penyebab penolakan mereka.
Kaum feminis menolak sunat perempuan karena mereka berpedoman kepada sunat perempuan yang dilakukan di Afrika yang biasanya memotong atau menggunting seluruh klitoris dan menjahit bibir besar, hanya menyisakan sedikit lubang untuk kencing saja. Proses sunat seperti ini akan menghilangkan rangsangan seksual pada perempuan atau bahkan perempuan tersebut tidak dapat menikmati kehidupan seksualnya. Menurut kaum feminis, ini melanggar hak reproduksi kaum perempuan. Dalam tulisan "Khitan pada Bayi Perempuan, Sangat Berbahaya!" (Kompas, 28 Maret 2003), ditawarkan penghapusan praktik khitan bagi perempuan. Menurutnya, di samping merusak hak kesehatan reproduksi, hukum Islam pun dikesankan tidak mengatur khitan ini secara jelas. Apakah benar?
Aktivis Population Council, Lila Amalia, M.Kes., berpendapat bahwa khitan dapat mengurangi kenikmatan dalam berhubungan seksual. Menurut Lila, praktik khitan merupakan tradisi yang sudah dikenal lama dan diakui oleh agama-agama di dunia yaitu Islam, Yahudi, dan sebagian penganut Kristen. "Dalam beberapa tahun terakhir tuntutan penghapusan praktik khitan bagi perempuan makin menguat karena dinilai dapat merusak hak reproduksi kaum perempuan dan merampas kesehatan serta kepuasan seksual," jelasnya.
Hillary Clinton di konperensi kaum wanita sedunia di Beijing China (1995) menolak sunat perempuan ini. Di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa, kaum feminis telah berhasil mendorong pemerintah membuat undang-undang larangan sunat perempuan. Di Belanda, khitan pada perempuan diancam hukuman 12 tahun.
Dalam pandangan staf Menneg Pemberdayaan Perempuan Dra. Rini Mardjono, persoalan khitan bagi perempuan di Indonesia sudah menjadi bagian pembicaraan dunia sehingga pemerintah tak bisa mengelak. Sebagai bagian dari dunia, apalagi sudah masuk era globalisasi, Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari ketentuan WHO tentang masalah khitan bagi perempuan. Pemerintah Indonesia sendiri mengambil kebijakan WHO (Badan Kesehatan Dunia) untuk tidak membolehkan adanya ketentuan khitan bagi perempuan karena dinilai bertentangan dengan HAM.
Namun, di Eropa juga ada gerakan yang aktif mengkampanyekan khitan per-empuan, karena dengan tidak dikhitan, menurut mereka, gairah wanita akan seliar kuda. Maka tidak mengherankan jika disana ada banyak wanita yang memiliki Pria idaman La-in. Pada abad ke 19 di England, Dr Isaac Brown mengusulkan agar sebaiknya klitoris ce-wek itu dipotong dan dibuang saja, mirip seperti usus buntu. Karena ia melihat maraknya fenomena masturbasi.
MODEL-MODEL KHITAN PEREMPUAN
Khitan perempuan dibagi dalam dua kelompok yakni clitoridectomy dengan menghilangkan sebagian atau lebih dari alat kelamin luar yang termasuk di dalamnya menghilangkan sebagian atau seluruh klitoris dan sebagian bibir kecil vagina (labia minora). Cara lainnya adalah infibulation dengan menghilangkan seluruh klitoris serta sebagian atau seluruh labia minora lalu labia minora dijahit dan hampir menutupi seluruh vagina. Bagian terbuka disisakan sedikit sebesar batang korek api atau jari kelingking untuk pembuangan darah menstruasi dan saat perempuan menikah dipotong atau dibuka lagi.
Dari penelitian Population Council yang didanai USAID untuk meneliti praktik khitan perempuan di Indonesia memperlihatkan, khitan di Indonesia tidak seperti di Sudan yang menghilangkan seluruh klitoris lalu menjahit rapat-rapat vagina. Sunat perempuan di Indonesia yang dilakukan oleh dokter atau bidan itu hanya melukai klitoris, tidak menggunting atau memotong klitoris. Menurut keterangan badan keluarga berencana Indonesia, sekarang hampir tidak pernah dilakukan lagi. Sunat perempuan yang banyak dilakukan di Indonesia, umumnya dilakukan sangat sederhana: melukai sebagian kecil alat kelamin bagian dalam, bahkan kadang-kadang simbolis saja. Misalnya, sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak. Berdasarkan pemahaman mistik Jawa "kunyit" itu sendiri dipercayai sebagai simbol pembebasan seseorang dari kesialan hidup. Namun, tak sedikit yang melakukannya dengan memakai pisau, gunting, dan jarum jahit. di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak.
Prosedur sunat di daerah biasanya dilakukan oleh dukun dengan cara meletakkan kunyit dibawah klitoris atau diantara labia dan klitoris yang berfungsi sebagai landasan sekaligus antibiotika. Kemudian pemotongan atau penggoresan dilakukan dengan menggunakan peralatan seperti silet, pemes, gunting atau welat (Jawa: bambootajam). Berdasarkan laporan dari Amnesty International sekitar 130 juta yang disunat dan setiap harinya bertambah dua juta orang.
TARJIH
Secara garis besar pendapat ulama soal khitan bagi lelaki dan perempuan terbagi menjadi tiga kelompok yaitu yang mewajibkan, sunah, dan kehormatan (mubah). Namun, bagi Ketua Yayasan Assalam K.H. Drs. Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus, khitan bagi lelaki maupun perempuan merupakan sunah Nabi Muhammad, meski tradisinya sudah lama berlangsung sebelum Islam datang. Ketika Islam datang, pelaksanaan khitan tidak dilarang oleh Nabi, namun menetapkan dan mengikrarkan pelaksanaan khitan sebagai sunah termasuk perempuan.
Cara pelaksanaan khitan inilah yang menimbulkan permasalahan. Sebagian masyarakat beranggapan agama telah melegitimasi praktik khitan yang mengamputasi organ seksual perempuan. Padahal, agama mana pun tidak akan melegalisasi perusakan demikian. Oleh karena itu, jangan sampai karena praktik yang keliru lalu secara serta-merta tradisi indah yang bernilai ibadah dan beresensikan simbol ikatan suci dengan Allah itu diperangi begitu saja. Sebaiknya dicarikan jalan tengah, substansi khitan dipertahankan namun praktik kelirunya yang dihindari. Penawaran ini pada gilirannya menjadi tugas para ulama, dokter, dan kita semua untuk merumuskannya.
Jamal el-Bekarisk
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997, Vol 3 pada sub bab Khitan diterangkan sebagai berikut: Khitan (berasal dari akar kata arab khatana-yakhtanu-khatnan = memotong). Secara terminologi pengertian khitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Imam al-Mawardi, ulama fikih Mahzab Syafi’I, khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah membuang bagian dalam faraj yaitu kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd. Namun keduanya lazim disebut khitan. Sunat atau khitan perempuan dlm bhs medisnya disebut Clitoridectomy. Sedangkan dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan sebutan "Female Genital Mutilation" disingkat menjadi FGM.
Dari berbagai literatur yg penulis dapatkan, bahwa pendapat Imam Abu Hanifah mengenai berkhitan (sunat), yakni hukumnya sunat. Beliau berpedoman sebuah hadits yang bermaksud: “Berkhitan itu sunat bagi lelaki dan penghormatan bagi perempuan.” Referensi lain adalah hadits Abu Dawud, “bahwa Nabi Muhammad pernah berkata kepada seorang perempuan juru khitan anak perempuan, ‘sedikit sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suaminya”.
MELACAK JEJAK SEJARAH KHITAN
Khitan sesungguhnya kelanjutan dari tradisi Ibrahim AS. Dialah orang yang pertama kali dikhitan. Selain proses bedah kulit bersifat fisik, khitan Ibrahim juga dimaksudkan sebagai simbol dan ikatan perjanjian suci (mîtsâq) antara dia dengan Tuhannya, Allah. Seseorang tidak diperkenankan memasuki kawasan suci Kalam Ilahi sebelum mendapat "stempel Tuhan" berupa khitan. Khitan yang melambangkan kesucian itu kemudian diikuti pengikut Ibrahim, laki-laki dan perempuan, hingga kini. Para antropolog menemukan, budaya khitan telah populer di masyarakat semenjak pra-Islam yang dibuktikan dengan ditemukannya mumi perempuan di Mesir Kuno abad ke-16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Pada abad ke-2 SM, khitan perempuan dijadikan ritual dalam prosesi perkawinan. Dalam penelitian lain ditemukan khitan telah dilakukan bangsa pengembara Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan. Di Indonesia sendiri, tepatnya di Museum Batavia, terdapat benda kuno yang memperlihatkan zakar telah dikhitan.
Pada jaman Rumawi para budak perempuan diharuskan sunat. Masalahnya budak perempuan yang disunat nilainya jauh lebih tinggi, karena masih perawan.
Sunat bagi budak perempuan itu sama seperti juga segel, bahwa budak ini
masih gres belum dipakai begitu. Mereka memotong seluruh klitoris budak tsb
dengan menghilangkan bibir utama vagina. Lalu menempelkan kedua sisinya
dengan dijahit. Sehingga yang tersisa hanya lubang buatan sebesar batang
korek api. Ini dibutuhkan untuk menstruasi dan membuang air seni. Di
kemudian hari pada saat perempuan ini mau dipakai atau menikah; jahitan
atau segelnya bisa di buka lagi. Hal yang serupa dilakukan juga ketika
jaman Firaun dgn diketemukannya mumi perempuan yang telah disunat
TUJUAN KHITAN
Khitan bagi lelaki dilakukan dalam bentuk hampir sama di semua tempat, yaitu pemotongan kulit kepala penis. Sedangkan khitan bagi perempuan dilakukan berbeda-beda: hanya sebatas membasuh ujung klitoris; menusuk ujung klitoris dengan jarum; membuang sebagian klitoris; membuang seluruh klitoris; dan membuang labia minora (bibir kecil vagina) serta seluruh klitoris, kemudian hampir seluruh labia majora (bibir luar vagina) dijahit, kecuali sebesar ujung kelingking untuk pembuangan darah menstruasi.
Secara medis, khitan bagi lelaki memiliki implikasi positif. Lapisan kulit penis terlalu panjang sehingga sulit dibersihkan. Bila tidak dibersihkan, kotoran yang biasa disebut smegma mengumpul sehingga dapat menimbulkan infeksi pada penis serta kanker leher rahim pada perempuan yang disetubuhinya. Secara medis juga dibuktikan, bagian kepala penis peka terhadap rangsangan karena banyak mengandung syaraf erotis sehingga kepala penis yang tidak disunat lebih sensitif daripada yang disunat dan sunat membantu mencegah ejakulasi dini.
Secara medis, khitan bagi perempuan belum ditemukan keuntungannya. Praktik amputasi alat kelamin perempuan tidak terlepas dari nilai kultur masyarakat. Perempuan dianggap tidak berhak menikmati kepuasan seksual sebab dia hanya pelengkap kepuasan seksual lelaki. Di samping itu, sebagian masyarakat meyakini perempuan memiliki nafsu seksual lebih tinggi dibanding lelaki. Cara efektif untuk mereduksi seksual perempuan ini, menurut mereka, adalah dengan mengkhitannya.
HUKUM ISLAM
Al-Quran tidak menjelaskan khitan, namun ada beberapa hadis yang menerangkan hal itu. Pertama, riwayat dari Utsman bin Kulaib bahwa kakeknya datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata: "Aku telah masuk Islam." Lalu Nabi SAW bersabda: "Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah." Kedua, riwayat dari Harb bin Ismail: "Siapa yang masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah besar." Ketiga, riwayat dari Abu Hurairah: "Bersih itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, menggunting kuku, dan mencabut bulu ketiak." Keempat, riwayat dari Ibn Abbas: "Khitan itu disunahkan bagi laki-laki dan dimuliakan bagi perempuan."
Meskipun banyak hadis menunjukkan pensyariatan khitan, ternyata itu belum memberi kejelasan secara pasti tentang status hukumnya. Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menegaskan, "Semua hadis yang berkaitan khitan perempuan adalah dha‘if, tidak ada satu pun yang shahih". Dengan demikian secara ex officio bisa dikatakan khitan perempuan merupakan masalah ijtihadiyah. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mendeskripsikan perbedaan ulama mazhab tentang hukum khitan. "Khitan bagi laki- laki menurut mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnah mu’akkad (sunah yang dekat kepada wajib), sedangkan khitan bagi perempuan dianggap kemuliaan, asal tidak berlebihan sehingga ia tetap mudah merasakan kenikmatan seksual. Menurut Imam Syafi’i, khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan.
Perumusan hukum khitan juga harus mempertimbangkan tujuan pensyariatan hukum. Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah mengatakan syariat Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia, di dunia dan akhirat. Cita kemaslahatan dapat direalisasikan jika lima unsur pokok dapat terpelihara, yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Mengikuti konsep di atas, tampak khitan lelaki bertujuan memelihara jiwa, baik suami maupun istrinya. Dengan mempertimbangkan hal ini, khitan bagi lelaki menjadi wajib demi mendatangkan kebaikan (maslahah) dan menghindari kerusakan (mafsadah).
Praktik khitan bagi perempuan di masyarakat agaknya dimaksudkan sebagai kontrol terhadap seksualitas perempuan. Dengan demikian, praktik khitan yang membuang sebagian atau seluruh klitoris, bahkan menjahit labia majora menjadi dibenarkan dalam nalar masyarakat patriark. Sejumlah penelitian menemukan, praktik pemotongan klitoris menyebabkan perempuan mengalami kesulitan orgasme. Dengan teori tujuan pensyariatan hukum, disimpulkan praktik pemotongan klitoris menimbulkan kemudaratan sehingga tidak absah dilaksanakan. Hal ini berbeda dari praktik khitan yang hanya sekadar membasuh atau mencolek ujung klitoris dengan jarum. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada Ummu Athiyyah, tukang khitan perempuan di Madinah: "Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami." Dalam riwayat lain disebutkan: "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami." (HR Abu Daud)
Ada dua pendekatan dalam memahami hadis di atas. Pertama, dilihat dari asbab al-wurud hadis. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab terbiasa mengkhitan perempuan dengan membuang seluruh klitoris dengan alasan agar dapat mengurangi kelebihan seksual perempuan, yang pada gilirannya dapat memagari dekadensi moral masyarakat Arab ketika itu. Sewaktu Nabi mendengar Ummu Athiyyah mengkhitan dengan cara demikian, Nabi langsung menegur agar praktik khitannya harus diubah sebab dapat menimbulkan kurangnya kenikmatan seksual perempuan.
Kedua, redaksi (matan) hadis terdapat ungkapan isymii wa laa tunhikii (sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan). Kata isymam, secara etimologis, berarti mencium bau. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Nabi Muhammad SAW memerintahkan khitan perempuan dengan cara seperti halnya mencium bau sehingga tidak merusak klitoris. Sedangkan kata laa tunhikii merupakan lafaz larangan (al-nahy) yang bermakna pasti, artinya "pastikan jangan berlebihan". Dengan demikian secara teks dapat dipahami, Nabi tidak pernah memerintahkan khitan dengan merusak alat reproduksi. Justru sebaliknya, khitan yang diajarkan Nabi diharapkan dapat memberi keceriaan, kenikmatan, dan kepuasan seksual bagi perempuan. Menurut Islam, hak memperoleh kepuasan seksual antara lelaki dan perempuan sama. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami dan istri secara paralel (QS 2: 187).
ARGUMENTASI PENOLAKAN KAUM FEMINIS
Aktivis perempuan dan medis melihatnya sebagai suatu tindakan yang bisa merusak hak reproduksi perempuan. Bahkan, Kaum feminis menentang hadits-hadits khitan, dengan menyatakan bahwa sunat perempuan tidak dicantumkan dengan jelas di al qur’an. Adapun mengenai adanya (minimal) 2 hadits di atas (yang berarti merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an), juga ditolak dengan alasan sanad kurang kuat yang berakibat masing-masing imam mazhab tidak memiliki kesepakatan. Sebenarnya penolakan kaum feminis bisa dimengerti, jika kita melihat penyebab penolakan mereka.
Kaum feminis menolak sunat perempuan karena mereka berpedoman kepada sunat perempuan yang dilakukan di Afrika yang biasanya memotong atau menggunting seluruh klitoris dan menjahit bibir besar, hanya menyisakan sedikit lubang untuk kencing saja. Proses sunat seperti ini akan menghilangkan rangsangan seksual pada perempuan atau bahkan perempuan tersebut tidak dapat menikmati kehidupan seksualnya. Menurut kaum feminis, ini melanggar hak reproduksi kaum perempuan. Dalam tulisan "Khitan pada Bayi Perempuan, Sangat Berbahaya!" (Kompas, 28 Maret 2003), ditawarkan penghapusan praktik khitan bagi perempuan. Menurutnya, di samping merusak hak kesehatan reproduksi, hukum Islam pun dikesankan tidak mengatur khitan ini secara jelas. Apakah benar?
Aktivis Population Council, Lila Amalia, M.Kes., berpendapat bahwa khitan dapat mengurangi kenikmatan dalam berhubungan seksual. Menurut Lila, praktik khitan merupakan tradisi yang sudah dikenal lama dan diakui oleh agama-agama di dunia yaitu Islam, Yahudi, dan sebagian penganut Kristen. "Dalam beberapa tahun terakhir tuntutan penghapusan praktik khitan bagi perempuan makin menguat karena dinilai dapat merusak hak reproduksi kaum perempuan dan merampas kesehatan serta kepuasan seksual," jelasnya.
Hillary Clinton di konperensi kaum wanita sedunia di Beijing China (1995) menolak sunat perempuan ini. Di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa, kaum feminis telah berhasil mendorong pemerintah membuat undang-undang larangan sunat perempuan. Di Belanda, khitan pada perempuan diancam hukuman 12 tahun.
Dalam pandangan staf Menneg Pemberdayaan Perempuan Dra. Rini Mardjono, persoalan khitan bagi perempuan di Indonesia sudah menjadi bagian pembicaraan dunia sehingga pemerintah tak bisa mengelak. Sebagai bagian dari dunia, apalagi sudah masuk era globalisasi, Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari ketentuan WHO tentang masalah khitan bagi perempuan. Pemerintah Indonesia sendiri mengambil kebijakan WHO (Badan Kesehatan Dunia) untuk tidak membolehkan adanya ketentuan khitan bagi perempuan karena dinilai bertentangan dengan HAM.
Namun, di Eropa juga ada gerakan yang aktif mengkampanyekan khitan per-empuan, karena dengan tidak dikhitan, menurut mereka, gairah wanita akan seliar kuda. Maka tidak mengherankan jika disana ada banyak wanita yang memiliki Pria idaman La-in. Pada abad ke 19 di England, Dr Isaac Brown mengusulkan agar sebaiknya klitoris ce-wek itu dipotong dan dibuang saja, mirip seperti usus buntu. Karena ia melihat maraknya fenomena masturbasi.
MODEL-MODEL KHITAN PEREMPUAN
Khitan perempuan dibagi dalam dua kelompok yakni clitoridectomy dengan menghilangkan sebagian atau lebih dari alat kelamin luar yang termasuk di dalamnya menghilangkan sebagian atau seluruh klitoris dan sebagian bibir kecil vagina (labia minora). Cara lainnya adalah infibulation dengan menghilangkan seluruh klitoris serta sebagian atau seluruh labia minora lalu labia minora dijahit dan hampir menutupi seluruh vagina. Bagian terbuka disisakan sedikit sebesar batang korek api atau jari kelingking untuk pembuangan darah menstruasi dan saat perempuan menikah dipotong atau dibuka lagi.
Dari penelitian Population Council yang didanai USAID untuk meneliti praktik khitan perempuan di Indonesia memperlihatkan, khitan di Indonesia tidak seperti di Sudan yang menghilangkan seluruh klitoris lalu menjahit rapat-rapat vagina. Sunat perempuan di Indonesia yang dilakukan oleh dokter atau bidan itu hanya melukai klitoris, tidak menggunting atau memotong klitoris. Menurut keterangan badan keluarga berencana Indonesia, sekarang hampir tidak pernah dilakukan lagi. Sunat perempuan yang banyak dilakukan di Indonesia, umumnya dilakukan sangat sederhana: melukai sebagian kecil alat kelamin bagian dalam, bahkan kadang-kadang simbolis saja. Misalnya, sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak. Berdasarkan pemahaman mistik Jawa "kunyit" itu sendiri dipercayai sebagai simbol pembebasan seseorang dari kesialan hidup. Namun, tak sedikit yang melakukannya dengan memakai pisau, gunting, dan jarum jahit. di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak.
Prosedur sunat di daerah biasanya dilakukan oleh dukun dengan cara meletakkan kunyit dibawah klitoris atau diantara labia dan klitoris yang berfungsi sebagai landasan sekaligus antibiotika. Kemudian pemotongan atau penggoresan dilakukan dengan menggunakan peralatan seperti silet, pemes, gunting atau welat (Jawa: bambootajam). Berdasarkan laporan dari Amnesty International sekitar 130 juta yang disunat dan setiap harinya bertambah dua juta orang.
TARJIH
Secara garis besar pendapat ulama soal khitan bagi lelaki dan perempuan terbagi menjadi tiga kelompok yaitu yang mewajibkan, sunah, dan kehormatan (mubah). Namun, bagi Ketua Yayasan Assalam K.H. Drs. Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus, khitan bagi lelaki maupun perempuan merupakan sunah Nabi Muhammad, meski tradisinya sudah lama berlangsung sebelum Islam datang. Ketika Islam datang, pelaksanaan khitan tidak dilarang oleh Nabi, namun menetapkan dan mengikrarkan pelaksanaan khitan sebagai sunah termasuk perempuan.
Cara pelaksanaan khitan inilah yang menimbulkan permasalahan. Sebagian masyarakat beranggapan agama telah melegitimasi praktik khitan yang mengamputasi organ seksual perempuan. Padahal, agama mana pun tidak akan melegalisasi perusakan demikian. Oleh karena itu, jangan sampai karena praktik yang keliru lalu secara serta-merta tradisi indah yang bernilai ibadah dan beresensikan simbol ikatan suci dengan Allah itu diperangi begitu saja. Sebaiknya dicarikan jalan tengah, substansi khitan dipertahankan namun praktik kelirunya yang dihindari. Penawaran ini pada gilirannya menjadi tugas para ulama, dokter, dan kita semua untuk merumuskannya.
Langganan:
Postingan (Atom)