Oleh: Muhammad Kurdi (Cak Kur)*
Dorongan seksual (Sexual drive) merupakan aset naluriah manusia yang keberadaanya given dari sang Pencipta. Eksistensi naluri seksual manusia sama dengan paket naluri-naluri lain manusia, seperti rasa cinta, lapar, dahaga dan lain-lain. Masing-masing naluri itu mutlak dipenuhi kebutuhannya dan harus disalurkan. Bahkan, Abu al-Faraj Jauzy, sebagaimana dikutip Soffa Ihsan dalam In The Name of Sex, mengatakan bahwa secara anatomis sperma (baca: libido seksual) merupakan sumber kekuatan kedua setelah darah, keduanya menjadi tiang bagi tubuh. Air sperma yang mengendap tak pernah dikeluarkan, secara perlahan akan naik ke otak yang pada akhirnya akan menyebabkan penyakit dan menimbulkan pikiran-pikiran kotor.
Namun, tidak seperti naluri-naluri yang lain, penyaluran naluri seksual lebih rumit dan kompleks, karena sering dipertalikan dengan norma-norma susila dan ideologi agama yang tidak pernah mentolerir bentuk-bentuk liberalisasi seksual. Kita tidak bisa mengelak, sebagai warga Negara Indonesia yang masih menjadikan norma susila, norma kesopanan dan norma agama sebagai rel kehidupan berbangsa, tentunya menganggap perilaku liberalisasi seksual semacam itu sebagai perilaku yang menyimpang, bahkan tidak senonoh. Contoh yang paling sederhana dari asumsi masyarakat yang seperti itu, adalah hebohnya masyarakat Indonesia saat menyikapi skandal YZ dan ME. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia masih memegang teguh norma-norma yang antiliberalisasi seksual.
Fanatisme Cinta
Bentuk liberalisasi seksual di Indonesia sudah sangat beragam, mulai dari hanya sekedar kissing sampai bentuk yang paling liberal, berhubungan badan layaknya suami istri. Bahkan hemat penulis, kemudahan akses terhadap sesuatu yang berbau seks baik berupa VCD, majalah, Koran, tayangan-tayangan mesum dan tempat hiburan ‘remang-remang,’ juga termasuk dalam bentuk liberalisasi seksual. Tanpa bermaksud mengkambinghitamkan pihak tertentu, semuanya mafhum bahwa maraknya liberalisasi seksual disebabkan oleh pranata kehidupan kita yang juga semakin liberal dan permisiv. Fenomena ini juga didorong oleh semakin maraknya media komunikasi yang memblow-up masalah seksualitas.
Fanatisme cinta dua anak manusia juga memainkan peran yang tidak kalah penting dalam memupuk subur liberalisasi seksual. Pembacaan yang salah terhadap Fanatisme cinta menjadikan individu yang bergelut di dalamnya terdorong untuk cenderung ingin saling memiliki. Bagi kaum muda yang merasa jalan hidupnya masih panjang dan belum siap untuk memiliki pasangannya secara legal, akan cenderung menempuh jalan illegal, minimal dengan hanya memperoleh kenikmatan seksual dari pasangannya. Gairah seksual yang memang harus disalurkan, akan menemukan momentumnya dalam lanskap fanatisme cinta yang seperti itu.
Sigmund Freud dalam teori Psikoseksualnya, menganggap bahwa dorongan-dorongan seksual adalah gairah utama dalam diri manusia yang membuat manusia itu bisa bertahan hidup. Namun, insting-insting seksual tersebut harus diberi bentuk lain agar dapat diterima secara sosial, dan semuanya itu ada dan tampak dalam agama. Agama adalah sublimasi dari insting-insting seksual manusia agar dapat diterima oleh masyarakat.
Sublimasi ini merupakan mekanisme pertahanan (defence mechanism) yang kalau kita merujuk pada literatur Islam, kemudian lebih dikenal dengan maqasid syari’ah, tujuan disyariatkannya sebuah ajaran teologis. Yusuf Qardhawi dalam fatwanya mengatakan bahwa tujuan dari pelarangan liberalisasi seksual adalan minimal untuk menjaga kehormatan (hifdhu al-muruah) dan memproteksi keberlangsungan hidup generasi sesudahnya (hifdhu al-nasl). Islam menawarkan konsep puasa untuk mendeliberalisasi gejolak seksualitas. Ajaran agama-agama besar lain juga seperti itu, konsep semedi, meditasi dan nikah juga merupakan sublimasi insting-insting liar seksual.
Usaha terpenting untuk mengurangi kebebasan seksual adalah dengan menjadikan elemen bangsa ini tidak menghamba pada seks, lebih-lebih kaum mudanya. Usaha seperti ini memang bukanlah perkara mudah, namun usaha untuk menciptakan pranata yang menghargai batas-batas energi pendorong terjadinya liberalisasi seksual perlu dicoba. Selain itu, perangkat hukum yang mengatur komodifikasi seksualitas juga harus dipertegas. Selama ini, masih banyak sindikat bisnis seksualitas yang tidak tersentuh aparat. Padahal, VCD, majalah, internet, dan media yang menyiarkan tontonan pengumbar seksualitas memiliki andil besar dalam membentuk mental anak bangsa pengusung ideologi liberalisasi seksualitas.
* Penulis adalah alumni MAKN/MAN I Jember, kini Mahasiswa FAI Universitas Muhammadiyah Malang
Rabu, 29 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar