Rabu, 29 Oktober 2008

Disiplin Gak Patheken

Oleh: Cak Kur*

Pada tahun 90-an, pemerintah gencar mencanangkan gerakan disiplin nasional yang melliputi seluruh aspek kehidupan bernegara, terutama yang berkaitan langsung dengan kewajiban warga kepada negaranya. Di pasar, toko atau di tempat ramai lainnya, kita sering menyaksikan Jukir (Juru Parkir) yang mengenakan seragam bertuliskan ‘Penegak Disiplin. Selain itu, penulis juga sering membaca dan mendengarkan bahwa salah satu rahasia kesuksesan seorang public figure adalah disiplin. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, apa sebenarnya disiplin itu, seberapa besar urgensinya serta bagaimana cara menjadi dan menjadikan pribadi yang berdisiplin.
Tinjauan Semantik diperluas
Dalam kajian semantik lughawiyah, secara etimologis kata ‘Disiplin’ diadopsi dari bahasa Inggris, Discipline yang berarti ‘tertib’ atau ‘menertibkan.’ Dengan bahasa yang sangat sederhana, Disiplin dapat diartikan sebagai sebuah sikap mental yang sesuai dan tidak menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada. Pengertian tersebut merupakan intisari makna yang terkandung dalam kata Disiplin. Jika kita sependapat dengan hal itu, maka cakupan makna disiplin sangat luas tidak hanya menyangkut hubungan kemanusiaan dan keduniaan kita, akan tetapi lebih jauh (bagi kita yang membenarkan adanya Allah), masalah kedisiplinan memiliki relevansi dengan kehidupan keberagamaan kita.
Selama ini, disiplin lebih sering diartikan sebagai perbuatan yang tepat waktu. Pengertian yang demikian tidaklah salah, karena pada hakikatnya disiplin juga mendorong seseorang untuk bisa datang tepat waktu sesuai janji. Pengertian yang demikian, sebenarnya hanya merupakan bagian kecil dari wujud disiplin. Karena ruh dari disiplin itu adalah bagaimana seseorang bisa tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada. Jadi kalau tindakan tepat waktu tadi diartikan sebagai salah satu bentuk disiplin, maka yang demikian itu benar adanya. Karena pada hakikatnya pada tataran konsep ideal interaksi masyarakat ada konsensus (baik yang diundangkan maupun tidak), bahwa datang terlambat itu tidak baik, minimal dapat membuyarkan konsentrasi orang yang datang lebih dulu. Oleh sebab itu, orang yang datang tepat waktu dapat disebut sebagai orang yang disiplin waktu.
Dengan demikian, disiplin memiliki makna hakikat yang sangat luas. Jika yang dijadikan acuan adalah peraturan agama, maka akan lahir disiplin beragama. Jika yang dijadikan acuan adalah norma-norma yang hidup dalam masyarakat, maka akan melahirkan disiplin bemrasyarakat dan jika yang dijadikan sebagai acuan adalah peraturan pondok/sekolah, maka akan melahirkan disiplin pondok/sekolah.
Urgensi Disiplin
Kelemahan Umat Islam Saat ini adalah pada
masalah kedisiplinan dan kebersihan
(anonym)

Orang Kristen modern tidak kurang ´relevansinya´ dengan dunia ini.
Kekurangan mereka adalah kehidupan yang disiplin dan pikiran yang
kritis untuk melawan pencobaan-pencobaan yang telah mengubahnya
menjadi seperti yang orang-orang dunia pikirkan dan lakukan.
(Simon Chan)
Rutinitas adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menjaga status quo, seperti menyikat gigi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja, mengganti oli mobil, mengunci pintu, mematikan lampu sebelum tidur, mengatur tempat tidur setiap pagi, dan lain-lain. Rutinitas-rutinitas ini menempati posisi penting dalam kehidupan kita, namun rutinitas- rutinitas ini tidak mengubah atau meningkatkan apa pun. Rutinitas hanya menjaga agar kita tetap berada pada tingkat tertentu, sehingga menolong semua sistem hidup kita berfungsi dengan normal. Rutinitas tidak membutuhkan banyak usaha keras. Kita tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya. Bahkan, mungkin kita melakukan rutinitas tanpa kita sadari -- seperti menyetir mobil ke kantor atau membuang sampah -- tanpa ada energi atau usaha tambahan sama sekali.
Selain itu, rutinitas hanya membutuhkan sedikit pemikiran. Mengerjakan rutinitas tidak memerlukan perencanaan, tidak membutuhkan pengawasan yang serius atau evaluasi, dan dilakukan sepanjang waktu tanpa perlu pemikiran. Malah, ketika kita sedang melakukan rutinitas, kita menggunakan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal lain. Hal ini sama seperti ketika seseorang mendengarkan radio sambil mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja atau sambil menyetir kendaraan ke kantor. Rutinitas hanya membutuhkan sedikit waktu dan sedikit ketidaknyamanan, yang mana sebenarnya kita rela memberikannya karena kita telah mendapatkan keuntungan dari memeliharanya setiap hari. Rutinitas juga jarang diubah. Kita setiap hari selalu berangkat kerja melewati jalan- jalan yang sama, melakukan persiapan kerja dengan mengikuti urutan yang sama atau membersihkan dapur setelah makan dengan cara yang sama.
Kita tidak merasa perlu untuk mengubah rutinitas, sehingga kita terus mengikutinya tanpa banyak berpikir atau menyesuaikan diri dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Rutinitas tersebut baik bagi kita, karena membuat kita tetap berada pada posisi status quo dalam beragam bidang kehidupan kita, namun sebenarnya rutinitas tidak membuat kita berkembang di bidang-bidang kehidupan tersebut.
Berbeda dengan disiplin. Disiplin adalah sesuatu yang kita lakukan dengan tujuan agar terjadi perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Dallas Willard: "Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa "usaha terarah". Misalnya, menurunkan berat badan atau membentuk tubuh (sehingga kita tampil dan merasa lebih baik dan berumur lebih panjang); atau belajar ketrampilan baru dalam pekerjaan (sehingga kita bisa mendapatkan promosi atau naik posisi). Kita tidak bisa membuat diri kita merasa lebih baik, dan kita tidak bisa mendapatkan promosi atau naik posisi hanya dengan usaha biasa. Jadi, kita harus melakukan disiplin-disiplin tertentu yang kita percaya bisa memampukan kita untuk mencapai target yang kita inginkan tersebut -- hal-hal yang tidak dapat segera kita peroleh hanya dengan kekuatan biasa saja.
Kedisiplinan bisa menyedot usaha yang besar. Kita memaksa tubuh kita untuk naik ke level yang lebih tinggi melalui latihan setiap hari; atau kita meluaskan wawasan pikiran kita ke arah yang baru untuk memahami prosedur-prosedur baru atau menguasai teknologi baru. Kita memaksa otak dan tubuh kita untuk melakukan aktivitas yang terfokus dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan diri menerima peran dan tanggung jawab baru atau menjalani gaya hidup baru yang diinginkan. Disiplin yang baik membutuhkan keterlibatan intelektual yang serius -- yaitu membuat rencana, mengawasi kemajuan, mengevaluasi tingkat- tingkat penguasaan, dan lain sebagainya.
Lebih jauh lagi, disiplin cenderung melibatkan investasi waktu yang sangat besar. Untuk melakukan disiplin-disiplin tersebut kita harus mengorbankan aktivitas-aktivitas lain yang mungkin sebenarnya lebih kita sukai dan kita sungguh-sungguh akan mengkonsentrasikan waktu dan usaha agar bisa menguasai disiplin-disiplin tersebut karena kita yakin usaha tersebut dapat memberikan apa yang kita inginkan. Kita harus mau mengorbankan sesuatu yang kita senangi -- makanan, aktivitas-aktivitas di waktu luang, atau istirahat -- agar kita dapat mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan, misalnya untuk membentuk tubuh yang lebih sehat, menjadi karyawan yang lebih baik, atau menyiapkan diri untuk memperoleh pekerjaan baru. Disiplin cenderung perlu penyesuaian dari waktu ke waktu. Ketika kita telah mencapai satu tingkat tertentu atau penguasaan suatu hal, kita bisa mengubah disiplin-disiplin yang kita targetkan untuk mendorong kita mencapai tingkat yang lebih tinggi

Hambatan dalam Membudayakan Disiplin
Hasil penelitian yang dilakukan Balitbangda Propinsi Jawa tengah (2004) menunjukkan bahwa faktor utama yang mendorong siswa untuk melanggar norma sekolah adalah ciri perkembangan remaja yang ditujukan oleh: (1) keinginan mencari “siapa”saya sebenarnya; (2) adanya idiom dikalangan mereka “masa sekolah di SLTA masa yang paling indah” sehingga jangan terlalu dikekang dalam pencarian jati diri; (3) tidak ingin terlalu dikekang dalam mengekspresikan diri pada masa remaja; (4) siswa atau remaja masih mudah terombang ambing dalam mencari jati dirinya dan keinginan untuk mengekspresikan keinginannya; (5) merasa nyaman mengekspresikan diri meski melanggar norma sekolah; (6) adanya sikap puas sehingga memberontak terhadap aturan norma sekolah yang dianggap terlalu mengekang kebebasan siswa; (7) mencontoh teman yang dinilai memiliki kesamaan dengan jati dirinya; (8) mencontoh kakak kelas; (9) siswa mencontoh idolanya dalam berpenampilan; (10) mencontoh model pakaian dan asesoris idolanya baik yang muncul ditelevisi maupun media lain dan (11) lingkungan sekolah (guru killer, suka marah, merokok dikelas, sering membolos/kosong).
Alternatif Penyelesaian
Tingkat kepatuhan Kepatuhan terjadi dalam situasi dimana seseorang bersunggguh-sungguh menghendaki orang lain agar berperilaku dalam berbagai cara (Baron dan Byrnei, 1974). Namun, kepatuhan dalam dimensi pendidikan adalah kerelaan dalam tindakan terhadap perintah-perintah dan keinginan dari kewibawaan, seperti dari orang tua atau guru (Good, 1973). Sedangkan Khalberg dalam De Santo dan Cremers (1995) membagi perkembangan moral sebagai dasar dari kepatuhan tersebut kedalam tiga tingkatan yaitu: Pertama, tingkat pra-konvensional, pada tingkat ini individu dinilai dan mengartikan baik-buruk, benar-salah dari sudut akibat-akibat fisik suatu tindakan atau dari sudut ada tidaknya kekuasaan dari yang memberikan peraturan atau yang memberi penilaian baik tersebut. Pada umumnya yang masuk dalam tingkatan ini adalah anak-anak pra-remaja (dibawah usia 10-13 tahun), sebagian kecil remaja pelaku tindak kriminal atau pelanggaran hukum.
Kedua, tingkat konvesional, pada tingkat ini individu memandang bahwa memenuhi harapan-harapan keluarga dan kelompkok dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga pada dirinya sendiri, tidak peduli apapun akibat-akibat langsung dan kelihatan. Sikap ini bukan mau menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang-orang tertentu, masyarakat atau dengan ketertiban sosial, sikap ingin loyal, ingin menjaga dan memberi pembenaran pada ketertiban, sikap ingin mengindentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada didalamnya. Ini artinya individu memandang kebaikan indentik dengan harapan sosial serta aturan-aturan dalam masyarakat. Pertimbangan baik atau buruk didasari sudut pandang orang lain, terutama yang dekat dengan dirinya, selanjutnya ditandai dengan pertimbangan norma sosial. Kebanyakan remaja dan orang dewasa berada pada tingkat ini.
Ketiga, pasca-konvensional, pada tingkat ini individu memiliki usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip yang sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas kelompok atau yang memegang prisnip tersebut. Individu memandang kebaikan sesuai prinsip moral yang universal, yang tidak terkait dengan aturan-aturan setempat atau segolongan manusia. Nilai-nilai moral sudah terinternalisasi dan individu sudah memiliki prinsip-proinsip yang sudah diyakini kebenarannya. Penalaran semacam ini jarang terlihat dan biasanya muncul pada individu yang berusia 20 tahun keatas. Pada tingkatan pasca konvensional ini ditandai dengan prinsip keadilan yang bersifat universal.
Tingkat kepatuhan atau disiplin seseorang bukanlah sikap yang terbawa sejak lahir, tetapi kepatuhan atau ketaatan pada aturan nilai-nilai terutama dimulai dari masa kanak-kanan dipengaruhi peranan orang tua dan lingkungan. Menurut Prijodarminto (1994) kepatuhan secara umum berkembang berdasarkan beberapa faktor antara lain: Pertama, faktor external yaitu faktor yang berasal dari luar individu meliputi faktor sosial budaya (nilai lingkungan, pembiasaan formal) dan faktor sosial ekonomi yang membatasi sikap kepatuhan karena kondisi kehidupan yang menekan. Kedua, faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu, meliputi sikap dan kesadaran individu (keduanya mencerminkan penalaran dan nurani), kepribadian (sistem nilai dan usia) dengan asumsi semakin bertambah usia, maka penalaran moral akan lebih baik.
Faktor internal (psikologis) dapat terbentuk melalui mekanisme imitasi, identifikasi dan kondisioning sebagai proses pembentukan manusia pada individu. Faktor-faktor tersebut bersumber dari keluarga, teman sebaya, media, sekolah dan labeling. Dengan adanya pengaruh dari berbagai faktor tersebut, maka dalam realitanya kualitas kepatuhan dan individu akan sangat bervariasi. Hasil penelitian Balitbangda propinsi Jawa Tengah (2004) menunjukkan bahwa proses kepatuhan atau ketidak patuhan terhadap norma sekolah lebih banyak ditentukan melalui proses indentifikasi atau upaya siswa untuk menemukan jatidirinya melalui pelembagaan internalisasi nilai-nilai dan moral yang diperoleh dari lingkungan eksternalnya dan keadaan yang cenderung mendorong siswa (kondisioning) untuk patuh atau tidak.
Ketidak patuhan atau ketidak displinan dapat berakibat kegagalan pencapaian tujuan pendidikan baik pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Proses pendidikan yang dirancang dan dikelola guru dapat dikatakan efektif jika mengoptimalkan pembentukan kepribadian siswa yang bermoral. (Litbangpati.jawatengah.co.id)
Disiplin dan mendisiplinkan, mungkin adalah tanggung jawab manajemen yang kurang disukai, karena identik dengan peraturan dan hukuman. Yang bahkan mungkin bisa menimbulkan kesenjangan dan keprihatinan. Apakah betul disiplin itu selalu berkaitan dengan hukuman?Tidak selalu, dan dari situlah awal kesalahpahaman seseorang. Disiplin adalah awal dari sebuah budaya, dan kalau sudah terbentuk maka ada istilah budaya disiplin. Sebenarnya disiplin adalah upaya untuk membuat orang berada pada jalur sikap dan perilaku yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. Kalau sudah distrategikan dalam bentuk perilaku, nilai, dan penerapannya dalam bentuk norma, maka harus dijaga agar orang itu taat. Karena tanpa adanya upaya untuk menjaga ketaatan maka akan terjadi suatu keadaan dimana peraturan sudah tidak dihormati, sehingga harus ada pemastian ketaatan, dan pemastian itu dalam bentuk disiplin. Pada tingkat pribadi disebut disiplin pribadi.
Dan memang benar kalau orang besar atau orang yang mencapai kebesaran dalam hidupnya mempunyai satu jenis disiplin yang membuat dirinya beda dengan orang lain. Peraturan dibuat untuk mencapai keselarasan perilaku, dan itu harus dijaga dan dihargai. Kalau peraturan itu tidak punya kekuatan mengharuskan orang untuk taat, maka peraturan itu tidak dihormati. Itu sebabnya dalam kepemimpinan, kemampuan untu memberi hadiah menjadi sangat penting, tapi tidak lebih penting dari kemampuan untuk menghukum. Karena kalau seorang atasan tidak punya kemampuan untuk menghukum maka dia memimpin organisasi tanpa arah. Pertanyaannya bukan “hukuman apa?”, tetapi hukuman itu harus sesuatu yang hak yang pantas dilakukan. Apabila sudah pantas diberikan tapi tidak diberikan, maka segala kebaikan perusahaan untuk memberikan hadiah hilang. Dalam penetapan disiplin ada dua hal yang harus diperhatikan. Yaitu pertama: kesegeraan dalam memberikan hukuman, dan kedua adalah perimbangannya. Karena kalau tidak segera dihukum orang akan lupa akan kesalahannya.
"Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu).

* Cak Kur pernah nyantri sebentar di Pesantren Al-Muniroh

Tidak ada komentar: