Oleh: Cak Kur
Aktivitas berfikir merupakan fitrah manusia yang paling asasi. Berfikir dan hidup ini ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Uang yang hanya memiliki satu sisi, dan kososng pada sisi yang lain, tidak akan pernah laku dijadikan sebagai alat tukar. Begitu juga dengan hidup ini, tanpa disertai dengan aktivitas berfikir kita sama dengan orang mati, atau kalaupun hidup, kita tidak jauh berbeda dengan orang yang gila. Seolah mengetahui rahasia hidup yang tidak akan pernah berarti tanpa berfikir, Islam sangat menekankan kepada umatnya agar senantiasa menggunakan akal pikirannya baik dalam kondisi duduk, berdiri maupun berbaring. Bahkan dalam beberapa kesempatan, agama diidentikkan dengan akal, yang merupakan piranti utama untuk melaksanakan aktivitas berfikir. Al-diinu huwa al-aqlu, laa diina liman laa aqla lahu, begitu kira-kira redaksi argumentatifnya. Tidak kurang, ada hampir 50 ayat dalam hitungan penulis yang menerangkan arti penting menggunakan akal secara maksimal (berfikir).
Begitu penting arti aktivitas berfikir bagi kehidupan ini, sampai-sampai Louis O. Kattsof menyebut bahwa lebih baik kita diperbudak secara ragawi daripada diperbudak secara akali (Kattsof, 1996: xiii). Hal ini dapat segera dengan mudah dipahami, karena tanpa aktivitas berfikir tidak akan pernah ada inovasi dan kreasi. Kalau sudah tidak ada inovasi dan kreasi, maka ibarat kata, dunia ini seperti manusia tanpa nyawa. Dunia menjadi sangat gemerlap seperti saat ini tidak lain adalah buah dari aktivitas berfikir.
Dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas berfikir inilah yang kemudian memunculkan filsafat. Filsafat Yunani yang dianggap sebagai cikal bakal filsafat sistematis, meminjam tulisan Moh. Hatta yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, muncul dari penggunaan akal secara kritis terhadap fenomena takhayul yang berkembang dalam masyarakat Yunani ketika itu. Filsafat muncul juga karena, ketertarikan sebagaian orang Yunani untuk mengetahui rahasia dibalik keindahan dan kebesaran alam (Tafsir, 2001: 14).
Rene Descartes, filsuf terkenal dari Perancis, menyebut aktivitas berfikir sebagai kebutuhan eksistensi manusia yang paling mendasar. Tanpa berfikir, manusia tidak akan pernah menemukan eksistensi kehidupannya. Oleh karena itu, filsafat yang dikembangkan oleh Descartes ini adalah filsafat rasionalisme eksistensialis. Adagiumnya yang sudah sangat terkenal adalah cogito ergo sum, aku berfikir maka aku ada. Adagium ini muncul dari usaha kontemplatif Descartes ketika melihat tipisnya batas antara realitas dan halusinasi. Sehingga ia mengatakan, jika aku berfikir, maka aku ada karena yang berfikir itu aku.
Jika dikaitkan dengan dunia filsafat, ada banyak madzhab atau –isme untuk menjelaskan aktivitas berfikir. Namun jika diringkas, ada tiga madzhab besar yang mendeskripsikan mengenai hal itu. Ketiga madzhab besar itu adalah, paradigma positivisme, intepretivisme dan Kritisisme. Salah satu corak berfikir dalam paradigma positivisme adalah adanya penolakan terhadap sesuatu yang bersifat metarealitas. Realitas yang dapat diterima, menurut positivisme, adalah pengetahuan empiris yang dapat diujicobakan secara ilmiah. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, positivisme cenderung mengkonkritkan hal-hal yang bersifat metarealitas (ghaib).
Sebaliknya, paradigma intepretivisme cenderung melihat realitas sebagai hasil pemaknaan manusia yang juga melibatkan aspek-aspek rasa dan ruhiyah. Dengan kata lain, paradigma ini cenderung mengghaibkan yang konkrit. Sementara paradigma kritisisme agak lebih proporsional dalam melihat realitas, dengan tidak sampai jatuh kepada upaya mengkonkritkan yang ghaib maupun mengghaibkan yang konkrit.
Smentara dalam khazanah keilmuan yang lebih awam, ada tiga sistematika berfikir, deduktif, induktif dan campuran. Model deduktif yaitu sebuah pola pengambilan kesimpulan yang berpangkal dari fenomena yang umum ke khusus (ijmaliyah). Contoh alur berfikir yang konkrit dari corak ini adalah plot adegan dalam film Munich. Logika yang digunakan dalam film tersebut adalah logika yang bertolak dari sesuatu yang umum menuju penjelasan yang lebih terperinci, dimana film diawali dengan adegan sebuah penyerangan terhadap kamp latihan atlet Israel di Munich. Baru setelah itu film merinci satu persatu proses pembunuhan sebagai bentuk balas dendam terhadap para tersangka pembunuhan di Munich. Kedua, adalah corak berfikir yang bersifat Induktif, yaitu sebuah pola penggalian kesimpulan dari yang khusus ke umum, misalnya, anak saya (Tazkiy), setiap saya ajak naik motor, dia selalu melihat saya memakai helm sebelum berkendara, dan itu terjadi berkali-kali. Hingga pada suatu kesempatan, ketika saya hendak berkeliling di sekitar rumah dengan menggunakan motor tanpa memakai helm, karena justru agak risih kalau memakai helm, si Tazkiy dengan nada terbata-bata ayah..! elm…! Ayah…! Elm..! Sementara corak berfikir yang ketiga adalah model campuran antara deduktif dan induktif.
Rabu, 29 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar