Jumat, 31 Oktober 2008

Kepemimpinan Muda, Pecel dan Batik Jogja




Oleh: Kurdi Muhammad

Penulis mengawali tulisan ini dengan sebuah cerita hasil perbincangan ringan bersama seorang Kiai sepuh di salah satu pesantren berpengaruh di kabupaten Gresik, Jawa Timur, beberapa hari yang lalu. Kiai tersebut, entah karena terbawa arus isu kepemimpinan kaum muda yang belakangan ini sedang marak atau karena memang kesadaran pribadi, merasa gundah karena usianya yang sudah semakin senja. Dalam kegundahannya itu, ia menuturkan kepada penulis bahwa sudah saatnya generasi muda yang harus tampil memimpin. Berbeda dengan kebanyakan pejabat di Indonesia, sang Kiai menyadari betul bahwa di usianya yang semakin sepuh itu, ia tidak akan bisa seproduktif dan se-visioner kaum muda dalam hal memacu kemajuan pesantren dan lembaga pen-didikan yang dipimpinnya.
Apa yang dirasakan oleh Kiai tersebut, setidak-tidaknya juga pernah menghinggapi tokoh sekaliber KH. AR. Fachruddin dan KH. Ali Ma’shum (keduanya pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan NU dalam waktu yang lama) yang dalam masa-masa senjanya sangat mendambakan tampilnya pemimpin muda untuk menggantikan posisinya (Arifin Thoha, 2003: 280-283). Sikap yang ditunjukkan oleh ketiga Kiai tersebut merupakan sebuah cerminan kematangan prinsip yang mengerti betul urgensi regenerasi kepemimpinan.
Lebih dari itu, sikap seperti itu juga mencerminkan penghargaan terhadap kapabilitas kaum muda yang dianggap dapat memacu perkembangan sebuah lembaga/organisasi dengan lebih akseleratif dan berkemajuan. Sebuah sikap yang menurut penulis langka dan jarang ada di Indonesia, lebih-lebih bagi para pejabat. Kita harus jujur bahwa paradigma kepemimpinan di Indonesia masih menem-patkan kaum muda di urutan kedua. Meskipun kadang-kadang juga didasarkan pada alasan yang dapat diterima logika.

Namun kita patut bangga karena belakangan ini, meskipun bukan ter-masuk isu baru, kaum muda mulai memperlihatkan visi dan kapabilitasnya untuk, secara fair, mengambil alih kepemimpinan bangsa dari generasi tua. Tidak hanya dari internal kaum muda, dukungan agar generasi muda tampil memimpin bangsa juga datang dari generasi tua yang memahami betul potensi tersembunyi yang di-miliki oleh generasi muda.
Jika kita perhatikan dengan seksama arah baru kepemimpinan dunia saat ini, tampaknya kaum muda memang sedang menemukan momentumnya. Simak saja, Medvedev terpilih menjadi Perdana Menteri Rusia di usia yang masih berada di bawah 50 tahun. Begitu juga Barack Obama, di usia yang hampir sama, seolah sudah mampu memastikan bahwa pertarungan dalam pemilu Presiden Amerika Serikat November nanti akan menjadi miliknya.
Di Indonesia kasusnya juga hampir sama, isu kepemimpinan kaum muda juga sudah mulai menemukan momentumnya. Pasangan cagub-cawagub, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf adalah contohnya. Mereka mampu memenangi Pilkada Jawa Barat karena mampu mengusung isu kepemimpinan kaum muda. Demikian juga daftar isian caleg yang diusung Parpol peserta Pemilu 2009, isu kepemimpinan kaum muda juga dijadikan sebagai daya tarik tersendiri untuk memikat hati pemilih nantinya.
Tidak berhenti sampai di situ, isu kepemimpinan kaum muda dengan sendirinya juga akan menggiring tokoh-tokoh muda untuk running dalam Pilpres 2009 nanti. Orang-orang seperti Hidayat Nur Wahid, Soetrisno Bachir, Yusril Ihza Mahendra, Mallarangeng bersaudara dan Fadjroel Rahman, konon disebut-sebut sebagai representasi kaum muda, karena usianya masih di bawah 60 tahun, yang sudah hampir pasti maju dalam pemilihan Presiden tahun depan.

Plus- Minus
Dalam beberapa hal, karakter kepemimpinan kaum muda mengungguli generasi yang lebih senior. Kaum muda tidak jarang memiliki ambisi yang sangat besar dan cenderung revolutif dalam mewujudkan ambisinya itu. Karakter yang demikian ini sangat dibutuhkan dalam konteks kepemimpinan bangsa oleh generasi tua yang biasanya cenderung lamban dan terkesan kurang tegas. Kepe-mimpinan generasi muda juga lebih unggul dari sisi mobilitas dan semangat juang. Karakter anak muda yang cenderung revolutif juga menjadikan yang ber-sangkutan tidak mudah puas atas hasil usaha yang dilakukan, dan menginginkan perubahan yang serbainstan serta radikal.
Sepak terjang Pemuda Sukarni dan kawan-kawan yang mendesak Soekarno dan Moh. Hatta agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, dapat dijadikan sebagai contoh karakter anak muda yang radikal dan cenderung revolutif. Demo mahasiswa pada saat meruntuhkan rezim dua Orde, adalah deskripsi riil dari karakter manusia berdarah muda. Jiwa kaum muda identik dengan jiwa pemberontak, sehingga kalau mereka diberi kesempatan untuk memimpin bangsa, maka yang ada dalam benaknya adalah bagaimana se-segera mungkin memperkuat dan memajukan negaranya.
Namun di sisi yang lain, penulis melihat bukan tidak mungkin karakter kepemimpinan kaum muda yang demikian itu dapat menjadi bumerang bagi Negara yang hendak dipimpinnya. Hal itu lebih dikarenakan penulis masih melihat ada banyak kekurangan yang harus ditambal sulam oleh generasi muda yang ingin memimpin Indonesia. Karakter anak muda yang radikal dan revolutif, cenderung akan lebih cepat merusak stabilitas politik di dalam sebuah Negara, yang pada akhirnya juga akan berujung pada ketidakstabilan bidang-bidang yang lain. Menurut Dale Carnegie, seorang pemimpin harus memiliki ketenangan dan keseimbangan, selain kesabaran dan pengertian (Carnegie, 2005: 151). Sikap yang semacam ini cnderung diabaikan oleh kaum muda yang revolutif dan radikal. Padahal semua itu sangat penting untuk menjaga stabilitas penyelenggaraan Ne-gara.
Satu lagi lubang hitam kaum muda yang harus ditambal adalah minimnya pengalaman, yang dalam hal ini adalah pengalaman memimpin Negara. Penga-laman ikut menentukan arah baru pola kepemimpinan bangsa menuju ke arah yang lebih baik. Karena pengalaman dapat dijadikan sebagai titik evaluatif untuk merumuskan kebijakan yang lebih relevan dan tepat sasaran. Ibaratnya, orang yang sering pergi ke Jakarta naik pesawat, tidak bisa disamakan dengan orang yang baru akan pergi ke Jakarta, minimal dalam hal kepercayaan diri.
Kita semua mafhum, meminjam teori Francis Fukuyama tentang fungsi Negara, bahwa Indonesia termasuk Negara yang masih belum cukup mampu untuk sekedar menunaikan fungsi minimal sebuah Negara. Di Indonesia pene-gakan hukum dan keadilan masih terseok-seok, bahkan terkesan tebang pilih; kedaulatan Negara masih sering dinjak-injak Negara lain dan pemodal asing; pe-ngangguran menggurita; orang miskin semakin tidak tersejahterakan, bahkan hanya untuk sekedar memperoleh layanan kesehatan saja sering dipersulit. Padahal Fukuyama menyebutkan bahwa fungsi minimal sebuah Negara adalah menyediakan kebutuhan publik, yang meliputi kesehatan, ketertiban dan per-tahanan; memastikan dan menjamin tegaknya supremasi hukum; meningkatkan keadilan; melindungi hak milik pribadi dan mensejahterakan kaum miskin (Fukuyama, 2005: 10).
Tragedi semacam itu juga diperparah dengan sikap pejabat bangsa ini yang sangat korup dan cenderung menjadikan jabatannya untuk memperkaya diri bukan untuk mengabdi (Syafi’i Ma’arif, 2005: 181-184 dan al-Asy’ari, 2005: 170-171), bahkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2005 masih berada pada level 2,2. Hal itu mengindikasikan bahwa Indonesia masih berstatus Negara terkorup di dunia. (Sarjadi dan Rinakit, 2006: 305)
Oleh karena itu, untuk merubah dan membawa Indonesia menjadi Negara lebih maju, dibutuhkan pemimpin yang tidak hanya muda usianya. Lebih dari itu, meminjam istilah Iwan Fals, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin setengah Dewa. Pemimpin setengah Dewa dapat diterjemahkan sebagai sosok yang visioner, berpengalaman independen, berani, tegas, berkemajuan dan selalu meng-utamakan kesejahteraan rakyatnya. Kriteria pemimpin yang seperti ini bisa dimiliki oleh siapa saja, dari generasi muda maupun golongan tua.
Penulis juga melihat bahwa ketidakberhasilan pemerintahan selama ini bukan karena usia pemimpin-pemimpinnya yang sudah tua, melainkan lebih dikarenakan belum terpenuhinya kriteria pemimpin setengah Dewa sebagaimana telah diuraikan, yang paling kentara adalah mengenai kurangnya keberpihakan kepada rakyat. Kalau kita mau jujur, juga tidak sedikit pemimpin yang usianya masih muda tapi sudah korup dan selalu merongrong nasib bangsanya. Jika sudah demikian, maka tidak ada bedanya antara yang muda dan yang tua.

Bukan Sekedar Muda Usia

Dengan argumentasi di atas, penulis tidak hendak mengatakan bahwa belum saatnya kaum muda memimpin bangsa. Akan tetapi penulis lebih melihat bahwa persoalan bangsa yang sudah sedemikian akut ini tidak akan bisa di-selesaikan dengan hanya memilih pemimpin yang usianya masih muda. Sehingga, tokoh-tokoh seperti Hidayat Nur Wahid, Soetrisno Bachir, Yusril Ihza Mahendra, Mallarangeng bersaudara dan Fadjroel Rahman, tidak lantas bisa mengklaim atau diklaim bahwa mereka lebih layak memimpin bangsa hanya karena usia mereka lebih muda beberapa tahun dibanding Amien Rais, Gus Dur, SBY, Jusuf Kalla, Megawati, Wiranto dan Sutiyoso yang usianya sudah di atas 60 tahun pada 2009 nanti.
Lebih-lebih pemilahan kriteria pemimpin berdasarkan usia muda - usia tua sangat pekat nuansa subjektifitas dan unsur politisnya. Coba bayangkan, jika kemudian tokoh-tokoh muda, yang usianya di bawah 60 tahun, semuanya berhasil menjadi pemimpin dengan mengalahkan semua golongan tua yang sekarang ada, maka sejatinya para pemimpin muda itu telah menjadi golongan tua baru. Ditambah lagi, jika secara subjektif semua nama itu dibandingkan dengan usia penulis yang masih 25 tahun, maka tidak ada seorangpun di antara mereka yang masuk ke dalam kategori pemimpin muda, apalagi bagi mereka yang hanya mengaku-ngaku masih muda.
Dus, penulis sepakat dengan pendapat Amien Rais yang mengatakan tidak perlu ada dikotomi antara pemimpin muda dan pemimpin tua, terlepas dari kemungkinan bahwa ia berpendapat seperti itu karena merasa termasuk dalam kategori pemimpin tua. Karena sebenarnya, pemimpin muda bukanlah pemimpin yang sekedar muda usia, melainkan pemimpin yang sadar bahwa masa depan bangsa ada di tangannya, dan selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Wa Allahu a’lam

Tidak ada komentar: