Rabu, 29 Oktober 2008

Tuhan, Ibn Thufail dan Hayy Ibn Yaqdzan

Oleh: Cak Kur

Umat Islam patut berbangga, meskipun agak berbau romantisisme masa lam-pau, memiliki tokoh sekaliber Ibn Thufail, Allahu yarhamhu. Beliau adalah seorang fil-suf agung yang pernah dimiliki oleh umat Islam. Sebagai salah satu bentuk peng-hormatan yang dapat diberikan kepada beliau, penulis sengaja pada kesempatan kali ini mereview karya besar beliau, kitab Hayy Ibn Yaqdzan. Selain karena memang kar-ya tersebut layak diberi apresiasi lebih, kitab yang berisi kisah tokoh imajinatif itu terbilang sangat klasik. Bayangkan, kitab tersebut ditulis oleh Ibn Thufail sendiri yang wafat sekitar tahun 1185 M. Berarti dengan hitung-hitungan yang gampang dapat di-ketahui usia kitab tersebut sudah mencapai delapan setengah abad.
Lebih dari itu, adalah gaya pengemasan studi filsafat Ibn Thufail yang di-tuangkan dalam bentuk fabel itulah yang membuat penulis terpancing untuk meng-kajinya. Jangankan di zaman Ibn Thufail, di zaman modern tempat kita hidup saat ini saja masih langka kajian filsafat yang berbentuk fabel. Kitab Hayy Ibn Yaqdzan, sampai tulisan ini dicetak, menurut para pakar merupakan satu-satunya kitab Ibn Thufail yang terdokumentasikan secara sistematis.
Penulis tidak dapat menemukan buku Hayy Ibn Yaqdzan versi bahasa aslinya. Menurut AS Fulton, Naskah Arabnya dicetak pertama kali bersamaan dengan naskah versi Latin berjudul Philosophus Autodidactus yang diterjemahkan oleh Edward Pocock junior (1671). Pada Tahun 1904 Paul Bronnle menterjemahkan kisah yang sama dan diberi judul The Awakening of the Soul (Wisdomof the East Series, London). Kitab Ibn Thufail yang ada di tangan penulis ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa In-donesia oleh Nur Hidayah dan diterbitkan oleh penerbit Navila (2003). Penulis juga berhasil melacak terjemahan berbahasa Inggris yang diterjemahkan dari teks Arabnya oleh Simon Ockley, yang lantas diberi judul The History of Hayy Ibn Yaqzan (1708). Secara bergantian, kedua referensi tersebut akan penulis pergunakan sebagai bahan review.

Sekilas tentang Ibn Thufail dan Tipologi Pemikiran Filsafatnya
Filsuf muslim yang membuat hati penulis berdecak kagum ini memiliki nama lengkap Abu Bakr Muhammad Ibn 'Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufayl al-Qaysi. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Ibn Thufail, sementara di Ba-rat Ia dikenal sebagai Abubacer. Ibn Thufail lahir di Timur Laut Granada, Andalusia (Spanyol –pen) pada dekade pertama abad ke-6 Hijriyah. Ibn Thufail (w. 581 H/ 1185[6] M) merupakan filsuf ternama dari dunia Islam Barat. Ibn Thufail juga dikenal sebagai guru filsafat yang sangat otoritatif di bidangnya. Muridnya yang terkenal, salah satunya adalah Ibn Rusyd. Selain filsuf, dia juga seorang sastrawan dan dokter.
Dalam ranah filsafat, di tengah semakin menguatnya pengarus utamaan Pla-tonisme dan Aristotelianisme, Ibn Thufail lebih cenderung dapat dimasukkan filsuf bercorak neo-platonik. Corak filsafat Platonik, menurut Amin Abdullah, lebih mene-kankan pada aspek idealisme atau rasionalisme. Sementara corak filsafat Aris-totelian lebih bercorak emprisisme. Aliran filsafat idealisme memiliki bangunan argumen dasar bahwa episteme diperoleh dari ide-ide yang dibawa sejak lahir, meskipun tanpa bantuan pengetahuan inderawi sekalipun. Sementara aliran empirisisme menganggap episteme hanya dapat diperoleh melalui realitas inderawi.
Adapun Ibn Thufail dan filsuf-filsuf lain yang cenderung neo-platonis, ciri utamanya adalah usaha mereka yang sangat gencar untuk menjembatani antara filsafat dengan mistisisme, antara akal dengan wahyu (agama), antara realitas dengan idealitas, antara fenomena dengan nomena, antara yang fisis dengan metafisis, antara yang fana dengan yang baka, antara syariat dengan ma’rifat bahkan antara yang mawjudat dengan wajibul wujud. Maka, menurut Lenn E. Goodman, fabel filosofis Ibn Thufail, Hayy ibn Yaqdzan, merupakan pertanda yang sangat jelas bahwa Ibn Thufail merupakan salah satu penganut aliran filsafat neo-platonik. Karena dalam cerita itu, Ibn Thufail meng-gambarkan kesebangunan antara akal lewat pemikiran yang mendalam dan jernih de-ngan identitas wahyu.

Garis Besar Isi Buku
Setelah dibuka dengan sebuah kontroversi tentang kelahiran sosok Hayy Ibn Yaqdzan, Secara garis besar kisah Hayy dapat digambarkan sebagai sebuah per-jalanan anak manusia yang hidup terpencil di hutan. Terpencil dalam arti bahwa ia hidup hanya ditemani oleh mahluk yang biasa hidup di hutan belantara, tanpa ke-adiran seorang manusiapun, kecuali dirinya sendiri. Bahkan dalam buku itu, ia di-isahkan diasuh dan dibesarkan oleh seekor rusa. Ibn Thufail dalam menggambarkan situasi ini mengatakan:
Setelah masa kelahiran (Hayy Ibn Yaqdzan) Para Salafus tak lagi berbeda pendapat tentang pendidikan dan pemeliharaan yang Hayy peroleh. Mereka sepakat bahwa induk rusa yang jadi pengasuh itu tinggal di tanah yang sangat subur. Dengan hamparan rumput yang membentang sangat luas. Rusa itu menjadi gemuk, air susunya selalu penuh dan mampu menyusui seorang bayi dengan baik. Ia selalu mendampingi bayi itu dan tak pernah meninggalkannya walaupun sejenak, kecuali ketika mencari rumput. Ia sangat mencintai bayi itu. Jika didengarnya tangisan bayi itu, ia akan segera bergegas menghampiri.

Bagian terpenting dari kisah Hayy Ibn Yaqdzan ini adalah pengamatan, pe-nelitian dan kontemplasinya secara filosofis yang berusaha menjawab kehausan pe-ngetahuan yang secara epistimologis terlecut dari fenomena dan nomena yang terjadi di sekelilingnya (baca: hutan). Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang alim bernama Isal yang beriman kepada agama wahyu. Diceritakan, bahwa Isal adalah seorang alim yang hendak beruzlah ke tempat yang sepi. Sampai akhirnya dia me-nemukan pulau Wak-wak, tempat tinggal Hayy, sebagai tujuan. Sesampainya di pulau itu, ia bertemu dengan Hayy yang sudah lebih dulu dapat merasakan nikmatnya ekstase Ilahiyah.
Setelah sekian lama menetap di pulau itu, Isal mengajari Hayy bahasa manusia dan mencoba berinteraksi dengannya. Hingga pada masanya, setelah berdiskusi panjang, Isal menyimpulkan apa yang diceritakan oleh Hayy tentang pengalaman ke-Tuhan-annya selaras dengan apa yang dibawa agamanya. Sebaliknya Hayy, ia merasa bahwa hakikat ke-Tuhan-an yang dibawa oleh Rasul agama tersebut relevan dengan hasil perenungannya yang mendalam selama ini. Dari satu kisah ke kisah yang lain, dari perenungan Hayy satu ke perenungan yang lain inilah sebetulnya konsep-konsep filsafat Ibn Thufail direpresentasikan. Hayy Ibn Yadzan adalah tokoh rekaan Ibn Thufail, sehingga kalau diceritakan ba-gaimana ia berfikir dan menemukan ide-ide filosofis, maka sebetulnya konsep itu adalah konsep yang diyakini oleh Ibn Thufail.



Ibn Thufail dan Konsep tentang Penciptaan Alam
Dalam buku Hayy Ibn Yaqdzan, Ibn Thufail banyak sekali menguraikan ide-ide dan pemikiran filsafatnya. Dari sekian luas lanskap pemikiran filsafatnya, konsep beliau tentang penciptaan alam tidak dapat dipandang sebelah mata. Lebih menarik lagi, konsep beliau tentang penciptaan alam berbeda dengan mainstream pemikiran tentang tema serupa yang berujung pada dua kutub, hadits atau qadim-kah alam ini.
Ibn Thufail melalui analisis yang diasosiakan kepada Hayy Ibn Yaqdzan, berusaha menggiring bahwa apapun hasilnya, hadits atau qadim, penciptaan alam mengisyaratkan eksistensi Tuhan. Kesimpulan itu ia dapat setelah mengalami be-berapa kebingungan. Ia merasa kurang sreg kalau harus meyakini bahwa alam adalah qadim (dahulu), tidak didahului tiada. Karena jika ia harus meyakini konsep semacam itu, maka ia akan dihadapkan beberapa kemustahilan. Ia meyakini bahwa eksistensi alam tidak bisa terlepas dari benda-benda yang baharu (hadis). Alam tidak munngkin mendahului benda-benda baharu yang ada di dalam alam itu sendiri. Sesuatu yang ti-dak dapat mendahului benda yang hadits, maka ia juga hadits.
Sebaliknya, ia juga akan dihadapkan pada beberapa kerancuan jika harus me-yakini bahwa alam adalah hadits. Menurut Ibn Thufail dalam buku tersebut, sesuatu yang hadits menuntut pengertian bahwa ia diciptakan setelah sebelumnya tiada. Makna yang demikian tidak akan bisa dipahami tanpa pandangan bahwa waktu telah di-ciptakan sebelum alam ini diciptakan. Sementara waktu adalah bagian dari alam, yang tidak bisa lepas dari eksistensi alam. Maka tidak mungkin waktu diciptakan men-dahului alam, sehingga tidak mungkin juga alam bersifat hadits.
Oleh karena itu, Ibn Thufail lebih senang mendedahkan kedua pendapat tersebut sebagai bukti eksistensi Tuhan. Jika alam itu bersifat hadits, lanjut ibn Thufail, maka ia kan membawa konsekuensi logis bahwa sesuatu yang ada setelah ketiadaan tidak bisa tercipta dengan sendirinya. Ia pasti membutuhkan Fail (pelaku/Pencipta) yang menciptakannya dan menjadikannya ada. fail tersebut tidak bisa diindera, karena sesuatu yang bisa dindera pasti memiliki dimensi Imtidad, dimensi panjang; lebar dan dalam. Sesuatu yang memiliki dimensi imtidad pasti ia adalah benda. Dan benda merupakan bagian dari alam ini, bagian dari alam ini tidak mungkin mampu men-ciptakan bagian lain sampai pada kadar sempurna.
Sementara pendapat yang mengatakan bahwa alam ini adalah qadim, akan membawa sebuah kontinuitas yang lazim bahwa gerakan sesuatu (alam) yang adanya didahului tiada bersifat azali (tidak bermula), karena ia tidak didahului oleh keadaan diam. Namun semua gerakan pasti membutuhkan penggerak. Kekuatan penggerak bisa jadi berasal dari luar sesuatu itu atau bahkan dari dalam dirinya sendiri. Dalam konteks alam yang diciptakan tanpa ada permulaan, maka kekuatan yang meng-gerakkannya pasti berada di luar benda itu atau benda lain. Karena jika Penggerak tersebut berada dalam benda, maka ia adalah benda juga. Padahal untuk meng-gerakkan alam yang sedemikian itu memerlukan kekuatan yang tidak memiliki unsur kebendaan/materiil.

Paradigma Berfikir dan Metode
Beralih ke masalah bagaimana cara berfikir dan metode yang digunakan oleh Ibn Thufail dalam mengkaji dan mengurai konsep-konsep filosofisnya yang ter-ejawantahkan ke dalam apa yang dialami oleh Hayy Ibn Yaqdzan. Jika kita menelaah buku tentang kisah Hayy ibn Yaqdzan secara utuh sebagai satu kesatuan cerita fabel, maka dapat diidentifikasi bahwa gaya filsafat yang diusung oleh Ibn Thufail adalah gaya berfikir filsafat yang empiris-imajiner. Yang penulis maksud sebagai empiris adalah bahwa ide-ide filsafat Ibn Thufail direfleksikan dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan yang selalu mengandalkan pengamatan inderawinya sebelum memikirkannya dalam-dalam. Empiris juga berarti bahwa untuk memperkuat keyakinan terhadap ide fil-safatnya, Ibn thufail selalu menggerakkan Hayy untuk melakukan tajribah. Hal ini dapat disimpulkan dari cerita Hayy yang membelah jantung rusa pengasuhnya yang sudah mati hanya untuk membuktikan keberadaan ruh, anasir yang oleh Hayy di-yakini sebagai penggerak utama. Sementara imajiner berarti bahwa dalam konteks Hayy, kisah tersebut merupakan imajinasi Ibn Thufail, atau setidak-tidaknya konsepsi dan pengalaman pribadi yang diasosiasikan.
Corak berfikir yang diasosiasikan oleh Ibn Thufail dalam kisah Hayy setidak-tidaknya, menurut penulis, ada tiga varian, yaitu naratif, reflektif dan analogis. Pola berfikir naratif digunakan oleh IbnThuifail dalam merangkai perkembangan Hayy dari satu fase ke fase berikutnya, termasuk fase perkembangan pemikirannya. Semen-tara corak berfikir reflektif, antara lain, dapat ditemukan dari perenungan-perenungan Hayy tentang qadim atau hadits-nya alam, termasuk tentang nihilisme sifat kebendaan dalam diri al-Fa’il al-Mukhtar. Sementara gaya berfikir analogis Ibn Thufail tampak dalam deskripsinya tentang kehinggaan (Mutanahin) atau ketakterhinggaan (ghairu mutanahin) benda-benda langit.
Di samping itu, di dalam kajian metodologi studi filsafat Islam, setidak-tidaknya ada empat jenis metode. Metode tersebut adalah metode historis, metode tematis, metode komparatif dan metode biografi intelektual. Jika paradigma tersebut digunakan untuk memotret jarak dekat aras pemikiran filsafat Ibn Thufail yang ter-tuang dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan, maka penulis sampai pada kesimpulan bahwa metode yang digunakan oleh Ibn Thufail adalah metode studi tematis. Hal ini bisa di-buktikan dari stressing point pembahasan dalam kisah Hayy Ibn Yaqdzan. Bahwa yang diungkapkan dalam kisah Hayy adalah proses tersingkapnya ilmu dan kesadaran melalui proses penalaran yang jernih dan mendalam, serta mujahadah dan riyadloh yang tiada henti, berdasarkan tema tertentu yang menjadi kajian filsafat (Islam). Penulis mencatat, setidak-tidaknya ada empat tema penting dalam kisah Hayy. Tema-tema tersebut adalah tentang hakikat ruh, mikro dan makro kosmos, sedikit tentang manu-sia dan tema tentang ke-Tuhan-an.
Tema tentang hakikat ruh, oleh Ibn Thufail dijabarkan menjadi kajian filo-sofis tentang konsep mawjudat, shurah, dimensi, emanasi, mortalitas dan lain-lain. Konsep mikro dan makro kosmos lebih diperinci menjadi konsep tentang penciptaan alam, keterhinggaan benda-benda langit, anasir-anasir pembentuk alam dan sifat-sifat benda yang ada di alam. Setelah itu, Ibn Thufail juga mengembangkan konsep tentang tipologi dan kecenderungan manusia. Sementara konsep ke-Tuhan-an diper-luas menjadi usaha rasionisasi eksistensi Tuhan dengan menguarai nihilisme keben-daan, sebab awal, penggerak awal dan seterusnya. Konsep ini kemudian di-pertajam oleh Ibn Thufail, menukik sampai keberjumpaan (musyahadah/pantheism) Hayy Ibn Yaqdzan dengan Allah, yang oleh Ibn Thufail digambarkan sebagai puncak keinda-han dan kecantikan.
Metode yang dipakai oleh Ibn Thufail dalam kisah Hayy Ibn bukanlah me-tode historis. Karena sama sekali Ibn Thufail tidak menyinggung filsafat skolastik ataupun filsafat lain yang menjadi bagaian sejarah hidupnya. Ibn thufail juga tidak berusaha membandingkan konsep filsafat yang satu dengan konsep yang lain maupun filsuf yang satu dengan filsuf yang lain. Oleh karena itu, dari indikasi ini dapat di-simpulkan bahwa ia juga tidak memakai metode komparatif. Begitu juga dengan metode biografi intelektual tokoh. Meskipun dalam kisah tersebut, ditampilkan kon-sep-konsep filosofis dan falsifikasi ide-ide Hayy Ibn Yaqdzan, namun eksistensi Hayy dapat dipandang sebagai bentuk asosiatif, karena ia sebenarnya hanya tokoh ima-jinatif. Lalu kalau kemudian Hayy dan seluruh bentuk pemikirannya disandarkan kembali kepada Ibn Thufail, apakah bisa disebut menggunakan metode biografi inte-lektual Ibn Thufail? Wa Allahu a’lamu bi al-Shawab

Beberapa Catatan
Ada beberapa tema filsafat yang dilewatkan oleh Ibn Thufail dalam bukunya itu. Adalah pembahasan tentang manusia. Jika dibandingkan dengan tema-tema fil-safat lain yang dibahas dalam buku tersebut, pembahasan tentang konsep filosofis manusia porsinya terlalu sedikit. Itupun pembahasannya terlalu global. Selain itu, kedua tokoh yang ditampilkan sebagai ikon cerita terkesan eskapis dan acuh-acuh tak acuh terhadap hubungan antarsesama.
Hal itu, misalnya, tampak dari bagaimana sikap Isal yang cenderung menjauh bahkan meninggalkan masyarakatnya demi memperoleh kepuasan bermusyahadah dengan Tuhan yang sifatnya sangat individualistis. Anggapan yang seperti itu di-perkuat dengan sikap Isal, ketika sampai di pulau Wak-wak dan mengetahui kebe-radaan Hayy, yang cenderung menganggap Hayy sebagai gangguan dari ritual eskatisnya. Begitu juga sebaliknya dengan Hayy. Bahkan Ibn Thufail menggambarkan awal pertemuan mereka berdua dengan kata-kata:
...Isal sangat terluka dengan pertemuan itu. Kedua mata mereka saling bertemu.....ia takut kalu laki-laki itu akan mendekat lalu mengenalnya. Karena hal itu akan membuat segalanya tidak sebagaimana yang ia harapkan.

Penulis belum begitu paham, apakah untuk mencapai stasiun ma’rifat kita harus bersikap ultra-zuhud seperti itu. Padahal yang penulis ketahui, konsep zuhud seperti yang diutarakan Ali, berbunyi al-zahidu yamliku dunya la yamlikuhu al-dunya, bahwa seorang yang zuhud itu (seharusnya) mampu menguasai dunia, tidak sebaliknya, dapat dikuasai oleh (urusan) dunia. Atau apakah karena orang sudah me-nemukan kenikmatan ekstase, lantas mengganggap semuanya sudah tidak berarti lagi dan bawaannya selalu ingin bersama dengan Tuhan.
Terlepas dari semua penilaian subjektif penulis, apa yang sudah dilakukan oleh Ibn Thufail patut mendapat apresiasi lebih. Ide kreatif beliau untuk menuangkan pemikiran filsafat dalam bentuk roman (yang tidak picisan) hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar telah memperoleh cahaya ke-Tuhan-an (iluminasi). Akhirnya, penulis sampaikan terima kasih kepada Ibn Thufail yang meskipun jasadnya sudah menemani kepergian Hayy, namun ruh iluminasinya akan tetap hidup di dalam kesadaran filosofis kita, sebagaimana judul bukunya Hayy Ibn Yaqdzan.

Tidak ada komentar: