Oleh:KH.Mahmudi Ambar*
Pro-kontra tentang kebolehan poligami kembali menyeruak, meski bukan ter-masuk polemik baru, namun isu poligami saat ini gaungnya lebih mengguncang. Maklum, yang baru saja berpoligami adalah seorang publik figur sekaliber Aa Gym yang jangkauan pengaruhnya menembus semua lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan Pre-siden SBY dan Menteri Pemberdayaan Perempuan sempat ‘kebakaran jenggot’ sebab peristiwa itu.
Sejarah mencatat, praktik poligami sebenarnya sudah berlaku pada bangsa-bangsa tertentu sebelum kedatangan Islam. Praktik semacam ini juga disunahkan pada umat Yahudi, disyariatkan pada bangsa Persi, dan bahkan pada bangsa Arab Jahiliyah sendiri, sebelum kedatangan Islam, praktik poligami sudah marak. Di China, budaya mem-perbanyak selir Kaisar pada setiap dinasti adalah cerminan nyata praktik poligami. Pe-jabat tinggi kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara juga tidak sedikit yang berpoligami, dengan istilah yang kita kenal sebagai gundik.
Kini, di Indonesia wacana penolakan terhadap konsep poligami kembali me-nyeruak, karena dalam praktiknya, poligami justru dianggap menyengsarakan istri dan cita-cita perkawinan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, terasa jauh api dari panggang. Mekanisme pertahanan terhadap maraknya poligami itu rencananya juga akan dilakukan dengan lebih memperketat lagi syarat-syarat poligami yang sudah ada dalam UU No.1 tahun 1974. Bahkan pemerintah juga sudah mewacanakan perluasan larangan poligami untuk pejabat Negara.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah dengan dalih ketidak harmonisan rumah tangga, serta merta ajaran poligami dapat dibatalkan. Untuk mengurai per-masalahan tersebut, Penulis mencoba mendudukkannya secara proporsional dengan mengutip ayat yang berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 3: 3)
Ayat di atas adalah dalil legitimasi poligami yang paling jelas (Sharih) dalam ranah istidlal hukum Islam. Jika dianalisis dari semantik lughawinya ada beberapa hukum yang terkandung di dalamnya. Firman di atas mengindikasikan kebolehan seorang laki-laki menikah lebih dari satu, dengan batas maksimal empat. Dalam penunjukan hukumnya, ayat di atas menggunakan kalimat perintah (fi’il amr). Dalam kaidah Ushul Fikih kalimat perintah menunjukkan arti wajib, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari makna penunjukkan awal.
Dalil naqliy yang sering digunakan untuk menolak konsep poligami adalah hadits Rasul yang malarang Ali Bin Abi Thalib menduakan istrinya, Fatimah yang notabene adalah putri Rasul. Hadits ini dianggap sebagai representasi perasaan Rasul yang ternyata juga tidak berkenan terhadap praktik poligami.
Dalam pandangan penulis, hadits tersebut tidak lantas menasakh (baca: me-nonaktifkan) hukum yang terkandung dalam ayat al-Quran yang telah penulis sitir di atas. Dalam konsep ushul fikih ada metode istinbath hukum yang disebut tarjih, yakni memakai dalil yang lebih kuat dari dua dalil yang (seolah-olah) bertentangan untuk menentukan hukum sebuah perkara. Dalam konsep tarjih, jumhur ulama sepakat bahwa jika ada pertentangan antara dalil Quran dan Hadits, maka yang dimenangkan adalah al-Quran. Hemat penulis, hadits larangan poligami ini merupakan qarinah yang me-malingkan derajat perintah dalam ayat poligami di atas, dari makna wajib menjadi mubah, sebatas kebolehan. Oleh karena itu, eksistensi hadits tersebut tidak lantas meng-haramkan poligami.
Selain itu, ketidak harmonisan rumah tangga dan ketidak mampuan suami berbuat adil pada istri-istrinya, sering dijadikan alasan untuk melarang poligami, karena dianggap menyalahi kemaslahatan yang menjadi tujuan pokok ditetapkannya hukum Islam. Sebaliknya, dalam pandangan penulis kasus semacam itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang poligami. Logikanya, ketidakharmonisan rumah tangga, ketidak-mampuan berbuat adil terhadap istri, sexual abuse dan penelantaran anak juga sering terjadi dalam perkawinan monogami. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar untuk mengharamkan perkawinan. Oleh karenanya, kasus family error dalam keluarga produk perkawinan poligami, tidak dapat digunakan untuk melarang ajaran poligami secara umum. Karena kenyataannya, masih banyak orang yang sanggup membahagiakan keluarga hasil perkawinan poligaminya.
* Tulisan ini disulih dari www.jatim.go.id
** KH. Mahmudi Ambar adalah pengasuh pesantren Al-Muniroh Gresik-Jawa Timur.
Rabu, 29 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar