Selasa, 28 Oktober 2008

Retorika untuk Pemula

Oleh: Kurdi Muhammad (Cak Kur)*

Tulisan ini, penulis awali dengan sebuah cerita ringan tentang peristiwa yang penulis alami. Cerita ini penting untuk mengkonstruk akar filosofis dari sebuah aktivisme retorikal, yang akan dibahas selanjutnya. Peristiwa itu bermula saat penulis berkunjung ke rumah kos salah seorang teman. Selain niat berkunjung ke kos teman, penulis juga berniat menyempatkan diri mencetak sebuah artikel ringan milik istri. Sesampainya di kos dan setelah ngobrol beberapa saat dengan teman, akhirnya penulis bergegas mencari rental komputer sekaligus tempat penjilidan. Sebelum berangkat ke tempat-tempat sebagaimana telah disebutkan, penulis sempat memberitahu sang teman bahwa saya akan kembali lagi ke tempat kosnya. Dalam perjalanan ke rental dan tempat penjilidan, penulis dikejutkan dengan stok bensin yang menipis. Pada saat yang sama penulis melihat sebuah kios bensin, namun entah kenapa penulis tidak mampir untuk membeli barang seliter bensinpun. Meski demikian, hati penulis berujar, “Nanti saya akan beli bensin di sini.”
Dalam perjalanan, stok bensin semakin tipis, penulis juga sempat khawatir kalau-kalau motor mogok di tengah jalan karena kehabisan bensin. Namun karena hati sudah berujar meskipun sempat melewati beberapa kios bensin, penulis tidak juga berhenti membeli bensin. Saat itu terjadi perdebatan yang sengit antara hati dan akal. Akal mengatakan, “Bos, seharusnya kita berhenti dulu membeli bensin, biar nggak mogok di tengah jalan. Ndorong baru tahu rasa nanti!”. Namun hati tak kalah pintar berkilah, “Bensin yang ada di kios itu kayaknya palsu (banyak campuran airnya). Mending kita beli di kios yang pertama tadi,” ujar hati saya agak provokatif. Padahal si hati juga tidak memiliki cukup bukti untuk mengatakan bahwa bensin di kios pertama tidak dicampur air. Begitu seterusnya perdebatan antara akal dan hati setiap kali saya melewati sebuah kios bensin.
Bahkan sesekali dengan agak memelas si hati memohon, “Bos, kita beli bensin di kios yang pertama tadi aja, kasihan penjualnya. Lagi pula hati saya sudah kadung mantap beli bensin di kios yang pertama,” sergahnya. Kemudian saya menimpali, “Lho, kamu kan hati? Kamu juga punya hati to?”. Mendengar pertanyaan saya itu, si hati lalu terdiam. Sesaat kemudian perdebatan hati dan akal saya pun mereda, sampai kemudian saya membeli bensin di kios pertama, hitung-hitung menyenangkan hati si hati.
Sesampainya kembali di kos teman, saya jadi berfikir apa yang baru saja terjadi dalam diri saya. Apa yang sebenarnya terjadi pada saat saya kekeh menjatuhkan pilihan pada kios bensin pertama? Fanatisme, Takdir, ataukah memang sudah menjadi garis rizki si penjual bensin, atau apa?

Sekilas tentang Akar Filosofis Retorika
Filsafat adalah the queen of sciences atau ada juga yang menyebut sebagai mother of sciences. Hal ini dapat dengan mudah dipahami, karena memang dulu semua ilmu me-makai embel-embel filsafat. Selain itu, jika diselami lebih dalam, maka kita akan me-nemukan bahwa dasar dari semua ilmu adalah nilai filosofisnya. Retorika adalah bagian dari ilmu. Oleh karenanya, ilmu tentang retorika juga tidak bebas dari pengaruh filsafat. Retorika dalam arti yang paling sederhana berarti kepandaian menentukan cara atau gaya berbicara/berkomunikasi agar dapat diterima oleh orang yang diajak berkomunikasi (audiens).
Dari definisi itu saja sebetulnya sudah dapat diidentifisir bahwa untuk menentukan gaya berbicara/berkomunikasi secara efektif diperlukan falsifikasi nilai-nilai filsafat yang relevan. Jika sudah demikian, maka kita akan menemukan akar-akar filosofis yang dijadikan sebagai falsifikasi dalam ilmu retorika. Akar filosofis ini menjadi sangat urgen, karena dengannya kita akan mem-breakdown derivat retorika dalam tataran yang lebih bersifat praktis dan teknis. Jika retorika diibaratkan sebagai sebuah organisasi, maka akar filosofis adalah Anggaran Dasar atau landasan geraknya. Atau jika retorika diumpamakan sebagai sebuah organisme hidup, maka akar filosofis adalah hatinya.
Jika kita renungkan bersama ditambah dengan cerita (filosofis) di atas, berikut ini, setidak-tidaknya menurut penulis, adalah beberapa akar filosofis yang dapat digunakan untuk memotret jarak jauh sebuah aktivisme retorika:
1) Bahwa retorika merupakan bagian dari filsafat eksistensialisme. Dengan kata lain retorika merupakan bagaian dari kebutuhan aktualisasi diri, yang dalam diagram Maslow digambarkan sebagai puncak kebutuhan
2) Bahwa setiap manusia memiliki karakteristik dan pembawaan masing-masing yang sangat khas, (kalem, berapi-api, tenang dan lain-lain)
3) Bahwa setiap manusia memiliki ukuran rasa yang berbeda-beda dan hati yang memiliki kecenderungan tertentu
4) Bahwa adakalanya kecenderungan hati tidak dapat dinalar secara sistematis
5) Bahwa dalam setiap diri manusia ada gairah fanatisme

Masing-masing akar filosofis akan membawa konsekuensi dalam pola praksis sebuah aktivisme retorikal. Selanjutnya, setelah mengetahui akar filosofis sebuah aktivisme retorikal, perlu kiranya mengidentifisir problem yang biasa menimpa diri retoris, sebagai rambu-rambu untuk sedapat mungkin diminimalisir:
[1]. Seringkali pikiran lebih cepat dibanding ucapan, misalnya: anjir, benul, fasmul mahmu’, tidak realita dan lain-lain.
[2]. Tidak jarang pikiran lebih lambat daripada ucapan, misalnya: a..., apa namanya,apa itu, apa ya.., ehm...
[3]. Kurang percaya diri

Hal yang perlu dipersiapkan untuk dapat menjadi retoris yang mumpuni:
1. Memperluas wawasan, lebih afdhal jika ditambah kemampuan merefleksikan wawasan yang diperoleh, dengan berbagai fenomena yang sedang terjadi.
2. Meningkatkan intensitas praksis
3. Memperkuat basis data dan analogi fakta
4. Memperkuat integritas dan atitud
5. Memperbanyak mujhadah dan riyadhoh ruhiyah


Mitos-mitos dalam Retorika
Penulis menggunakan kata mitos di sini, sama sekali tidak ada maksud untuk mengasosiasikan kepada sesuatu yang bersifat metarasional atau ghaib. Mitos di sini penulis maknai sebagai sesuatu yang dibolehkan dalam aktivisme retorikal, namun banyak orang yang melarangnya, atau justru sebaliknya. Berikut mitos-mitos dalam aktivisme retorikal yang sering penulis jumpai:
a) Retoris dalam beretorika tidak boleh rendah hati
b) Retoris dianggap hebat jika beretorika tanpa persiapan terlebih dahulu
c) Menganggap audiens tidak tahu apa-apa dengan maksud untuk meningkatkan rasa percaya diri. Ibarat ingin bersuci dengan menggunakan benda najis
d) Retoris dianggap kurang mumpuni jika hanya dapat menyampaikan materi secara singkat. Sebaliknya retoris diangga hebat jika mampu menyampaikan materi dalam waktu yang lama.

* Cak Kur adalah Pengagum para Retoris Pesantren

Tidak ada komentar: