Oleh: Kurdi Muhammad
Belakangan ini menarik membincang masalah studi Islam (Islamic Stu-dies), tidak hanya karena memang Islam layak dikaji, akan tetapi lebih dari itu, di zaman yang serba terbuka semacam ini relevansi nilai-nilai Islam juga harus dapat ditampilkan secara rasional dan lebih terbuka. Lalu pertanyaannya, apakah selama ini relevansi nilai-nilai Islam tidak ditampilkan dengan rasional dan terbuka?
Jika dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya bukan tidak ada aktivisme yang memunculkan pencitraan terhadap Islam yang rasional dan terbuka. Namun yang menjadi persoalan adalah yang tampak lebih dominan adalah yang sebaliknya, pencitraan Islam yang asketis-esoteris yang miskin kritisisme.
Perkembangan zaman yang semakin cepat dan mengglobal, telah mem-bawa dampak yang juga luar biasa pada perkembangan studi Islam. Kita harus jujur, bahwa dalam hal-hal tertentu umat Islam tertinggal jauh dari Negara-negara Barat. Dalam perumusan paradigma ilmiah dan teori-teori social-keagamaan mi-salnya, umat Islam masih tertinggal. Padahal tren dunia saat ini cenderung me-ngikuti paradigma yang telah dikembangkan oleh dunia Barat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka umat Islam akan dihadapkan pada fenomena yang semacam itu. Islam dihadapkan pada pilihan antara bersikap terbuka terhadap teori-teori Barat yang sudah terbukti ampuh menghadirkan gemerlap modernitas ataukah tetap mempertahankan tradisi lama dengan dalih Barat menyesatkan. Dari tesis se-macam itu, dapat dikembangkan menjadi sebuah pertanyaan, haruskah Islam me-nyesuaikan dengan teori-teori semacam itu ataukah teori-teori itu yang harus me-nyesuaikan dengan Islam? Sebuah pertanyaan yang menurut penulis dilematis.
Kembali ke masalah studi Islam, dihadapkan pada problem-problem pa-radigmatik yang pelik semacam itu, kemudian muncul beberapa tokoh yang me-lakukan reorientasi, kalau tidak mau dikatam penafsiran ulang, studi Islam. Untuk tidak menyebut semuanya, Fazlur Rahman dan Hassan Hanafi kiranya dapat di-jadikan sebagai prototipe tokoh yang concern dalam masalah itu. Reorientasi itu dilakukan tidak hanya mengkaji Islam dari sudut paradigma doktriner, lebh dari itu adopsi teori-teori social muatkhir juga dikembangkan, tentu saja dengan tetap mengembangkan kritisisme. Tindakan semcam itu, menurut mereka, dilakukan a-gar Islam tetap relevan dan tidak tertinggal terlalu jauh.
Corak Studi Islam Kontemporer
Lanskap studi Islam kontemporer sangat beragam. Ada banyak jenis me-todologi dan pendekatan yang digunakan dalam men-studi Islam kontemporer, se-cara matematis penulis belum menemukan penelitian yang secara pasti me-ngungkap berapa jumlah metodologi dan pendekatan itu, jumlahnya bisa ratusan, bahkan ribuan. Penulis rasa kita tidak perlu tahu jumlahnya, karena yang ter-penting sebetulnya kita paham karakteristiknya secara umum.
Namun setidak-tidaknya, jumlah metodologi dan pendekatan yang sede-mikian itu dapat diperas menjadi dua poros utama, yang dalam bahasa Amin Ab-dullah disebut sebagai pendekatan doktriner-normatif dan pendekatan historis –kritis . Pendekatan yang disebut pertama bersifat mutlak dan akan selalu ada, karena mainstream pendekatan ini adalah pengkajian secara tekstual dan doktrinal-teologis terhadap wahyu. Sementara pendekatan historis kritis bertumpu pada telaah proses keberagamaan manusia yang multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan filosofis (berusaha melihat fenomena agama sampai pada pe-mahaman yang mengakar), sosiologis (kesadaran bahwa agama tidak hanya me-ngatur hubungan antara Tuhan dengan manusia, tapi juga melibatkan kesadaran berkelompok), antropologis (kesadaran terhadap pencarian asal-usul agama), kul-tural (kesadaran bahwa penetrasi agama akan selalu mengusung dan melawan kultur masyarakat tertentu), historis (perjalanan agama senantiasa terikat ruang dan waktu) bahkan ekonomis.
Proses transformasi dari pendekatan doktriner-normatif ke pendekatan historis-kritis terjadi pada penghujung abad ke-19 dan tampak lebih jelas pada paruh abad ke-20. Pada saat itu terjadi pergeseran pemahaman paradigmatik tentang agama, dari yang dulunya terbatas pada idealitas, kemudian menjadi his-torisitas, dai yang hanya berkisar pada doktrin mengarah ke entitas sosiologis, dan dari diskursus esensi kea rah eksistensi.
Pendekatan doktriner-normatif menghasilkan pemahaman yang skriptualis atau tekstualis, yang mencerminkan ketertundukan pada makna teks wahyu yang dianggap sebagai representasi Pewahyu. Produk nyata dari pendekatan ini adalah kaidah-kaidah fikih dan ushul fikih. Sementara pendekatan histories-kritis akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan teori, kebudayaan, peradaban dan ins-titusi-institusi.
Doktriner-Normatif Vs Historis-Kritis?
Meski tidak seharusnya dipertentangkan, secara otomatis, lebih-lebih di Indonesia, terjadi ketegangan antara pendekatan berparadigma doktriner-normatif dan histories-kritis. Penganut kedua ‘madzhab’ ini tak jarang terlibat dalam tensi itu. Selama pertentangan itu mengarah pada atmosfer keragaman pemahaman yang kondusif, kreatif dan konstruktif, tidak ada masalah menurut penulis. Ma-salah muncul pada saat penyikapan terhadap perbedaan itu mengarah pada stig-matisasi dan labelisasi yang cenderung merendahkan satu sama lain.
Fakta di lapangan menunjukkan saling pertentangan antarkeduanya nyata adanya. Golongan normatif-doktriner menyebut golongan historis-kritis sebagai penganut paham reduksionis, yakni pemahaman keagamaan yang hanya mene-kankan pada aspek lahiriah-eksternal saja, kurang kurang begitu memahami, me-nyentuh dan menyelami aspek batiniah-esoteris serta makna terdalam dan mo-ralitas yang terkandung dalam agama itu sendiri. Sebaliknya, golongan yang me-nganut pemahaman historis-kritis menyebut pemahaman dan corak pendekatan doktriner-normatif sebagai pemahaman keagamaan yang cenderung absolutis. Hal ini menurut mereka, karena pemahaman doktriner-normatif mengabsolutkan teks, tanpa terlebih dahulu berusaha memahami latar belakang mengapa teks tersebut sampai diturunkan.
Fenomena yang terjadi di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Golongan historis-kritis menyebut golongan normative-doktriner sebagai pemahaman garis keras, fundamental, bahkan beberapa waktu yang lalu karena maraknya terorisme, sempat juga diasosiasikan sebagai teroris. Sebaliknya, golongan pemahaman nor-matif-doktriner menyebut pemahaman histories-kritis sebagai orientalis, antek Ba-rat bahkan perusak agama.
Sebenarnya, kedua model pemahaman tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi. Mata uang menjadi tidak laku di pasar, jika sisi yang lain tidak ada, apalagi kalau sisi yang satu menjelek-jelekkan sisi yang lain. Meminjam bahasa Amin Abdullah, kedua poros utama model pemahaman itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi secara tegas dapat dibedakan.
Wa Allahu a’lamu bi al-sawab
Rabu, 29 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar