Rabu, 29 Oktober 2008

PIMNAS XIX dan Rongsokan Tahun 2005

Oleh: Cak Kur

Di tahun ini pemerintah melalui dinas Kementerian Riset dan Teknologi mencanangkan Visi Misi Iptek 2025, yang menetapkan Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan dan peradaban bangsa. Untuk tahun 2005 sampai 2009, sekurang-kurangnya ada enam fokus program pencapaian Iptek; Teknologi pertahanan, Teknologi Kesehatan dan Obat-obatan, Tekonologi Ketahanan Pangan dan Pertanian, Teknologi Transportasi serta Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dengan ke-enam fokus pencapaian Iptek ini, maka sebenarnya pengembangan Iptek dan apresiasinya memperoleh porsi yang sangat besar. Dalam era yang oleh Anthony Gidden disebut sebagai Run Away World, yang mana eksistensi sebuah bangsa ditentukan lewat kemampuan percepatan pengembangan riset dan teknologi, memaksa Negara semacam Indonesia sudah harus berpacu menciptakan inovasi teknologi baru yang akseleratif.
Sayang seribu sayang, dalam masalah Iptek, meskipun sebetulnya sangat potensial, Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Negara-negara lain di belahan bumi Asia (Apalagi Eropa dan Amerika). Dari data perbandingan publikasi penelitian bidang Fisika yang ada, Indonesia dengan jumlah penduduk 245,45 juta jiwa, hanya memiliki 113 publikasi hasil riset. Indonesia kalah jauh dibanding Vietnam, Singapura, Pakistan, Taiwan dan Korea Selatan yang jumlah publikasi hasil risetnya, secara berurut, 201 karya dengan 84,40 juta jumlah penduduk, 253 karya dengan 4,49 juta penduduk, 584 karya dengan 165,80 juta penduduk, 3911 karya dengan 23,04 juta penduduk dan 6493 karya dengan 48,85 juta jumlah penduduk. Lebih ironis, jumlah anggaran Iptek di Indonesia jauh lebih kecil dibanding jumlah belanja iklan masyarakat. Pada tahun 2005 lalu, belanja iklan masyarakat sudah mencapai angka Rp. 27 trilyun, sementara jumlah anggaran Iptek hanya Rp. 1, 489 trilyun. Tahun ini, belanja iklan masyarakat ditargetkan akan mencapai angka Rp. 28 trilyun, sementara anggaran Iptek hanya Rp. 1,760 trilyun (pagu). (KOMPAS, 03/05 dan 08/05)
Kepincangan
Data-data di atas mengindikasikan apresiasi masyarakat dalam pengembangan Iptek masih sangat minim. Indikasi lain dapat ditelisik melalui banyak variabel upaya pengembangan Iptek yang masih pincang. Indonesia sering kehilangan banyak peneliti handalnya. Tidak sedikit peneliti yang dibesarkan di dan oleh Indonesia akhirnya hijrah dan memilih tinggal di luar negeri dengan berbagai alasan. Alasan yang sering diungkapkan adalah, tidak ada garansi dari pemerintah menyangkut masa depan pekerjaan mereka, minimnya ruang aktualisasi, dan yang paling parah, keringnya apresiasi yang diberikan oleh pemerintah. Apresiasi dalam hal ini beragam bentuknya, tapi yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan hidup, penghargaan dan insentif. Jamak yang mafhum, standar insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia masih sangat kecil dibanding dengan Negara-negara maju lain. Sebagai gambaran, di Jerman, paling apes, seorang peneliti hanya dibayar Rp. 20 juta per bulan, sudah berupa gaji bersih setelah dipotong pajak dan segala tetek-mbengeknya.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga tidak jarang kalah start dalam take caring pelajar berpotensi. Ada banyak, pelajar berpotensi yang justru diboyong ke luar negeri oleh Negara lain dengan tawaran beasiswa yang menggiurkan. Karenanya, tidak dapat disalahkan, kalau pada akhirnya mereka lebih memilih sekolah di luar negeri dengan beasiswa penuh. Setelah lulus, ghalibnya pihak asing memberi tawaran visa tinggal sementara atau bahkan naturalisasi dengan berbagai iming-iming pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan. Kalau sudah begitu, sangat jarang ada yang mau menolaknya. Karena hemat mereka, dari pada harus kembali ke Indonesia dengan kondisi yang serba tidak pasti, lebih baik menerima tawaran menguntungkan yang sudah ada di depan mata. Ditambah lagi, paradigma berfikir masyarakat saat ini terpola bahwa sekolah dan bekerja di luar negeri lebih bergengsi. Hal ini persis seperti apa yang disinyalir oleh Syed Syakib Arsalan, bahwa Negara yang kalah memberikan insentif, bersiap-siaplah untuk menghadapi migrasi intelektual. Padahal, saat BJ Habibie menjabat sebagai Menristek dulu, ada sebanyak 2.445 orang penerima beasiswa mulai dari jenjang S1 hingga S3, belum lagi ditambah pengiriman pegawai-pegawai lembaga penelitian non Departemen keluar negeri, yang jumlahnya mencapai ribuan orang.
Solusi
Kini, Indonesia tampaknya sedang mengalami apa yang oleh Yuni Ekawati disebut sebagai Brain Drain, karena banyaknya ilmuwan yang hijrah dari Indonesia ke negara-negara lain, yang mereka anggap lebih bisa memberikan jaminan kehidupan dan kelangsungan aktivitas pengembangan Iptek.
Tampaknya, Indonesia harus banyak belajar dari negara-negara lain, seperti China dan India, yang dulunya juga pernah mengalami brain drain. China dan India menerapkan kebijakan ‘sikap terbuka’ dalam rangka menarik kembali para ilmuwannya yang sempat eksodus ke negara lain. Kebijakan ‘sikap terbuka’ tersebut dilakukan dengan cara memberikan insentif gaji yang tinggi, jaminan hidup dan penghargaan yang mumpuni. Dengan kebijakan itu, kini China dan India tidak lagi mengalami brain drain, namun sebaliknya, kedua negara tersebut sudah mengalami nikmatnya fase brain gain, yakni mengambil manfaat keilmuan dari para ilmuwan yang sudah kembali itu.
Wal akhir, moda kebijakan sikap terbuka seperti itu yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Selain berani mengambil inisiatif untuk memberikan insentif tinggi, pemerintah juga harus mampu memberikan jaminan kepada para ilmuwannya yang kini berada di luar negeri, bahwa prospek pengembangan Ipteknya tidak akan mati sekembalinya ke Indonesia. Lagi, pemeritah juga mesti menempatkan Iptek sebagai prioritas utama untuk pengembangan peradaban bangsa, tentunya diikuti dengan pengembangan sarana dan prasarana yang paralel dengan upaya peningkatan kualitas Iptek. penulis berharap, PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) XIX yang diadakan di UMM ini, sebisa mungkin sudah dapat menyaring sejak dini intelektual muda bangsa ini. Untuk kemudian ‘memanjakannya’ di negeri sendiri atau jika terpaksa melanglang buana ke negeri orang, harus dipastikan nantinya mau kembali guna memajukan tanah airnya. Peranan insentif dalam hal ini, tidak dapat dipandang sebelah mata.

Tidak ada komentar: