Rabu, 29 Oktober 2008

Santri, Produk (Gagal) Pesantren

Oleh: Cak Kur*

Baru-baru ini, santri dari pesantren di seluruh Indonesia (Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTB dan Bali) berkumpul mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) Santri I, di Pesantren Mahasiswa al-Hikam, Malang. Selain didasari semangat mempererat kekerabatan antarsantri, barangkali tidak terlalu berlebihan jika Munas itu dianggap sebagai respon terhadap ketertinggalan santri belakangan ini. Terutama ketertinggalan dalam bidang intelektualitas dan kemandirian usaha.
Hal itu misalnya, tercermin dari agenda pokok Munas, yakni usaha membangun masa depan bangsa dengan memberdayakan intelektualitas dan jiwa entrepreneurship santri. Agenda ini mendedahkan bahwa penguatan basis intelektualitas dan entrepreneurship santri mutlak diperlukan guna membangun masa depan bangsa yang cerah. Selain itu, jika dipahami dengan logika mafhum mukhalafah, agenda tersebut juga berarti bahwa selama ini santri kurang mampu -untuk tidak dikatakan tidak mampu- mengambil prakarsa dalam memperkuat bangsa dengan basis intelektualitas dan entrepreneurship.
Ada banyak indikasi untuk tidak terburu-buru mengatakan bahwa argumen di atas salah. Simak saja misalnya, tidak banyak santri yang dapat mengambil peran-peran strategis dalam dinamika intelektualitas bangsa ini. Jumlah kalangan santri atau setidak-tidaknya seluruh eksponen pesantren, tidak lebih banyak dari pada jumlah akademisi Perguruan Tinggi (Agama) yang mampu meramaikan aras pemikiran keagamaan. Kalaupun ada, biasanya statusnya sudah mutakharij ma’had (alumni santri) dan yang bersangkutan sudah tercerahkan dengan pendidikan di Perguruan Tinggi, umum maupun agama, baik di dalam maupun di luar negeri. Hampir-hampir tidak dapat ditemukan santri yang mampu menelurkan gagasan-gagasan ke-Islam-an yang orisinil, lebih-lebih pembaharuan pemikiran keagamaan.
Di lain pihak, tidak banyak kalangan santri yang memiliki kemampuan metolodologis sebagai prasyarat memasuki iklim ilmiah. Penguatan ilmu-ilmu metodologis menjadi sangat signifikan dalam usaha pengayaan basis intelektualitas. Ibarat ingin belajar membaca kitab gundul, mutlak terlebih dahulu harus menguasai ilmu nahwu dan sharaf. Memasuki iklim ilmiah berbasis intelektualitas tanpa penguasaan terhadap aspek metodologis, laiknya membaca kitab gundul tanpa ilmu nahwu-sharaf, cenderung gagap dan tersendat-sendat.
Minimnya penguasaan aspek metodologis menjadikan santri tidak dapat melakukan penelitian-penelitian ilmiah. Padahal, ada banyak objek kajian di lingkungan santri dan pesantren yang bisa diteliti. Sehingga tidak terlalu mengherankan kalau kemudian kesempatan itu diambil oleh akademisi non-santri, dan menjadi temuan ilmiah yang sangat berharga. Selain menjadi ukuran mutlak basis intelektualitas, penelitian-penelitian semacam itu sejatinya sangat urgen bagi progresivitas santri dan pesantren di Indonesia. Riset tentang agama, santri dan pesantren bisa jadi lebih relevan dilakukan oleh kalangan santri sendiri dibanding peneliti non-santri. Karena jika santri mampu dan mau melakukan penelitian tentang objek-objek penelitian tersebut, maka akan lebih bisa melibatkan kesadaran fenomenologis.
Dalam bidang entrepeneurship, penulis kira situasinya setali tiga uang. Meski sudah mulai banyak pesantren yang mengembangkan pola entrepreneurship, namun masih belum banyak santri maupun alumni santri yang mampu merintis, lebih-lebih mengembangkan kerajaan bisnis. Tidak mengherankan jika kemudian jarang kita dengar kisah pengusaha atau pebisnis sukses dari kalangan santri.

Kesenjangan Paradigmatik
Bagi penulis, masalah fundamental penyebab miskinnya peran santri dalam lanskap intelektualitas adalah pemahaman dan penerimaan terhadap teks dan konteks keagamaan yang cenderung kurang holistik. Santri cenderung memahami agama sebagai sesuatu yang hanya berorientasi jauh ke akhirat. Mereka sudah merasa terpuaskan dengan ilmu-ilmu agama yang didapat dari pesantren, yang biasanya sudah diperas menjadi ilmu Fikih an sich. Belum lagi, mereka juga sering berlindung di balik paradigma zuhud. Sebuah paradigma yang dipahami sebagai pengerahan segala daya dan upaya secara maksimal untuk meraih kebahagiaan akhirat meski harus menomerduakan urusan dunia. Bagi golongan yang seperti ini, tidak masalah hidup sengsara di dunia asalkan bisa bahagia di akhirat.
Pandangan yang demikian bukannya tidak benar, hanya saja orientasi yang semacam itu turut mematikan semangat untuk dapat berkiprah secara maksimal dalam masalah keduniaan. Padahal dunia adalah satu-satunya jembatan menuju akhirat. Barangkali sudah saatnya konsep Zuhud yang seperti itu dikaji ulang. Simak saja pendapat Ali bin Abi Thalib r.a., yang mengatakan bahwa al-zahidu yamliku al-dunya walakin la yamlikuhu al-dunya (orang yang Zuhud adalah orang yang berhasil menguasai dunia, namun tidak dapat dikuasai oleh dunia).
Lebih dari itu, tesis yang diajukan Ali Maschan Moesa tentang bagaimana seharusnya santri, secara tidak langsung memperkuat konsep bahwa santri tidak seharusnya hanya berorientasi pada realitas transendental. Menurut Ali Maschan, Santri adalah generasi yang dipersiapkan untuk menjadi orang yang aliman, abidan, wira’an, zahidan wa ya’rifu al-mashalih al-ammah. Pendek kata, selain zuhud, shaleh dan wara’, santri seharusnya juga memilki basis intelektual yang kokoh dan relevan dengan kemaslahatan umum.
Di samping itu, faktor pesantren yang cenderung tertutup terhadap perkembangan ilmu-ilmu metodologis, lebih-lebih ilmu yang berasal dari Barat, juga memiliki andil memperkuat citra suramnya corak berfikir ilmiah di kalangan santri. Padahal, ilmu-imu metodologis menjadi sangat penting sebagai ilmu alat untuk mengkaji ilmu apa saja, termasuk ilmu agama. Dengan penguasaan terhadap ilmu-ilmu metodologis, pengkajian dan penelitian keagamaan dapat dilakukan secara simultan.
Pengkajian dan penelitian yang didasarkan pada kesadaran metodologis, akan menghasilkan produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal yang demikian masih belum banyak dimiliki oleh kalangan santri dan pesantren. Sehingga, santri menjadi kurang dapat mengikuti perkembangan-perkembangan tradisi pemikiran keagamaan dewasa ini. Kondisi seperti inilah yang oleh Tolchah Hasan diintrodusir sebagai kesenjangan paradigmatik antara santri dan masyarakat ilmiah lainnya.
Santri dan pesantren seharusnya lebih terbuka dalam usaha pengayaan basis intelektualitas. Bahwa mempelajari ilmu agama penting dan wajib, semua orang setuju. Namun tidak ada dalil yang secara tegas melarang belajar ilmu di luar ilmu agama. Saat ini, pesantren sudah harus lebih inklusif untuk dapat mengikuti perkembangan penelitian dan pemikiran keagamaan. Untuk sampai pada tujuan itu, sudah seharusnya dalam kurikulum pesantren dimasukkan juga pelajaran-pelajaran tentang metodologi penelitian dan standar-standar berfikir ilmiah. Ke depan, pesantren-pesantren inklusif inilah yang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga ilmiah lainnya. Dengan menjadi inklusif, santri akan mampu mengambil prakarsa untuk melakukan pengembangan pemikiran keagamaan melalui penelitian-penelitian ilmiah.

* Cak Kur adalah Santri (yang pernah) Gagal

Tidak ada komentar: