Oleh: Kurdi Muhammad
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin yang berbahagia, Khatib tidak pernah bosan untuk terus berwasiat agar kita semua dapat senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah S.W.T. Sebaliknya, Khatib juga berharap hadirin tidak pernah bosan mendengar seruan taqwa, lebih-lebih dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari.
Hari ini adalah hari raya kedua di tahun 1428 H ini. Manisnya Idul fitri sudah kita rasakan bersama. Kini saatnya keharuan Idul Adha menusuk relung hati kita yang terdalam. Syukur kepada Allah yang mempertemukan kita kembali dengan hari yang diberkahi ini. Untaian takbir dan tahmid yang mengiringi hari besar ini tak jarang membuat kita menangis tersedu-sedu. Tentu saja menangis bukan karena cengeng, melainkan menangis karena kita sadar bahwa betapa kecil dan lemahnya kita disandingkan dengan Allah yang Akbar.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin, hari raya Idhul Adha yang juga biasa disebut hari raya kurban memiliki dasar argumentasi yang qath’iy dan akar kesejarahan yang sangat kuat. Allah berfirman:
“Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah,” (al-Kautsar:1- 2)
Sayyid Quthb dalam tafsirnya fi Dzilalil Qur’an (2001: Jil. 12, 360-361) menjelaskan bahwa setelah diberi penegasan ayat pertama tentang pemberian nikmat yang melimpah ruah dari Allah, Ayat kedua ini adalah bentuk kesyukuran yang merupakan hak pertama Allah. Dalam arti, hak keikhlasan dan memurnikan ibadah hanya tertuju kepada-Nya dengan menunaikan shalat dan menyembelih kurban karena-Nya.
Sayyid Quthb menambahkan, bahwa ajaran berkurban menunjukkan perhatian agama Islam yang sangat besar untuk membersihkan pandangan hidup dan hati nurani dari penyakit syirik dan bekas-bekasnya. Hal itu misalnya, tercermin dari praktik berkurban yang tidak membolehkan menyembelih binatang kurban tanpa menyebut nama Allah.
Islam adalah agama tauhid yang tulus, murni dan jelas. Tauhid adalah hak Allah yang paling asasi. Oleh karena itu, Islam berusaha memberantas segala bentuk kemusyrikan dengan segala simbolnya, di manapun berada. Baik yang ada di dalam hati, yang merayap dalam tradisi, lebih-lebih yang tampak dalam peribadatan.
Allahu Akbar 3x
Hadirin yang dirahmati Allah, selain memiliki dimensi purifikasi tauhid, dilihat dari aspek sejarahnya, seremoni berkurban juga mencerminkan prinsip hidup yang mulia. Simak saja cerita tentang perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya, yang menjadi inspirasi disyari’atkannya berkurban. Allah berfirman:
“Maka tatkala ia (Isma’il) telah mencapai usia berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ ia (Ismail) menjawab: ‘Hai Bapakku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; engkau akan mendapatiku, insya Allah termasuk para penyabar.’ (QS. Ash-Shaffat; 37)
Terlepas dari siapakah putra Ibrahim yang hendak disembelih, Ismail atau Ishaq, ayat ini menggambarkan keikhlasan seorang Bapak dan Anak yang berkadar luar biasa. Ibrahim yang baru memiliki putra, setelah sekian lama tidak dikaruniai seorang anak, tanpa berfikir panjang mentaati perintah Allah meskipun hanya disampaikan dalam bentuk mimpi. Demikian juga putranya, tanpa berdebat panjang ia langsung menyanggupi apa yang diisyaratkan oleh Allah melalui mimpi ayahnya. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang bernar-benar mukhlis seutuhnya.
Untuk menjadi orang mukhlis seutuhnya, menurut khatib, kita tidak perlu menunggu menjadi Nabi terlebih dahulu seperti Ibrahim. Khatib yakin, Ibrahim dan putranya dapat melakukan hal itu bukan karena status kenabiannya, lebih dari itu, karena memang mereka merasakan kedekatan dengan Allah dan mampu menahan hawa nafsunya. Prof. Hamka dalam tafsirnya al-Azhar misalnya, ia menyebutkan, sejatinya hati Ibrahim ketika itu bertempur di antara dua cinta, yakni cinta kepada Allah dan cinta kepada anaknya. Dan akhirnya ia memenangkan cintanya kepada Allah (Hamka, 1993: Jil. 8, 6105). Usaha dan proses untuk mendekatkan diri kepada Allah inilah yang kemudian disebut sebagai qurban/kurban, yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja qa ru ba yang berarti mendekat.
Dalam konteks cerita Ibrahim dan kurban yang dilakukan dengan menyembelih binatang, titik tekannya bukan pada binatang sembelihan yang dikurbankan untuk Allah. Tapi kerelaan menjalankan perintah Allah dengan memberikan sesuatu yang paling dicintai itulah makna sesungguhnya berkurban. Oleh karena itu, dalam arti luas, orang yang mampu dan mau mendermakan sesuatu yang sangat dicintainya demi Allah, maka sesungguhnya ia telah berkurban.
Allahu Akbar 3x
Hadirin rahimakumullah, pada zaman Nabi Ibrahim hidup, hampir seluruh bangsa di dunia, masyarakatnya rela mempersembahkan nyawa manusia untuk Tuhan yang disembah. Di Mesir misalnya, gadis cantik dipersembahkan untuk Dewa sungai Nil. Di Irak, bayi dikurbankan untuk Dewa Baal. Sementara bangsa Viking, selalu mempersembahkan ‘Kyai’ atau tokoh agamanya untuk Dewa Odion (dewa perang).
Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab, perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya yang kemudian dibatalkan, menunjukkan bahwa jiwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai sesaji kepada-Nya. Hal itu karena kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, sehingga Dia melarang persembahan manusia sebagai korban (Shihab, 2004: Vol. 12, 65).
Selain itu, cerita Ibrahim dan putranya tersebut hendaknya menyadarkan kita untuk tidak takut mati dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar. Kalaupun perintah itu tidak dibatalkan, Ibrahim tidak akan rapuh melihat kematian putranya. Apalagi putranya yang sudah sejak awal justru berserah diri dan ikhlas kalaupun disembelih. Hal itu semata-mata dilakukan karena mereka meyakini kebesaran Allah dan kebenaran perintah-Nya.
Kematian adalah sesuatu yang niscaya. Sepintar dan segesit apapun kita berusaha menghindarinya, pada akhirnya akan bertemu juga. Hanya saja, kita mau mati dengan cara bagaimana itu terserah kita, khusnul khatimah atau su’ul khatimah, mati di jalan Allah atau mati di jalan Syaitan. Kematian ibarat rasa lapar dan dahaga yang pada gilirannya akan menghampiri kita. Umat Islam harus berani mati, lebih-lebih mati dalam rangka menjalankan perintah Allah. Hamka pernah mengatakan, kematian yang paling indah adalah kematian karena menjalankan perintah Allah.
Allahu Akbar 3x wa lillahil hamd
Hadirin yang dimulyakan Allah, lalu Bagaimana dengan diri kita? Sudahkah sebagai orang tua, kita mampu berbuat seperti Ibrahim? Atau sebaliknya, sebagai seorang anak, sejauh mana usaha kita untuk dapat meniru putra Ibrahim? Tidak sepatutnya, kita sebagai orang tua hanya menuntut anak kita berperilaku seperti Ismail, jika perilaku kita sendiri masih mirip Namrudz. Sebaliknya, sebagai seorang anak, tidak etis kita menuntut orang tua menjadi seperti Ibrahim, sementara kita sendiri masih berperilaku seperti Malin Kundang. Bersama mari kita mengoreksi diri masing-masing. Mudah-mudahan, mulai hari ini kita dapat menjadi Ibrahim-Ibrahim baru yang mampu menciptakan kisah yang mengharu biru.
Wal akhir, mudah-mudahan kita diberi kesempatan untuk kembali menikmati kesyahduan Idhul Adha tahun mendatang. Alhamdulillahi Rabbil A’lamin. Al-sholatu wa salamu ala Muhammadin wa a’la alihi wa sahbihi ajmain.
*Naskah Khutbah Hari Raya Idul Adha 1428 H
Rabu, 29 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar