Rabu, 26 November 2008

Anak Tukang Ngarit Belajar Filsafat, dari Al- Kindi sanpai Mulla Sadra (1)

Oleh: Kurdi Muhammad

Seyyed Hussein Nasr mengintrodusir beberapa definisi tentang filsafat dari Yunani dan paling lazim di kalangan Islam. Dari enam definisi, menurut penulis, ada dua definisi yang sangat menarik dan agak provokatif, bahwa filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia; dan filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian (cinta pada kematian) .
Selain berdimensi rasionalitas, dari definisi di atas, filsafat juga me-ngandung dimensi spiritualitas. Tidak seperti anggapan kebanyakan orang bahwa filsafat adalah melulu persoalan rasio. Selain itu filsafat juga memilki dua di-mensi, dimensi interpretasi spekulatif dan dimensi praksis. Hal ini dapat disimak dari pengertian filsafat yang diintrodusir oleh al-Kindi yang juga diamini al-Faraby, baginya filsafat secara teoritis adalah pengetahuan untuk memperoleh ke-benaran, dan secara praktis agar dapat berperilaku sesuai dengan kebenaran itu .
Orang Barat saat ini sering menuduh filsafat Islam sebetulnya adalah filsafat Yunani Aleksandrian yang diberi baju Arab. Tuduhan semacam itu di-dasarkan pada anotasi-anotasi yang dilakukan filsuf Islam terhadap konsep filsafat Yunani. Namun, jika dilihat dari perspektif Islam menjadi sangat jelas bahwa filsafat Islam berakar pada al-Quran dan Hadits. Hal ini juga ditegaskan oleh Amin Abdullah, meskipun ia mengakui ada asimilasi dan akulturasi filsafat Yu-nani, namun baginya filsafat Islam tetap memiliki trade mark-nya sendiri. Amin menyebut filsafat profetik sebagai contoh, termasuk karya Ibn Bajjah dan Ibn Tufail tentang Tuhan dan alam yang tidak mungkin diredusir dalam filsafat Yu-nani .
Filsafat Islam tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia . Interaksi itu berlangsung setelah adanya pem-bebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., dibawah para khalifah. Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama mengalami Hel-lenisasi.

Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (w. antara 252-260H) satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar .
Usaha Al-Kindi kemudian diikuti oleh sekelompok filosof di Bagdad yang berpuncak pada Al-Farabi (257 H/870 M) pemikir yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran islam selanjutnya . Dia tidak sekedar mem-bangun jenis-jenis topik yang kelak berkembang menjadi fokus filsafat islam pada abad-abad selanjutnya, tetapi juga berperan besar dalam memperluas dan me-nyempurnakan kosakata filsafat tersebut.
Seorang pemikir kreatif yang mengikuti tradisi ini adalah Ibn Sina (Avicenna) (370-429 H/980-1037 M). kiranya mustahil untuk meringkas karya besarnya kecuali untuk tujuan kita kaitkan dengan perkembangan argumentasinya bahwa alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang telah ditentukan dan dipastikan. Tuhan adalah pengecualian. Tuhan adalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu selain diri-Nya. Tuhan me-rupakan sebab pertama dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas . Pendapat ini tampaknya memang sesuai dengan ajaran agama.
Sikap Ibn Sina ini kemudian mendapatkan pertentangan keras dari al-Ghazali (450-505H/1058-1111M). Bagi al-Ghazali para filsuf yang seperti itu se-jatinya menentang prinsip-prinsipnya sendiri dan filsafat cenderung tidak mem-berikan ruang pada agama. Artinya, lanjut al-Ghazali seberapapun jauhnya filsuf berbicara tentang Tuhan, mereka hanya memperlakukakan-Nya sebagai nama (nominal) untuk suatu gagasan kosong. Tuhan adalah nama besar yang tidak di-beri ruang apa-apa. Banyak yang beranggapan bahwa serangan al-Ghazali ini me-matikan filsafat. Lebih ekstrim ada yang mengatakan bahwa kemunduran umat Islam saat ini sebagai akibat dari kuatnya pengaruh al-Ghazali .
Sementara itu, di dunia Islam Barat, setelah al-Ghazali muncul Ibn Rusyd (520-595H/1126-1198M). Ibn Rusyd membidas balik al-Ghazali dengan menulis buku Tahafut al-Tahafut. Dia mencoba mengembalikan filsafat ke akar Aris-toteliannya, sembari membersihkan kurikulum filsafat yang ia curigai telah dikotori oleh neoplatonisme dan Ibn Sina . Tesisnya yang cukup terkenal adalah tentang beragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama.
Filsuf lainnya dari Barat (Andalusia) adalah Ibn Bajjah (537H/1138M) dan Ibn Thufail (w. 581H). Filsafat yang dikembangkan oleh para filsuf ini adalah fil-safat paripatetik. Karya Ibn Thufail yang terkenal adalah Hayy Ibn Yaqzhan (Ke-hidupan Anak Kesadaran), yang merupakan ajaran filsafat pertama yang ber-bentuk novel.
Pada periode selanjutnya, al-Suhrawardi (549-587H/1154-1191M) ber-usaha memadukan antara tradisi mistis dengan filsafat paripatetik. Baginya pe-ngetahuan tidak hanya didapat melalui akal, tapi juga bisa melalui pancaran cahaya ilahi. Dari proposisi al-Suhrawardi ini lalu muncul konsep filsafat ilu-minasi (isyraqiyah). Ilmunasi memiliki makna bahwa apabila menyempurnakan diri sendiri, kita akan mendapat pancaran dari Sumber realitas yang Agung.
Setelah itu, madzhab Isfahan yang dimotori oleh Mir Damad (w. 1041H) dan Mulla Sadra (w.1050H) mencoba melakukan sintesa antara filsafat paripatetik dan filsafat iluminasi. Atas usaha ini, muncul konsep filsafat baru yang disebut se-bagai al-Hikmah al-Muta’aliyah atau teosofi transendental. Dalam kurun waktu agak belakangan, Khomeini dan Said Nursi dapat disebut pengembang madzhab ini. Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal termasuk muncul ke-mudian, termasuk Seyyed Hussein Nasr yang muncul pada era modern saat ini.

Tidak ada komentar: