Rabu, 26 November 2008

Imam Hanafi dan Imam Syafii Saja Berbeda

Oleh: Kurdi Muhammad

Hukum asal dari hukum-hukum syariah adalah ibadah menurut Syafii, sedangkan menurut Hanafi adalah untuk dicari illatnya. Dengan ba-hasa lain, kaidah ushuliyah ini dapat diintepretasikan, dengan mengutip tulisan Prof. Abdul Munir Mulkhan bahwa dalam praktiknya, bagi ka-langan Syafi’iyah, hukum-hukum Syariat yang dibebankan pada hamba-Nya (taklif) harus disikapi dengan sikap ketertundukan yang hakiki, sam’an wa tha’atan, sebagai refleksi sikap penghambaan yang tulus ke-pada Syari’, dengan tanpa menanyakan untuk apa dan kenapa. Kon-sekuensi logis dari model penghayatan yang semacam ini adalah bahwa setiap perintah yang diturunkan oleh Syari’ bernilai baik dan berbanding lurus dengan kemaslahatan bagi diri si Pelaku. Karena, sekali lagi, dalam persepsi mereka segala bentuk aktualisasi hukum-hukum Syariah ber-dimensi ibadah.
Sementara bagi kalangan Hanafiyah, tidak ada satu hukum Sya-riahpun yang diturunkankan kepada hamba-Nya, yang tidak dapat di-ketahui apa tujuannya dan mengapa harus dilakukan. Dengan konsep pe-mahaman yang demikian, kalangan Hanafiyah, dalam penyikapannya ter-hadap hukum-hukum Syariah, selalu berusaha mencari illat diturunkannya hukum tersebut. Meskipun pada akhirnya temuan illatnya adalah produk ijtihadi, namun setidak-tidaknya temuan illat tersebut mampu membuat hukum-hukum Syariah lebih dinamis dan tidak lepas dari dimensi ke-maslahatan. Persepsi ini diperkuat dengan kaidah ushul yang lain bahwa, al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan wa a’daman, adalah sebuah hu-kum Syariah yang akan senantiasa dinamis mengikuti dinamisme illatnya.
Salah satu contoh konkrit dalam aplikasi kedua kaidah tersebut adalah tentang konsepsi bagian waris antara laki-laki dan perempuan yang berbanding 1:2. Bagi kalangan Syafiiyah yang menganggap hukum syara’ adalah li ta’abudi, maka konsepsi numerik tersebut sudah qath’i, sehingga tidak dapat dirubah dan pelaksanaaanya berdimensi ibadah. Sementara bagi kalangan Hanafiyah, model pembagian numeral itu bukanlah yang qath’i, illat yang qath’i menurut mereka adalah persamaan han antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh bagian waris. Sehingga, ketentuan 1:2 bisa saja berubah di tempat yang berbeda dengan illat (kondisi dan situasi) yang berbeda pula.

Pernikahan
Hakikat sebuah pernikahan adalah hubungan timbal balik yang seimbang antara suami dan istri. Sehingga implikasi hukumnya menurut Syafi’i, ikatan pernikahan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban yang sama antara suami istri. Dalam hal ini suami istri saling memilki dan saling menguasai satu sama lain, tidak ada inferioritas maupun superioritas dalam hubungan keduanya.

Sementara bagi Hanafi, pernikahan merupakan pangkal tolak superioritas suami atas istri dan tidak demikian sebaliknya. Dalam hal ini memiliki kewajiban yang sangat besar dalam menjaga kelangsungan hidup istrinya, sama seperti kewajiban seorang tua kepada anaknya. Sebaliknya, jika prinsi ini sudah terpenuhi, istri harus taat kepada suami laiknya ketaatan kepada orang tuanya.
Implikasi hukum dari konsep yang demikian ini, adalah penguasaan penuh suami atas istri yang dinikahinya. Meskipun demikian, hubungan antara keduanya keduanya bukan seperti budak dengan sahayanya, tetapi lebih seperti orang tua dengan anaknya atau pemilik dengan yang di-milikinya.
Maksud dari prinsip yang dikemukakan oleh Hanafi ini bukanlah se-suatu yang mengarah pada marjinalitas istri, namun lebih kepada upaya penyadaran para suami tentang kewajiban besar yang dipikulnya serta to-talitas ketaatan istri kepada suami yang telah menunaikan kewajibannya sebagai suami.

Tidak ada komentar: