Rabu, 26 November 2008

Ibn Khaldun, Samuel Huntington dan Bu Asmina yang Rindu Damai (2)

Oleh: Kurdi Muhammad

The Muqaddima Vs Clash of Civilization
Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim dengan karyanya yang legendaris, The Muqaddimah, yang hidup pada tahun 1300-an. Sedangkan Samuel Huntington adalah professor ilmu politik di Universitas Harvard yang salah satu bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, mungkin merupakan buku yang paling banyak menjadi referensi dalam wacana tentang politik global pada tahun 1990-an. Pemikiran Ibnu Khaldun sangat relevan dengan situasi politik global saat ini. Hal ini tercermin dalam sebuah tulisan Robert Cox berjudul Towards a Posthegemonic Conceptualization of World Order: Reflections on the Relevancy of Ibn Khaldun (1992). Melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengelaborasi bibit-bibit kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan. Di masa hidupnya, walaupun secara kultural Islam masih berada dalam zaman keemasan, namun basis material dari hegemoni Islam ketika itu te-lah melemah. Misalnya, wilayah-wilayah Islam di Afrika Utara menghadapi tantangan dari suku-suku nomaden tradisional di satu sisi, dan kekuatan Kristen di sebelah utara yang menguasai alur Mediterania di sisi lain.
Di masa itu, kekuatan Kristen dan Yahudi juga mulai tampil sebagai kekuatan perdagangan. Invasi Mongol dari Timur juga mengerosi struktur yang telah terbangun, kota-kota peradaban Islam termasuk sistem irigasi dihancurkan, dan pajak-pajak Mongol merusak administrasi Islam. Ketika itu, Ibnu Khaldun telah dikenal sebagai ilmuwan besar. Ia konon dimintai nasihatnya oleh Pedro the Cruel dari Sevila dan juga penakluk dari Mongol, Timur Lank. Namun, Ibnu Khaldun menolak permintaan tersebut ..
Ibnu Khaldun menaruh perhatian besar pada konsep "negara" dalam pengertian yang luas, terutama berkaitan dengan kemunculan (emergence), kedewasaan (maturity), dan kemundurannya (decline). Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa ekspansi kekuasaan akan mendorong penguasa pada perilaku korup, kemewahan, suap dan berbagai de-kadensi lain yang menjauhkan rezim penguasa dari rakyatnya dan akhirnya menjadi sebab dari kemundurannya sendiri. Pada dasarnya ia menyatakan bahwa proses-proses politik akan menghasilkan sebuah political order. Proses ini bisa saja gagal, namun bukan disebabkan oleh bentuk atau sistem politik yang digunakan, namun oleh ke-tidakmampuan (inadequacies) kultur yang dominan dalam struktur politik tersebut dalam menjawab persoalan persoalan yang ada. Kemunduran ini hanya bisa dicegah oleh enlightened individual yang bisa melihat dan menjawab persoalan secara jernih dan me-ngidentifikasi sebab-sebab kemundurannya dari internal.
Benang merah yang sama bisa dijumpai dalam berbagai tulisan Samuel Huntington. Walaupun tulisan awalnya mengenai the clash of civilization di jurnal Foreign Affairs tahun 1993 dihujani kritik tajam, melalui bukunya The Clash of Civilization Huntington mengelaborasi lebih jauh persoalan dominasi dan hegemoni AS secara lebih adil. Dalam buku tersebut Huntington memperingatkan AS untuk bersikap open-minded terhadap the otherness, termasuk pada Islam, peradaban Timur pada umumnya dan berbagai peradaban lain. Pendeknya, ia menandaskan bahwa AS harus menghindarkan sikap hegemoniknya.
Dalam tulisannya yang berjudul The Lonely Superpower di Foreign Affairs (1999), Huntington menyatakan bahwa walaupun Amerika sekarang menjadi satu-satunya superpower, hal itu tidak berarti bahwa dunia saat ini berstruktur unipolar, seperti yang dianggap oleh banyak pihak. Pengertian unipolar mensyaratkan kondisi di mana du-nia hanya memiliki satu superpower, tidak adanya major power yang signifikan dan hanya terdapat banyak minor power. Dengan demikian, dalam sebuah struktur unipolar, sebuah superpower akan mampu secara efektif menyelesaikan berbagai isu internasional sendirian dan tidak ada kombinasi kekuatan lain yang mampu mencegahnya .
Situasi saat ini jauh dari pengertian unipolar. Struktur unipolar hanya pernah terjadi pada kekaisaran Romawi abad kelima dan kekaisaran Cina pada abad kesembilan belas. AS tidak bisa, menurut Huntington, berilusi menjadi hegemon dalam sebuah sistem multipolar. Karena, ada berbagai negara dengan kekuatannya mampu mengedepankan kepentingannya sendiri vis-a-vis Amerika, walaupun tidak bisa menjangkau wilayah yang global sifatnya. Contohnya adalah kekuatan Jerman dan Perancis di Eropa, Rusia di Eurasia, Cina dan Jepang di Asia Timur, India di Asia Selatan, Iran di Asia Barat Daya, Brazil di Amerika Latin, Afrika Selatan dan Nigeria Di Afrika .
Huntington juga tidak sependapat dengan Francois Fukuyama dalam The End of History and the Last Man berpendapat bahwa runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 adalah simbol yang menunjukkan demokrasi liberal ala Barat secara natural akan menjadi pilihan-pilihan bangsa di dunia.
Setelah membangun premis yang panjang, di akhir buku itu Huntington memfokuskan potensi musuh Barat ke depan adalah Islam. Tulisan itu bagaikan jurus baru bagi sebagian orang Barat yang selama ini memang bersikap sentimen dan anti-Islam. Tesis Huntington seperti pelepas dahaga. Ia seolah mampu menjawab pertanyaan besar, “Akan kemana Barat-terutama Amerika-pascaruntuhnya Soviet.” Sebab sekarang hanya tinggal satu adidaya. Sementara kemajuan dan perkembangan mesti dilanjutkan. Dan untuk maju, Barat perlu kompetitor baru.
Akhirnya, bibit konflik Barat-Islam menemukan momentumnya. Barat dengan segala daya upayanya berusaha membredel Islam. Segala upaya dan srategi ditujukan untuk bagaimana mempressure ideologi Islam. Seolah mendapat pembenar, pasca tragedi 9/11, AS dan sekutunya segera menetapkan tersangka utamanya adalah Islam . Akhirnya semakin menguatlah stigma teroris pada diri umat Islam, sehingga hal itu dijadikan alasan untuk menghancurkan Afghanistan . Namun, sebelum itu gelombang permusuhan terhadap Islam sudah dimulai. Kasus pemandulan Palestina, penyerangan terhadap Irak adalah juga bagian tak terpisahkan dari upaya pengkerdilan Islam. Selanjutnya, isu yang paling gres adalah penghinaan kartun Nabi oleh kartunis Denmark dan Italia, juga rencana penyerangan AS terhadap Iran, juga dapat dijadikan sebagai penguat bahwa Barat senantiasa menebarkan kebencian kepada Islam.
Tidak sedikit pihak yang mengkritik argumen Huntington Bebearapa analisis menilai argumen Huntington cenderung membesar-besarkan perbedaan budaya. Edward Said mengatakan Huntington telah secara serius mengabaikan nilai-nilai humanitas, bahkan cenderung mengagungkan kelompok/peradaban tertentu (rasis). Menurut Said, Huntington mengabaikan kemungkinan kerja sama antarperadaban di dunia . Sementara itu, Tifatul Sembiring, Presiden PKS, juga ikut angkat bicara, ia mengkritik Huntington, seolah dia menutup peluang komunikasi dan relasi yang lebih humanis sesama manusia. Bahwa tidak semua perbedaan ideologi, ras, dan agama harus berujung konflik. Seolah tidak ada lagi jalan dialog dan hubungan bermartabat . Penulis sendiri melihat, entah kebetulan atau memang sudah direncanakan, yang jelas aksi kongkrit dari Negara-negara Barat saat ini, tampak sekali ingin mendeskriditkan, kalau tidak mau dibilang mem-berhangus, Negara-negara Islam maupun Negara-negara yang berpotensi menjadi Negara Islam. Karenanya, tidak salah kiranya Negara-negara Islam itu membenahi struktur kekuatan masing-masing, minimal sesuai dengan kriteria menjadi Negara kuat se-bagaimana yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun.

Tidak ada komentar: