Rabu, 26 November 2008

Syari’at dan Human Character Building (II)

Oleh; Kurdi Muhammad

Islam Mengatur Cara Berpakaian.
Dalam Islam, diatur batasan aurat seorang laki-laki dan perempuan, dimana aurat laki-laki ditentukan dari pusar sampai lutut, sedangkan untuk perempuan, seluruh anggota tubuhnya adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan. Aturan ini dibuat untuk menjaga kehormatan seseorang dan menciptakan kemaslahatan. Karena pada hakikatnya, keterbukaan aurat akan menimbulkan ‘kegersangan’ di satu sisi dan ‘kebasahan’ di sisi yang lain. Barangkali agak hipokrit jika ada yang mengatakan tidak ada reaksi apa-apa saat menyaksikan aurat terbuka, apalagi yang itu adalah milik orang yang selalu menjaga dan menutup auratnya, untuk tipe orang yang disebut terakhir ini, bahkan banyak dari kita yang ingin melihatnya otomatis terbuka. Karenanya, Islam menyuruh untuk selalu menutupnya.
Lalu mengapa Islam menyebut bagian yang tidak boleh dilihat ini dengan aurat? Padahal kalau kita [erhatikan, secra harfiah aurat berarti sesuatu yang cacat, padahal kenyataannya sesuatu yang tidak patut dilihat itu adalah ‘sesuatu yang indah’ yang membuat setiap orang yang melihatnya kepincut. Dalam hemat penulis, kata penyebutan denga aurat tak ubahnya meeupakan sebuah konstruk kebahasaan yang mencoba mengintervensi pola kehidupan social guna menciptakan image negative, karena memang tujuannya agar diajuhi oleh seseorang. Kasusnya mirip dengan konstruk kebahasaan yang juga maklum di kalangan orang Indonesia. Stigma-stigma kebahasaan seperti tidak perawan, kumpul kebo, anak haram, homo seksual, lesbian, banci, waria dan lain-lain adalah upaya control social atas perilaku dan status social yang dianggap tidak patut melalui pelembagaan konstruk bahasa. Karenanya, barangkali dzauq bahasa orang Arab lebih sensitive saat mendengar kata aurat, dibanding dengan kita. Sebaliknya, rasa bahasa kita akan lebih merasa miris saat mendengar kata kumpul kebo, dibanding orang Arab yang mendengar istilah yang sama. Karena memang masalah konstruk bahasa seperti ini berkait kelindan denga lughah tsaqafy sebuah kaum.
Tidak seperti yang kebanyakan dipersepsikan oleh kaum minimalis (sebutan dari penulis untuk orang yang mengetahui sedikit tentang Islam), bahwa detil aturan tentang aurat tidak pluralis, karena tidak mau mengakomodasi pakaian kebesaran masyarakat tertentu yang menampilkan aurat. Kasus terakhir yang sedang marak adalah hendak diundangkannya RUU APP yang mencoba sedikit menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam menangani mmaraknya kasus pornigrafi dan pornoaksi.
Belum juga disyahkan protes keras sudah muncul dari para minimalis, diantaranya, Budayawan Goenawan Muhammad, ia melihat episteme yang digunakan dalam RUU APP adalah episteme Negara tertentu yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dengan terang-terangan Goenawan menyebut epistem RUU APP adalah produk impor kebudayaan Arab (baca: Islam). Bahkan, meminjam istilah Gadis Arivia, RUU APP terkesan memaksakan revolusi kebudayaan berdasar episteme tertentu, dan berharap diterima oleh golongan berepisteme lain. Bahkan mayoritas kaum penentang mengatakan jika RUU APP benar-benar diterapkan, orang-orang desa yang biasa mandi, mencuci dan buang air di sungai akan dikenakan hukuman.
Dalam hal ini, logika yang penulis pergunakan berbeda dengan logika kaum minimalis. Menurut penulis, sebaliknya, sudah saatnya orang yang mandi, mencuci dan buang air di suangai ditingkatkan derajatnya. Karena bangaimanapun juga, orang yang seperti itu, dalam pandangan masyarakat umum masing tergolong ketinggalan zaman. Karenanya melalui UU APP nantinya, derajat mereka dinaikkan, barangkali hanya orang egois yang ingin mereka tetap mandi, mencuci dan buang air di sungai. Dengan diterapkannya RUU APP, minimal mereka akan berusaha untuk membuat sumur pribadi di rumahnya atau bahkan sumur jamaah dengan para tetangganya. Kalaupun secara berjamaah mereka tetap tidak mampu, maka pemerintah desa minimal harus mengusahakan sekat tembok untuk tempat mandi, mencuci dan buang air warga di sungai. Namun, secara pribadi penulis optimis minimal masyarakat mampu membangun sumur jamaah, karena faktanya kebanyakan mereka mampu membangun masjid yang megah.
Oleh karena itu, jika arah berpikir kita kesana, maka minimal ada dua keuntungan diterapkannya RUU APP, terkuranginya pornografi-pornoaksi dan peradaban masyarakat Indonesia semakin maju, walaupun hanya beberapa langakah.
Islam Mengatur Cara Tidur
Dalam masalah ini, Islam memerintahkan seseorang yang hendak tidur agar terlebih dahulu berwudlu, kemudian berbaring dengan menghadap ke sebelah kanan dan pada saat bangun tidur, sebelum memasukkan tangan ke dalam bak mandi dianjurkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu.
Ajaran tersebut lebih megena saat diselidiki secara medis ternyata cara tidur ala Rasul dapat memperlancar peredaran darah seseorang. Barangkali semua orang mafhum, darah sama halnya bensin pada kendaraan bermesin, jika proses pembakaran bensin lancer, maka lancar semua gerak organ mesin. Begitu juga dengan darah, jika peredaran darah seseorang lancar, maka system tubuh dan pernafasan seseorang juga akan lancar, hal ini baik untuk proporsi kinerja tubuh manusia.
Islam Mengatur Penyaluran Bakat Seksual
Bakat seksual barangkali merupakan bakat alamiah yang diberikan oleh Allah ke-kepada seluruh manusia. Hanya sedikit jumlah orang yang tidak dikaruniai bakat tersebut (baca: impotent). Dalam bahasa Sigmund Freud, naluri seksual adalah gejolak alamiah yang akan menggeliat tak karuan jika tidak dilembagakan. Karenanya, Freud merekomendasikan sebisa mungkin masalah seksualitas dilembagakan. Maka dari itu, jauh-jauh hari Islam telah berusaha melembagakan penyaluran hasrat seksual itu dalam sebuah pernikahan.
Nikah dalam bahasa Arab berakar kata pada bentuk fiil madhi na ka ha yang dalam banyak literatur fikih dipersamakan dengan alwathu, yang berarti ‘menekan’ yang kemudian dalam perkembangannya mengalami sublimisasi makna menjadi disinonimkan dengan (nuwun sewu) ’jimak atau bersetubuh’. Hal ini dapat dimaklumi karena, salah satu faktor utama pembentuk sebuah mahligai pernikahan adalah hubungan sebadan antara suami istri . Karenanya, benar secara kaidah bahasa, jika penulis menterjemahkan ayat fankihuu maa thaaba lakum minan nisaai.... (QS 4: 3), dengan Setubuhilah Wanita-wanita yang kamu senangi. Ada pula yang melontarkan adagium na ka ha sebagai bentuk akronim dari nikmat, karamah, dan hamasah, karena memang pada kenyataannya, orang yang sudah menikah dipastikan memperoleh kenikmatan yang luar biasa, kemulyaan yang lebih dan semangat hidup yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Dalam bahasa yang sederhana -meminjam bahasa slank JTV- akronim nun kaf ha diterjemahkan dengan (maaf) nang kamar ho ho hi he (baca: sesuai dengan hasil penafsiran anda).
Menurut Abul Faraj al-jauzy menikah sangat erat kaitannya dengan hubungan suami istri, hobi nikah merupakan tujuan puncak ibadah, bila diniati untuk memperbanyak anak, bahkan menurutnya nikah untuk senang-senang saja tidak apa-apa, hukumnya mubah. Dia menambahkan, bahwa secara anatomis (maaf) sperma merupakan sumber kekuatan kedua setelah darah, keduanya menjadi tiang bagi tubuh. Air sperma yang mengendap tak pernah dikeluarkan, secara perlahan akan naik ke otak yang pada akhirnya akan menyebabkan penyakit dan menimbulkan pikiran-pikiran kotor. (lih. In The Name of Sex hal. 99-100)
Dalam konteks yang lain, Al-Quran lebih sering menggunakan kata tazawuj sebagai khitab yang mengindikasikan arti bahasa pernikahan. Secara leterlijk kata tazawuj berarti berpasangan yang merujuk pada sebuah mahligai pernikahan yang tentu saja memasangkan antara laki-laki dan perempuan . Para Fuqaha sepakat, bahwa yang dimaksud dengan Nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan hubungan sebadan antara seorang laki-laki dan perempuan, dengan syarat dan rukun tertentu dengan niat ibadah kepada Allah SWT.
Dari definisi pernikahan di atas, kiranya dapat disimpulkan karakteritik dan hikmah pernikahan, antara lain:
a) Pernikahan merupakan ibadah yang paling enak
b) Berkait kelindan dengan hubungan sebadan
c) Penyatuan dua keluarga yang berbeda adat dan kebiasaannya
d) Penyatuan hati dua insan dengan banyak perbedaan
e) Mengandung kemuliaan di dalamnya
f) Memiliki dimensi ketertundukan kepada sang khalik dll.
Wal hasil, dengan dilembagakan melalui sebuah pernikahan, penyaluran bakat seksual akan lebih humanis dan mendatangkan banyak maslahat. Selain itu, dari beberapa hikmah di atas ada banyak keuntungan yang dihasilkan dari adanya sebuah pernikahan, diantaranya, tambah keluarga, lebih banyak ladang pahala, dimudahkan rizkinya dan lebih bermartabat. Selain itu, Islam juga mensyariatkan pernikahan dengan segala hal yang berhubungan dengan itu, agar seseorang memperoleh keturunan dengan status anak yang jelas nasabnya.
Islam Mengatur Cara Berinteraksi dengan Orang lain
Dalam interaksi sosial, Islam menegaskan bahwa ada kewajiban untuk memenuhi hak orang lain sebelum dia menuntut hak pribadinya. Islam mengatur, bahwa kewajiban seorang muslim terhadap muslim antara laian, mendoakan waktu bersin, menjawab salam, mendatangi undangan, menjenguk di waktu sakit, memberi nasihat kebaikan dan lain-lain. Dari kewajian-kewajiban itu, jika dapat dilakukan secara maksimal, maka akan terbentuk sebuah karakter muslim yang humanis, sosialis, mukhlis dan bertaqwa kepada Allah.
Selain itu, Islam juga menandaskan bahwa yang tua harus menyayangi yang muda dan yang muda hendaknya menghormati yang tua. Dengan begitu interaksi social sesama muslim akan selalu cair, karena mengedapankan nilai-nilai humanisme penghargaan terhadap derajat dan martabat masing-masing.di samping itu, Islam juga menganjurkan untuk menghormati tamu. Dengan anjuran-anjuran itu, seorang muslim akn terbentuk karakternya menjadi pribadi yang toleran, menghargai orang lain, serta peka terhadap kepentingan orang lain.
Islam Mengatur Kehidupan Bernegara
Dalam kehidupan bernegara, Islam mensyariatkan untuk mematuhi seorang pemimpin selama ia tidak menyalahi aturan Allah, selain ia harus adil, jujur dan bertanggung jawab. Etika ketaatan kepada jabatan menurut Kiai Azar Basyir, salah seorang pimpinan Pusat Muhammadiyah, bisa tercermin pada orang yang sedang melakukan sholat berjamaah. Imam sebagai atasan harus diikuti segenap gerak gerik dan komandonya (sekaligus sebagai suri teladan bagi bawahannya). Namun demikian, makmum sebagai bawahan berhak mengoreksi dan mengkritik apabila imam atau atasannya melakukan kealpaan.
Penutup
Begitulah Islam dalam mengatur akhlaq, dengan dijalankannya semua aturan itu, niscaya dengan sendirinya akan terbentuk karakater manusia yang handal dan bermartabat, disiplin, bertanggung jawab, adil, dan saling menghormati. Sehingga, dalam skala yang lebih luas, akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang damai dan sentausa.

Tidak ada komentar: