Rabu, 26 November 2008

Nilai-Nilai Muamalah Syariah Dalam Aplikasi Sistem Ekonomi Islam

Oleh: Kurdi Muhammad

I. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur se-luruh aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para ulama ti-dak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh mem-bahas fiqh ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus mem-bahas ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya . Namun dalam waktu yang panjang, materi muamalah (ekonomi Islam) cenderung diabaikan kaum muslimin, padahal ajaran muamalah bagian penting dari ajaran Islam.
Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Dalam kitab Al-Mu’amalah fil Islam, Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id me-ngatakan :
Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka.



II. PENGERTIAN MUAMALAH
Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, seba-gaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa , yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda atau lebih tepatnya dapa dikaakan sebagai aturan Islam tentang kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia.

III. HUKUM MUAMALAH
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim. Husein Shahhatah, selanjutnya menulis, “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim ber-kewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan ter-perosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras men-jadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Mema-hami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun un-tuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah.
Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
“Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah me-ngerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi). Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam Tidak boleh beraktifitas bisnis, Tidak boleh berdagang, Tidak boleh beraktivitas per-bankan, Tidak boleh beraktifitas asuransi, Tidak boleh beraktifitas pasar modal, Tidak boleh beraktifitas koperasi, Tidak boleh beraktifitas pegadaian, Tidak boleh beraktifitas reksadana, Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM, Tidak boleh beraktifitas jual-beli, Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun, kecuali faham fiqh muamalah.
Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan Muamalat adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Dalam konteks ini Allah berfirman :

‘Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, “Hai Kaumku sembahlah Allah, sekali-kali Tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)”.

Dan Syu’aib berkata,”Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Hud : 84,85)

Dua ayat di atas mengisahkan perdebatan kaum Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib mengajarkan I’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Nabi Syu’aib mengingatkan mereka tentang kekacauan transaksi muamalah (ekonomi) yang mereka lakukan selama ini. Al-Quran lebih lanjut mengisahkan ungkapan umatnya yang merasa keberatan diatur transaksi ekonominya,
Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kamu meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangmu atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang penyantun lagi cerdas”.

Ayat ini berisi dua peringatan penting, yaitu aqidah dan muamalah. Ayat ini juga menjelaskan bahwa pencarian dan pengelolaan rezeki (harta) tidak boleh sekehendak hati, melainkan mesti sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah, yang disebut dengan syari’ah.
Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam (para professor dan Doktor) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya.

IV. RUANG LINGKUP
Adapun ruang lingkup muamalah yakni; Harta, Hak Milik, Fungsi Uang, Buyu’ (tentang jual beli), Ar-Rahn (tentang pegadaian), Hiwalah (pengalihan hutang), Ash-Shulhu (perdamaian bisnis), Adh-Dhaman (jaminan, asuransi), Syirkah (tentang perkongsian), Wakalah (tentang per-wakilan), Wadi’ah (tentang penitipan), ‘Ariyah (tentang peminjaman), Mudharabah (syirkah modal dan tenaga), Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun), Muzara’ah (kerjasama per-tanian), Kafalah (pen-jaminan), Taflis (jatuh bangkrut), Al-Hajru (batasan ber-tindak), Ji’alah (sayembara, pemberian fee), Qaradh (pejaman), transaksi valas, ’Urbun (panjar/DP), Ijarah (sewa-menyewa), Riba, konsep uang dan kebi-jakan moneter, Shukuk (surat utang atau obligasi), Faraidh (warisan), Luqthah (barang tercecer), Waqaf, Hibah, Washiat, Iqrar, Qismul fa’i wal ghanimah (pem-bagian fa’i dan ghanimah), Qism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat), Ibrak (pembebasan hutang), Muqasah (Discount), Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur, Baitul Mal dan Jihbiz, Kebijakan fiskal Islam, Keadilan Distribusi, Perburuhan (hubungan buruh dan ma-jikan, upah buruh), monopoli, Pasar modal Islami dan Reksadana, Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain

V. PAYUNG HUKUM MUAMALAH SYARIAH
Mahkamah Agung Sudah membentuk Pokja Penyusunan Kompilasi Hukum Muamalah Syari’ah Agar segera bisa mengisi kekosongan hukum, payung hukum kompilasi itu kemungkinan berbentuk PERMA. Kompilasi Hukum Mu-amalah Syari’ah diproyeksikan menjadi hukum material dan formal untuk me-nangani perkara-perkara di bidang ekonomi syari’ah. MA terus melakukan lang-kah-langkah menuju penyusunan regulasi ekonomi syari’ah. Mahkamah Agung sudah membentuk sebuah kelompok kerja (Pokja). Pokja inilah yang diberi tugas menyusun Kompilasi Hukum Muamalah Syari’ah (KHMS)
Meski permasalahan ekonomi syari’ah cukup kompleks, namun waktu yang diberikan kepada Pokja untuk menyusun KHMS hanya setahun. Menurut Rifyal, MA berkeinginan segera menyusun aturan KHMS, paling tidak agar bisa mengisi kekosongan hukum perkara-perkara muamalah syariah sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2006. Adanya aturan yang tegas diharapkan bisa mengatasi per-soalan yurisdiksi, pengadilan mana yang berwenang menangani sengketa per-bankan syari’ah.
Berbasis Fikih Klasik
KHMS, tetap akan didasarkan pada fiqh muamalah tetapi diadaptasikan dengan perkembangan hukum ekonomi modern. Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah :
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim (Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang engharamkannya). Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Selain itu juga merujuk pada pe-nerapan ekonomi syari’ah selama 20 tahun terakhir di Negara-negara Islam. Ada 11 item yang akan dimasukkan dalam KHMS. Ini mengacu pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Per-adilan Agama. Adapun ke-11 item tersebut adalah bank syari'ah; lembaga ke-uangan mikro syari'ah; asuransi syari'ah; reasuransi syari'ah; reksa dana syari'ah; obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; sekuritas syari'ah; pembiayaan syari'ah; pegadaian syari'ah; dana pensiun lembaga ke-uangan syari'ah; dan bisnis syari'ah.

VI. FATWA MUI
Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia .. Asset perbankan syari’ah ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006). Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah
Para praktisi ekonomi syari’ah, masyarakat dan pemerintah (regulator) membutuhkan fatwa-fatwa syariah dari lembaga ulama (MUI) berkaitan dengan praktek dan produk di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Perkem-bangan lembaga keuangan syariah yang demikian cepat harus diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syari’ah yang valid dan akurat, agar seluruh produknya me-miliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.
Kedudukan Fatwa
Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk mem-berikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.
Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi islami yang tengah ditata/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi ke-majuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih . Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keu-angan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan tawjih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah. Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.
Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustaft (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Per-adilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.
Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu) , Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Se-andainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.
Keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial. Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi-/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masa-lah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) meli-batkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia. Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang di-keluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan ke-masyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fat-wa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga ke-uangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.
Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47 fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, ta-bungan, murabahah, jual beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah, diskon dalam murabahah, sanksi atas na-sabah mampu yang menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan dalam mura-bahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.

VII. SISTEM OPERASIONAL BANK SYARIAH
Perbankan syariah yang paling awal hadir di tanah air hingga kini masih mendompleng peraturan UU Perbankan tahun 1998, dan masih menantikan peraturan tersendiri tentang UU perbankan syariah. Sejak keluarnya UU No 7/1992 yang memungkinkan perbankan menjalankan usahanya dengan sistem bagi hasil, keinginan umat Islam bangkit di bidang ekonomi dengan melaksanakan sistem ekonomi sesuai dengan syariah Islam, terwujud sudah. Saat itu lahirlah Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama diikuti oleh beberapa BPR Syariah.
Sekalipun perkembangannya cenderung lamban, ternyata perbankan syariah terbukti tangguh saat krisis moneter mengguncang dunia perbankan kita pada 1997.Sistem syariah ternyata dinilai cukup efektif untuk meminimalisasi kerugian dan tidak terkena negative spread seperti halnya bank kon-vensional.Mulai beroperasi tahun 2003 lalu, total dana yang disalurkan baru se-kitar Rp 78 miliar. Jumlah ini meningkat tajam menjadi Rp 177 miliar tahun 2004 dan hingga juli 2005 naik lagi menjadi Rp 234 miliar. Meningkatnya kinerja pembiayaan, ternyata juga diimbangi oleh naiknya kepercayaan masyarakat.
Saat itu, kekuatan Bank Muamalat ternyata bukan terletak pada besarnya rasio kecukupan modal yang dimilikinya, tetapi justru terdapat pada sistem lose and profit sharing (untung dan rugi bagi sama) yang diterapkannya. Dari aspek etos kerja, sistem ini dapat memacu kedua belah pihak untuk tetap menggunakan modalnya dalam koridor bisnis produktif dan sedapat mungkin menghindari bisnis konsumtif yang justru dapat mengurangi modal yang telah dimiliki.
Kenyataan ini telah membuka mata para ahli ekonomi kita. Secara perlahan, mereka mengubah orientasi pemikirannya ke arah paradigma ekonomi Islam yang dianggap lebih meyakinkan dan menjanjikan. Dengan direvisinya UU Perbankan No 7/1992 menjadi UU No 10/1998, bank umum dimungkinkan membuka Unit Usaha Syariah (UUS). Sejak saat itu, bermunculanlah cabang-cabang syariah dari beberapa bank umum. Perkembangannya pun saat ini cukup menggembirakan.








Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional

Bank Syariah Bank Konvensional
1 Investasi yang halal 1 Investasi halal & haram
2 Prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa 2 Memakai perangkat bunga
3 Profit dan falah oriented 3 Profit oriented
4 Hubungan kemitraan 4 Hubungan debitor-kreditor
5 Penghimpunan dan penya-luran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah 5 Tidak terdapat dewan sejenis


Peran Bank Syariah
Dalam upaya mengembangkan ekonomi kerakyatan, perbankan syariah mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Terutama karena bank syariah berorientasi pada manfaat bukan maksimalisasi keuntungan semata; pengelolaannya dengan nilai-nilai syariah (sidiq, tabligh, amanah, dan fathonah (STAF). Transaksi di bank syariah juga riil bukan spekulatif; kemitraan yang dibangun bukan debitur-kreditur; usaha yang dibiayai pun harus yang halal bukan hanya profitable; dan yang paling penting bank syariah memperlakukan uang sebagai instrumen bukan komoditas.
Adapun produk-produk pembiayaan bank syariah terdiri dari: modal kerja: musyarakah dan mudharabah; piutang: murabahah, istishna, salam, ijarah; dan pinjaman: qard. Seperti kita ketahui bahwa ekonomi rakyat yang diejawantahkan oleh usaha kecil, menengah, mikro dan koperasi sering tidak bankable. Oleh karenanya, sekarang sudah dikembangkan kemitraan dalam penyaluran pembiayaan kepada UMKM dengan menggandeng koperasi, BPR Syariah, BMT atau LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah).
Ada dua cara yang biasanya ditempuh bank dalam kerja sama dengan BPRS, Koperasi atau BMT, yaitu melalui pola channeling dan executing. Pola channeling, BPRS, BMT/LKMS atau koperasi membantu pengusaha kecil mendapatkan pembiayaan dari bank syariah, sementara pola executing BPRS, BMT/LKMS atau koperasi langsung menyalurkan pembiayaan kepada nasabah dengan dana yang ditempatkan oleh bank syariah. Dengan pola ini diharapkan ekonomi kerakyatan yang dikembangkan oleh bank syariah bisa berhasil dan pendapatan rakyat pun meningkat.
Dinamika dan Potensi Bank Syariah
Dalam suatu diskusi perbankan syariah beberapa waktu lalu di Jakarta, ahli pemasaran Rhenald Kasali mengatakan, bank syariah sudah saatnya meninggalkan pola pikir yang mengedepankan masalah halal-haram dan bunga-riba dalam mengenalkan bank syariah kepada masyarakat. Menurut dia, perbankan syariah sudah seharusnya menonjolkan hal-hal yang lebih universal dan populer di masyarakat.
Hal itu harus dilakukan karena bagian terbesar dari masyarakat Indonesia, bukan syariah loyalis, tapi pasar rasional yang juga memikirkan untung-rugi jika menabung atau meminjam uang ke bank syariah. Menurut dia, bagi masyarakat, yang terpenting adalah imbal hasil yang menarik serta keunggulan-keunggulan lainnya, seperti pelayanan dan kemudahan akses. Bahkan, kalau perlu, secara perlahan istilah-istilah yang dipakai untuk produk perbankan syariah seperti murabahah, mudharabah, dan ijarah diganti dengan bahasa Indonesia seperti jual-beli, bagi hasil, dan sewa.
Apa yang dikemukakan Rhenald sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pengamat perbankan syariah Adiwarman A Karim bersama lembaga penelitiannya. Berdasarkan potensi pasar, Karim membagi atas tiga golongan , yaitu pasar loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah, pasar yang mengambang (floating market) atau pasar yang tidak terlalu fanatik terhadap satu sistem perbankan, dan pasar loyalis konvensional atau pasar yang fanatik terhadap bank bersistem konvensional.
Menurut Karim, saat ini bank syariah masih cenderung menggarap pasar loyalis syariah. Padahal, berdasarkan hasil penelitiannya, potensi pasar loyalis sebesar Rp 10 triliun akan habis pada semester I tahun 2004. "Semester I 2003 sudah mencapai Rp 4 triliun, dan di akhir tahun 2003 angkanya diperkirakan sudah mencapai Rp 5 triliun," katanya.
Dengan demikian, jika ingin bertahan hidup dan melebarkan sayap, mau tak mau bank syariah harus mulai membidik pasar mengambang yang potensinya mencapai Rp 720 triliun. Adapun potensi pasar loyalis konvensional sekitar Rp 200-an triliun . Inilah salah satu terobosan yang perlu dilakukan untuk membuat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia bisa berjalan lebih cepat lagi. Memang tak dapat dimungkiri, perkembangan perbankan syariah di Indonesia cukup pesat.Sampai Mei 2003, total aset perbankan syariah mencapai Rp 5 triliun, tumbuh sekitar 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Akan tetapi, porsi aset perbankan syariah baru 0,44 persen dari aset perbankan nasional.
Bahkan, sekarang bank syariah tidak hanya diminati investor lokal, tetapi juga asing. Buktinya, Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) Indonesia, bank asing yang bermarkas pusat di Hongkong, akan membuka unit syariah. Unit Usaha Syariah HSBC akan menyusul kelahiran unit syariah Bank IFI, BNI, Bank Jabar, BRI, Danamon, Bukopin, dan BII. Selain unit usaha syariah, terdapat dua bank umum syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Sebelum di Indonesia, HSBC telah membuka unit syariah di sejumlah negara, seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab.
Kendala dan Tantangan Bank Syariah
Salah satu kendala yang kini banyak dihadapi dan paling berat adalah banyaknya tudingan yang mengatakan bank syariah hanya sekadar perbankan konvensional yang ditambahi label syariah. Tudingan itu muncul karena banyaknya praktik-praktik yang menyimpang dari prinsip syariah yang dilakukan perbankan syariah.
Namun, menurut Didin Hafidhuddin , anggota Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI), hal itu bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan. Bagaimanapun, menurut dia, bank syariah merupakan sistem yang baru berkembang di Indonesia.Hal ini pun sejalan dengan salah satu prinsip dalam Islam. Jika tak bisa dikerjakan seluruhnya, maka jangan tinggalkan semuanya.
Tantangan lainnya , adalah bagaimana menonjolkan ciri khas perbankan syariah, yakni bank yang secara langsung membangun sektor riil dengan prinsip keadilan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan meningkatkan pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).

Tidak ada komentar: