Oleh: Kurdi Muhammad
Tema utama dalam diskursus ilmu Fi-kih adalah tentang perbuatan hukum seorang hamba. Substansi dari ilmu tersebut sebenarnya adalah upaya konservasi kesucian agama dan politik syariah, semuanya disyariatkan sepenuhnya untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Dalam totalitas penghambaan mereka, dalam masalah-ma-salah ibadah misalnya, ataupun dalam masalah kehidupan mortalitas me-reka yang meliputi masalah-masalah jual beli, pernikahan dan hukum-hu-kum jinayat (pidana), semua itu telah menjadi objek misi suci diutusnya para Rasul. Hakikat diutusnya para Rasul tidak lain adalah untuk men-jelaskan hukum-hukum perbuatan taklif hamba yang meliputi hukum ha-lal, haram, wajib, sunat, makruh dan mubah untuk sampai kepada konstruk pemahaman yang kokoh tentang Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitabNya dan para Rasul utusan-Nya. Aksioma-aksioma yang digunakan untuk menguak hukum-hukum tersebutlah yang kemudian disebut Ushul Fikih.
Hubungannya dengan Konsep Khilafah dan Penegakan Syariat Islam
Masalah khilafah Islamiyah merupakan masalah yang terus menerus menjadi wacana sejak lama yang belum dapat diimplemetasikan sampai sekarang setelah dibubarkanbanya khilafah Turki Usmani. Upaya pene-gakkan kembali khilafah menjadi bahasan intelektual yang tidak pernah selesai, sehingga menjadi garapan para mujtahid fikih siyasah. Banyak u-saha untuk menegakkan kembali institusi khilafah sejak dibubarkan Mus-tafa Kemal Attaturk, yaitu Muktamar Khilafah di Kairo (1926), Kongres Khilafah di Mekah (1928). Dalam Menyambut gerakan ini, di Indonesia telah dibentuk Komite Khilafah 1926 yang berpusat di Surabaya, dengan ketuanya HOS. Tjokroaminoto (Raharjo, 1996: 362).
Pertanyaannya, yang berkaitan dengan prinsip kaidah di atas, apakah masalah khilafah termasuk persoalan ta’abbuddi atau ta’qquli atau se-kaligus ta’abbud dan ta’aqquli. Bila jawabannya ta’abbudi, maka negara mesti seluruhnya disebut khilafah dan kepala negara adalah Khalifah dan bentuk negara tidak sah bila bukan khilafah. Bila jawabannya ta’aqquli, maka bentuk negara Islam tidak mesti khilafah dan kepala negara tidak ha-rus bergelar khalifah.
Persoalannya adalah bentuk-bentuk khilafah pada masa lampau yang sering menjadi rujukan, semuanya tidak memiliki kesamaan bentuk dan konsep. Khalifah Abu Bakar misalnya, beliau dipilih melalui system for-matur, sementara Khalifah Umar diangkat atas rekomendasi Abu Bakar, Khalifah Utsman dipilih melalui system perwakilan, baru Khalifah Ali yang dipilih secara langsung. Lebih-lebih, setelah khalifah yang empat itu, hampir semua khalifah Umayyah dan Abbasiyah diangkat berdasarkan ke-turunan alias monarchi absolute. Selain itupergantian khalifah antara satu dinasti dengan dinasti lainnya seringkali kali dengan kekerasan berupa inqilab (koop), bahkan perebutan kekuasaan di dalam satu dinasti pun ada-kalanya dengan kekerasan.
Memang dalam khilafah Islamiyah memiliki keunggulan tertentu, seperti Umat dipimpin oleh suatu kekuasaan (khalifah), umat bahu mem-bahu dalam mempertahankan dirinya tanpa melihat sisi etnis atau bahasa tertentu. Semuanya berjuang atas dasar ajaran dan iman yang sama. Na-mun, implementasinya pada masa kini hambatannya sangat besar. Pe-nyatuan negara-negara berpenduduk Muslim sedunia adalah suatu yang ideal, tetapi faktor penghambat dapat terjadi yang antara lain: Pertama, si-apa yang berhak menjadi khalifah dengan penduduk 1.3 Milyar dengan berbagai etnis dan bahasa. Kedua, bagaimana cara melakukan syura atau pemilihan yang sedemikian besar. Siapa-siapa yang berhak menjadi wa-kilnya.
Sehingga, Penulis berpendapat bahwa khilafah bukan masalah ta’abbudi mahdiyah, melainkan ta’aqqauli yang di sana ada nilai-nilai ila-hiyah yang wajib dipelihara, yaitu negara Tauhid dengan menegakkan Syariat Islam dengan memegang prinsip-prinsip antara lain: Kedudukan manusia sebagai hamba Allah, kepemimpinan, manusia sebagai umat yang satu, menegakkan kepastian hukum dan keadilan, musyawarah, amanah, persatuan dan persaudaraan, persamaan, hidup bertetangga baik, tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa, perdamaian, membangun ekonomi yang mensejahterakan, bela negara, menghormati hak-asasi manusia, to-leransi dan kebebasan beragama, persamaan di depan hukum, bebasi rasa takut, amar makruf nahyil munkar, tanggung jawab, ketaatan”. (Pulungan, 1999: 5-20)
Dengan begitu, maka negara boleh menggunakan sistem yang disetujui rakyatnya, seperti, Republik, Kerajaan, Kesultnan, Keamiran karena ini merupakan masalah ijtihadiyah, selama di sana Syariat tegak dan aturan Islam berjalan. Tegaknya Peradaban Islam dan Syariat, bukan semata-mata dibangun atas satu sistem baku, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Jalan tengahnya adalah dengan memilih pemimpin Islam, membangun persaudaran antara negara-negara Islam atau negara Muslim yang ada serta memperkuat lembaga-lembaga internasional negara Islam atau Muslim dan umat Islam, seperti OKI dan Rabithah al-Alam al-Islami dan Liga Islam Dunia.
Hal ini sebagaimana direkomendasikan Yusuf al-Qardhawi (2000: 40-81) bahwa yang terpenting adalah Daulah Madaniyah yang merujuk pada Syariat Islam, bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akh-lak, bukan daulah teokrat, tapi yang lebih penting adalah pemerintahan si-pil.
Rabu, 26 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar