Oleh: Kurdi Muhammad
Perkembangan bisnis berdasarkan prinsip agama Islam atau syariah di Indonesia tergolong masih sangat rendah. Dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mulai tahun 1963, gagasan bisnis syariah Indonesia terlambat muncul. Pada awal tahun 1990-an para profesional Muslim baru menggagas kelahiran intitusi keuangan syariah pertama di Indonesia, yang kemudian dinamakan Bank Muamalat pada tahun 1991.
Dari tonggak kelahiran bank syariah pertama itu terasa perjalanannya hingga kini belum mulus seperti yang diharapkan. Bahkan dari sisi regulasi diibaratkan jalan panjang itu belum menemui pintu keluar lorong, karena sampai saat ini regulasi bisnis syariah, baik perbankan, asuransi, maupun reasuransi masih mendompleng payung hukum bisnis konvensional.
Perbankan syariah yang paling awal hadir di tanah air hingga kini masih mendompleng peraturan UU Perbankan tahun 1998, dan masih menantikan peraturan tersendiri tentang UU perbankan syariah. Sejak keluarnya UU No 7/1992 yang memungkinkan perbankan menjalankan usahanya dengan sistem bagi hasil, keinginan umat Islam bangkit di bidang ekonomi dengan melaksanakan sistem ekonomi sesuai dengan syariah Islam, terwujud sudah. Saat itu lahirlah Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama diikuti oleh beberapa BPR Syariah.
Sekalipun perkembangannya cenderung lamban, ternyata perbankan syariah terbukti tangguh saat krisis moneter mengguncang dunia perbankan kita pada 1997. Sistem syariah ternyata dinilai cukup efektif untuk meminimalisasi kerugian dan tidak terkena negative spread seperti halnya bank konvensional. Mulai beroperasi tahun 2003 lalu, total dana yang disalurkan baru sekitar Rp 78 miliar. Jumlah ini meningkat tajam menjadi Rp 177 miliar tahun 2004 dan hingga juli 2005 naik lagi menjadi Rp 234 miliar. Meningkatnya kinerja pembiayaan, ternyata juga diimbangi oleh naiknya kepercayaan masyarakat.
Dana Pihak Ketiga (DPK) bank syariah tahun 2003 baru tercatat sebesar Rp 87 miliar. Namun pada 2004 total DPK mengalami kenaikan menjadi Rp 184 miliar dan Juli 2005 ini sudah mencapai Rp 214 miliar.
Saat itu, kekuatan Bank Muamalat ternyata bukan terletak pada besarnya rasio kecukupan modal yang dimilikinya, tetapi justru terdapat pada sistem lose and profit sharing (untung dan rugi bagi sama) yang diterapkannya. Dari aspek etos kerja, sistem ini dapat memacu kedua belah pihak untuk tetap menggunakan modalnya dalam koridor bisnis produktif dan sedapat mungkin menghindari bisnis konsumtif yang justru dapat mengurangi modal yang telah dimiliki.
Kenyataan ini telah membuka mata para ahli ekonomi kita. Secara perlahan, mereka mengubah orientasi pemikirannya ke arah paradigma ekonomi Islam yang dianggap lebih meyakinkan dan menjanjikan. Dengan direvisinya UU Perbankan No 7/1992 menjadi UU No 10/1998, bank umum dimungkinkan membuka Unit Usaha Syariah (UUS). Sejak saat itu, bermunculanlah cabang-cabang syariah dari beberapa bank umum. Perkembangannya pun saat ini cukup menggembirakan.
Kepala Cabang Bank BTN Syariah, Hanan Wihasto mengatakan pesatnya pertumbuhan bisnis perbankan syariah, bukan kebetulan. Sebagai lembaga keuangan, bank syariah memiliki banyak kelebihan dibandingkan bank umum konvensional.
Bank syariah, katanya tidak mengenal sistem bunga. Transaksi pembiayaan ataupun penyimpanan dana, selalu didasarkan atas akad jual beli ataupun sistem bagi hasil. Hal ini dengan sendirinya akan lebih memberikan kepastian. Disamping itu, bank syariah -mengingat sistem yang dipakai adalah syariah- jauh dari kemungkinan untuk men-dholimi nasabah. Aktivitas investasinyapun bisa dipastikan hanya untuk kegiatan yang halal.
Peran Bank Syariah
Dalam upaya mengembangkan ekonomi kerakyatan, perbankan syariah mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Terutama karena bank syariah berorientasi pada manfaat bukan maksimalisasi keuntungan semata; pengelolaannya dengan nilai-nilai syariah (sidiq, tabligh, amanah, dan fathonah (STAF). Transaksi di bank syariah juga riil bukan spekulatif; kemitraan yang dibangun bukan debitur-kreditur; usaha yang dibiayai pun harus yang halal bukan hanya profitable; dan yang paling penting bank syariah memperlakukan uang sebagai instrumen bukan komoditas.
Adapun produk-produk pembiayaan bank syariah terdiri dari: modal kerja: musyarakah dan mudharabah; piutang: murabahah, istishna, salam, ijarah; dan pinjaman: qard. Seperti kita ketahui bahwa ekonomi rakyat yang diejawantahkan oleh usaha kecil, menengah, mikro dan koperasi sering tidak bankable. Oleh karenanya, sekarang sudah dikembangkan kemitraan dalam penyaluran pembiayaan kepada UMKM dengan menggandeng koperasi, BPR Syariah, BMT atau LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah).
Salah satu contoh adalah apa yang dilaksanakan oleh Bank Jabar Syariah dengan membina sekitar 30 LKMS yang dikelola oleh mesjid-mesjid bekerja sama dengan Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Jawa Barat. Selain itu, dengan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bank Jabar Syariah pun turut menyalurkan dana Dakabalarea kepada masyarakat melalui pola syariah.
Hingga saat ini, jumlah pendistribusian Dakabalarea adalah sebagai berikut :
1. Pendistribusian :
a. Sumber dana : Rp 66,7 miliar
b. Tersalur : Rp 91,9 miliar
c. Tersebar di Jawa Barat dan Banten
2. Kinerja Pembiayaan :
a. Prosentase penyerapan/perguliran : 136,68 persen
b. Jumlah sasaran : 3.065 kelompok, 26.886 orang
c. ekuivalen bagi hasil : +/- 12 persen
Beberapa bank syariah pun sudah banyak yang menjalin kerja sama dengan BPRS dan LKMS. Bagi pengusaha kecil dan mikro yang belum bankable, mereka bisa dilayani di BMT/LKMS sambil terus dibina manajerialnya. Setelah pengusaha kecil memenuhi syarat memperoleh pembiayaan dari bank (bankable) BMT/LKMS membantu mengantarkan mereka ke bank syariah.
Ada dua cara yang biasanya ditempuh bank dalam kerja sama dengan BPRS, Koperasi atau BMT, yaitu melalui pola channeling dan executing. Pola channeling, BPRS, BMT/LKMS atau koperasi membantu pengusaha kecil mendapatkan pembiayaan dari bank syariah, sementara pola executing BPRS, BMT/LKMS atau koperasi langsung menyalurkan pembiayaan kepada nasabah dengan dana yang ditempatkan oleh bank syariah. Dengan pola ini diharapkan ekonomi kerakyatan yang dikembangkan oleh bank syariah bisa berhasil dan pendapatan rakyat pun meningkat.
IDB Membangun Ekonomi Islam
Presiden Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/ IDB) Dr Ahmad Mohamed Ali menegaskan, IDB berkomitmen untuk terus meningkatkan peran dalam pembangunan ekonomi dan sosial guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan umat Islam sedunia, di mana pun mereka berada.
Salah satu syarat menjadi anggota IDB adalah negara itu harus menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) terlebih dahulu. Baru kemudian mengajukan permohonan dan diterima oleh IDB setelah memenuhi berbagai persyaratan.
Prasyarat untuk memberikan dukungan bagi pembangunan, menurut dia, paling utama adalah IDB juga harus terus meningkatkan kemampuan dan kesehatannya sebagai sebuah institusi finansial yang transparan dan kredibel.
Ia menambahkan, IDB merupakan wujud solidaritas umat Islam di seluruh dunia untuk mengamalkan syariah Islam dalam setiap aktivitasnya, termasuk dalam sistem finansial.
Bukti Komitmen
Ahmad Mohamed Ali menjelaskan, bukti komitmen IDB untuk terus meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan umat Islam adalah terus menggelembungnya dana yang disalurkan IDB untuk berbagai aktivitas di negara anggota, maupun terhadap umat Islam di negara non-anggota IDB.
Sebelumnya, Ketua Sidang Tahunan Ke-28 IDB Adilbek Dzhaksybekov, yang juga Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kazakhstan, serta Ketua Dewan Gubernur IDB memaparkan kinerja keuangan IDB yang dikatakannya sangat kuat dan sehat. Selama tahun 1423 H (April 2002 sampai Maret 2003), Grup IDB menyetujui pembiayaan senilai 2,34 miliar Islamic dinar (ID), setara dengan 3,08 miliar dollar AS.
Jumlah tersebut untuk berbagai jenis operasional, termasuk pembiayaan proyek, pembiayaan perdagangan, bantuan khusus, dan bantuan teknis operasional. Jumlah itu mencerminkan peningkatan tiga persen dari jumlah agregat yang disetujui bank dalam tahun sebelumnya sebesar 2,88 miliar dollar AS.
Di akhir tahun buku 1423 H, secara kumulatif persetujuan pembiayaan Grup IDB (tidak termasuk operasional yang ditunda) mencapai 30,40 miliar dollar AS. Dari jumlah tersebut, 63 persen untuk pembiayaan perdagangan (ekspor-impor) dan sekitar 35 persen untuk pembiayaan proyek. Sisanya untuk bantuan khusus dan bantuan teknis operasional.
Pendanaan ini untuk mendukung perdagangan antarnegara anggota. Tahun silam, sekitar 75 persen pembiayaan ekspor-impor digunakan untuk perdagangan sesama negara anggota IDB. Hal ini membuktikan bahwa peran IDB sebagai katalisator untuk memperluas perdagangan di bawah mandat Teheran Islamic Summit dan implementasi dari "OIC Plan of Action" di bidang perdagangan sesama negara Islam berjalan efektif.
Sehat dan Transparan
Di sisi lain, mobilisasi dana sampai akhir tahun buku pada Maret 2003 mencapai 4,1 miliar dollar AS, di antaranya sebanyak 3,9 miliar dollar AS bersumber dari negara anggota IDB sendiri. Tahun sebelumnya, mobilisasi dana sebagai utang bank itu hanya mencapai 3,97 miliar dollar AS, yang berarti naik 3,8 persen.
IDB memperkirakan pertumbuhan secara konservatif sebesar tujuh persen. Dengan demikian, upaya mencari dana pun difokuskan pada sumber-sumber dengan berbasis metode pasar. IDB akan mencari dana dari pasar senilai empat miliar dollar AS sampai 10 tahun ke depan.
Dalam kaitan itu, IDB mulai masuk pasar melepas surat utang berupa obligasi syariah yang disebut "sukuk" pada 12 Agustus 2003 lalu. Semula, obligasi yang hendak dilepas hanya senilai 300 juta dollar AS, namun permintaan pasar sangat tinggi dengan kelebihan permintaan 44 persen.
Dengan demikian, diterbitkan sebesar 400 juta dollar AS. Lembaga pemeringkat efek terkemuka, Standard & Poor’s, memberikan peringkat "AAA" (triple A) untuk surat utang sukuk tersebut.
Bank Pembangunan Islam menyiapkan pembentukan dana khusus untuk mendukung pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dana khusus yang dinamakan Islamic Infrastructure Fund for Indonesia itu akan memobiliasasi modal untuk diinvestasikan dalam proyek infrastruktur Indonesia.
Sebagai kelanjutan Infrastructure Summit 2005, pemerintah Indonesia akan menggelar "Indonesia Infrastructure Conference & Exhibition 2006" pada 1-3 November mendatang. Dalam acara itu akan ditawarkan peluang investasi kepada investor dalam proyek infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, listrik, energi, dan proyek-proyek lainnya.
Terkait dengan terbuka lebarnya peluang investasi infrastruktur di Indonesia, IDB juga mensponsori suatu forum investasi yang disebut Middle East Investment Forum, yang akan digelar pada tanggal 23-24 September 2006 di Jeddah, Arab Saudi.
Dalam kunjungan kerjanya ke Arab Saudi, pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menerima Presiden IDB Ahmad Mohamed Ali untuk membicarakan upaya peningkatan peran strategis lembaga ini dalam pembangunan Indonesia.
Dalam pertemuan itu, Presiden IDB menyatakan kesiapan dan keseriusannya meningkatkan peran dalam pembiayaan pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai salah satu negara anggota sekaligus pendirinya. Peran itu, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur kelistrikan, jalan dan pelayanan publik lainnya.
Menurut Staf Khusus Wapres, Muhammad Abduh, Rabu (4/10), Wapres dalam pertemuan tertutup bagi pers itu, menyampaikan harapannya agar IDB memberi perhatian yang lebih besar lagi kepada Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, sementara IDB juga memfokuskan perhatiannya kepada penduduk muslim di seluruh dunia yang memerlukan peningkatan kesejahteraan.
Menurut Abduh, dipertanyakan pula mengapa Indonesia tidak bisa seperti Malaysia dan Pakistan yang mendapat alokasi pembiayaan cukup signifikan dari IDB. Mereka menyatakan siap membiayai proyek apa saja. Persoalannya, administrasi di Indonesia kurang mendukung penarikan dana tersebut, sehingga seringkali pembiayaan suatu proyek dibatalkan karena berbelit-belitnya proses di Indonesia.
Terkait upaya peningkatan peran strategisnya di Indonesia, Wapres pun menekankan perlunya IDB membuka kantor perwakilan di Jakarta. IDB harus memperhitungkan kondisi Indonesia yang masih banyak penduduknya berpenghasilan rendah. Apalagi Indonesia yang berpenduduk 220 juta jiwa, sebanyak 90 persennya merupakan umat Islam.
Lembaga keuangan Timur Tengah yang memiliki dana melimpah akibat melonjaknya harga minyak di pasar internasional, sebenarnya cukup besar minatnya berinvestasi di Indonesia. Masalahnya, menurut Abduh, sistem dan prosedur yang mereka butuhkan belum tersedia.
Rabu, 26 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Semoga dengan Bank Syariah, ekonomi ummat, terkhusus ummat Islam bisa dibangun dan sejahtera.
amiin
Salam
Posting Komentar