Rabu, 26 November 2008

Muktazilah: Sejarah dan Doktrin Teologinya (1)

Oleh: Kurdi Muhammad

Muktazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/718 M.
Dr. Ibrahim Madkour menyebut orang-orang Muktazilah sebagai pendiri lilmu kalam yang sebenarnya. Karena hampir setiap pemikiran penting dalam ilmu kalam ditemukan landasannya di kalangan mereka. Muktazilah telah membahas sebagian problematika ilmu kalam pada tahun-tahun pertama abad ke-2 H. mereka serius menggelutinya selama satu setengah abad. Muktazilah merupakan aliran rasional yang membahas secara filosofis problem-problem teologis yang tadinya belum ada pemecahan. Dengan nama studi tentang akidah, Muktazilah sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia.
Secara garis besar, aliran Muktazilah melewati dua fase yang berbeda, yakni fase bani Abbasiyah dan fase bani Buwaihi. Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan bani Umayyah, namun untuk waktu yang tidak terlalu lama. Meski demikian, generasi awal inilah yang menancapkan tonggak awal Muktazilah sehingga bisa eksis di masa-masa berikutnya, bahkan sampai saat ini.
Demikian hebat dan luasnya jangkauan konsep teologis Muktazilah. Namun, dalam tulisan kali ini penulis akan memfokuskan kajian pada masalah sejarah kemunculan Muktazilah, Tokoh-tokoh serta doktrin teologisnya. Berikut penulis sajikan pembahasan tentang ketiga hal tersebut.
LATAR BELAKANG KEMUNCULAN
Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Demikianlah pendapat Wasil bin Atha' yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan pendapatnya ini, Wasil bin Atha' pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha' memisahkan diri, sang guru yakni Hasan al Basri berkata: ''I'tazala 'anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri kita). Menurut Syahristani, dari kata i'tazala 'anna itulah lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl (pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.
Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun me-nyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan il-mu pengetahuan. Dan, pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah deng-an peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, ja-di tidak qadim. Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Al-lah, dan ini hukumnya syirik.

1 komentar:

Aki Adnani mengatakan...

Tanpa munculnya pemikiran Washil bin Attha, rasanya kaum muslimin sulit untuk memiliki cendekiawannya. Paradigma kuno, yg beranggapan wilayah Iman tidak bisa disentuk oleh potensi akal, sebenarnya telah berakhir. Karena setiap aliran (madzhab) termasuk Al 'Asyariyahpun (yg medok klaim ahlussnah wal jama'ahnya) telah berbicara tentang perlunya fungsi atau potensi akal. Apa lagi Abu Hasan Ali Al Asy'ari adalah bekas tokoh muktazilah.
Ketinggalan dalam mengedepankan pola pikir yg rasional, artinya: menggunakan nalar (nadharo=melihat, faktual atau nyata), menyebabkan agama senantiasa berjalan paling belakang. Kalah oleh dunia ekonomi, politik apalagi teknologi. Liht dunia teknologi begitu pesat dan terdepan memimpin dunia, karena otaknya bekerja dan terus bekerja. Sedangkan Islam, selalu menyodorkan lipatgandaan pahala, meringis menggambarkan siksa tanpa berbuat. Sekali muncul pemikiran-pemikiran yg mengarah kepada "maju", masarakat Islam langsung membombardir dengan bom inkkarussunah, kafir, sesat dst.
Ini fenomena di depan mata, sekarang. Butuh tenaga untuk berfikir agar agama setara dengan faktor-faktor pendukung kehidupan lainnya. Fastabiqul khayraat.